Agama, sejatinya berisikan aturan-aturan dan
pedoman-pedoman bagaimana seseorang berinteraksi secara vertikal dengan
“Keberadaan Yang Maha Tinggi” dan bagaimana berinteraksi secara horisontal
dengan sesama manusia dalam kehidupan sosial. Muara akhir yang diharapkan dari
pemahaman dan praktek beragama tentu saja sebuah kesalehan baik kesalehan
individual maupun kesalehan sosial. Namun anehnya, agama yang selalu menjadi
simbol nilai-nilai kesalehan dan kebaikkan, sumber pandangan hidup, jawaban
bagi persoalan-persoalan metafisika di sisi lain kerap tampil ke permukaan
sebagai sebuah bentuk perilaku yang penuh kekerasan dan kemarahan yang
diperlihatkan oleh segolongan orang atau beberapa kelompok masyarakat yang
melakukan sejumlah kekerasan dengan mengatasnamakan agama.
Akhir-akhir ini terjadi insiden dan kekerasan
atas nama agama yang bersifat komunal berupa pembakaran vihara Budha di Tanjung
Balai, Sumatra Utara (29/7/2016) yang diawali teguran seorang wanita etnis Tionghoa
yang menegur volume azan mesjid telah memicu tindakan kekerasan dan pembakaran dan
perusakan sarana ibadah di sejumlah vihara. Kejadian ini adalah kejadian
kesekian dari kesekian kasus-kasus yang mengatasnamakan agama dimana sekelompok
penganut agama merasa dirugikan kebebasan ekspresi keagamaannya atau merasa
terusik saat perilaku agamanya ditegur oleh orang yang berbeda keyakinan atau
adanya sebuah tudingan pelanggaran regulasi oleh salah satu penganut agama
hingga kekerasan dan konflik atas nama agama bermuara. Kita masih ingat
peristiwa insiden pembakaran mesjid di Tolikara, Papua beberapa waktu lalu
(17/7/2015) yang dipicu pula oleh persoalan penggunaan speaker. Sebelumnya
terjadi peristiwa pembakaran sejumlah gereja di Aceh Singkil (13/10/2015) yang
ditengarai tidak berizin dan sekiranya akan dibongkar oleh Pemda Aceh justru
telah didahului dengan peristiwa pembakaran oleh masyarakat.
Peristiwa kekerasan atas nama agama di atas
masih dapat dideretkan dengan sejumlah kasus lain seperti kekerasan yang
bersifat sektarian dimana sejumlah pengikut Ahmadiyah dan Syiah di Indonesia
kerap mendapatkan perlakuan diskriminatif dan kekerasan langsung oleh
sekelompok masyarakat yang merasa sekte-sekte tersebut tidak merepresentasikan
doktrin Islam. Belum lagi kekerasan atas nama agama dalam bentuk kegiatan
terorisme di dalam negeri yang merupakan kepanjangan tangan kegiatan terorisme
internasional. Agama seolah menampilkan wajah lainnya yaitu kekerasan dan
kemarahan disamping wajah kesalehan.
Selalu timbul pertanyaan epistemologis, Benarkah
agama berwajah ganda? Mengapa agama terkesan memiliki wajah ganda? Ataukah
wajah ganda agama lebih disebabkan oleh penafsir dan perilaku umat penganut agama
itu sendiri? Sayangnya, para sosiolog klasik setaraf Max Weber dan Emile
Durkheim pun tidak menaruh perhatian terhadap fenomena kekerasan agama dalam
buku-buku mereka. Mungkin fenomena kekerasan agama belum menjadi gejala
universal dan fenomenal sebagaimana akhir-akhir ini terjadi sehingga kedua
sosiolog tersebut tidak memasukannya sebagai bagian dari pengkajiannya. Dalam
bukunya, Sosiologi Agama (IRCiSOD
2012), Max Weber lebih menaruh perhatian pada aspek sosiologis yang
mempengaruhi perkembangan agama maupun agama yang mempengaruhi kehidupan
sosiologis. Demikian pula Emile Durkheim
dalam bukunya, Sejarah Agama (IRCiSOD 2005) lebih menaruh perhatian pada perkembangan
evolutif agama dari bentuk-bentuk religius yang primitif yang kemudian
beradaptasi secara terus menerus dengan lingkungan sosialnya.
