RSS Feed

TUHAN, ALAM SEMESTA, MANUSIA MENURUT KITAB KEJADIAN (2)

Posted by Teguh Hindarto



Midrash Shabat, Kitab Kejadian 1-2
(Bagian 2)

TUHAN DAN MANUSIA MENURUT KITAB KEJADIAN

Kitab Kejadian memberikan penjelasan mengenai Manusia sbb: Pertama, manusia adalah ciptaan Tuhan Yahweh. Manusia bukan hasil evolusi panjang dan berjuta-juta tahun dari mahluk yang paling sederhana seperti mikroba, lalu berkembang menjadi mahluk-mahluk yang lebih kompleks yang disebut binatang kemudian menjadi manusia, seperti anggapan penganjur teori Evolusi Darwin. Manusia, bukan “percikan api Ilahi” yang terperangkap dalam tubuh yang harus mengalami pembebasan kepada hakikatnya yang abadi, sebagaimana diajarkan kaum Gnostik, Kebatinan, Gerakan Zaman Baru, Hinduisme, Budhisme. Manusia adalah “keberadaan yang adanya diadakan oleh Yang Ada secara kekal”. Dialah Tuhan Yahweh yang memulai segala sesuatu dan Ada sebelum segala sesuatu dan Ada dengan sendirinya. Apakah penjelasan ini bertentangan dengan Ilmu Pengetahuan Ilmiah? Sama sekali tidak. Sebagaimana dikatakan Fritz Ridenour dalam bukunya yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, Dapatkah Alkitab dipercaya? sbb: “Apa yang disebut ‘pertikaian’ yang pertama antara Alkitab dan Ilmu pengetahuan, sesungguhnya adalah kasus sebuah teori ilmiah melawan sebuah tafsiran tertentu tentang Alkitab”[1].

Gereja dan Kekristenan pernah memiliki sejumlah tafsiran tertentu tentang alam semesta dan manusia dan berselisih paham dengan beberapa penemuan modern. Ketika Galileo (1564-1642) pada tahun 1616 menyatakan bahwa teori Copernicus yang menyatakan bahwa bumi mengelilingi matahari adalah benar, berdasarkan observasi melalui teleskop temuannya, maka pernyataan ini membuat marah Gereja Katholik yang berkeyakinan bahwa bumi adalah pusat perputaran benda-benda langit rtermasuk matahari, berdasarkan tafsiran atas ayat dalam Mazmur 104:1-5 sbb: “Pujilah Yahweh hai jiwaku! Yahweh Tuhanku, Engkau sangat besar! Engkau yang berpakaian keagungan dan semarak, yang berselimutkan terang seperti kain, yang membentangkan langit seperti tenda, yang mendirikan kamar-kamar loteng-Mu di air, yang menjadikan awan-awan sebagai kendaraan-Mu, yang bergerak di atas sayap angin, yang membuat angin sebagai suruhan-suruhan-Mu, dan api yang menyala sebagai pelayan-pelayan-Mu, yang telah mendasarkan bumi di atas tumpuannya, sehingga takkan goyang untuk seterusnya dan selamanya..

Apa yang terjadi di atas bukanlah pernyataan Kitab Suci bertentangan dengan ilmu pengetahuan namun tafsiran Gereja Katholik bertentangan dengan Ilmu Pengetahuan. Teori Galileo pada akhirnya dibenarkan oleh Gereja Katholik, khususnya Paus Johanes Paulus II pada tgl 31 Oktober 1992.  Hal yang sama terjadi pada Tgl 30 Juni 1860, ketika terjadi perdebatan antara seorang teolog Katholik bernama Samuel Wilberforce dengan Thomas Henry Huxley seorang ahli Sejarah Alam dan Palaentologi. Perdebatan terjadi setahun setelah diterbitkannya buku Darwin berjudul The Origin of the Species. Perdebatan diawali oleh tindakan Huxley yang mengejek hasil penemuan Richard Owen seorang Biologiawan Inggris ternama pada waktu itu. Pada pertemuan bangsawan Inggris, Huxley mengritik kelemahan ilmu urai tubuh dan perbandingan Owen, sehingga mempermalukan Owen. Oleh karena itu, Owen ingin membalas dan meningkatkan reputasinya. Dia menggandeng Samuel Wilberforce Uskup Oxford untuk mendebat teori Huxley mengenai teori Evolusi organik Darwin melalui proses Seleksi Alam. Hari yang dinantikan terjadi. Karena Wilberforce bukan seorang ilmuwan, dalam perdebatan tersebut, dia terpojok. Parahnya, ketika Wilberforce bertanya pada Huxley apakah dirinya mengganggap keturunan monyet dari pihak ibunya, jawaban yang diberikan Huxley menampar Wilberforce dan masyarakat pada umumnya yang hadir saat itu. Huxley menjawab, “Saya lebih suka menjadi keturunan monyet malang yang berbunyi tidak berarti, daripada menjadi keturunan manusia yang berbakat besar yang lebih suka mengimbau dukungan berdasarkan pendapat yang salah, daripada bertumpu pada kebenaran”. Habislah sudah Wilberforce karena dia berbicara atas nama Kekristenan pada waktu itu. Sejak itulah muncul tudingan bahwa Kekristenan identik dengan agama anti ilmiah, anti ilmu pengetahuan, agama penuh prasangka terhadap ilmu pengetahuan, sehingga upaya untuk menyajikan Kekristenan yang relevan habis sudah. Imbas itu masih terasa hingga Abad XXI.

