RSS Feed

MENGUATNYA KECENDERUNGAN RADIKALISME AGAMA DI ERA PASKA REFORMASI

Posted by Teguh Hindarto



Pergeseran Ideologi Paska Perang Dingin dan Konsekwensinya

Tahun 1993, Samuel Huntington dalam bukunya yang terkenal The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order dan telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul, Benturan Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia  diterbitkan oleh Qalam. Buku tersebut menuai kontroversi baik dari masyarakat intelektual baik internal maupun eksternal. DR. Latthifah Ibrahim Khadhar menulis buku untuk menjawab analisis Huntington dengan judul, Ketika Barat Memfitnah Islam diterbitkan oleh Gema Insani Press. Dengan keras DR. Latthifah Ibrahim Khadhar menuding, “Berangkat dari keyakinan Barat tentang keniscayaan adanya perseteruan—dan bahwa keberadaannya tak terwujud kecuali dengan perseteruan dan benturan dengan musuhnya—maka Barat pun membuat-buat perseteruan dan menciptakan musuh serta membesar-besarkannya. Mereka akan terus berusaha hingga saat kekalahan Islam dan kemenangan Barat terjadi. Mereka menolak timbulnya tandingan dan memperkuat perasaan tinggi hati dengan kekuatan dan kekejaman[1].

Apa yang membuat para pemikir politik dan sosial serta agamawan begitu kontroversial dengan opini Huntington? Huntington membuat analisis bahwa paska runtuhnya Komunisme, Barat dan Islam menjadi dua kekuatan yang saling berhadap-hadapan. Konflik antara Barat dan Islam dilandasi oleh adanya perbedaan konsepsi keagamaan dan kesamaan misi keagamaan yaitu bersifat dakwah atau misionaris sehingga berpotensi menimbulkan konflik masa depan[2]. Huntington percaya bahwa sifat interaksi Islam dan Kristen baik Ortodox maupun Barat selama 400 tahun seringkali penuh ketegangan[3]. Lebih spesifik lagi, Huntington menyatakan: “Bagi Barat, yang menjadi ‘ganjalan’ utama bukanlah fundamentalisme Islam tapi Islam itu sendiri, sebuah peradaban yang masyarakatnya berbeda dengan kebudayaan mereka yang diyakini memiliki keunggulan dan terobsesi dengan inferioritas mereka. Bagi Islam, yang menjadi persoalan bukan CIA atau Departemen Pertahanan A.S., tapi Barat, sebuah peradaban yang berbeda dimana masyarakatnya meyakini universalitas serta keluhuran kebudayaan mereka. Jika mereka mengalami kemunduran, terdapat kekuatan yang mengharuskan mereka menyebarkan kebudayaan mereka di seluruh dunia. Itulah sebab-sebab yang memicu terjadinya konflik antara Barat dan Islam”[4].


Opini dan analisis Huntington tentu saja tidak sepenuhnya benar dan mengabaikan fakta keragaman dalam Islam dan bagaimana Islam tidak sepenuhnya menampilkan karakter bermusuhan terhadap peradaban Barat dan Demokrasi. Namun demikian, analisis Huntington pun tidak bisa dicampakkan begitu saja dan dianggap sebagai pencetus dan pendorong konflik Barat dan Islam, sebagaimana kata pengantar edisi terjemahan bukunya dalam bahasa Indonesia, “Apa mau dikata, sekeliru apapun tesis Huntinton ini, tidak bisa disangkal, banyak fkta dalam realitas kontemporer membuktikan keakuratan tesisnya itu. Kentalnya aroma kekerasan yang mewarnai setiap konflik menunjukkan betapa kuat identifikasi diri setiap kelompok sosial berdasarkan agama dan kepercayaan yang dianut. Mengerasnya kesadaran diri dan jati diri yang dimotivasi kebencian pada pihak lain tersebut telah menyemburatkan konflik-konlik berdasarh yang memakan ongkos sosial sangat besar semata karena sentimen-sentimen dan sikap primordialistik picik”[5]


Apapun sikap pro dan kontra terhadap analisis Huntington, setidaknya kajian beliau memberikan pemahaman bahwa paska keruntuhan komunisme internasional, maka kekuatan-kekuatan ekstrem kanan atau radikalis Islam mengalami penguatan karena rival mereka telah mengalami keruntuhan secara ideologis sehingga praktis kekuatan radikalis Islam yang akan berhadapan dengan hegemoni Barat yang pro kapitalisme. Pergeseran ideologi ini penting dipahami agar tidak menjadikan “hantu komunis” sebagai bahaya laten yang membahayakan keamanan nasional namun abai dengan kekuatan radikalis agama yang menguat paska keruntuhan komunisme internasional. Bahkan jauh sebelum buku Huntington diterbitkan, kekuatan ideologi kiri di Indonesia telah dikalahkan oleh kekuatan rezim Orde Baru secara sistematis sehingga kekuatan-kekuatan Islam yang pernah menjadi lawan dari partai komunis dan yang telah berubah bentuk mulai mengalami kebangkitan dan membangun jaringan hingga mengalami penguatan ideologi secara sistematis.

