Midrash Shabat, Kitab Kejadian 1-2
(Bagian 1)
TUHAN DAN ALAM SEMESTA MENURUT KITAB KEJADIAN
Kitab
Kejadian memberikan penjelasan mengenai Tuhan sbb: Pertama, Tuhan
yang memulai segala sesuatu. Kitab Kejadian 1:1 dimulai dengan frasa, bereshit
bara Elohim…. Kata bereshit dari kata reshit yang
bermakna permulaan. Segala sesuatu dimulai oleh Tuhan. Ada pertanyaan unik yang
diberikan oleh adik sepupu saya saat saya masih awal kuliah teologi, sementara
dia baru kelas enam sekolah dasar. Dia bertanya, “sebelum Tuhan menciptakan
segala sesuatu, Dia sedang apa?” Saya tidak bisa menjawab dan hanya berkata,
“ah, kamu belum cukup umur. Besok jika sudah dewasa akan tahu”. Ini jawaban
diplomatis untuk menutupi ketidaktahuan saya terhadap pertanyaan kritis dan
filosofis dari seorang anak berumur enam tahun”. Namun jujur sampai hari ini
pun saya belum dapat memastikan jawaban atas pertanyaan tersebut, sekalipun
saya telah memiliki gelar Magister Theology. Kita memang tidak memiliki
pengetahuan apapun tentang Tuhan kalau Dia tidak menyingkapkan-Nya pada kita.
Dan Tuhan hanya memberikan pernyataan melalui Moshe bahwa Dialah yang memulai
segala sesuatu. Apa yang dilakukan Tuhan sebelum Dia menciptakan, adalah diluar
kemampuan akal dan penalaran kita. Ayat ini menepis spekulasi Ilmu Pengetahuan
yang menyatakan bahwa segala sesuatu dimulai dari suatu kebetulan belaka, juga
menepis bahwa angkasa dan bumi terjadi dari hasil ledakan besar (big bang)
pada jutaan tahun lampau.
Apakah Teori Bing Bang itu (ledakan dahsyat) itu? Untuk memberikan
gambaran umum bagi pembaca yang awam mengenai teori tersebut, akan saya kutipkan
penjelasan dari Wikipedia sbb:
“Ledakan Dahsyat atau Dentuman
Besar (bahasa Inggris: Big Bang) merupakan sebuah peristiwa yang menyebabkan
pembentukan alam semesta berdasarkan kajian kosmologi mengenai bentuk awal dan
perkembangan alam semesta (dikenal juga dengan Teori Ledakan Dahsyat atau Model
Ledakan Dahysat). Berdasarkan pemodelan ledakan ini, alam semesta, awalnya
dalam keadaan sangat panas dan padat, mengembang secara
terus menerus hingga hari ini. Berdasarkan pengukuran terbaik tahun
2009, keadaan awal alam semesta bermula sekitar 13,7 miliar tahun lalu, yang
kemudian selalu menjadi rujukan sebagai waktu terjadinya Big Bang tersebut.
Teori ini telah memberikan penjelasan paling komprehensif dan akurat yang
didukung oleh metode ilmiah beserta pengamatan.
Adalah Georges LemaƮtre,
seorang biarawan Katolik Roma Belgia, yang mengajukan teori ledakan dahsyat
mengenai asal usul alam semesta, walaupun ia menyebutnya sebagai
"hipotesis atom purba". Kerangka model teori ini bergantung pada
relativitas umum Albert Einstein dan beberapa asumsi-asumsi sederhana, seperti
homogenitas dan isotropi ruang. Persamaan yang mendeksripsikan teori ledakan
dahsyat dirumuskan oleh Alexander Friedmann. Setelah Edwin Hubble pada tahun
1929 menemukan bahwa jarak bumi dengan galaksi yang sangat jauh umumnya
berbanding lurus dengan geseran merahnya, sebagaimana yang disugesti oleh
LemaƮtre pada tahun 1927, pengamatan ini dianggap mengindikasikan bahwa semua
galaksi dan gugus bintang yang sangat jauh memiliki kecepatan tampak yang
secara langsung menjauhi titik pandang kita: semakin jauh, semakin cepat
kecepatan tampaknya.
