Secara umum, Media Sosial
(Social Media) didefinisikan sebagai bentuk komunikasi dan interaksi sosial
melalui media digital dan dilaksanakan secara on line melalui jaringan internet
yang melibatkan banyak aktor dan kepentingan dengan tema yang beragam.
Berdasarkan kegunaan dan kepentingannya, sosial media dapat dikelompokkan dalam
beberapa kategori seperti, Social Network
yang biasanya dipergunakan untuk bersosialisasi dan berinteraksi seperti Facebook, Linked In, Myspace. Social Game yang berisikan game on line
seperti Doof, Pogo. Share, yaitu
media sosial yang dipakai untuk membagi file, video, musik seperti You Tube, Slideshare. Discuss sebagai media diskusi seperti Whatsap, Skype, Google Talk. Media
sosial telah membentuk dunia tersendiri dan menciptakan berbagai konfigurasi kehidupan
sosial sebagaimana layaknya kehidupan sosial sehari-hari. Konfigurasi kehidupan
sosial apakah yang terbentuk di media sosial saat ini? Dari sekian banyak
konfigurasi kehidupan sosial yang terbentuk ada dua gejala menarik sekaligus
memprihatinkan yaitu Manipulasi Diri (Self Manipulation) dan Pelecehan Dunia
Siber (Cyber Bullyng).
Fenomena Manipulasi Diri
Di era teknologi informasi yang menghasilkan sejumlah modern gadget dan social media, ternyata membuat banyak orang tergoda untuk melakukan
berbagai manipulasi diri, mulai dari mengedit foto diri agar terlihat lebih
tampan dan cantik, berfoto di sejumlah tempat liburan mahal dan prestisius
untuk mengirim pesan betapa mapannya diri kita, menyandingkan barang-barang
mahal (mobil, motor, handphone, rumah, dll) seolah-olah kita adalah pemilik
atau konsumen utama. Mengunggah foto menu makanan mahal di restoran terkemuka
untuk mendapatkan pengakuan perihal selera makan. Ukuran keberhasilan dan kesuksesan
saat ini ditentukan oleh apa yang kita unggah di media sosial (facebook, instagram, you tube, line, whatsap,
dll). Gejala Simulakra dan Hiperrealitas (istilah yng dipopulerkan
sosiolog Jean Baudrilard) mewabah dimana-mana. Simulakra adalah pencitraan realitas melalui simulasi berupa iklan.
Hiperrealitas adalah melampaui kenyataan sebenarnya. Setidaknya inilah yang
terjadi dan diakui oleh seorang blogger
fesyen bernama Essena O’Neil, seorang remaja berusia 18 tahun yang saat ini
mengampanyekan, “berhenti menipu diri sendiri lewat media sosial”. Ia memiliki
265.000 pengikut di You Tube dan 702.000 pengikut di instagram. Namun semua itu
tidak membuatnya berbahagia. Ketidakbahagiannya disebabkan dia kerap
memanipulasi keadaan dirinya sendiri agar terlibat kaya, keren, pintar, mapan,
prestisius. “Jangan biarkan jumlah
follower dan like mendefinisikan dirimu”, demikian ujar O’Neil. Oleh
karenanya jangan lekas percaya dengan sejumlah foto yang diunggah di media
sosial sehingga kita terpancing untuk menikmati, mengalami, memiliki sesuatu
yang di luar jangkauan dan kemampuan kita.
Fenomena Pelecehan Dunia Siber
Bagi mereka yang aktif di media sosial
seperti Facebook, Twetter, Whatsap,
Instagram, Line dll pasti tidak asing dengan istilah Cyber Bullyng. Jika ada istilah Real
World dan Real Community maka di
era teknologi informasi dan internet ini ada istilah Cyber World dan Cyber
Community. Namun bukan hanya nilai-nilai yang positip yang dipindahkan ke
dunia maya (cyber world) melainkan kejahatan dan berbagai bentuk perkataan
serta perilaku menyimpang dapat masuk ke dunia maya. Oleh karenanya ada istilah
Cyber Crime (kejahatan dunia maya)
dalam bentuk penipuan, pemalsuan yang merugikan siapapun yang menjadi korban
pelaku kejahatan di dunia maya. Gejala lainnya yang saat ini marak adalah Hate Speech (ujaran kebencian) yang bisa
dimanifestikan secara verbal (melalui kata-kata langsung) atau non verbal
melalui media sosial. Salah satu bentuk Hate
Speech adalah Cyber Bullyng yaitu
segala bentuk ungkapan kata-kata ejekkan, hinaan yang tidak hanya ditujukkan
pada seorang anak tapi siapapun dengan mengabaikan nilai dan norma kesopanan
dengan tujuan mempermalukan seseorang di media sosial. Perhatikkan saja mulai
dari status yang dibuat seseorang hingga percakapan dalam kolom komentar
semakin jauh dari keterdidikkan. Alih-alih mendiskusikan dan memperdebatkan
sesuatu dengan kaidah-kaidah logika dan keilmuan, yang muncul adalah umpatan,
cacian, ejekkan, hinaan. Belum lagi setiap kebijakkan pemerintah atau instansi
pasti akan ditanggapi bukan dengan kalimat-kalimat cerdas dan membebaskan
melainkan dengan umpatan, hinaan. Media sosial justru menjadi arena untuk
menyalurkan pikiran, gagasan dan perkataan kita yang tidak mungkin kita
ungkapkan secara verbal di muka umum yaitu seronok, menghina, mencaci,
mengejek.