Identifikasi Genealogi Radikalisme Agama: Perspektif Historis dan Sosiologis

Paska tumbangnya Orde Baru, kekuatan-kekuatan radikalis agama cenderung menguat bahkan sampai hari ini tidak ada tanda-tanda melemah. Kekuatan radikalis agama yang muncul memang diuntungkan oleh beberapa faktor yang mendukungnya baik faktor eksternal maupun faktor internal. Pernyataan senada dikemukakan oleh Antonius Made Tony Supriatma, Banyak hal yang telah berubah di dalam masyarakat Indonesia dari masa ke masa. Salah satunya adalah bahwa masyarakat Indonesia semakin bergerak ke kanan, ke arah konservatisme religius”[6].

Terkait faktor eksternal, sebagaimana telah diulas sebelumnya adalah terjadinya pergeseran ideologi ditingkat internasional dimana kekuatan negara-negara komunis mengalami keruntuhan saat Negara Soviet bubar pada 26 Desember 1991 menjadi lima belas negara yaitu: Armenia, Azerbaijan, Belarus, Estonia, Georgia, Kazakhstan, Kirgizstan, Latvia, Lituania;, Moldova, Rusia, Tajikistan, Turkmenistan, Ukraina, Uzbekistan. Terjadi euforia di kalangan Islam untuk menandingi ideologi Liberalisme dan Demokrasi di sejumlah negara-negara bekas reruntuhan Soviet seperti di Rusia, “With the fall of the communist regime in the Soviet Union the one-party system col- lapsed. In Russia and other states of the CIS new secular and religious parties and organisations arose and revived old ones forbidden in the years of Soviet power: Birlik (Unity) in Uzbekistan; Rastakhiz (Revival) in Tajikistan; Musavat (Equality) in Azerbaijan; the National Front Alash in Kazakhstan, and others. Although these par- ties are secular they have enriched their programmes and plans of action with Islamic spiritual values”[7]. Radikalisme Islam internasional menguat paska serangan Tragedi World Trade Centre pada 21 September 2001 melalui organisasi Al Qaedah. Setelah kematian Osama ben Laden digantikan dengan kekuatan yang lebih menakutkan dengan diproklamirkannya Islamic State of Suriah and Irak (ISIS) dengan segala aktifitas kekejamannya yang diobral di sosial media.

Praktisnya, Barat yang mewakili ideologi Liberalisme berhadap-hadapan dengan kekuatan Timur khususnya Islam terkhusus mereka yang sejak awal telah memiliki sikap antitesis terhadap kekuatan Barat yang diwakili oleh kelompok-kelompok radikal dan fundamentalis. Sementara secara internal, di dalam negeri paska kejatuhan rezim Orde Baru, kekuatan-kekuatan Islam khususnya yang mengalami penindasan di era Sukarno dan Suharto, mendapatkan kekuatan baru setelah belenggu yang mengikat mereka terputus dan aktifitas mereka dapat berkembang oleh karena euforia kebebasan di era Reformasi ini.

Menurut hasil eksplorasi Badan Litbang Departemen Agama RI tahun 2002, berikut sejumlah inventarisasi gerakan-gerakan radikal agama dari kalangan Islam di Indonesia, Front Pembela Islam (FPI), Ikatan Pemuda Islam Ahlussunnah Waljamaah, Forum Ulama Umat Indonesia, Komite Persiapan Penegakkan Syariat Islam (KPPSI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Laskar Jihad. Dinamai gerakan-gerakan Islam radikal dikarenakan memiliki sejumlah ciri-ciri radikalisme dalam aktifitas keagamaannya al., model kepemimpinan dan keorganisasian yang karismatik, kepedualian purifikasi keyakinan dan perilaku, pengajaran konsep kejihadan, pandangan organisasi yang bercita-cita melakukan transformasi pandangan hidup bangsa, sebagian kegiatan yang dilakukan terkesan keras, tanpa kompromi, main hakim sendiri bahkan merusak[8].

