RSS Feed

BENARKAH ADA PERTARUNGAN “SOSIOLOGIS MARXIS” DAN “SOSIOLOGIS PANCASILAIS?”

Posted by Teguh Hindarto



Sebuah Tanggapan Untuk Ioanes Rakhmat
 

Dalam status yang dibuatnya di media Facebook, Ioanes Rakhmat membuat judul, “Pertarungan Model Sosiologis Marxis Dengan Model Sosiologis Pancasilais” dengan memposting artikel yang dibuatnya di kompasiana.com dengan judul, “Mendagri Tjahjo Kumolo, “Aku Tak Mau Mengikuti Genderang Kivlan” Zen!”. Ada yang mengganggu pikiran saya dengan istilah yang dibuat oleh Ioanes Rakhmat yaitu “Sosiologis Marxis” dan “Sosiologis Pancasilais” serta “Pertarungan Model”. Saya kutipkan salah satu pernyataan sebagai pembuka ulasannya sbb:


“Model” adalah suatu representasi yang disederhanakan atas realitas apapun yang sebetulnya rumit dan pelik, supaya orang dapat mudah membayangkan, memahami, menjelaskan dan mendeskripsikan realitas ini, dan memprediksi akan ke mana dan bagaimana realitas ini bergerak ke depannya. Semua ilmu pengetahuan memerlukan model-model, termasuk sosiologi. Dalam fisika, misalnya, ada model komputer, model matematis, dan lain-lain. Dalam sosiologi, seluk-beluk masyarakat yang sebetulnya rumit disederhanakan minimal dalam tiga model, yakni model konflik, model fungsionalisme struktural, dan model interaksi simbolik. Berhubung dalam masyarakat Indonesia di hari-hari belakangan ini ada kalangan yang mengklaim diri kalangan “pembela Pancasila” yang dengan gencar “sedang memerangi” apa yang mereka sendiri persepsikan sebagai kalangan “PKI gaya baru” atau kalangan Marxis komunis, ada baiknya kita sekarang mengkaji dinamika sosiologis ini dari perspektif model-model sosiologis yang sedang bertarung. Dengan pas kita dapat melihat dinamika ini sebagai suatu pertarungan model konflik dengan model fungsionalisme struktural. Sederhana saja, kalangan Marxis menganut model sosiologis konflik; dan kalangan Pancasilais menerapkan model fungsionalisme struktural. Dua model ini berbeda”


Mendagri Tjahjo Kumolo, “Aku Tak Mau Mengikuti Genderang Kivlan Zen!”

http://www.kompasiana.com/ioanesrakhmat.blogspot.com/mendagri-tjahjo-kumolo-aku-tak-mau-mengikuti-genderang-kivlan-zen_5755d178a8afbd2d0baf54df



Ada beberapa persoalan yang harus diluruskan dan didiskusikan dari analisis Ioanes Rakhmat sbb:


(1) Kerancuan Terminologis. Saya baru mendengar istilah “Sosiologis Marxis” dan “Sosiologis Pancasilais”. Mengingat definisi Sosiologi begitu beragam, saya tidak akan melibatkan diri pada aspek definisi namun menekankan makna terminologis Sosiologi yaitu sebuah sebuah ilmu sebagaimana Teologi, Geologi, Ekonomi, Psikologi dll. Sosiologi adalah sebuah ilmu. Ilmu apa? Ilmu yang mempelajari perihal masyarakat. Apa yang dipelajari dari masyarakat? Fakta sosial dan dinamika sosial. Apa tujuan mempelajari Sosiologi? Untuk dapat mengerti hukum-hukum yang bekerja dalam sistem sosial kemasyarakatan dan dapat memprediksi serta mengantisipasi dampak sosial dari sebuah kebijakkan terhadap masyarakat. Sementara Sosiologis bukan ilmu melainkan penyifatan sebuah gejala dalam masyarakat berdasarkan ilmu Sosiologi. Biasanya kalimat yang dipergunakan adalah, “Berdasarkan kajian Sosiologi maka karakteristik sosiologis masyarakat A dapat dipetakan dalam beberapa kelompok sbb”. Dengan kata lain, terminologi Sosiologi dari aspek tata bahasa menunjuk pada kata benda (nomina) sementara terminologi Sosiologis dari aspek tata bahasa menunjuk pada kata sifat (adjective). Berdasarkan pemahaman atas terminologi “Sosiologi” dan “Sosiologis” maka pemilihan judul, “Sosiologis Marxis” dan “Sosiologis Pancasilais” keliru sama sekali. Yang benar (secara terminologis) tentu saja adalah istilah “Sosiologi Marxis” dan “Sosiologi Pancasila”. Kedua istilah tersebut tentu mengandaikan sebuah pemahaman perihal Ilmu Sosiologi dengan menggunakan perspektif Marxis yaitu Teori Konflik dimana berbagai problem sosial dalam masyarakat ditelusuri penyebabnya pada struktur sosial ekonomi yang tidak seimbang dan eksploitatif. Berbeda dengan istilah “Sosiologi Marxis”, istilah “Sosiologi Pancasila” (yang secara keliru diistilahkan Ioanes Rakhmat dengan “Sosiologis Pancasilais”) adalah sebuah istilah baru yang baru menjadi wacana minor dan belum menjadi sebuah paradigma mayor dalam sebuah keilmuan. Dapat dilacak istilah “Sosiologi Pancasila” bermula dari tulisan Satrio Wahono dengan judul, "Menggagas Sosiologi Pancasila" yang dimuat Sinar Harapan, 10 Februari 2012. Bahkan dalam artikelnya, Satrio Wahono justru menjadikan “Sosiologi Pancasila” sebagai jalan tengah dari paradigma sosiologi (Ioanes Rakhmat membuat istilah baru “model sosiologi”) yang berkembang di Barat yaitu Struktural Fungsional, Konflik, Interaksionisme Simbolik dengan mengatakan, “Berbekal ketiga asumsi di atas, sosiologi Pancasila ternyata mampu meramu kekuatan-kekuatan dari tiga arus utama dalam mazhab sosiologi Barat”. Nah, jika wacana “Sosiologi Pancasila” menurut Satrio Wahono meramu paradigma-paradigma yang ada dalam Sosiologi, Ioanes Rakhmat justru hanya menisbatkan istilah “Sosiologi Pancasila” pada salah satu paradigma dalam Sosiologi yaitu paradigma (Ioanes Rakhmat membuat istilah baru “model sosiologi”) Struktural Fungsional. Jika Sosiologi Konflik atau Sosiologi Marxis mencari akar persoalan masalah sosial pada struktur sosial ekonomi yang tidak seimbang, maka Sosiologi Struktural Fungsional mencari akar persoalan masalah-masalah sosial pada disfungsionalitas anggota-anggota dalam menjaga keseimbangan sistem dan struktur sosial.



Dengan latar belakang pemahaman terminologis di atas, maka perspektif “Sosiologi Marxis” (Sosiologi Konflik) lebih tepat dihadapkan secara diametral dengan “Sosiologi Struktural Fungsional” dan bukan dengan “Sosiologi Pancasila” (yang secara keliru diistilahkan Ioanes Rakhmat dengan “Sosiologis Pancasilais”). Mengapa? Ya, karena Sosiologi Pancasila baru sebuah wacana terminologis saja. Hal ini setara dengan wacana terminologis “Sosiologi Kerakyatan/Populisme” yang digagas Hamzah Fansuri dalam merumuskan paradigma para sosiolog UGM dalam bukunya, “Sosiologi Indonesia: Diskursus Kekuasaan dan Reproduksi Pengetahuan” (LP3ES, 2015, hal 136) baru tahapan sebuah diskursus dan belum menjadi sebuah epistemologi arus utama. Jika istilah “Sosiologi Pancasila” dan “Sosiologi Populisme” baru sebatas wacana lalu dimana medan pertempuran epistemologi dengan lawannya yaitu “Sosiologi Marxis” sebagaimana dinarasikan oleh Ioanes Rakhmat terjadi?