Jika jarak antar
gugus-gugus galaksi terus meningkat seperti yang terpantau sekarang, semuanya
haruslah pernah berdekatan pada masa lalu. Gagasan ini secara rinci mengarahkan
pada suatu keadaan massa jenis dan suhu yang sebelumnya sangat ekstrem.
Berbagai pemercepat partikel raksasa telah dibangun untuk mencoba dan menguji
kondisi tersebut, yang menjadikan teori tersebut dapat konfirmasi dengan signifikan,
walaupun pemercepat-pemercepat ini memiliki kemampuan yang terbatas untuk
menyelidiki fisika partikel. Tanpa adanya bukti apapun yang berhubungan dengan
pengembangan awal yang cepat, teori ledakan dahsyat tidak dan tidak dapat
memberikan beberapa penjelasan mengenai kondisi awal alam semesta, melainkan
mendeskripsikan dan menjelaskan perubahan umum alam semesta sejak pengembangan
awal tersebut.
Kelimpahan unsur-unsur
ringan yang terpantau di seluruh kosmos sesuai dengan prediksi kalkulasi
pembentukan unsur-unsur ringan melalui proses nuklir di dalam kondisi alam
semesta yang mengembang dan mendingin pada awal beberapa menit kemunculan alam
semesta sebagaimana yang diuraikan secara terperinci dan logis oleh
nukleosintesis ledakan dahsyat.
Fred Hoyle mencetuskan
istilah Big Bang pada sebuah siaran radio tahun 1949. Dilaporkan secara luas
bahwa, Hoyle yang mendukung model kosmologis alternatif "keadaan
tetap" bermaksud menggunakan istilah ini secara peyoratif, namun Hoyle
secara eksplisit membantah hal ini dan mengatakan bahwa istilah ini hanyalah
digunakan untuk menekankan perbedaan antara dua model kosmologis ini.
Hoyle kemudian memberikan
sumbangsih yang besar dalam usaha para fisikawan untuk memahami nukleosintesis
bintang yang merupakan lintasan pembentukan unsur-unsur berat dari unsur-unsur
ringan secara reaksi nuklir. Setelah penemuan radiasi latar belakang gelombang
mikro kosmis pada tahun 1964, kebanyakan ilmuwan mulai menerima bahwa beberapa
skenario teori ledakan dahsyat haruslah pernah terjadi”[1].
Teori Bing Bang sendiri masih menjadi perdebatan hingga kini. Baik
kalangan Kristiani[2] maupun
Islam[3]
ada yang menyetujui teori ini dan mengutip ayat-ayat Kitab Suci untuk
membenarkan pararelisasi dengan teori ini.
Salah satu ayat yang dirujuk dalam TaNaKh (Perjanjian Lama) dan Qur’an
al.,
“Beginilah firman Tuhan, YHWH,
yang menciptakan langit dan membentangkannya
(natah) yang menghamparkan bumi dengan segala yang tumbuh di atasnya, yang
memberikan nafas kepada umat manusia yang mendudukinya dan nyawa kepada mereka
yang hidup di atasnya” (Yes 42:5)
“Dan langit itu Kami bangun
dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya (lamusiun)“ (QS 51:47).
Namun tidak semua kalangan sarjana yang berlatar belakang agama Kristen[4]
maupun Islam[5] yang
menyangkal korelasi teori Bing Bang dengan konsepsi penciptaan menurut kitab
suci masing-masing.
Kita tinggalkan kontroversi Teori Bing Bang. Kembali kepada kajian
Kejadian 1:1.
Kata bara bermakna
menciptakan dari tidak ada menjadi ada. Kata bara merupakan
kata kerja yang khas dan hanya dilakukan oleh Tuhan. Kata bara dipergunakan
Tuhan untuk menciptakan “langit dan bumi” (Kej 1:1), “mahluk-mahluk hidup” (Kej
1:21) dan “manusia” (Kej 1:27). Untuk manusia, dipergunakan kata kerja asyah.
