RSS Feed

BERI AKU SEBUAH PERSPEKTIF

Posted by Teguh Hindarto

Dalam sebuah petikkan film animasi berjudul Ratatouille (2007) yang mengisahkan obsesi seekor tikus bernama Remy yang berkolaborasi dengan seorang anak Chef terkenal Auguste Gusteau yang bernama Linguini Gusteau, ada percakapan menarik dan menggelikan dari pelayan yang gemetar ketakutan saat mendatangi meja Anton Ego, seorang kritikus masakan restoran. Berikut penggalan percakapannya,

Pelayan: “Sudah tahu apa yang Anda pesan malam ini pak?”

Anton Ego: “Ya, sudah. Setelah membaca tulisan berlebihan tentang juru masak barumu, tahu apa yang aku inginkan?....Sedikit perspektif…Itu dia, aku butuh perspektif yang segar, jernih dan mendalam. Bisa sertakan anggur enak untuk menemaninya?

Pelayan: (sambil terbelalak dan menelan ludah) “Teman apa pak?”

Anton Ego: Perspektif. Sudah habis ya?

Pelayan: “Aku…”

Anton Ego: (seraya bangkit dari kursi dan mendekatkan wajah cekungnya pada pelayan) “Mengingat kau kehabisan perspektif dan tidak ada yang punya itu di kota ini, aku akan buat kesepakatan ini denganmu. Kau sediakan makanan, akan kusediakan perspektif itu yang enak jika ditemani sebotol anggul Drival Blanc 1947!”

Apakah maksud istilah perspektif dalam penggalan adegan tersebut? Dalam konteks alur film animasi dan peran tokoh Anton Ego, dia menginginkan sebuah sajian masakan yang khas dan orisinil dari restoran yang akan dia kritisi namun jika restoran yang dia kritisi tidak bisa menyajikannya maka dia sendiri yang akan memberikan tinjauan kritis atau perspektif dirinya yang akan menentukan kelangsungan dan masa depan restoran tersebut.


Apakah Perspektif itu?

Istilah perspektif menurut Merriam Webster Dictionary berasal dari bahasa Latin perspectivum yang artinya “kaca optik” (http://www.merriam-webster.com/dictionary/perspective) dan menurut Cambridge Dictionary  adalah “cara tertentu dalam meninjau sesuatu” (http://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/perspective). Sederhananya, perspektif adalah sudut pandang dalam melakukan penilaian atau sebuah analisis.

Tanpa bermaksud melibatkan pembaca dalam kerumitan pendefinisian sebuah istilah, dalam hal ini istilah perspektif, namun setidaknya kita perlu menggeser perhatian sejenak bagaimana penggunaan istilah perpektif di dalam khasanah ilmu sosial. Dalam khasanah ilmu sosial khususnya Sosiologi ada yang membedakan antara istilah paradigma dan perspektif namun ada yang menyamakannya begitu saja. Ada pula yang mendefinisikan perspektif sebagai subparadigma. Sosiolog terkemuka, George Ritzer penulis buku The Mc Donaldization of Society (1996) mendefinisikan paradigma dalam bukunya Sociology: A Multiple Paradigm Science (1975) sbb: “Sebuah paradigma adalah gambaran dasar dari pokok perhatian dalam sebuah ilmu. Ia berfungsi untuk mendefinisikan apa yang harus dikaji, pertanyaan apa yang harus ditanyakan, bagaimana untuk menanyakannya dan kaidah-kaidah apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan jawaban yang didapatkan. Paradigma adalah unit konsensus yang terluas di dalam sebuah ilmu dan berfungsi untuk membedakan sebuah komunitas ilmiah (atau subkomunitas) dari yang lain. Ia mencakup, mendefinisikan dan saling menghubungkan berbagai eksemplar, teori, metode dan instrumen yang ada di dalamnya” (Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, Pustaka Pelajar 2012:1151). Ritzer membagi paradigma dalam Ilmu Sosiologi menjadi tiga kerangka besar yaitu Fakta Sosial, Definisi Sosial serta Perilaku Sosial. Masing-masing paradigma memiliki perspektif teoritisnya masing-masing. Paradigma Fakta Sosial memayungi perpektif teori Struktural Fungsional dan Konflik. Paradigma Definisi Sosial memayungi perspektif Interaksionisme Simbolik dan Etnometodologi. Sementara Paradigma Perilaku Sosial memayungi perspektif teori Behavioralisme dan Pertukaran Sosial.