Sekali lagi perlu ditegaskan, tidak ada pertentangan antara pernyataan-pernyataan dalam Kitab Suci dengan Ilmu Pengetahuan. Yang ada adalah tafsiran Kitab Suci yang keliru melawan hasil Ilmu Pengetahuan atau sebaliknya, tafsiran Ilmu Pengetahuan terhadap data-data tertentu terhadap pernyataan dalam Kitab Suci.

DR. D.C. Mulder memberikan penjelasan mengenai keterbatasan ilmu pengetahuan sbb: “Dapat disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan modern tidak diikat atau diganggu oleh kepercayaan kepada Kitab Suci. Ahli-ahli supaya menjalankan tugas mereka dengan rasa bebas. Makin majulah ilmu pengetahuan itu, makin baik juga. Hanyalah, ilmu pengetahuan itu harus insyaf aakan batas-batasnya. Akal manusia tidak dapat menjawab soal-soal pokok mengenai (Tuhan Yahweh), mengenai asal manusia atau tujuan kehidupannya, jika tidak diterangi oleh pernyataan (Tuhan Yahweh) sendiri. Karena hanya Tuhanlah yang mengerti dari manakan manusia itu dan kemanakah dia. Dan justru inilah yang menjadi tugas istimewa dari ahli-ahli theologia, yaitu membantu semua orang supaya mereka mengetahui Firman (Tuhan) dengan lebih jelas dan lebih dalam”[2]

Perumpamaan “Tikus Putih” yang dikisahkan Ray E. Sthal dalam artikelnya yang dimuat Christianity Today, Tgl 24 November 1967 memberikan gambaran dua sikap seorang ilmuwan terhadap Tuhan. Menerima atau menolak. Berikut kutipannya: “Pada suatu hari, seorang ilmuwan yang sedang melakukan eksperimen dengan tikus-tikus putih, menciptakan suatu jaringan jalan yang ruwet, lalu ia menempatkan di dalamnya salah seekor di antara tikus-tikus putih pilihannya yaang bernama “Teo” [singkatan ‘Teologiawan’]. Berhari-hari dan berminggu-minggu Teo binggung tak mengerti akan misteri ciptaan ilmuwan itu. Dia berkata kpada tikus-tikus putih lainnyaa di laboratorium itu, ‘Alangkah agugnya ilmuwan kita!’. Kemudian pada suatu hari, setelah berminggu-minggu mengadakan eksperimen, Teo mampu memecahkan rahasia jaringan ruwet yang menakjubkan itu. Dengan sikap angkuh, ia berpaling kepada tikus-tikus putih lainnya di llaboratorium itu dan berkata, ‘Ilmuwan kita telah mati!’[3]

Kedua, manusia diciptakan pada hari keenam. Apa artinya bagi kita? Ada dua sisi mata uang bahwa manusia diciptakan pada hari keenam. Sisi pertama, manusia merupakan puncak karya penciptaan Elohim Yahweh, setelah ciptaan-ciptaan lainnya. Manusia ada setelah semua ciptaan lainnya disediakan bagi manusia. Sisi kedua, manusia memiliki keterbatasan. Karena angkaa enam adalah angka keterbatasa, angka ketujuh adalah angka kesempurnaan. Ketika Yahweh menyelesaikan segala ciptaan-Nya pada hari keenam, maka pada hari ketujuh, Dia berhenti dan memberkati hari ketujuh. Inilah puncak kesempurnaan Tuhan. Ketika kita membaca Kitab Wahyu 13 mengenai munculnya Anti Mesias diakhir zaman yang akan mengontrol kekuasaan politik, dan ekonomi dunia, Yokhanan memperingatkan bahwa bilangan namanya adalah “666” (Why 13:18). Terlepas dari berbagai spekulasi yang tiada henti mengenai siapakah tokoh “666” yang akan datang itu, yang pasti bahwa angka “666” memberikan isyarat bahwa tokoh yang akan datang nanti adalah “seorang manusia yang meninggikan kemanusaannya dan segala keterbatasannya, untuk menyaingi Tuhan Pencipta”.

