Menonton Film Conjuring Di Wilayah “Ngapak
Culture”
Animo penonton nampaknya masih begitu tinggi
dengan pesona film dengan judul The Conjuring 2 (juga dikenal sebagai The Conjuring: The Enfield Poltergeist).
Terbukti setelah jadwal tayang resminya di antara tanggal 10-17 Juni ternyata
masih diperpanjang hingga 24 Juni. Film The Conjuring 2 adalah film
horor supranatural Amerika Tahun 2016 yang disutradarai oleh James Wan dan ditulis oleh
Carey Hayes, Chad Hayes, Wan dan David Leslie Johnson. Ini adalah sekuel 2013 Film
The Conjuring
yang ditayangkan tahun 2013 lalu dan serial kedua dari serial film The
Conjuring. Ada yang menarik saat menyaksikan film ini
di wilayah dengan “Ngapak Culture” (Budaya bahasa Ngapak yang tersebar di
wilayah Banyumas dan Purwokerto. Selengkapnya dapat membaca Budiono Herusatoto, Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa dan Watak: Yogyakarta, LKiS 2008) yaitu Purwokerto tinimbang di Yogyakarta
sebagaimana biasanya saya meluangkan waktu menyaksikan beberapa film yang saya
minati (seputar tema sejarah Indonesia dan horor supranatural luar negeri).
Jika saya menonton di Yogyakarta khususnya adegan-adegan “horrible”
(menakutkan) akan terasa suasana mencekam tersebut karena biasanya penonton
akan mengikuti alur emosi secara natural. Maksud saya jika tiba adegan mencekam
benar-benar akan ada teriakan kecil atau terkejut. Namun berbeda saat saya
menyaksikan di tengah “Ngapak Culture” dan hampir mayoritas remaja putri di
suasana liburan dan bertepatan dengan saatu Bulan Ramadhan kali ini. Setiap adegan-adegan
yang mencekam dan mengejutkan muncul beberapa kali dalam film ini seperti
kemunculan tiba-tiba sosok di balik kegelapan atau hentakkan pintu yang
terbanting tiba-tiba. Setiap penonton hampir semua akan berteriak tercekam
namun disambut dengan segera dengan tawa riuh menertawakan ketakutan mereka
sendiri tentunya dan memaki adegan yang mengagetkan tersebut. Alih-alih
penonton disergap rasa takut dan mencekam justru film horor supranatural
Conjuring 2 justru seperti film horor semi lawakan. Jika sepulang menyaksikan
film bertemakan “something hhorible” biasanya kita masih larut dan terbawa
suasana mencekam namun kali ini justru berbeda dan saya bersama istri malah
lebih banyak membicarakan keunikkan dan keasyikkan tersendiri menonton film
horor di wilayah “Ngapak Culture”.
Differentiating Factor (Faktor Pembeda) Dalam
Film “The Conjuring 2”
Sebagai penikmat film, saya menilai film The Conjuring dan The Conjuring 2 memang berbeda dari beberapa film horor asing yang
sudah ada. Penilaian subyektif saya ini mungkin lebih dikarenakan saya merasa
ada “hubungan emosional” karena saya dan istri adalah praktisi exorcisme yang
sudah saya jalani sejak akhir 1990-an sehingga film yang diangkat dari kisah
nyata ini cukup baik dalam menyampaikan informasi pada publik perihal aktifitas
demonik yang sungguh nyata di sekitar kita. Dan bukan hanya perihal kisah nyata
yang bersifat informatif perihal aktifitas demonik, film ini selalu menampilkan
solusi religius dalam menangani aktifitas demonik disertai observasi yang
melibatkan benda-benda elektronik beresolusi tinggi di zamannya baik alat rekam
dan kamera serta pencari gelombang suara yang peka. Dan tokoh utama dalam film
ini yaitu Ed Warren (Patrick Wilson) dan Lorraine Warren (Vera Farmiga) hampir
selalu diperlihatkan memiliki hubungan personal dengan Tuhan melalui sejumlah
adegan pembacaan Kitab Suci sebagai bahan renungan pribadi oleh Lorainne Warren
atau formula exorcisme (pengusiran aktifitas demonik) melalui doa-doa Biblikal
seperti “Dalam nama Bapa, Putra, Roh Kudus” atau penggunaan simbol salib. Perihal
aktivitas Ed Warren (Alm) dan Lorraine Warren sebagai demonolog dan exorcist di
The New England Society for Psychic
Research yang didirikan sejak tahun 1952 dapat dilihat dalam website mereka
(The New England Society For Psychic
Research - http://www.warrens.net/index.html).
