Bulan Agustus ini kita bukan hanya dihadapkan pada ritualitas tahunan untuk memelihara kesadaran kebangsaan melalui perayaan kemerdekaan yang jatuh pada tiap tanggal 17 Agustus, namun juga menjadi bulan kesibukkan orang tua murid atau calon mahasiswa mempersiapkan jenjang pendidikkan di perguruan tinggi. Pendidikkan formal tetap akan menjadi idaman bagi setiap orang tua dan orang muda karena melalui pendidikkan formal yang dijalani, seseorang akan dapat menjalani – dalam Sosiologi diistilahkan – Social Mobility (mobilitas sosial) khususnya Social Climbing (pendakian status sosial).
Berbicara perihal istilah pendidikan, J.
Drost, SJ seorang tokoh pendidikan Katolik paling tidak sepakat dengan
penyamarataan perihal pendidikan dan pembelajaran atau pengajaran dan
memilahkannya dengan tegas sebagai dua substansi yang berbeda. Bahkan istilah
pendidikan formal-non formal pun beliau tidak menyepakatinya. Baginya
pendidikkan formal adalah istilah yang tidak tepat. Menurutnya, “Hampir semua orang kita akan mengatakan:
kedua-duanya sama. Itulah malapetaka atau musibah yang melanda dunia
persekolahan kita. Karena yang diadakan di sekolah terutama pengajaran bukan
pendidikan. Dengan kegiatan pendidikkan dimaksud menanamkan nilai-nilai ke
dalam budi orang. …Jadi, kesimpulan yang paling mendasar ialah bahwa lembaga
pertama dan utama pembentukkan dan pendidikan adalah keluarga. Yang
pertama-tama mengajarkan kepada anak pengetahuan akan (Tuhan), pengalaman
tentang pergaulan manusia dan kewajiban memperkembangkan tanggung jawab
terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain adalah orang tua” (Proses
Pembelajaran Sebagai Proses Pendidikkan, 1999:1-2). Jika keluarga adalah
pusat pendidikkan dan penanaman nilai-nilai baik religius maupun moral maka
menurut J. Drost, SJ maka sekolah adalah lembaga formal yang dipercayakan pada
masyarakat dan pemerintah untuk proses pembelajaran dengan tujuan membangun
kecakapan intelektual sebagaimana dikatakan, “Salah satu bantuan yang diberikan kepada orang tua oleh masyarakat
adalah pembentukkan manusia muda pada bidang intelektual. Dan proses
pembentukkan ini berlangsung dalam lembaga yang disebut sekolah. Dan proses itu
disebut proses mengajar-belajar atau proses pembelajaran, yang berarti usaha
menjadi orang lain belajar…Jadi tujuan utama pengajaran ialah usaha agar
intelek setiap pelajar berkembang sepenuhnya seukuran talenta” (Ibid.,).
Terlepas dari ketidaksepakatan pakar pendidikkan Katolik J. Drost, SJ dalam mendefinisikan pendidikan (aspek spiritual dan moral) dan pengajaran (aspek intelektual) serta siapa yang harus mengurus pendidikan dan pengajaran (keluarga dan sekolah atau sekolah saja) saya ingin menggarisbawahi pernyataan beliau perihal tujuan akhir pendidikan dan pengajaran haruslah menghasilkan pribadi yang peka terhadap kehidupan sosial dan bermanfaat bagi sesamannya sebagaimana dikatakan, “Jadi pendidikan dan pengajaran di sekolah berusaha mengubah cara kaum muda memandang dirinya sendiri dan mahluk insani, sistem-sistem dan struktur masyarakat. Hasil pembelajaran: pria dan wanita yang kompeten, bertanggungjawab dan penuh perhatian bagi sesama” (Ibid., hal 4). Idealisme inilah yang kerap terlupakan dan terabaikkan dalam lembaga pendidikkan kita sekarang ini dan larut dalam narasi global yang menjadikan kekuatan pasar sebagai penentu kebijakkan bukan hanya politik namun juga pendidikkan. Lembaga pendidikkan dan pengajaran pada akhirnya seolah menjadi pabrik yang melahirkan komoditas dan produk yang siap diserap oleh dunia industri belaka.