Nur Khalik Ridwan memotret keragaman Islam paska Orde Baru secara lebih komprehensif bukan hanya dari kehadiran kelompok-kelompok radikal melainkan kelompok-kelompok yang lebih heterogen dalam menghadirkan konsepsi keislaman ke ranah publik. Nur Khalik Ridwan menyebutnya sebagai, “pergeseran dan mobilitas wacana” yang di masa sebelumnya hanya berkutat soal pemurnian (diwakili Muhamadiyah) dan non pemurnian (diwakili NU) menjadi wacana-wacana yang lebih kompleks meliputi isyu penegakkan Khilafah Islamiah melalui aksis-aksi radikalisme dan terorisme, pendirian KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), liberalisasi Islam, kelompok-kelompok yang mendekonstruksi teks-teks agama serta wacana Islam lokal dan kesenian Islam lokal[9]. Jika Sosiolog Clifford Geertz pernah memetakkan agama orang Jawa dengan menampilkan tipologi Santri, Abangan dan Priyayi [10] maka paska keruntuhan rezim Orde Baru muncul sejumlah tipologi pelaku beragama dalam Islam dengan istilah yang oleh Nur Khalik Ridwan sbb: “Santri Urban, santri baru dari NU”, “Santri Jalan Baru: santri dari Muhammadiyah”, “Kelompok Usroh, santri baru di kampus umum”, “Santri baru teroris”, “Kelompok Islib (Islam Liberal) dengan JIL (Jaringan Islam Liberal)[11]

Darimanakah akar kelompok-kelompok Islam radikal paska Orde Baru ini muncul? Apakah mereka muncul tiba-tiba atau mereka hanya kelanjutan arus lama yang mengalami kebangkitan dan penguatan kembali? Kita akan melihat dan memetakan sejumlah analisis mengenai akar kemunculan radikalisme Islam di Indonesia baik dari perspektif historis maupun sosiologis.  Biyanto dalam artikel Perspektif Ilmu-ilmu Sosial dalam Kajian Radikalisme Agama  mengatakan bahwa untuk memahami radikalisme agama perlu melihat konteks historisnya berkaitan hubungan Islam dan Barat yang pernah saling menghegemoni[12]. Ekspansi dan kejayaan Eropa menuai reaksi dari dunia Islam Abad XVIII-XIX dalam wujud Modernisasi, Nasionalisasi dan Revivalisme Islam[13]. Menurutnya, modernisasi Islam diwakili oleh pemerintahan Turki melalui konsep “Tanzimat” (reorganisasi) yang menitikberatkan pembangunan politik dan militer sebagai kelanjutan upaya yang sudah dilakukan oleh Sultan Mahmud II (1785-1839)[14]. Sementara gagasan nasionalisasi diterapkan oleh para pemimpin Islam di berbagai belahan dunia tanpa harus melibatkan dengan Islam seperti diusung oleh Sukarno (Indonesia), Kemal Attaturk (Turki), Muhammad Ali Jinnah (Pakistan), Jamal Abdul Nasser (Mesir). Mereka menentang Barat secara politis dengan senjata filsafat hidup Barat[15]. Sementara revivalisme Islam dibedakan dalam tiga tipologi yaitu: Pre colonial Islamic revivalism, ditandai oleh Gerakan Wahabisme yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahabi (1703-1787) dengan menekankan purifikasi ajaran Islam dengan membuang perilaku yang dianggap bidah dengan kekuatan senjata dan kekerasan. Sementara colonial Islamic revivalism ditandai dengan berdirinya organisasi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) pertengahan Abad XX serta Ikhwanul Muslimin (The Muslim Brotherhood) di Mesir yang didirikan 1928 oleh Hasan al Bana dan Jama’ah al Islamiyah di India yang didirikan Abu A’la al Maududi masuk kategori tipologi ini. Sementara post colonial Islamic revivalism muncul dalam konteks pembentukan negara bangsa di dunia Islam pada pertengahan Abad XX dan pada periode ini terjadi pengawasan negara secara ketat terhadap gerakan-gerakan Islam dan kegagalan negara dalam banyak hal. Yang masuk dalam tipologi ini adalah The Egyptian Jihad di Mesir tahun 1970-1980-an, Gerakan Taliban di Afghanistan serta Al Qaedahnya Osama ben Laden[16]. Dengan menggunakan pendekatan historisnya Biyanto, maka aksi-aksi radikalisme agama di Indonesia paska kejatuhan Orde Baru masuk dalam tipologi post colonial Islamic revivalism. Namun pembagian historis ini belum menjelaskan akar historis gerakan-gerakan Islam radikal paska kolonial khususnya paska Orde Baru.