Contoh: “asyiti li gannot upardesim…” (aku membuat bagiku kebun-kebun
dan taman-taman…Pengkht 2:5) Namun Tuhan dapat sekaligus “menciptakan” (bara)
dan “membentuk” (asyah). Contoh: “Anoki asyiti erets we Adam aleyha
barati” (Akulah yang menjadikan bumi dan yang menciptakan manusia di
atasnya;…Yes 45:12). Ini memberikan indikasi bahwa manusia memiliki keterbatasan
dan tidak mampu melampui Tuhan. Manusia dapat membuat apa saja, dari robot
super canggih sampai mengkloning hewan. Namun manusia tidak dapat menciptakan
dari tidak ada menjadi ada, baik hewan, tumbuhan dan apapun.
Kata Elohim merupakan
bentuk plural dari Eloah yang merupakan akar dari kata El yang
bermakna Yang Kuat. Digunakan bentuk jamak Elohim untuk
memberikan sifat pluralis maiestaticum (jamak kemuliaan) yaitu
memberikan pernyataan bahwa Tuhan menguasai segala sesuatu. Bukan bermakna Dia
memiliki keberadaan lebih dari satu, sebagaimana anggapan Kekristenan pada
umumnya yang menghubungkan istilah Elohim dengan istilah
“Tritunggal”. Elohim merujuk pada Tuhan itu sendiri, Firman-Nya dan Roh-Nya
yang terlibat serentak dalam penciptaan, sebagaimana frasa, “weruakh Elohim
merakhefet al ha mayim…” (Roh Tuhan melayang/bergetar/mengerami di atas
air, Kej 1:2) dan frasa, “wayomer Elohim…” (dan berfirmanlah Tuhan, Kej
1:3). Baik Tuhan, Firman-Nya dan Roh-Nya bukanlah tiga pribadi melainkan
hakikat Tuhan yang memiliki Firman dan Roh di dalam diri-Nya. Firman Tuhan
menciptakan segala sesuatu (Mzm 33:6, Yokh 1:3). Roh Tuhan menghidupkan segala
sesuatu (Ayb 34:14).
Kedua, Tuhan menciptakan segala sesuatu. Frasa selengkapnya
dari Kejadian 1:1 adalah, “Bereshit bara Elohim et ha shamayim we et ha
arets”. Yang diciptakan oleh Tuhan adalah “ha shamayim” dan “ha arets”. LAI
menerjemahkan dengan “langit dan bumi”. Istilah “ha shamayim”, secara
literal dapat diterjemahkan “langit” (Ul 10:14, Ayb 11:8, Mzm 19:2) namun dapat
juga diterjemahkan “surga” (Mzm 11:4, 2 Raj 2:11, 2 Taw 7:14). Tidak mudah
untuk menetapkan apakah kata “ha shamayim” dalam Kejadian 1:1 harus
diterjemahkan “langit” atau “surga”. Jika diterjemahkan secara literal sebagai
“langit” dalam pengertian suatu hamparan berwarna biru yang ada diatas bumi,
maka menimbulkan pertanyaan serius: Apakah Tuhan hanya menciptakan bentangan
berwarna biru yang dinamakan langit dan bumi tempat manusia dan hewan dan
tumbuhan hidup? Jika diterjemahkan “surga”, maka menimbulkan pertanyaan serius
serupa: Bagaimana dengan kata “shamayim” yang muncul pada ayat 8-9,
apakah layak untuk diterjemahkan “surga”, padahal ayat tersebut berbicara
mengenai hamparan luas yang memisahkan air yang berada di atas dan air yang
berada di bawah, yang kelak disebut daratan dan lautan? Maka sebutan “angkasa”
dipilih untuk memberikan identifikasi betapa luasnya angkasa tersebut dan tidak
berbatas. Angkasa secara sempit dapat dimakna langit dan secara luas dapat
dimaknai sebagai sebuah tempat keberadaan yang bersifat metafisika, yaitu
Surga, tempat kediaman Tuhan dan mahluk-mahluk surgawi. Kejadian 1:1 sekaligus
menjelaskan mengenai penciptaan dua dunia, yaitu dunia material dan dunia
spiritual.