Berbeda dengan hampir kebanyakan film horor
asing lainnya yang kerap menonjolkan aspek “seram”, “kejam”, “misterius”, “aktifitas
roh jahat yang tidak tertanggulangi”, “peran lemah para rohaniawan”, maka film The Conjuring dan The Conjuring 2 lebih menekankan solusi religius yang berahir
dengan kemenangan terhadap kuasa-kuasa demonik. Oleh karenanya saya sungguh
tidak sepakat ketika ada beberapa kecaman kecil dari sekelompok fanatikus agama
(khususnya Kekristenan) agar tidak menonton film tersebut dikarenakan sejumlah
alasan yang tidak masuk akal al., “dosa mata” dengan mengutip Matius 6:22-23
lalu paranoia perihal “transfer spirit” serta “film-film horor telah
dipersembahkan untuk Satan” dll. Jika menonton film adalah dosa mata, maka selayaknya kitapun tidak perlu pergi keluar rumah dan berinteraksi sosial dengan siapapun karena kehidupan sosial yang kita jumpai setiap hari adalah "film yang nyata" sementara film-film di layar lebar hanyalah "dramatisasi kenyataan hidup" baik untuk tujuan hiburan ataupun pelajaran. Bagi saya, sebagai penikmat film dan praktisi
Exorcisme, menyaksikan film khususnya bertema sejarah dan fenomena supranatural
yang didasarkan kisah nyata, adalah sebuah kegiatan apreasi seni layar lebar
sekaligus sebagai sebuah pengayaan penanganan sebuah kasus tinimbang membuat klaim berlebihan dan paranoid dengan menghubung-hubungkan dengan sebuah realitas yang tidak sebanding.
Sinopsis Film “The Conjuring 2” atau “The Conjuring: The Enfield Poltergeist”
Jika film The
Conjuring (2013) mendasarkan diri
pada kisah nyata fenomena demonik di rumah keluarga Ron Livingston dan Lili Taylor Rhode Island pada tahun
1971, maka film “The
Conjuring 2” atau “The Conjuring: The Enfield Poltergeist”(2016) berpusat
pada keluarga Hodgson, yang mengalami
aktivitas poltergeist (Poltergeist adalah istilah dalam dunia
paranormal untuk suatu benda yang melayang dan tidak diketahui kekuatan apa
yang membuat benda itu melayang. Biasanya fenomena ini terjadi di negara-negara
Barat dan sampai saat ini di Indonesia pemberitaan tentang fenomena poltergeist
sangat jarang) di kawasan
perumahan Enfield pada tahun 1977.
Film dimulai dengan sebuah adegan dimana para peneliti gejala paranormal al., Ed Warren dan Lorraine Warren
mendokumentasikan kasus pembunuhan Amityville di rumah
Amityville pada tahun 1976, untuk menentukan apakah ada
kehadiran roh-roh
jahat dibalik pembunuhan yang dilakukan oleh Ronald DeFeo Jr yang telah membunuh
keluarganya pada 13 November, 1974. Selama dalam keadaan
trance (keluar roh atau menerima suatu penglihatan supranatural tentang sebuah
kejadian di masa lalu), Lorraine ditarik
ke dalam situasi di mana dia menghidupkan kembali peristiwa
pembunuhan di
masa lalu dan menemukan sosok setan
dalam wujud seorang biarawati (demonic nun figure), sebelum akhirnya Loraine melihat Ed Warren tertusuk secara fatal dan mematikan. Setelah
berjuang keluar dari kondisi trance, Ed Warren pun berhasil menyadarkan Lorraine.