Presentasi Diri Ekstrim Panggung Depan dan
Panggung Belakang:
Perspektif Dramaturgis Erving Goffman
Kita akan menganalisis
fenomena manipulasi diri dan pelecehan dunia siber melalui perspektif Sosiolog
Interaksionisme Simbolik bernama Erving Goffman (1922-1997). Goffman telah
menulis sejumlah buku yang mengedepankan proses analisis sosiologis pada aspek aktor
dan tindakan interpretif individu tinimbang melakukan analisis eksternal pada
kekuatan struktur sosial yang berpengaruh pada perilaku individu dan
masyarakat.
Beberapa buku Goffman
yang terkemuka al,. The Presentation of
Self in Every Day Life (1959), Asylum:
Essays in the Social Situasion of Mental Patients and Other Inmates (1961),
Encounters: Two Studies in the Sociology
of Interaction (1961), Stigma: Notes
on the Management of Spoiled Identitiy (1963), Frame Analysis: An Essay on the Organization of Experience (1974),
dll.
Dalam bukunya, The Presentation of Self in Every Day Life
(1959), kehidupan sosial seperti sebuah arena pertunjukkan teater dimana ada
sejumlah bagian yang melengkapi sebuah pertunjukkan teater yang meliputi “aktor”,
“setting”, “panggung depan” (front region), “panggung belakang” (back stage), “gaya”
(manner), “penampilan” (appearance). Perihal “panggung depan” (front region)
didefinisikan, “Panggung depan adalah
bagian penampilan individu yang secara teratur berfungsi di dalam mode yang
umum dan tetap untuk mendefinisikan situasi bagi mereka yang menyaksikan
penampilan itu. Di dalamnya termasuk setting dan personal front, yang
selanjutnya dapat dibagi mejadi penampilan (appearance) dan gaya (manner)”
(Margaret M. Poloma,
Sosiologi
Kontemporer, 2010:232).
Ambillah contoh
kehidupan seorang dokter. Setting seorang dokter adalah kantor. Penampilannya
memperlihatkan status sosialnya sebagai seorang dokter yaitu mengenakan jas
putih dengan tas dan stetoskop. Gaya seorang dokter memperlihatkan sikap tenang
dan persuasif dan meyakinkan pasien untuk memperoleh kesembuhan. Bagian depan
kehidupan seorang dokter selalu mengetengahkan sosok ideal. Perihal “panggung
belakang” (back stage) didefinisikan, ”Disamping
panggung depan yang merupakan tempat melakukan pertunjukkan tersebut, terdapat
juga daerah belakang layar. Identifikasi daerah belakang ini tergantung pada
penonton yang bersangkutan. Pada saat istirahat, kantor pribadi seorang dokter
bisa merupakan sebuah ruangan dimana dia dapat melepaskan jas putihnya, duduk
santai dan bercanda dengan para juru rawatnya. Sekalipun juru rawatnya dapat
menyaksikan sang dokter di dalam keadaannya yang demikian di dalam panggung
belakang, tidaklah demikian halnya dengan para pasien. Beberapa menit kemudian,
kantor ini akan berubah menjadi ruang konsultasi dan oleh karenanya menjadi
panggung depan” (Ibid., hal 234).
Selain konsep perihal aktor,
setting, panggung depan (front region), panggung belakang (back stage), gaya
(manner), penampilan (appearance), Goffman mengembangkan konsep “manajemen
kesan” (impression management) dan jarak peran (role distance). Ketika terjadi
proses interaksi sosial, setiap individu ingin menyajikan suatu pengertian diri
tertentu yang akan diterima oleh orang lain. Para aktor berharap bahwa
pengertian diri yang mereka sajikkan kepada audiens akan cukup kuat bagi
audiens untuk mendefinisikan para aktor seperti yang diinginkan para aktor itu.