Ketiga, Tuhan menciptakan segala sesuatu selama enam
hari. Istilah hari, dalam bahasa Ibrani adalah yom yang
menjadi penanda waktu. Ada beberapa tafsiran tentang arti kata yom. Pertama,
kurun waktu zaman-zaman yang lamanya dapat berjuta-juta tahun. Pandangan ini
berusaha menyesuaikan dengan kolom geologis yang disusun oleh para ahli
evolusi, di mana rentang waktu antara evolusi mahluk yang satu ke mahluk
mencapai ratusan juta tahun. Namun teori ini tidak dapat diterima, karena kolom
geologis memulai dengan keberedaan ganggang dan bakteri sebagai yang awal ada,
sementara Kitab Kejadian memulai dengan Terang sebagai yang awal diciptakan. Kedua,
lama waktu dua puluh empat jam. Namun hari-hari dalam penciptaan bukanlah hari
yang lama waktunya selama dua puluh empat jam. Hari yang lama waktunya dua
puluh empat jam, ditandai dengan perputaran matahari, padahal matahari baru
diciptakan pada hari keempat. Ketiga, lama waktu seribu tahun
berdasarkan Mzm 90:4-6. Namun jika jujur pada teks, Mazmur 90:4 hanya
menyatakan, “Sebab di mata-Mu seribu tahun sama seperti hari kemarin,…” (ki
elef shanim beeyneka, keyom etmol). Kata ke merupakan
“particle preposition” yang bermakna “seperti”, “bagai”. Jadi ayat ini tidak
memberikan perbandingan numerik bahwa satu hari adalah seribu tahun. Berarti
istilah “hari” di sini untuk menandai antara selesainya suatu fase tertentu
yang dilanjutkan fase yang lain yang lama waktunya tidak diketahui. Jeff
Hammond dan Charles Pallaghy memberikan perbandingan istilah dlam
penciptaan dengan istilah Ilmiah sbb:[6][1]
HARI
ISTILAH KITAB KEJADIAN ISTILAH ILMIAH
Hari
1 Penciptaan
Terang
Bergeraknya tenaga unsur-unsur fisik
dari kosmos
Hari
2 Penciptaan
Cakrawala
Terbentuknya Atmosfir dan hidrosfir
Hari
3 Penciptaan daratan,
lautan dan
tumbuhan
Terbentuknya Litosfir dan Biosfir
Hari
4 Penciptaan matahari,
bulan,
bintang
Terbentunya Astrosfir
Hari
5 Penciptaan hewan
di udara dan
lautan
Terbentuknya kehidupan
di Atmosfir dan Hidrosfir
Hari
6 Penciptaan binatang dan
manusia Terbentuknya kehidupan
bagi Litosfir dan Biosfir
Hari
7 Tuhan
beristirahat
Tuhan beristirahat
Keempat, dari ciptaan yang tohu wa vohu menjadi
ciptaan yang tov meod. Beberapa penafsir meyakini bahwa ada
“rentang waktu” antara Kejadian 1:1 dan Kejadian 1:2. Menurut mereka, Kejadian
1:1 adalah peristiwa penciptaan yang pertama dan telah selesai. Sementara
Kejadian 1:2-31 adalah penciptaan ulang. Alasan mereka adalah pertama,
kata kerja hayetahayah. Kata hayeta bermakna
“menjadi”. Sehingga kalimat “wehaarets hayeta tohu wa vohu” diartikan,
“Dan bumi menjadi kosong dan tidak berbentuk”. Ayat ini ditafsirkan bahwa dunia
yang sudah sempurna diciptakan Tuhan “menjadi kosong dan tidak berbentuk”.
Padahal Tuhan berfirman dalam YeshaYah 45:18 sbb: “Sebab beginilah firman
Yahweh, yang menciptakan langit, -- Dialah Tuhan -- yang membentuk bumi dan
menjadikannya dan yang menegakkannya, -- dan Dia menciptakannya bukan supaya
kosong, (lo tohu veraah) tetapi Ia membentuknya untuk didiami (lashevet
yetsarah)--: "Akulah Yahweh dan tidak ada yang lain”. Jika Tuhan
tidak menciptakan bumi dalam keadaan “tohu wa vohu”, maka
keadaan ini pastilah disebabkan oleh sesuatu peristiwa. Peristiwa inilah yang
memunculkan alasan kedua, bahwa penyebab bumi menjadi “tohu wa vohu”
adalah, jatuhnya Lucifer ke dunia (Yes 14:12-15, Yer 4:23-28, Yekhz 28:12-19).