Adegan berpindah pada satu tahun kemudian yaitu tahun 1977 dimana keluarga Hodgson mulai menemukan kejadian aneh di dalam
rumah mereka di London, Inggris. Janet,
anak tertua kedua dari empat anaknya mulai terlihat berjalan dalam tidur dan bercakap-cakap dalam
mimpinya dengan suatu keberadaan yang menegaskan dirinya sebagai pemilik rumah tersebut. Jika
sebelumnya ibu Janet yaitu Peggy tidak mempercayai penurutan anaknya, akhirnya, semua anggota keluarga ibu mereka menyaksikan
gejala paranormal (paranormal
activity)yang terjadi tepat di
depan mata mereka yang memaksa mereka untuk mencari perlindungan pada tetangga di rumah sebelah mereka. Ketika
media massa mencoba untuk
mewawancarai Peggy Hodgson, Janet mulai dirasuki oleh arwah Bill Wilkins, pria yang lebih tua yang sebelumnya
tinggal dan meninggal di rumah serta yang ingin mengklaim bahwa ini rumahnya. Bill
Wilkins meninggal dalam sebuah kursi karena pendarahan otak. Sementara Janet mulai menunjukkan tanda-tanda lebih dari sekedar
kerasukan setan, cerita akhirnya bergeser
ke tokoh utama yaitu Ed Warren
dan Lorraine Warren yang diminta untuk
membantu Gereja Katolik dalam penyelidikan kasus keluarga Hodgson. Namun
Lorraine dihantui
rasa takut jika
penglihatan rohnya perihal kematian Ed Warren suaminya menjadi kenyataan sehingga Lorraine mengingatkan Ed Warren untuk tidak terlalu
terlibat dalam kasus ini, dan kurang menyetujui sepenuhnya untuk melakukan perjalanan ke London.
Ed Warren dan Lorraine Warren akhirnya tinggal beberapa lamanya di kediaman Hodgson untuk melakukan observasi dan penanganan gejala demonik. Ed dan Lorraine berkonsultasi dengan paranormal lainnya, termasuk Maurice Grosse dan Anita Gregory untuk mendapatkan legitimasi kasusnya. Mereka juga berusaha untuk berkomunikasi dengan roh Wilkins ' sambil berharap dapat berbicara kepadanya untuk menghentikan aktifitas melecehkan keluarga Hodgson.
Ed Warren dan Lorraine Warren akhirnya tinggal beberapa lamanya di kediaman Hodgson untuk melakukan observasi dan penanganan gejala demonik. Ed dan Lorraine berkonsultasi dengan paranormal lainnya, termasuk Maurice Grosse dan Anita Gregory untuk mendapatkan legitimasi kasusnya. Mereka juga berusaha untuk berkomunikasi dengan roh Wilkins ' sambil berharap dapat berbicara kepadanya untuk menghentikan aktifitas melecehkan keluarga Hodgson.
Suatu malam setelah pengamat perihal gejala kerasukan Janet,
yaitu Maurice Gregory menyajikan
bukti video perihal Janet yang menurutnya sengaja merusak dapur agar terlihat
benar-benar kerasukkan. Ed
dan Lorraine yang kemudian kecewa dengan kebohongan Janet (berdasarkan
informasi Maurice yang bias) kemudian meninggalkan keluarga Hodgsonsendiri namun tidak lama kemudian setelah meneliti
data dalam kaset rekaman milik Ed Warren, Lorraine berkesimpulan bahwa mereka menemukan arwah Wilkins hanyalah sebuah pion yang ditunggangi untuk menghantui Janet, sementara dalang sebenarnya adalah roh
jahat yang telah menghantui Lorraine dalam penglihatannya tempo hari.
Ed dan Lorraine kembali ke kediaman Hodgson yang akhirnya menemukan Janet dalam kondisi dirasuki roh dan hampir menerjunkan dirinya dari jendela rumahnnya, sementara keluarga Hodgson yang tersisa terkunci di luar rumah. Tiba-tiba sebuah sambaran petir menyambar pohon di dekat rumah dan jendela - dimana Janet sedang bersiap menjatuhkan dirinya - meninggalkan tunggul bergerigi menyerupai wujud yang menusuk Ed Warren dalam penglihatan Lorraine Warren tempo hari. Dalam sekejap dan waktu yang mendebarkan, Ed Warren berhasil meraih Janet sembari memegang tirai yang robek dari gantungan tirai. Detik-detik yang mencekam menjadi klimaks film ini saat Lorraine hendak menolong Warren dan Janet yang hampir terjatuh dimana dia harus berhadapan dengan sosok setan dalam wujud seorang biarawati (demonic nun figure). Dengan susah payah, Lorraine akhirnya berhasil mengingat nama roh jahat tersebut (dengan menyebut nama roh jahat dan mengusirnya dalam nama Tuhan, diyakini roh jahat akan pergi) yang tertulis dalam Kitab Sucinya saat dalam keadaan trance, yaitu “Valak”. Setelah disebut namanya dan diusir dalam nama Tuhan maka roh jahat tersebut menyusut dan menghilang kekuataannya. Lorraine akhirnya berhasil menyelamatkan Ed Warren dan janet yang terkatung-katung di antara jendela dan tanah di bawahnya.