Tokoh Musa, dapat kita jadikan sebuah
prototype bagaimana sebuah pendidikkan membentuk kesadaran Musa untuk menjadi
seseorang yang berguna dan bermanfaat bukan untuk melayani sistem di mana dia
kelak akan menjadi bagian di dalamnya (walaupun akhirnya Musa lebih memilih
panggilan Tuhan) melainkan menjadi manusia mulia yang peka terhadap persoalan
sosial di sekelilingnya dan tidak bisa melihat ketidakadilan dan penindasan. Dibalik
peran sentral Musa yang melegenda dalam Kitab Torah dan sejarah Israel dimana
beliau menjalankan peran heroiknya membawa dan memimpin bangsa Israel keluar
dari Mesir, ternyata kita mendapatkan fakta bahwa Musa telah memiliki sejumlah
dasar-dasar pembentukkan karakter yang mempersiapkannya menjadi seorang
pemimpin kelak. Sekalipun Keluaran Pasal 1-2 tidak mengisahkan secara detail
perihal kehidupan Musa di Mesir dan diangkat anak oleh Fir’aun namun Stephanus
dalam Kisah Rasul 7:22 menjelaskan, και
επαιδευθη μωυσης εν παση σοφια αιγυπτιων ην δε δυνατος εν λογοις και εν εργοις
αυτου (kai epaideuthe Moouses en pase sophia aiguption
en de dunatos en logois kain en ergois autou - Dan Musa dididik dalam segala
hikmat orang Mesir, dan ia berkuasa dalam perkataan dan perbuatannya). Kata Yunani epaideuthe (epaideuthe) merupakan bentuk pasif lampau dari kata
Yunani paideuω (paideuoo)
yang artinya “melatih”, “mengajar”. Kata lain yang sejajar dengan itu adalah paidαγωγος (paidagogos)
yang artinya “seorang yang mengantar anak kecil”. Dari kata itulah kita
mengenal istilah Pedagogy yang
artinya “pendidikan”. Frasa ην δε
δυνατος εν λογοις και εν εργοις αυτου (en de dunatos en logois kain en ergois autou - dan ia berkuasa dalam
perkataan dan perbuatannya) hanya dimungkinkan terjadi karena ada satu kata yaitu paideuω (paideuoo) yang artinya “melatih”, “mengajar”,
“mendidik”. Pendidikkan bukan hanya memberikan kompetensi intelektual pada Musa
melainkan kewibawaan dalam perkataan dan perbuatan.
Frasa και επαιδευθη μωυσης εν παση σοφια αιγυπτιων (kai epaideuthe Moouses en pase sophia aiguption - Dan Musa dididik dalam segala hikmat orang Mesir) sudah merangkum kompetensi pengetahuan dan pendidikan Musa selama berada di Mesir. Dia adalah seorang yang terpelajar dan bukan insan tanpa pengetahuan sama sekali. Seorang pemimpin itu bukan dilahirkan melainkan dihasilkan, diproduksi melalui pendidikan. Keterdidikkan dan keterpelajaran Musa telah membentuk karakter dan perilakunya di kemudian hari yaitu: Pertama, membela bangsanya yang mengalami kerja rodi dan dianiaya mandornya (Kel 2:11-12). Kedua, menengahi saat ada perselisihan di antara pekerja paksa Ibrani (Kel 2:13-15). Ketiga, membela anak-anak imam Rehuel di tempat pelarian Musa di Midian (Kel 2:16-22).
Hasil pendidikkan yang diperoleh Musa tentu
saja bukan hanya soal pengetahuan yang bersifat abstrak dan kognitif dan
berhenti di ranah teoritis melainkan Musa ingin mengaplikasikan pengetahuannya
menjadi sesuatu yang membawa manfaat dan berkontribusi bagi perubahan status
sosial bangsanya. Tindakan berani dan heroik Musa menjadi suri tauladan bagi
kita bahwa pendidikan yang telah kita peroleh baik secara non formal (agama dan
pengetahuan Kitab Suci misalnya) ataupun secara formal (ilmu-ilmu non agama
seperti Sosiologi, Politik, Ekonomi dll) bukan sekedar menempatkan kita kelak
menjadi baut-baut dalam roda kapitalisme atau buruh yang bekerja dibalik
mesin-mesin industri modern. Ilmu bukan sekedar untuk Ilmu tapi Ilmu harus
mampu mengubah kehidupan masyarakat dan seorang yang terdidik alias mempelajari
ilmu harus menjadi seseorang yang berkontribusi bagi kehidupan dan perubahan
sosial yang lebih baik.
Dalam konteks kekinian, di luar peristiwa
historis teologis kisah Musa, pendidikan dan pengajaran selayaknya bukan hanya
melahirkan insan muda baik lelaki dan perempuan yang kelak menjadi – meminjam istilah
Herbert Marcuse – “manusia satu dimensi” dimana, “Masyarakat semacam ini mungkin hanya menuntut suatu penerimaan dari
prinsip-prinsip dan institusi-institusinya untuk mengurangi oposisi dalam hal
diskusi dan promosi mengenai kebijakkan-kebijakkan di dalam status quo” (Manusia
Satu Dimensi, 2016:3). Pendidikkan dan pengajaran bukan hanya menjadikan
insan muda baik lelaki dan perempuan menjadi sebuah komoditas dan produk sebuah
pabrik bernama sekolah yang siap untuk menjadi pekerja-pekerja yang
menggerakkan tuas-tuas produksi ekonomi melainkan menghasilkan pula manusia
mulia yang memiliki kompetensi intelektual sekaligus kepekaan terhadap realitas
sosial, keberanian untuk melakukan perubahan sosial, keberanian untuk melakukan
keberpihakkan terhadap mereka yang tertindas dan nilai-nilai yang setara dengan
itu. Pendidikkan dan pengajaran seharusnya membebaskan manusia dari berbagai
pemahaman yang keliru dan memampukkan manusia untuk melakukan tugas pembebasan
melalui ilmu dan pengetahuan serta nilai-nilai spiritual dan moral yang terbentuk
dalam kesadaran.