Finis Jennings Dake memberikan komentar mengenai kata “tohu wa vohu”
sbb: “The Hebrew phrase tohu wa vohu, waste and empty, describes the
chaotic condition of the earth at that time it was cursed and made flooded
because of the sins of Lucifer and the pre Adamites. It could not refer to the
earth as originally created – beatiful, perfect, dry land” [7]merupakan bentuk lampau dari kata dasar
Demikian
pula Jeff Hamond dan Charles Phallaghy memberikan keterangan sbb: “Dia
antara kedua peristiwa yang disebutkan dalam ayat ini, telah terjadi suatu
malapetaka yang dahsyat, yang mempunyai penmgaruh besar sekali terhadap planet
bumi kita, - yakni kejatuhan Iblis! Yesaya 14:12-15; Yeremia 4:23-28 dan
Yekhezkiel 28:12-19 dapat kita pelajari dalam kaitannya terhadap peristiwa itu”
[8]
Menyikapi
tafsiran di atas, marilah kita melihat secara wajar teks Ibrani dalam Kejadian
1:2. Kata hayeta, bukan hanya mengindikasikan suatu “perubahan”
atau “menjadi”. Kata hayetahayah yang bermakna “ada”. Sehingga
kata hayetaAmerican Standard Versionmerupakan
bentuk perfek dari kata dapat bermakna “suatu keadaan yang sudah terjadi”.
Sehingga pun menerjemahkannya dengan, “And the earth was waste and void;…” (dan
bumi pada waktu itu kosong dan belum berbentuk).
Kata hayeta dalam
Kejadian 17:29 tidak harus diterjemahkan, sekalipun dalam terjemahan berbahasa
Inggris ditambahkan “was”. Contoh: “Lea tidak berseri matanya, tetapi Rahel
itu elok sikapnya dan cantik parasnya”. Padahal dalam teks Ibrani berbunyi,
“wee’yne Leah rakkot we Rakhel hayeta yefat toar wifat mare”. Sungguh
tidak tepat kata hayeta dalam ayat ini jika diterjemahkan,
“dan Rakhel menjadi elok sikapnya dan cantik parasnya”. Kata hayeta dalam
Kejadian 1:2 tidak memiliki makna apapun selain suatu proses dalam Penciptaan
yang meliputi beberapa tahapan. Tahapan pertama adalah tohu wa vohu, seperti
seorang pembuat tembikar yang akan memulai dengan bentuk tanah yang tidak
beraturan. Dan Penciptaan diakhiri dengan sebutan tov meod (Kej
1:31) setelah sebelumnya sebanyak enam kali tiap hasil ciptaan disebut dengan tov (baik,
sempurna). Ini seperti pembuat patung atau tembikar yang menyelesaikan karya
ciptaannya yang terbuat dari bahan tanah hingga menjadi ciptaan yang sempurna
dan berbentuk indah.
Kelima, Tuhan menetapkan Hari Shabat untuk memperingati
perhentian penciptaan. Ketika Yahweh menyelesaikan proses penciptaan langit dan
bumi serta isinya, Dia melanjutkan dengan "memberkati" dan
"menguduskan" hari ketujuh, dimana Dia mengakhiri proses
penciptaan. Dalam Kejadian 2:3 disebutkan, "wa yebarek Elohim et
yom ha sheviyi waotto ki vo shavat mikal melakto asyer bara Elohim la ashot"
(maka diberkatilah oleh Tuhan hari yang ketujuh itu dan dikuduskan-Nya, sebab
pada hari itu Dia berhenti dari semua yang diperbuat-Nya saat menciptakan).