Dalam artikelnya yang berjudul, Menuju Suatu Pemahaman Sosiologis Terhadap Radikalisme Islam di Indonesia, Vedi R. Hadiz menjelaskan latar belakang sosiologis gerakan-gerakan radikal sbb, “Varian radikal Islam politik di masa pasca-otoritarianisme di Indonesia bisa dengan jernih dipahami dalam hubungannya yang lebih luas dengan proses sosiologis dan sejarah pasang surutnya sejumlah gerakan berbasis Islam dalam konteks perubahan sosial secara global. Dalam kasus Indonesia, naik turunnya Islam politik selama fase panjang penguasa otoritarian Orde Baru – yang jatuh hampir bersamaan dengan masa Perang Dingin – sangat penting dipahami”[17] Vedi R. Hadiz menolak tesis Samuel Huntington untuk membaca fenomena munculnya radikalisme Islam dan konsep perbenturan peradaban. Sebaliknya dia berangkat dari sebuah analisis sosiologi dan historis bahwa kekecewaan kelompok Islam yang tidak direkrut oleh kekuatan Barat untuk menghadapi kekuatan partai komunis bersama militer di era Orde Lama seperti Darul Islam (DI), menciptakan kekecewaan dan terus beroperasi di wilayah pinggiran dengan basis dukungan akar rumput yang dikemudian hari, “…menyediakan sumber utama oposisi terhadap Soeharto pada tahun 1970-an dan 1980-an dan selanjutnya mengalami penderitaan yang sangat hebat akibat penindasan negara hingga munculnya perubahan iklim politik pada 1990[18]. Selain kekecewaan kelompok-kelompok Islam yang tersingkir, perubahan peta politik di era Orde Baru dimana Suharto menekan peranan Islam politik demi menjaga stabilitas pembangunan yang menguntungkan kelompok kapitalis. Berbagai bentuk kritik hingga aksi radikal dilakukan beberapa kelompok Islam yang dikebiri oleh kekuatan rezim Orde Baru hingga, “Pada pertengahan 1980-an, ketegangan antara Orde Baru dengan beberapa kelompok Muslim menjadi lebih terbuka”[19] dan “Di luar peristiwa berdarah itu, hubungan antara sebagian Islam politik dengan Negara yang semakin tegang, muncul dalam bentuk penolakkan sejumlah organisasi Muslim terhadap dijadikannya Pancasila – yang terdiri dari sekumpulan norma yang kabur – menjadi ideologi negara atau azas tunggal di pertengahan 1980-an”[20]. Pada masa pemerintahan Habibie, kelompok-kelompok militan Islam yang sudah mulai terbentuk paska kejatuhan Suharto mulai direkrut. Van Bruinessen mencatat ada 100 warga sipil termasuk kelompok-kelompok radikal yang direkrut sehingga, “Dalam konteks penganguran tingkat tinggi dan ketiadaan kerja yang sesuai dengan latar belakang pendidikan, menyusul kriris Asia, termasuk diantaranya banyaknnya kekecewaan generasi muda, sebuah tenaga siap pakai selalu ersedia bagi milisi-milisi tersebut”[21]

Hampir senada dengan pendapat Vedi R. Hadiz, Irfan Noor dalam artikelnya, Islam Transnasional dan Masa Depan NKRI: Suatu Perspektif Filsafat Politik menjelaskan, “Munculnya gerakan radikalisme Islam di ranah kebangsaan kita ini sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kehadiran ideologi Islam beraliran salafisme khas abad 20, yaitu suatu aliran Islam yang tidak hanya menekankan pemurnian agama semata, tapi menjadi ideologi perlawanan terhadap berbagai paham yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama seperti modernisme, sekularisme, kapitalisme dan lain-lain. Tokoh-tokohnya antara lain, Hasan al Bana, Sayyid Qutb (Ikhwanul Muslimin) dan Abu al Ala al Maududi (Jama’ati Islam)[22]. Berbeda dengan Biyanto yang menempatkan Ikhwanul Muslimin sebagai tipologi colonial Islam revivalism yang cenderung moderat, maka Irfan Noor mengelompokkan  organisasi ini sebagai ideologi salafisme yang cenderung purifikatif dan radikal. Irfan Noor melanjutkan bahwa jejak-jejak radikalisme Islam di kalangan umat Islam Indonesia pra kemerdekaan sudah memiliki akarnya dalam kelompok-kelompok Sarekat Islam (SI) dengan ideologi revivalisme Islam, Mahdiisme, Ratu Adil serta antikolonialisme. Sementara radikalisme paska kemerdekaan ditandai dengan pola relasi yang buruk antara negara dan masyarakat sehingga memunculkan gerakan-gerakan Islam reaktif sebagaimana dikatakan, “Oleh karenanya, bila ditelusuri akar radikalisme Islam di Indonesia akan berdahan ranting cukup kuat dalam gerakan Masyumi dan DDII. Keterkaitan gerakan Masyumi dan DDII dengan radikalisme Islam pasca Orde Baru ini terletak dari peristiwa berpalingnya tokoh-tokoh Masyumi dari arena politik kepada aktifitas dakwah Islam sebagai akibat langsung kebijakkan ‘depolitisasi Islam” era Orde Baru”[23]