Pentingnya Sebuah Perspektif

Melalui penggalan narasi dalam film animasi di atas, saya ingin mengajak para pembaca untuk memahami dan mengkaji pentingnya sebuah perspektif dalam kehidupan kongkrit yang kita jalani.  Mengapa kita memerlukan sebuah perspektif? Dalam konteks kehidupan kongkrit, kita kerap didera oleh masifnya informasi, berita yang terbaca oleh mata kita saat membaca media cetak atau media on line serta melihat tayangan televisi, mulai dari peristiwa politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, keagamaan, pendidikan dll. Peristiwa yang kita baca dan lihat sejatinya bukan peristiwa yang lewat dan berlalu tanpa sebuah makna. Berbagai peristiwa baik internasional maupun nasional bukan sebuah peristiwa yang berjalan tanpa sebuah konteks dan sejarah. Ada berbagai makna dan alasan-alasan yang menyebabkan terjadinya sebuah peristiwa bahkan sejumlah dampak yang akan terjadi dari sebuah peristiwa yang terjadi. Namun tidak semua diantara kita dapat membaca alasan dibalik sebuah peristiwa dan dampak-dampak apa yang akan ditimbulkan dari sebuah peristiwa. Di sinilah pentingnya kita memperoleh sebuah perspektif tentang sebuah realitas dan fenomena yang kita lihat dan baca. 

Kita membutuhkan sebuah sudut pandang atau perspektif tertentu ketika sebuah peristiwa politik terjadi di hadapan publik, misalnya: Reshufle kabinet, kebijakan Reklamasi Teluk Jakarta yang menimbulkan kontroversi, penetapan seorang menteri yang menimbulkan kontroversi dikarenakan rekam jejak masa lalunya yang oleh sejumlah penggiat hak asasi manusia yang telah melanggar hukum, aksi terorisme di sejumlah tempat, terpilihnya seorang menteri setelah meninggalkan Indonesia beberapa waktu lamanya untuk kemudian menduduki jabatan strategis dalam struktur pemerintahan di bidang ekonomi, dll.

Kitapun membutuhkan sebuah perspektif ketika fenomena game online – katakanlah Pokemon - yang semakin menyita waktu baik generasi muda dan generasi tua untuk terlibat di dalamnya. Ada apa dan mengapa serta dampak bagaimana yang dapat diprediksikan dll.  Kita membutuhkan sejumlah perspektif ketika kepalsuan telah menjadi norma sehingga dimana-mana muncul turunan kepalsuan dari mulai yang remeh temeh berupa alamat palsu hingga persoalan pelik seperti ijazah palsu, gelar palsu, uang palsu, meterai palsu bahkan akhir-akhir ini kita mendengar fenomena kartu BPJS palsu dan vaksin palsu. Kita membutuhkan sejumlah perspektif untuk memandu diri kita memahami berbagai realitas yang terbentuk akibat globalisasi dan perkembangan teknologi informasi.



Kita membutuhkan sebuah perspektif ketika histeria massa muncul dimana-mana terkait isyu kebangkitan komunisme seiiring dengan swepping dan pembakaran buku-buku kajian kiri (sosialisme, komunisme). Mengapa isyu komunis muncul? Benarkah komunisme bangkit dan masih menjadi ancaman? Apakah isyu komunisme hanyalah pengalih perhatian? Apakah isyu komunisme hanya luka yang dipelihara? 