Sabat adalah hari yang diperkenan atau diberkati serta dikuduskan atau
dipisahkan secara khusus dari hari-hari yang lain. yeqadesh
Yang
menarik untuk kita perhatikan, jika pada kata "berhenti",
dalam Kejadian 2:2 dan kata "memberkati" serta "menguduskan" dalam
Kejadian 2:2 digunakan bentuk kata imperfek (menunjukkan pekerjaan yang belum
diselesaikan, sedang berlangsung), maka kata "berhenti" dalam
Kejadian 2:3 digunakan bentuk "perfek" yang bermakna,
"menunjuk pada suatu kejadian yang sudah dikerjakan,lengkap".
Hal ini bermakna bahwa Yahweh Sang Pencipta telah menyelesaikan pekerjaan
penciptaan tersebut dalam perspektif historis. Hari ini Yahweh TIDAK
MENCIPTAKAN APAPUN. Hari ini, Yahweh bertanggung jawab (mengawasi, mengatur,
mengontrol) proses regenerasi (kelahiran) dan bukan kreasi (penciptaan) pada
mahluk hidup, baik manusia, hewan maupun tumbuhan. Pengkajian Kejadian 2:2-3
memberikan petunjuk pada kita bahwa Sabat bukan semata-mata ibadah yang secara
ekslusif dihubungkan dengan keberadaan orang Yahudi atau Bangsa Israel kuno.
Sabat merupakan pola Sang Pencipta yang ditetapkan sebagai hari peringatan
untuk perhentian dan menghormati hari yang diberkati serta dikuduskan oleh-Nya.
Ada
persoalan pelik yang masih menjadi perdebatan di antara para peneliti Kitab
Suci. Mengapa dalam Kejadian 1 tidak ada nama Yahweh sementara dalam Kejadian 2
nama Yahweh muncul? Beberapa penafsir mengatakan bahwa Kejadian 1 merupakan
redaksi yang dikumpulkan oleh kaum Elohist yang menekankan penggunaan istilah
Elohim. Sementara Kejadian 2 merupakan hasil redaksional yang dikumpulkan oleh
kaum Yahwist yang menekankan penggunaan nama Yahweh. Namun teori ini lemah
karena sampai hari ini belum terbukti ada penemuan Kitab Suci TaNaKh yang hanya
menggunakan Elohim saja atau sebaliknya hanya menggunakan nama Yahweh saja.
Dalam hal ini, penggunaan istilah Elohim atau Tuhan dalam proses penciptaan
alam semesta raya, memberikan petunjuk mengenai sifat universalitas dan
generalitas terhadap ciptaan-Nya. Dengan kata lain, penggunaan istilah Elohim
dalam Kejadian 1 memberikan informasi mengenai penciptaan umum. Sementara
penggunaan nama Yahweh ketika dihubungkan dengan penciptaan alam semesta (Kej
2:4) dan penciptaan manusia (Kej 2:7), hendak memberikan informasi mengenai
penciptaan yang bersifat khusus yang dilakukan oleh Tuhan yang bernama Yahweh,
yaitu Tuhan perjanjian yang mengikat perjanjian dengan leluhur Yishrael yang
menuliskan Kitab Kejadian, yaitu Moshe.
[2] Dr. Hugh
Ross, Big Bang—The Bible Taught It First!
[3] Sherif
Alkassimi, The Quran on the Expanding
Universe and the Big Bang Theory
http://www.islamreligion.com/articles/1560/
[4] Branyon May,
Ph.D., Bert Thompson, Ph.D., Brad Harrub, Ph.D, The Big Bang Theory--A Biblical Critique
[5] Penciptaan alam semesta : ilmu pengetahuan vs al qur’an (3)
http://imazu747.wordpress.com/2009/10/07/penciptaan-alam-semesta-ilmu-pengetahuan-vs-al-quran-3/
[6] Alkitab & Ilmu Pengetahuan, YPI IMMANUEL, 1992,
hal 92-93
[7] Dake’s Annotated Reference Bible, Dake
Bible Sales, 1991, p.54
[8] Op.Cit., Alkitab & Ilmu Pengetahuan hal 92)
0 komentar:
Posting Komentar