(2) Tidak Ada Pertarungan Sosiologis. Pertanyaan saya di atas mengerucut pada pernyataan bahwa sesungguhnya tidak pernah ada pertarungan yang nampak di permukaan antara “Sosiologi Konflik/Sosiologi Marxis” dengan “Sosiologi Pancasila” (yang baru sebatas wacana) khususnya pada peristiwa kegaduhan terkait isyu kebangkitan komunisme serta berbagai reaksi-reaksi histeria elemen-elemen masyarakat di beberapa tempat. Bahkan sejak berdirinya Indonesia sebagai negara yang berdaulat, warna kajian Sosiologi masih menempatkan epistemologi Struktural Fungsional sebagai arus utama dalam Sosiologi. Yang terjadi hanya pergeseran kiblat saja yang di era pra kemerdekaan penelitian sosiologi di Hindia Belanda berpusat pada hasil penelitian orang-orang Belanda dengan nama Indologi demi mengabdi pada kepentingan kolonialis sementara di era kemerdekaan penelitian sosiologis berkiblat ke Amerika khususnya Parsonian pengusung paradigma Struktural Fungsional. Kenyataan ini digambarkan oleh Hanneman Samuel sbb, “…Dalam konteks ini, istilah “Indolog” berangsur-angsur kehilangan popularitasnya dan digantikan oleh “Indonesianis”. Namun proses pemerdekaan ini tidak mengisolasi Indonesia dari pengaruh eksternal secara ekonomi dan politik dan tentunya tidak pula dalam hal keilmuan. Kedudukan para ilmuwan Belanda perlahan-lahan diduduki oleh para Ilmuwan Amerika” (Genealogi Kekuasaan Ilmu Sosial Indonesia: Dari Kolonialisme Belanda Hingga Modernisme Amerika”, Kepik Unggu 2010: Hal 65). Tentu saja bukan semua sosiolog di Indonesia berbasis paradigma Struktural Fungsional. Namun penguatan kajian-kajian Sosiologi berbasis analisis Marxis baru menguat paska kejatuhan Orde Baru. Paska keruntuhan rezim Orde Baru, pemikiran kiri berbasis analisis Marxis mengalami kebangkitan kembali. Beberapa indikator kemunculan pemikiran kiri berbasis pemikiran Marxis ditandai dengan hal-hal berikut:


1. Munculnya situs-situs internet yang berisikan kajian analisis sosial, politik, ekonomi berdasarkan perspektif Marxisme


2. Munculnya penerbit yang menerbitkan buku-buku karya Marx al., Das Kapital, atau buku-buku hasil karya Partai Komunis yang belum sempat diterbitkan dengan judul, Manuskrip Sejarah 45 Tahun PKI (1920-1965) karya Busjarie Latif, serta buku Antropologi Marx: Karl Marx tentang Masyarakat dan Kebudayaan karya Dede Mulyanto 


3.  Penerbitan buku-buku oleh korban dan anak-anak partai komunis oleh Orde Baru seperti karya dr. Ribka Ciptaning, Aku Bangga Jadi Anak PKI


4. Penerjemahan buku-buku berbasis analisis Marxis seperti Selections from the Prison Notebooks karya Antonio Gramsci judul, Prison Notesbooks: Catatan dari Dalam Penjara


5.  Penerbitan buku-buku kritik sosial berbasis analisis Marxis seperti, Epistemologi Kiri karya Listiyono Santoso atau Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial karya DR. Mansour Fakih Muhammad dan Karl Marx Tentang Masyarakat Tanpa Kelas karya  Munir Che Anam