Dikarenakan permohonan tokoh-tokoh Masyumi untuk merehabilitasi Masyumi dari stigma keterlibatan pemberontakan PRRI di era Sukarno kepada pemerintahan Orde Baru pada tahun 1967, maka para pemimpin Masyumi mengubah paradigma perjuangan dari perjuangan politik menjadi perjuangan dakwah. Tgl 26 Februari 1967, para tokoh mantan Masyumi mengadakan pertemuan di masjid al Munawarrah, Tanah Abang, Jakarta dengan menghasilkan pembentukkan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Oleh pengaruh lobi Natsir, DDII mendapatkan akses lembaga donor dari negara-negara Timur Tengah seperti Rabithah Alam Al Islami. Dana dari lembaga donor inilah yang memampukan DDII membangun aktifitas dakwah, membangun mesjid-mesjid dan perpustakaan, universita-universitas serta lembaga-lembaga dakwahnya. Didirikannya pesantren dengan model Ma’had Aly adalah salah satu proyek DDII yang menuai hasil. Hingga tahun 2004, DDII telah mengirimkan sebanyak 500 mahasiswa ke Timur Tengah dan Pakistan. Para alumnus pendidikan Timur Tengah inilah yang belakangan menjadi aktor utama penyebaran gerakan revivalisme Islam di Indonesia. DDII juga menjadi penggagas serta mediator berdirinya Universitas Islam Muhammad Ibnu Sa’ud di Riyadh. DDII pun melakukan usaha perekrutan kader-kader muda untuk tujuan menciptakan intelektual gerakan dakwah masjid di kampus-kampus yang begitu fenomenal pada periode 1970-an dan 1980-an. Dengan dana hibah dari Timur Tengah, DDII melakukan pengelolaan untuk didirikan masjid-masjid di berbagai universitas prestisius seperti ITB, UGM dan UI. Tahun 1974, DDII melakukan usaha yang lebih sistematis berbasis kampus yang disebut Bina Masjid Kampus dan berbagai kegiatan seperti Latihan Mujahid Dakwah (LMD) di Masjid Salman ITB. Program LMD membangkitkan gerakan dakwah masjid kampus dan melahirkan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) di beberapa universitas umum di Indonesia. Selain itu melahirkan Badan Komunikasi Pemuda Masjid Indonesia (BKPMI) tahun 1977 dan pada tahun 1993 berubah menjadi BKRMI. Selain gerakan dakwah di masjid kampus, DDII mendorong penerjemahan pemikir-pemikir revivalisme Timur Tengah al., Hasan Al Banna, Sayyid Qutb (Ikhwanul Muslimin) dan Abul A’la al Maududi (Jama’ati Islami)[24]. “Percampuran pemikiran Salafi dan Ikhwanul Muslimin yang diambil DDII telah mengubah wajah Islam Indonesia pada periode 1970-an, yakni karakter Islam Indonesia yang radikal”[25], Selanjutnya ditegaskan Irfan Noor bahwa Ideologi Salafisme yang radikal ini bertemu dengan kebijakkan stabilitas rezim Orde Baru sehingga memojokkan aktifitas-aktifitas gerakan tersebut yang memuncak pada peristiwa Tanjung Priok akhir 1984. Dengan kata lain pola relasi negara dan masyarakat sipil sangat buruk saat itu[26], hingga tiba saatnya rezim Orde Baru runtuh dan ditiupkannya angin kebebasan di era Reformasi, “…bukan saja menjadi titik balik tetapi menjadi jalan lapang bagi gerakan dakwah masjid untuk beroperasi ke ruang publik bangsa…Selain karena ‘angin kebebasan’ yang dibawa oleh reformasi, gerakan radikalisme Islam ini juga mendapatkan ‘tempat’nya di masyarakat lantaran situasi sosial, ekonomi dan politik selama masa reformasi. Situasi ini benar-benar terefleksi ketika Indonesia selama tahun-tahun pertama reformasi memasuki suasana yang govermentless dan lawless”[27]