Ketiga, manusia diciptakan berdasarkan “gambar” dan “keserupaan” dengan Tuhan. Inilah kualitas yang membedakan manusia dengan ciptaan Tuhan lainnnya, baik malaikat, alam semesta dan hewan serta tumbuhan. Manusia diciptakan dengan suatu keistimewaan. Manusia diciptakan berdasarkan “Gambar” dan “Keserupaan” dengan Tuhan. Dalam Kejadian 1:26 dikatakan, “wayyomer Elohim, naasyeh adam betsalmenu kidemutenu…” (dan berfirmanlah Tuhan, marilah kita menjadikan manusia berdasarkan gambar dan keserupaan dengan Kita). Kata Ibrani tselem bermakna “gambar/lukisan yang menyerupai aslinya” (1 Sam 6:5), “patung yang menyerupai aslinya” (Bil 33:52, Yekhz 16:17). Septaginta menerjemah tselem dengan eikona (gambar). Sementara kata demut bermakna “keserupaan atau kemiripan dengan aslinya” (Yekhz 8:2, 2 Rak 16:10), “setara dengan aslinya” (Yes 40:18). Septuaginta menerjemahkan demut dengan homoioi (kemiripan, kesehakikatan).

Arti bahwa manusia adalah gambar dan keserupaan dengan Tuhan, bahwa manusia merupakan mahluk ciptaan yang menampilkan kemuliaan Tuhan. Kemuliaan Tuhan tersebut, nampak dalam tiga (3) perkara, yaitu: Pertama, hakikat manusia, yaitu ciptaan yang bukan terdiri dari unsur tanah belaka namun yang dihembusi “nefhes khaya” (nafas kehidupan) oleh Tuhan. Dalam Kejadian 2:7 dikatakan, “wayyitser Yahweh et ha adam afar min ha adaman, wayipakh beapaiw nishmat khayim, wayehi haadam lenefesh khaya”. Manusia dicipta dari unsur tanah, namun dia mulia karena dihembusi nafas Tuhan, sehingga dia menjadi jiwa yang hidup. Manusia bukan sekedar mahluk yang ada hanya karena dikatakan yehi (ada) maka yehi (ada) seperti binatang dan tummbuhan. Manusia dibentuk dan diambil dari unsur bumi namun diberi kemuliaan karena memiliki nishmat Elohim atau “nafas Tuhan”. Inilah yang menyebabkan manusia memiliki dua kesadaran, yaitu kesadaran akan Tuhan di dalam batin atau rohnya dan kesadaran akan alam semesta di dalam jiwa serta pancaindra tubuhnya.. Kedua, mandat manusia, yaitu menerima mandat penatalayanan bumi dan mengelolanya, baik darat dan lautan. Dikatakan dalam Kejadian 1:26 sbb: “…wayirddu bidgat hayyam ubeof hashamayim uvabehema uvekal haarets uvekal haremesy haromesy al ha arets” (supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi). Protestantisme Barat yang kelak melahirkan ekonomi Kapitalisme, memahami ayat ini sebagai suatu perintah bagi manusia untuk mengeruk seluas-luasnya kekayaan bumi yang telah diberikan Tuhan. Hasilnya dapat kita lihat sekarang, yaitu terjadinya “pemanasan global” (global warming). Ayat ini adalah sebuah mandat yang diberikan pada manusia sebagai ciptaan yang mulia untuk “memerintah” (rada) atas bumi dan seisinya sesuai dengan hakikat dirinya sebagai ciptaan yang mulia dan bukan “mengeruk kekayaan alam sepuas-puasnya”.