Pemikiran kiri berbasis analisis Marxis mewarnai berbagai kelompok-kelompok kajian atau analisis sosial politik yang mencoba mengritisi arah pembangunan yang cenderung berpihak pada kepentingan kapitalisme global maupun kapitalisme nasional dan pisau bedah mereka adalah teori-teori Marxis yang bersifat kritis atau teori-teori Marxis yang sudah mengalami revitalisasi dalam konteks Reformasi. Sebut saja buku-buku karya Mansour Fakih  kerap menggunakan analisis Marxis khususnya Antonio Gramsci yang telah mengritisi konsepsi Karl Marx dan membuat konsep-konsep yang lebih relevan untuk mengritisi ketimpangan sosial dalam pembangunan. Beberapa buku Fakih al., Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Demikian pula buku-buku karya Eko Prasetyo pun sarat dengan pisau analisis Marxis seperti, Islam Kiri: Melawan Kapitalisme Modal dari Wacana Menuju Gerakan, Saatnya Tan Malaka Memimpin, Orang Miskin Dilarang Sakit,Orang Miskin Dilarang Sekolah (Epitemologi Kiri Di Era Paska Reformasi” - http://teguhhindarto.blogspot.co.id/2016/03/epistemologi-kiri-di-era-paska-reformasi_8.html). Seiring dengan kebangkitan epistemologi kiri berbasis analisis Marxis untuk mengritisi pembangunan yang semakin bergerak ke arah kebijakkan Neo Liberalisme dan Kapitalisme Global, maka diskursus Sosiologi Konflik berbasis analisis Marxis mulai mewarnai kajian-kajian sosiologis.


Namun demikian, dapatkah kegaduhan yang akhir-akhir ini terjadi yaitu pemberangusan buku-buku sejarah dan analisis sosial berbasis Marxis atau sekedar meluruskan peristiwa-peristiwa historis yang bersifat konflik berujung penghabisan orang-orang kiri, mobilisasi mantan petinggi militer yang berkolaborasi dengan kelompok ormas radikal agama dengan menghembus-hembuskan isyu kebangkitan PKI gaya baru bisa dikatakan sebagai “Pertarungan Sosiologi Marxis dan Sosiologi Pancasila?” Tidak sama sekali. Jika benar kegaduhan yang terjadi selama ini adalah pertarungan sosiologi, seharusnya hanya terjadi perdebatan epistemologis belaka dan bukan tindakan-tindakan yang melibatkan aparat keamanan hingga organisasi-organisasi masa yang histeria meneriakan hantu komunis yang bangkit kembali. Yang terjadi saat ini bukan sebuah pertarungan melainkan sebuah reaksi dan upaya konsolidasi kekuatan-kekuatan rezim Orde Baru untuk kembali meraih perhatian masyarakat dan merebut “ruang publik” (public sphere) dengan memanfaatkan momentum sensitif yaitu bangkitnya komunisme gaya baru. Saya katakan “reaksi” karena berbagai gerakan anti komunis yang saat ini menyuarakan opininya muncul di saat pemerintah memfasilitasi Simposium 65 dan wacana pembekuan ormas-ormas anti Pancasila. Saya katakan “konsolidasi” karena watak penolakan membabi buta terhadap segala sesuatu yang berbau komunis yang menjadi karakteristik rezim Orde Baru, sehingga mengabaikan fakta-fakta makro dan mikro atau fakta-fakta nasional dan internasional bahwa ideologi komunisme telah gagal menjadi ideologi arus utama di Indonesia. 