Jika analisis-analisis di atas menekankan aspek historis akar gerakan radikal baik karena faktor eksternal dan internal yang memuncak paska runtuhnya rezim Orde Baru, maka berikut ini kita akan melihat bagaimana kemunculan dan kebangkitan radikalisme agama hingga bentuk ekstrimnya berupa aksi terorisme, dari aspek sosiologis khususnya di kalangan generasi muda karena hampir seluruh aktifitas radikalisme agama berhubungan dengan orang muda. Muhammad Najib Azca dalam artikelnya, Yang Muda Yang Radikal: Refleksi Sosiologis Terhadap Fenomena Radikalisme Kaum Muda Muslim di Indonesia Pasca Orde Baru, dengan menggunakan pendekatan “Passionate Politics” mengajukan argumen, “..bahwa gejala radikalisme di kalangan pemuda Muslim di masa pasca Orde Baru bisa dilihat sebagai ‘aksi identitas’ yang dilakukan dalam rangka merespon dan menjawab ‘krisis identitas’ yang mereka alami di tengah perubahan drastis dan dramatis yang terjadi di Indonesia pada fase awal transisi menuju demokrasi[28]. Muhammad Najib Azca menggunakan sejumlah pendekatan yang berasal dari sejumlah peneliti seperti, Erik H. Erikson dengan teori “krisis identitas” dan “kerancuan identitas” lalu dari Quintan Wiktorowicz dengan teori “pembukaan kognitif”, kemudian James Jasper mengenai “goncangan moral” (moral shock) serta Gabrielle Maranci mengenai “aksi identitas”.

Dengan menggunakan analisis ahli psikologi Erik H. Erikson mengenai “kerancuan identitas” (identity confused) kaum muda yang berujung pada “krisis identitas” (identity crisis) dan dalam situasi “krisis identitas” seseorang cenderung mengalami apa yang diistilahkan oleh Quintan Wiktorowicz dengan “pembukaan kognitif” (cognitive opening) yaitu ketidakpastian menyangkut identitas diri sehingga dengan mudah menerima ide-ide baru yang radikal. Dengan menggunakan analisis James Jasper mengenai “goncangan moral” (moral shock) yaitu sebuah kepingan peristiwa yang menimbulkan perasaan marah atau geram yang mendorong seseorang untuk terlibat dalam aksi politik entahkan sudah atau belum mengenal gerakan tersebut. Dengan menggunakan teori “aksi identitas” dari Gabrielle Maranci yaitu bentuk mekanisme koreksi diri dalam merespon kondisi schismogenesis atau perubahan drastis di sebuah lingkungan yang menghasilkan sebuah krisis mendalam mengenai diri sebagai autobiografi dan identitas yang dimilikinya. Melalui aksis identitas sebagai mekanisme koreksi diri, individu merasakan kembali biografi dirinya kembali bermakna”[29].

Masih berkaitan dengan pendekatan sosiologis, Prof. DR. Nur Syam, M.Si dalam artikelnya, Radikalisme dan Masa Depan Hubungan Agama-Agama: Rekonstruksi Tafsir Sosial Agama menjelaskan akar persoalan radikalisme sbb: “Radikalisme secara sosiologis terjadi ketika masyarakat berada dalam situasi anomi atau kesenjangan antara nilai dengan pengalaman-pengalaman sehari-hari. Kesenjangan tersebut dipicu oleh modernitas yang berkaitan dengan sekularisasi. Di saat tersebut masyarakat tidak lagi mampu untuk mengatasi kesenjangan karena ketiadaan kekuatan untuk melakukan perlawanan di dalam kesenjangan tersebut. Ketika kesenjangan menjadi semakin kentara, sementara nilai-nilai yang menjadi pegangan semakin tak mampu menjadi pengendali berbagai tindakan social, maka akan muncul gerakan radikalisme dalam coraknya yang laten atau manifes. Yang bercorak laten terjadi ketika secara structural memang tidak memiliki kekuatan untuk melawan berbagai kesenjangan dimaksud. Akan tetapi ketika ia telah memiliki kekuatan –meskipun sedikit—untuk berbuat atau melawannya, maka ia akan berubah menjadi gerakan manifest atau nyata. Contoh yang paling mengedepan adalah munculnya gerakan-gerakan radikal di era tahun 2000an di berbagai belahan Asia tenggara, terlebih-lebih di Indonesia[30]