Beberapa gambar berikut ini berhasil merekam peristiwa saat Janet berusia 11 tahun pada tahun 1977 mengalami poltergeist dan menjadi ketakutan akibat kekuatan yang tidak diketahuinya menyiksanya dalam kondisi demikian (The Conjuring 2: What Really Happened during the Enfield Haunting? - http://www.telegraph.co.uk/films/2016/06/13/the-conjuring-2-what-really-happened-during-the-enfield-haunting/)
Refleksi Kritis
Dalam perspektif Sosiologi Agama, fenomena hantu, gejala-gejala demonik adalah bagian dari "fakta sosial". Fakta sosial adalah segala sesuatu yang berdiri di luar individu dan berpengaruh terhadap individu dan masyarakat serta berada secara terus menerus membentuk pola dan struktur yang meliputi struktur sosial, struktur budaya, struktur nilai dan norma, struktur agama, struktur kepercayaan terhadap aspek supranatural. Sebagaimana agama memiliki usia yang setua manusia dan mengalami berbagai perkembangan, demikian pula fenomena-fenomena hantu, roh, kerasukkan dsj merupakan bagian dari persoalan-persoalan religius yang hadir di masyarakat secara universal dan membentuk cara berfikir dan berperilaku masyarakat. Sekalipun berbeda pemahaman dalam mendefinisikan "fakta sosial", kedua sosiolog ternama Max Weber dan Emile Durkheim telah menghabiskan waktunya untuk menelaah fenomena agama-agama yang lahir dari kehidupan sosial dan mempengaruhi individu dan sebaliknya mempengaruhi masyarakat dalam kedua buku mereka yaitu "The Sociology of Religion" dan "The Elementary Forms of the Religious Life". Fenomena hantu, gejala-gejala demonikbukan hanya menjadi karakter masyarakat primitif dan tradisional belaka namun dalam konteks masyarakat modern hingga kini masih dijumpai berbagai fenomena misteri semacam itu. Dalam tayangan di Life Time Channel ada program tayangan berjudul "My Haunted House" yang mendokumentasikan dan mengisahkan rumah-rumah berhantu dalam bentuk drama lengkap dengan tanggal dan tahun peristiwa serta sejumlah pelaku yang mengalaminya. Yang menarik adalah hampir kebanyakan pelaku (tidak semua) adalah orang-orang yang tidak memiliki kohesifitas dengan nilai-nilai religius alias sekuler, sehingga menambah daya tarik dan obyektifitas isi tayangan ini. Tayangan ini mengokohkan kenyataan bahwa fenomena hantu dan gejala demonik bersifat universal (dari lokal hingga mondial) dan melintasi peradaban (tradisional hingga modern) serta lahir dalam konteks sosial tertentu sehingga menarik untuk menjadi kajian dari aspek Sosiologis.
Dari perspektif Teologis, sebagai praktisi exorcisme, saya meninggalkan catatan yang tidak berbeda jauh dari apa yang pernah saya tulis saat melakukan ulasan film “Annabele” dan “The Conjuring” pada tahun 2014 lalu perihal gejala-gejala demonik di sekeliling kita (Teguh Hindarto, Boneka Annabelle dan Kewaspadaan Terhadap Aktifitas RohJahat - http://www.kompasiana.com/shem_tov75/boneka-annabelle-dan-kewaspadaan-terhadap-aktifitas-roh-jahat_54f41eb4745513992b6c87e9 dan http://teguhhindarto.blogspot.co.id/2014/10/boneka-annabelle-dan-kewaspadaan.html).