Kita membutuhkan perspektif ketika ongkos pendidikan menjadi semakin mahal. Apakah biaya mahal adalah konsekwensi rasional sebuah pengelolaan pendidikan atau hanya sebuah dampak dari sistem ekonomi yang menguntungkan kekuatan Kapitalisme yang disebut Neo Liberalisme? Dan masih banyak fenomena dapat kita deretkan lebih banyak lagi yang telah dan mungkin akan terjadi di depan kita.

Dari deskripsi kasus di atas kita dapat melihat pentingnya sebuah perspektif dalam membaca berbagai peristiwa sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, pendidikan, pertahanan keamanan dll yaitu: Pertama, memberikan kepada kita sebuah sudut pandang tertentu mengenai nilai dan makna sebuah peristiwa yang tidak kita ketahui dikarenakan keterbatasan informasi dan keilmuan tertentu yang kita miliki. Mengapa terjadi kudeta di Turki? Siapa pelaku kudeta dan atas kepentingan apa? Benarkah kudeta digerakkan oleh kekuatan eksternal yang bersifat oposisi dengan rezim yang berkuasa atau sebaliknya kudeta adalah sebuah rekayasa dan dalih untuk memusnahkan elemen-elemen oposisi. Pemahaman dalam membaca peristiwa politik dalam hal ini kudeta Turki membutuhkan sebuah perspektif khususnya dari kelompok intelektual yang membidangi bidang politik. Ketika Amir Yasraf Piliang berkata, “Kecepatan, kini tidak saja menjadi ukuran kemajuan, ia bahkan menjadi paradigma sosial, politik, ekonomi, budaya dan kehidupan kontemporer” (Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan, Matatahri 2010:81) maka dia sedang memberikan sebuah perspektif pada kita untuk membaca fenomena dampak sosiologis dan kebudayaan sebuah teknologi informasi yang membentuk realitas nilai dan norma yang baru. Ketika Jean Baudrilard mengatakan bahwa masyarakat Posmodern dicirikan sebagai masyarakat simulasi yang mengarah pada pembentukan simulakra sehingga meleburkan perbedaan antara tanda dan realitas, mengaburkan antara yang nyata dan yang mensimulasikan kenyataan (Simulations, New York 1983, p 4), maka beliau sedang memetakkan wajah kemanusiaan yang semakin mengalami realitas semu dan kehilangan kemampuan membedakan realitas semu, realitas simulasi dengan realitas nyata sehingga kehidupannya mulai didikte dan dipengaruhi oleh realitas simulasi (iklan, televisi, videogame dll). Kedua, membantu kita untuk mengambil sebuah keputusan atau tindakan antisipatif. Ketika laporan cuaca ekstrim dirilis atau peristiwa alam seperti prediksi letusan gunung berapi serta potensi tsunami paska peristiwa kegempaan melewati ambang batas normal, menolong pihak-pihak tertentu untuk menunda, mengalihkan, menghentikan aktifitas-aktifitas terkait. Berbagai prediksi keekonomian membantu pelaku usaha untuk melanjutkan investasi atau justru menghentikan investasi usahanya. Ketiga, memberikan kepada kita sejumlah pilihan yang paling rasional dari sekian perspektif yang kita terima perihal sebuah peristiwa yang terjadi. Beragam perpektif yang kita baca dan dengar serta lihat pada akhirnya menjadi sebuah peta jalan bagi kita untuk mengambil sebuah keputusan atau penilaian yang obyektif karena telah melewati sejumlah pemikiran yang beragam.

Relativitas dan Pluralitas Perspektif

Berbicara perihal perspektif maka kita berbicara mengenai dua hal yaitu manusia dan latar belakang keilmuan yang dimilikinya. Karena manusia memiliki sejumlah keterbatasan dalam penginderaan, pengamatan, pengukuran, pemahaman maka perspektif yang dimilikinya pun mengalami keterbatasan dan relatifitas. Kita tidak bisa memutlakkan perspektif tertentu dan tidak membuka diri bagi perspektif yang lain. Memberi ruang bagi perspektif lain dalam memahami sebuah realitas dan fenomena akan memberikan pemahaman yang kaya pada diri kita sehingga kita tidak terjatuh pada sikap-sikap ekslusifisme pemahaman yang sempit dan kaku.