Deradikalisasi dan Internalisasi Nilai-Nilai Pancasila Sebagai Pandangan Hidup

Kita telah menganalisis kebangkitan ekstrim kanan yaitu kelompok radikal agama yang tidak muncul tiba-tiba melainkan berakar secara historis dalam gerakan-gerakan radikal masa lalu yang mengalami represi di era Orde Baru dan berakar secara sosiologis terhadap persoalan respon terhadap kapitalisme global serta kondisi sosial, ekonomi, politik dalam negeri yang tidak membaik. Dan nyatanya gerakan-gerakan radikal itu semakin hari semakin menguat baik yang memperjuangkan ideologinya dengan cara-cara konstitusional (terlibat melalui kepartaian) maupun dengan cara inskonstitusional (anarkisme dan terorisme). Apalagi setelah tewasnya Osama ben Laden pemimpin Al Qaedah yang didakwa Amerika sebagai penangung jawab peledekkan World Trade Center 2001 lalu saat ini muncul fenomena ISIS paska konflik di Suriah dan Irak yang menginspirasi kelompok-kelompok radikal agama di Indonesia untuk bergabung dan melakukan perjuangan dalam menegakkan Khilafah Islamiyah[31]. Sekte-sekte dalam Islam (Ahmadiyah, Syiah) masih mengalami ancaman-ancaman fisik dan psikologis di berbagai tempat. Apalagi dengan non Muslim dengan dihubungkan persoalan legalitas pembangunan rumah ibadah[32]. Apalagi dalam aksi-aksi kelompok radikal khususnya aksi-aksi terorisme dan militanisme, mereka kerap mempergunakan senjata, bahan peledak, strategi milter, aksi-aksi klandestein karena mereka terlatih dan pernah terlibat dalam konflik-konflik SARA baik di Indonesia dan di Timur Tengah sehingga, kewaspadaan yang luar biasa akan bahaya masa depan terhadap kesatuan nasional sudah seharusnya ditingkatkan oleh aparat keamanan baik kepolisian maupun militer. Irfan Noor memberikan pernyataan senada, “…namun yang perlu diwaspadai dari fenomena kontemporer gerakan Islam pasca Orde Baru ini adalah dimensi ideologi transnasional dan radikal karena akan mengancam masa depan eksistensi kesatuan bangsa ini lantaran gerakan Islam ini bisa berpotensi menjadi penyebab perpecahan bangsa”[33].

Sekalipun aksi-aksi terorisme berupa peledakkan bom di Indonesia telah mereda namun bahaya terorisme masih menjadi ancaman nyata baik sekarang dan masa depan dengan menguatnya tindakan-tindakan radikalisme agama. Jika akhir-akhir ini pihak militer menggencarkan istilah proxy war yaitu bentuk perang masa depan yang tidak melibatkan negara-negara yang berseteru melainkan menggunakan pihak-pihak ketiga untuk memperebutkan sumber daya alam khususnya energi[34] namun janganlah istilah dan kewaspadaan tersebut mengalihkan perhatian dari bahaya nyata kelompok-kelompok radikalis agama paska keruntuhan Komunisme internasional dan paska keruntuhan rezim Orde Baru.

Berbagai pendekatan untuk mengatasi radikalisme agama telah diupayakan baik dalam bentuk deradikalisasi secara struktural (melibatkan pemerintah dan aparat keamanan serta lembaga-lembaga keagamaan terkait) maupun kultural (melibatkan aspek kebudayaan lokal). Berkaitan dengan kebangkitan ideologi kiri dan ideologi kanan, bangsa Indonesia melalui para pendiri bangsa (founding fathers) telah bersepakat untuk menegakkan ideologi Pancasila sebagai pemersatu. Pancasila jangan hanya dimaknai secara politis. Pengaruh Orde Baru yang sedikit banyak dituding telah menjadikan Pancasila sebagai alat politik dan legitimasi kekuasaan menyebabkan penolakkan terhadap Pancasila yang dianggap sebagai bagian dari produk Orde Baru. Padahal Pancasila telah dirumuskan jauh sebelum adanya Orde Lama dan Orde Baru.

Pancasila, sebagaimana Ir. Soekarno katakan saat berpidato di hadapan BPUPKI, “Sekarang banyaknya prinsip; kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi - saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa namanya ialah Panca Sila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi...Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita”. Kita garis bawahi istilah Weltanschauung (pandangan hidup). Kita harus kembalikan Pancasila bukan dalam makna politis melainkan sebagai filsafat dan pandangan hidup bangsa Indonesia karena Pancasila adalah nilai-nilai yang digali dalam sikap kehidupan Bangsa Indonesia sejak sebelum merdeka sebagaimana Ir Soekarno katakan, ‘“...Aku tolak dengan tegas ucapan Prof. Notonegoro, bahwa aku adalah pencipta Pancasila. Pancasila diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri. Aku hanya menggali Pancasila daripada buminya Bangsa Indonesia. Pancasila terbenam di dalam bumi bangsa Indonesia 350 tahun lamanya. Aku gali kembali dan aku sembahkan Pancasila ini di atas persada bangsa Indonesia kembali”. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila adalah kepribadian bangsa Indonesia yang digali, dirumuskan, disistematisir menjadi sebuah pandangan hidup oleh Ir. Soekarno.

Dengan mengembalikan Pancasila sebagai Pandangan Hidup, Filsafat Hidup, Gaya Hidup maka Pancasila akan hadir sebagai sebuah kehidupan nyata masyarakat Indonesia. Pancasila akan dilupakan masyarakat Indonesia manakala Pancasila dipenjara dan menjadi sandera politik dan kekuasaan Tirani. Setidaknya pemerintah dan lembaga-lembaga sekolah melalui guru dan kurikulum mengejawantahkan nilai-nilai pemahaman dan penghayatan Pancasila sebagai pandangan hidup dan jati diri bangsa dengan metode-metode yang lebih konkrit melalui aksi-aksi nyata dan bukan pemahaman teotitis belaka. Siswa sekolah tidak hanya diberikan informasi mengenai aspek realitas historis lahirnya Pancasila melainkan bagaimana kita menerapkan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara[35].