Dengan kata lain, setiap aktor dramaturgis membangun sebuah kesan yang
diinginkan oleh aktor yang sedang berinteraksi dengan dirinya begitu pual
sebaliknya.
George Ritzer
memberikan deskripsi perihal manajemen kesan dengan mengatakan, “Hal itu meliputi teknik-teknik yang
digunakan para aktor untuk memelihara kesan-kesan tertentu dalam menghadapi
masalah-masalah yang mungkin mereka jumpai dan metode-metode yang mereka
gunakan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut” (Teori Sosiologi: Dari Sosiologi
Klasik Sampai Perkembangan Postmodern, 2012:638). Mengenai konsep
“jarak peran” berkaitan dengan fungsi dan status sosial seseorang. Ritzer
melanjutkan, “Orang berstatus tinggi
sering mewujudkan jarak peran karena
alasan-alasan lain dari orang yang berada di posisi statuys bawah” (Ibid.,
hal 644).
Berkaitan dengan
fenomena manipulasi diri dan pelecehan dunia siber dapat dikatakan bahwa
manipulasi diri yang kerap terjadi di media sosial baik itu Facebook, Instagram
dll bisa merupakan bentuk ekstrim
dari presentasi diri di panggung depan
sementara berbagai tindakan pelecehan dunia siber maupun ujian kebencian yang
menyeruak dalam berbagai percakapan merepresentasikan bentuk ekstrim dari presentasi
diri di panggung belakang. Mengapa saya katakan dengan istilah “bentuk
ekstrim?” karena bentuk normal percakapan panggung depan di sosial media,
layaknya di kehidupan sosial nyata sehari-hari ditandai dengan kesantunan,
ketertiban, penguasaan diri, kontrol diri dll namun manipulasi diri telah
menghadirkan keberadaan dirinya secara berlebih di luar kenyataan dirinya yang
ada baik yang diungkapkan dalam bentuk perkataan maupun foto-foto yang
diperlihatkan.
Demikian pula bentuk
normal percakapan panggung belakang di sosial media, layaknya di kehidupan
sosial keseharian ditandai dengan percakapan non formal dan tanpa jarak
disertai dengan kelakar-kelakar yang bisa saja mempermalukan namun dengan
melakukan ujaran kebencian, fitnah dan kata-kata yang melecehkan harga diri
seseorang hingga mengubah nasib seseorang yang dilecehkan merupakan bentuk
ekstrim dari presentasi diri di panggung belakang.
Jika Suller, seorang
ahli psikologi internet menjelaskan alasan seseorang dapat melakukan tindakkan
kasar, hujat dan melecehkan dikarenakan “online disinhibition effect” (efek
nirkekang daring) dimana mereka merasa lebih bebas, tidak terkekang serta dapat
mengekpresikkan dirinya secara lebih terbuka (Putut Widjanarko, Media Sosial Yang Beradab, dalam Tempo
2-8 Januari 2017, hal 40), maka analisis Dramaturgis Erving Goffman yang
diterapkan pada pola interaksi sosial di media sosial ini dapat menjawab lebih
jauh mengapa seseorang cenderung berkata-kata kasar dan hujat secara berlebihan
di dunia maya atau sosial media tinimbang di dunia nyata tau kehidupan
sehari-hari, karena mereka sedang memperlihatkan keaslian perilaku,
orisinalitas tindakakkan keseharian namun dalam bentuknya yang ekstrim.
Selain pentingnya
penyebarluasan literasi media sosial atau pendidikkan melek dan keadaban
bermedia sosial, diperlukan pula sebuah kesadaran perihal merepresentasi diri
(representation of self) di panggung depan (front region) dan panggung belakang
(back stage) secara proporsional sehingga tidak terjebak pada bentuk-bentuk
ektrimisitas presentasi diri.
Artikel ini diposting
di link berikut:
http://www.qureta.com/post/manipulasi-diri-dan-pelecehan-dunia-siber
5 komentar:
Betul pak. Media sosial memang rawan. Kalau boleh tanya bapak belajar teologi dimana? Bapak kenal bapak Benyamin Obadyah dari Kehilat Mesianik Indonesia?
Kenal...coba ditanyakan beliau kenal saya tidak. Nanti beliau bisa cerita tentunya...
Pak Teguh, bolehkah saya menghubungi anda via japri? Saya perlu berkonsultasi mengenai excorsisme. Bagaimana saya dapat menghubungi anda?
Silahkan hubungi ke derekhatov@gmail.com
Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kbagi.com untuk info selengkapnya.
Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)
Posting Komentar