Pendidikkan dan pengajaran yang membebaskan
dan memuliakan manusia serta menjadikannya sebagai seorang yang tanggap dan
peka terhadap realitas sosial tentu tidak dihasilkan oleh sistem pendidikkan
yang hanya menekankan penimbunan informasi belaka melainkan tanggap terhadap
realitas sosial yang diistilahkan oleh Paulo Freire dengan “Banking System
Education” dan “Problem Posing Education”. Dengan pendidikan kritis model
"Posing Problem Education", maka peserta didik mampu membangun jarak
dengan realitas dan secara kritis turut berkontribusi mengontruksi realitas
yang baru di kemudian hari sebagaimana dikatakan Paulo Freire dalam artikelnya,
"Pendidikan Yang Membebaskan,
Pendidikan Yang Memanusiakan" sbb: "Realitas sosial yang obyektif
tidaklah eksis secara kebetulan saja, melainkan ada sebagai buah tindakan
manusia, maka transformasinyapun tidak terjadi secara kebetulan. Jika manusia
memproduksi kenyataan sosial (yang pada gilirannya berbalik mengondisikan
manusia), maka mengubah kenyataan merupakan sebuah tugas historis, sebuah tugas
bagi manusia" (Paulo Freire dkk, Menggugat Pendidikan: Fundamentalis,
Konservatif, Liberal, Anarkis, 2015:441-442). Senada dengan pernyataan
di atas, Eko Prasetyo dalam salah satu bukunya menegaskan, “Siswa sekolah sejak dini perlu diperkenalkan dengan jurang ketimpangan
yang menyelimuti kehidupan kaumnya. Tan Malaka, Haji Achmad Dahlan, Douwes
Dekker, Suwardi Suryaningrat membikin sekolah bukan untuk memasok tenaga kerja,
melainkan sekolah sebagai lembaga yang menyebarkan kesadaran kritis. Mereka
adalah kaum pergerakkan yang percaya kalau kemerdekaan dapat diraih jika
pendidikkan mengajarkan kesadaran tentang kebebasan dan kemerdekaan” (Orang
Miskin Dilarang Sekolah, 2005:201).
Di tengah pusaran kekuatan Ekonomi Liberal
yang kerap diistilah Rezim Neo Liberal yang menekankan kekuatan pasar sebagai
penentu dan privatisasi/swastanisasi berbagai lembaga termasuk lembaga
pendidikkan, gagasan perihal pendidikan kritis, pendidikan yang membebaskan,
pendidikkan model “problem posing education” nampaknya hanya menjadi sekedar
utopia belaka. Realita inilah yang menjelaskan mengapa pendidikkan dan
pengajaran formal semakin hari semakin mahal, realitas inilah yang menjelaskan
mengapa sejumlah mata pelajaran tertentu menjadi idaman yang bakal menghasilkan
keuntungan finansial, realita inilah yang menjelaskan mengapa sejumlah mata
pelajaran tertentu yang dianggap tidak punya nilai ekonomi ditiadakan
sebagaimana dilakukan oleh pemerintahan Jepang dibawah Perdana Menteri Shinzo
Abe memerintahkan untuk menutup fakultas-fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora di
60 universitas nasional di negara tersebut. 26 universitas nasional diantaranya
telah mengonfirmasi akan menutup atau menimbang ulang kebijakan perdana menteri
asal Partai Liberal Demokrat (LDP) tersebut. Alasan yang dipakai Abe dan
pemerintahannya adalah Ilmu Sosial dan Humaniora tidak ada manfaat praktisnya
sehingga sudah seharusnya ditutup dan diganti dengan pendidikan keilmuan lain
yang lebih jelas manfaat praktisnya (Dendy Raditya Atmosuwito, Matinya
Ilmu Sosial dan Humaniora, Matinya Kemanusiaan Kita - http://indoprogress.com/2016/04/matinya-ilmu-sosial-dan-humaniora-matinya-kemanusiaan-kita/).
Sekalipun pesimisitas mengepung keyakinan dan
harapan perihal kembalinya lembaga pendidikkan dan pengajaran sebagai sebuah
institusi yang selayaknya menghasilkan insan mulia yang sadar dan tanggap
terhadap realitas sosial di sekelilingnya, setidaknya melalui tulisan ini
harapan itu tetap dinyalakan untuk mengingatkan dan mendorong para pelaku
pendidikan untuk melakukan terobosan dan perubahan dari narasi pasar yang
mendikte kenyataan serta mengajak kepada semua pembaca yang peduli dengan
pendidikan dan pengajaran sebagai media pembebasan untuk menerjemahkan
pemikiran dalam tulisan ini menjadi sebuah pembentuk kesadaran untuk
menciptakan realitas alternatif dibalik narasi global yang kian membentuk
kesadaran menjadi manusia dan masyarakat serta pemikiran satu dimensi.
0 komentar:
Posting Komentar