Secara mikro, pengalaman pahit selama 32 tahun organisasi PKI dihabisi baik secara politik dan kebudayaan bahkan berujung pada pembinasaan orang-orang yang dikategorikan komunis serta stigmatisasi seumur hidup oleh rezim Orde Baru tentu akan menimbulkan struktur traumatik yang membentuk kesadaran psikologis mereka yang masih hidup dalam usia uzur bahkan keturunan mereka sudah berumur. Terlalu naif bagi mereka untuk melakukan upaya-upaya yang kerap disebut makar setelah kekuatan politik, kekuatan struktural organisasi mereka yang hancur berantakkan bahkan aksi pembalasan yang menimbulkan luka mendalam tidak terperikan. Secara makro, konstelasi politik dan ideologi sudah bergeser sejak tahun 1990-an. Fukuyama menyebutnya sebagai "The End of History", Daniel Bell menyebutnya, "The End of Ideology", Kenichi Ohmae menyebutnya, "The End Nation State". Semua istilah tersebut hendak menyebut fenomena kemenangan kapitalisme global dan pasar bebas sebagai norma baru yang mewarnai Demokrasi Abad 21. Musuh yang ditakuti Barat saat ini bukan lagi komunis melainkan radikalisme Agama paska keruntuhan Soviet, sebagaimana dipaparkan Samuel Huntington dalam bukunya "Clash of Civilization".


Jika kekuatan komunisme bangkit dan menjadi ancaman nyata, sudah berapa kelompok dan organisasi komunis yang kedapatan melakukan upaya-upaya serangan bersenjata kepada aparat-aparat negara terhitung sejak tahun 2000 hingga 2016? Berbeda sekali dengan kekuatan radikal agama berujung terorisme dengan basis kekuatan internasional yang sudah memakan korban nyawa secara nyata-nyata melalui aksi bom bunuh diri dan serangan kepada masyarakat sipil dan aparat negara yang terus terjadi hingga kini. Bahkan telah terjadi pola-pola yang terus menerus berubah dalam melancarkan aksi terorisme mulai dari aksi bom bunuh diri hingga menargetkan aparat negara secara berkelompok maupun pribadi.


Beberapa orang mengajukan analisisnya bahwa kegaduhan ini adalah upaya “test the water”. Istilah ini menunjukkan sebuah upaya untuk melemparkankan wacana ke tengah-tengah masyarakat untuk melihat respon apa yang akan diberikan oleh masyarakat, positip atau negatif. Jika negatif wacana kebijakkan ditiadakan, jika positip wacana kebijakkan diteruskan. Tidak mudah memastikan pihak mana yang sedang melakukan upaya “test the water”, pihak pemerintah atau justru pihak-pihak yang bersebrangan dengan pemerintah? Pengambilan keputusan yang keliru terkait isyu kebangkitan komunisme dan sejumlah reaksi yang dimobilisir di sejumlah tempat bisa menimbulkan blunder bagi pemerintah. Adakah yang berkepentingan untuk mendorong pemerintah melakukan kebijakkan yang bersifat blunder untuk kemudian diambil tindakan delegitimasi? Entahlah…


Kembali kepada analisis Ioanes Rakhmat yang berupaya mendeskripsikan kegaduhan dan histeria masa kini perihal kebangkitan kembali kekuatan komunis dengan istilah keliru yang saya luruskan yaitu “Pertarungan Sosiologis Marxis dan Sosiologis Pancasilais”. Tanggapan yang saya tulis ini membatasi diri pada dua kesalahan yang dilakukan oleh Ioanes Rakhmat dalam analisisnya terkait peristilihan dan tidak berminat untuk masuk lebih dalam menanggapi beberapa solusi yang diopinikan Ioanes Rakhmat berkaitan dengan isyu kebangkitan komunisme yang dihembus-hembuskan sejumlah elemen masyarakat dan mantan petinggi militer.


Berkaitan dengan isyu kebangkitan komunisme, sebaiknya kita berwaspada dan berhati-hati dengan berbagai provokasi sehingga tidak mudah terjebak pada konstruksi opini oleh kekuatan-kekuatan tertentu dengan tujuan-tujuan tertentu pula sehingga terjadi benturan-benturan dan gesekkan-gesekkan sosial di masyarakat sehingga tercipta disintegrasi yang pada akhirnya kondisi disintgerasi ini dimanfaakan pihak-pijak tertentu, entah dari dalam maupun luar untuk menjalankan agenda-agenda yang menguntungkan kepentingan dan kelompok mereka.

0 komentar:

Posting Komentar