Dari perspektif Teologis, sebagai praktisi exorcisme, saya meninggalkan catatan yang tidak berbeda jauh dari apa yang pernah saya tulis saat melakukan ulasan film “Annabele” dan “The Conjuring” pada tahun 2014 lalu perihal gejala-gejala demonik di sekeliling kita (Teguh Hindarto, Boneka Annabelle dan Kewaspadaan Terhadap Aktifitas RohJahat - http://www.kompasiana.com/shem_tov75/boneka-annabelle-dan-kewaspadaan-terhadap-aktifitas-roh-jahat_54f41eb4745513992b6c87e9 dan http://teguhhindarto.blogspot.co.id/2014/10/boneka-annabelle-dan-kewaspadaan.html).
Pertama,
Satan ada dan dia adalah lawan yang dapat dikalahkan sebagaimana dikatakan, “Sadarlah
dan berjaga-jagalah! Lawanmu (αντιδικος - antidikos, Yun) si Satan (διαβολος -
Diabolos) berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari
orang yang dapat ditelannya. Lawanlah (αντιστητε - antistete ) dia dengan iman yang teguh,
sebab kamu tahu, bahwa semua saudaramu di seluruh dunia menanggung penderitaan
yang sama” (1 Petr 5:8-9). Ayat di atas menegaskan agar semua orang beriman
harus sadar dan berjaga-jaga bahwa Satan selalu mencari kesempatan agar kita
lengah dan menunggu waktu yang baik untuk mereka beraksi dan menjatuhkan
manusia. Wujud serangan Satan dan roh-roh jahat itu beraneka ragam. Ada yang
menyerang pikiran dan kejiwaan kita dengan memberikan hasutan atau godaan yang
dapat menjerumuskan kita mengikuti hawa nafsu kita. Kisah Yesus digoda Satan di
padang gurun saat berpuasa 40 hari memberikan petunjuk bagaimana Satan
memberikan godaan dan hasutan dalam pikiran dan kejiwaan Yesus (Luk 4:1-13). Selain
menggoda dan menjerumuskan manusia dalam pilihan yang salah sehingga berbuat
dosa, Satan pun terlibat dalam melakukan berbagai tindakan berikut, mengirimkan
bencana (Ayb 1:12-19), mengirimkan penyakit (Ayb 2:6-7), mencuri Firman yang
ditabur (Mat 13:19), merasuk manusia (Yoh 13:27), menyamar sebagai malaikat
terang (2 Kor 11:14), membuat mujizat palsu (2 Tes 2:9), menyesatkan banyak
orang (Why 12:9), membuat bisu dan tuli (Mrk 9:25), dll.
Kedua, usirlah kekuatan
Satan dan roh-roh jahat yang bermanifestasi dalam benda-benda tertentu, ruangan
tertentu atau tubuh orang tertentu dengan otoritas nama Yesus (Yahshua)
sebagaimana dikatakan: “Pada suatu kali
ketika kami pergi ke tempat sembahyang itu, kami bertemu dengan seorang hamba
perempuan yang mempunyai roh tenung; dengan tenungan-tenungannya tuan-tuannya
memperoleh penghasilan besar. Ia mengikuti Paulus dan kami dari belakang sambil
berseru, katanya: "Orang-orang ini adalah hamba Tuhan Yang Mahatinggi.
Mereka memberitakan kepadamu jalan kepada keselamatan." Hal itu
dilakukannya beberapa hari lamanya. Tetapi ketika Paulus tidak tahan lagi akan
gangguan itu, ia berpaling dan berkata kepada roh itu: "Demi nama Yesus
Sang Mesias aku menyuruh engkau keluar dari perempuan ini." Seketika itu
juga keluarlah roh itu” (Kisah Rasul 16:16-18). Menghardik roh-roh jahat
adalah diteladankan oleh tindakan Yesus sendiri saat melakukan exorcisme
sebagaimana dikatakan: “Tetapi Yesus
menghardiknya, kata-Nya: "Diam, keluarlah dari padanya!" Dan setan
itu pun menghempaskan orang itu ke tengah-tengah orang banyak, lalu keluar dari
padanya dan sama sekali tidak menyakitinya.” (Luk 4:35).
0 komentar:
Posting Komentar