Ketiga, potensi manusia. Potensi manusia tersebut dapat dilihat dibidang “pengetahuan” dan “akal” yang luar biasa, dimana manusia memberi nama semua hewan yang diciptakan Yahweh (wayyiqra haadam shemot lekal haabehema, Kej 2:20). Lalu potensi “kekuatan fisik” dimana manusia harus mengelola Taman Eden yang luas (wayyannikhehu began eden leavdah uleshamrah, Kej 2:15). Dan akhirnya “potensi spiritual”, dimana manusia berkomunikasi dengan Tuhan tanpa sekat pembatas (Kej 3:9-10).

Keempat, kekekalan manusia. Tuhan Yahweh tidak mengatakan bahwa manusia yang diciptakannya akan mengalami kematian, sampai dosa masuk melalui pelanggaran manusia terhadap perintah Tuhan Yahweh agar tidak memakan buah Ets Da’at ha Tov (Pengetahuan Yang Baik) dan Ets Da’at ha Ra (Pengetahuan Yang Buruk).

Demikianlah manusia adalah mahluk mulia yang diciptakan berdasarkan gambar dan keserupaan dengan Tuhan Yahweh yang direfleksikan dalam hakikatnya yang memiliki kesadaran spiritual dan rasional, tugasnya mengelola bumi secara bertanggung jawab, potensi holistiknya atas ciptaan Tuhan serta sifat kekekalannya. Tidaklah heran jika kita melihat hasil karya manusia yang inovatif dan spketakuler, mulai dari penemuan berbagai teknologi yang bermanfaat bagi kepentingan manusia sampai yang disalahgunakan untuk memusnahkan umat manusia. Inilah yang dinamakan “kebudayaan” (cultural) dan “peradaban” (civilization). Manusia adalah mahluk yang berbudaya dan beradab. Dengan kata lain manusia adalah ciptaan yang menghasilkan berbagai karya yang mengekspresikan kesadaran spiritual dan rasional serta moralnya.

Berbicara manusia sebagai mahluk berbudaya dan beradab, ada satu pertanyaan menggelitik dalam diri kita sebagai orang beriman. Bagaimanakah sikap orang beriman (maaminim) atau Gereja (Qahal Mesias) menyikapi berbagai ekspresi kebudayaan manusia yang beragam bahkan cenderung paganistik (bersifat kekafiran) dan okultis (kekuatan ajaib)? Jawaban utuk ini adalah sbb: Pertama, manusia adalah ciptaan Yahweh yang diciptakan berdasarkan gambar dan keserupaan dengan Yahweh. Maka berbagai ekspresi kebudayaan manusia adalah ekspresi kesadaran spiritual dan rasional mereka sebagai ciptaan yang berdasarkan gambar dan keserupaan dengan Tuhan. Contoh ekspresi kebudayaan manusia adalah, seni, politik, hukum, ilmu pengetahuan, dll. terlepas siapa yang mereka yakini sebagai tuhan. Kedua, namun karena manusia pada Pasal 3 telah mengalami kejatuhan dalam dosa, sehingga merusak gambar dan keserupaan dengan Tuhan di dalam diri-Nya, bahwkan merusak hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan hewan dan tumbuhan serta manusia dengan manusia, maka ekspresi kebudayaan manusiapun mengekspresikan dosa dan kerusakan gambar dan keserupaannya dengan Tuhan. Ekspresi dosa dan pemberontakan ini nampak dalam bentuk penyembahan berhala, tarian-tarian yang dirasuki roh-roh jahat, upacara-upacara ritual yang bersifat satanis.

Karena Qahal Mesias adalah bagian dari suatu komunitas masyarakat yang memiliki kebudayaan dan peradaban tertentu (yang positip dan negatif), maka kita harus memilih dan memilah, mana saja ekspresi kebudayaan yang masih dapat kita tolerir dan pelihara (seperti kesenian, moralitas, dll) dan mana saja yang harus kita tinggalkan (ngipri, muja, pesugihan, tahayul, sihir, dll).

Sebagai pengikut Mesias, status gambar dan keserupaan dengan Tuhan itu dipulihkan, melalui kematian dan kebangkitan-Nya dari maut. Sehingga kita menjadi manusia baru (2 Kor 5:17). Marilah kita mengekspresikan pemulihan gambar dan keserupaan dengan Tuhan Yahweh itu menjadi suatu timdakan yang berwujud dan dapat dirasakan oleh semua pihak, baik dalam kehidupan religius maupun sosial.


End Notes:

[1] Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993, hal 97

[2] Iman Dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989, hal 26

[3] Fritz Ridenour, “Dapatkah Alkitab dipercaya?”, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993, hal 204

0 komentar:

Posting Komentar