[1] DR. Latthifah Ibrahim Khadhar ,Ketika Barat Memfitnah Islam, Gema Insani Press 2005, hal 19

[2] Samuel Huntington, Benturan Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, Yogyakarta: Penerbit Qalam 2004, hal 390-391

[3] Ibid., hal 388

[4] Ibid., hal 405


[5] Ibid., hal xiii-xiv

[6] Antonius Made Tony Supriatma, Teror Sipil Sebagai Proxy
http://indoprogress.com/2012/05/teror-sipil-sebagai-proxy/

[7] Gasym Kerimov, Islam and Muslims in Russia Since the Collapse of the Soviet Union
 Religion, State & Society, Vol. 24 Nos. 2/3,1996, p.186

[8] Dudung Abdurahman, Gerakan Sosial Islam Kontemporer dalam Sejarah Peradaban Islam di Nusantara, editor: Mundzirin Yusuf dkk, Yogyakarta: Pustaka 2006, hal 299

[9] Nur Khalik Ridwan, Santri Baru: Pemetaan, Wacana Ideologi dan Kritik, Yogyakarta: Gerigi Pustaka 2004, hal 1-8

[10] Clifford Geertz,  Abangan, Santri, Priyayi: Dalam Masyarakat Jawa,  Jakarta: Pustaka Jaya 1983,hal 8

[11] Op.Cit., Santri Baru: Pemetaan, Wacana Ideologi dan Kritik, hal 9-121

[12] Biyanto, Perspektif Ilmu-ilmu Sosial dalam Kajian Radikalisme Agama,  Vol 15 Nomor 1 Juni 2012, hal 15

[13] Ibid., hal 16

[14] Ibid.,

[15] Ibid,m hal 17

[16] Ibid., hal 17-18

[17] Vedi R. Hadiz, Menuju Suatu Pemahaman Sosiologis Terhadap Radikalisme Islam di Indonesia dalam Agama dan Negara: Jejak Persilangan Kekerasan, IndoProgres, Jurnal Pergerakan Progresif, Edisi 1 September 2011, hal 3-4

[18] Ibid., hal 6-7

[19] Ibid., hal 10

[20] Ibid., hal 11

[21] Ibid., hal 14-15

[22] Op.Cit., Islam Transnasional dan Masa Depan NKRI: Suatu Perspektif Filsafat Politik, hal 6-7

[23] Ibid., hal 8

[24] Ibid., hal 9-12

[25] Ibid.,

[26] Ibid., hal 13

[27] Ibid., hal 14

[28] Muhammad Najib Azca, Yang Muda Yang Radikal: Refleksi Sosiologis Terhadap Fenomena Radikalisme Kaum Muda Muslim di Indonesia Pasca Orde Baru, dalam Menghalau Radikalisasi Kaum Muda: Gagasan dan Aksi, Jurnal Ma’arif No 1 – Juli 2013, hal 27

[29] Ibid., hal 27-31

[30] Prof. DR. Nur Syam, M.Si.,  Radikalisme dan Masa Depan Hubungan Agama-Agama: Rekonstruksi Tafsir Sosial Agama, hal 11
http://eprints.uinsby.ac.id/15/1/NUR%20SYAM.pdf

[31] Teguh Hindarto, After Osama: Fenomena ISIS dan Ancaman Keamanan Nasional Serta Ideologi Pancasila
http://teguhhindarto.blogspot.com/2014/08/after-osama-fenomena-isis-dan-ancaman.html

[32] Teguh Hindarto, Kekerasan Atas Nama Agama dan Penodaan Nilai-Nilai Pancasila
http://teguhhindarto.blogspot.com/2014/06/kekerasan-atas-nama-agama-dan-penodaan.html

[33] Op.Cit., Islam Transnasional dan Masa Depan NKRI: Suatu Perspektif Filsafat Politik, Jurnal Ilmu Ushuluddin, hal 16

[34] (a) Proxy War, Ancaman Indonesia di Masa Depan
http://jakartagreater.com/proxy-war-ancaman-indonesia-di-masa-depan/
               
(b) Pangdam IM Ingatkan Bahaya Proxy War Kepada Mahasiswa
http://lintasgayo.co/2014/08/31/pangdam-im-ingatkan-bahaya-proxy-war-kepada-mahasiswa

[35] Teguh Hindarto, Internalisasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
http://teguhhindarto.blogspot.com/2012/05/internalisasi-nilai-nilai-pancasila.html

0 komentar:

Posting Komentar