Ilmu yang berbeda akan menimbulkan perspektif teoritis yang berbeda. Perspektif seorang geolog terhadap aktifitas penambangan dan dampaknya tentu berbeda dengan perspektif seorang ekonom serta sosiolog. Perspektif seorang psikolog tentu berbeda dengan  perspektif sosiolog perihal masifnya fenomena bunuh diri atau sakit jiwa di sebuah wilayah tertentu. Bahkan dalam lingkungan ilmu Sosiologi sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya memiliki sejumlah perbedaan paradigma yang pada akhirnya melahirkan perbedaan perspektif teoritis. Pluralitas perspektif adalah sebuah realitas yang harus diterima dan menimbulkan kearifan agar kita tidak memutlakkan salah satu perspektif melainkan membuka diri bagi perspektif lain untuk membaca sebuah realitas, persoalan, fenomena yang terjadi di sekitar kehidupan kita.

Dimana Kita Bisa Mendapatkan Perspektif?

Sebelum era kebangkitan teknologi informasi khususnya internet yang melahirkan sebuah ruang virtual yang disebut Cyberspace, koran, majalah, buku menjadi satu-satunya sumber membaca sebuah peristiwa dan persoalan dari perspektif tertentu. Kita dapat membaca artikel di sebuah koran atau majalah berisikan analisis dan perspektif teoritis seorang pengamat atau akademisi terkait peristiwa politik, fenomena sosial, aktifitas kebudayaan dll. Majalah Tempo, Koran Kompas sebagai media cetak dengan skala nasional kerap menjadi rujukkan seseorang atau pemangku kepentingan memerlukan sebuah perspektif.

Kini di era Cyberspace (masyarakat jaringan elektronik) kita dapat membaca perspektif seseorang yang memiliki latar belakang keilmuan tertentu atau mewakili gerakan sosial tertentu dapat membagi perspektifnya di media sosial seperti blog, website, facebook, whatsap, wordpress dll. Kita bisa menemukan situs website atau blog bernama berdikarionline.com dan indoprogress.com yang menyajikan perspektif kiri berbasis analisis Marxist berkaitan dengan realitas dan fenomena yang terjadi. Kita dapat menikmati perspektif kelompok Islam moderat dan terbuka dan bersinergi dengan keilmuan Barat dengan membaca sejumlah analisis dan artikel bernas dari sekelompok pemikir muda di situs islamlib.com. Ada pula situs geotimes.co.id yang berisikan kajian dari berbagai perpektif keilmuan penulisnya terkait isyu-isyu kontemporer mulai dari politik, sosial, kebudayaan, keagamaan dll.

Beri Aku Sebuah Perspektif

Frasa, “Beri aku sebuah perspektif” yang diucapkan tokoh Anton Ego dalam film animasi Ratatouille (2007) pada akhirnya menjadikan sebuah titik berangkat untuk mengajak kita membaca sebuah peristiwa apapun mulai dari politik, kebudayaan, ekonomi yang berseliweran di depan mata kita saat kita menyaksikan televisi, membaca koran dengan sebuah perspektif agar kita dapat memahami alasan dan dampak dari sebuah peristiwa yang terjadi bahkan jika perlu melakukan analisis kritis dengan tujuan sebuah perubahan. Tanpa sebuah perspektif, kita akan larut dalam badai informasi yang menerpa wajah dan telinga kita dan menganggap semua peristiwa bergerak secara natural belaka tanpa konteks yang melatarbelakanginya dan tanpa dampak apapun yang kita perkirakan.

0 komentar:

Posting Komentar