Adalah Charles Kimball, seorang Guru Besar
Studi Agama di Universitas Wake Forest, AS menuliskan dalam bukunya, Kala
Agama Jadi Bencana perihal faktor-faktor yang dapat menyeret dan
membawa agama sebagai sumber masalah. Sebelum membeberkan beberapa faktor
tersebut, Kimball memberikan penjelasan bahwa pemahaman seseorang terhadap
agama sangat mempengaruhi tindakan yang mereka kerjakan sebagaimana dikatakan, “Struktur dan doktrin keagamaan dapat
digunakan nyaris seperti senjata. Kita akan melihat contoh-contoh orang yang
diperbudak oleh gagasan atau begitu jauh berbuat untuk melindungi institusi
agama dari ancaman yang mereka duga. Jika institusi dan ajaran agama tidak
luwes dan tidak memiliki sistem check and balance, hal itu sungguh mempunyai
kesempatan untuk tumbuh menjadi bagin terbesar dari masalah…Apakah agama
seperti senjata? Di tangan Osama bin Laden, kita dapat mengatakan ya; di tangan
Mahatma Gandhi, analogi ini menjadi sesuatu yang menjijikkan…Apakah agama itu
suatu masalah? Ya dan Tidak. Jawaban atas pertanyaan itu terletak pada bagaimana
orang memahami hakikat agama. Pada inti orientasi dan pencarian agama, manusia
menemukan makna dan harapan. Dalam asal muasal dan ajaran inti mereka,
agama-agama bisa jadi mulia, namun cara agama itu berkembang bisa saja jauh
dari ideal” (Mizan 2003:73). Dalam bukunya, secara panjang lebar Kimball
mengulas bahwa agama akan menjadi kekuatan destruktif dan menimbulkan sejumlah
masalah manakala kalangan penganut agama melakukan lima hal yaitu: Pertama, bila suatu agama mengklaim
kebenaran agamannya sebagai kebenaran yang mutlak dan satu-satunya. Kedua, kepatuhan atau ketaatan buta
kepada pemimpin agama. Ketiga,
kegandrungan akan zaman ideal baik di masa silam maupun di masa yang akan
datang dan direalisasikan dalam bentuk gerakan keagamaan. Kempat, tujuan yang membenarkan segala cara untuk meraihnya. Kelima, bilang perang suci dijadikan
norma dan etika sehingga meniadakan komunitas beragama laiannya.
Melihat penjelasan Kimball, maka faktor
agensi atau aktor pelaku agama dan interpretasi seseorang terhadap agama yang
bisa menjadikan agama memiliki wajah lain di samping kesalehan yaitu kekerasan
dan konflik. Segitiga konflik Galtungpun menempatkan faktor agensi dan
interpretasi sebagai elemen yang berkontribusi terhadap situasi konflik dan
kekerasan karena interpretasi agensi akan melahirkan sikap dan pada akhirnya
sikap akan melahirkan situasi atau konflik (Novri Susan, M.A., Pengantar
Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer,Kencana 2009:90-91). Jika
seseorang memiliki interpretasi fundamentalistik terhadap teks agama kemudian
melihat eksistensi orang lain sebagai ancaman dan lawan yang harus disingkirkan
maka interpretasinya akan melahirkan sikap-sikap diskriminatif, provokatif
hingga destruktif.
Jika sumber kekerasan dan konflik agama
adalah agensi dan interpretasinya alias aktor pelaku agama dan interpretasi
agama yang dimilikinya, maka kondisi- yang mempengaruhi aktor dan interpretasi
mereka sehingga melahirkan sikap dan perilaku yang melahirkan situasi konflik
dan kekerasan harus ditemukan dalam konteks sosiologis. Artinya, faktor-faktor
sosiologis apakah yang turut berkontribusi terhadap seseorang atau kelompok
serta komunitas agama memiliki interpretasi teks yang radikalistik dan melakukan
tindakan-tindakan diskriminatif hingga destruktif. Secara sosiologis,
interpretasi seseorang terhadap teks agama dipengaruhi oleh sosialisasi dan
interaksinya dengan pemikiran seseorang maupun dengan kelompok-kelompok
keagamaan yang memiliki kecenderungan fundamentalistik dan radikalistik.
Sosialisasi dan interaksi sosial dapat terjadi melalui buku-buku keagamaan yang
berisikan pemikiran-pemikiran tokoh tertentu mengenai teks dan tafsir agama
maupun melalui pertemuan-pertemuan dengan sejumlah tokoh dan kelompok yang
memiliki pemikiran fundamentalistik dan radikalistik.
Faktor sosiologis lainnya yang berkontribusi
terhadap aktor dan interpretasinya yang membentuk sikap dan tindakan destruktif
mengatasnamakan agama adalah kontruksi sosial yang diterima seseorang perihal
orang lain yang tidak memiliki keyakinan yang sama dengan dirinya. Konstruksi
sosial tersebut bisa diterima melalui keluarga, sekolah atau lingkungannya.
Konstruksi sosial mengenai orang lain bukanlah realitas yang sebenarnya
melainkan realitas yang dikonstruksi oleh karena latar belakang pemahaman dan
kepentingan tertentu. Sebagaimana dikatakan oleh Peter L. Berger dan Thomas
Luckman bahwa konstruksi sosial terjadi dalam tiga momen dialektis yang disebut
eksternalisasi, obyektivikasi serta internalisasi (Tafsir Sosial Atas Kenyataan:
Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan, LP3ES 2013), oleh karenanya
hasil konstruksi sosial akan membentuk pemahaman seseorang tentang dirinya,
agamanya serta orang lain, agama orang lain serta etnis/bangsa lain serta
agamanya.
Apakah faktor-faktor sosiologis menjadi
satu-satunya penjelasan yang memuaskan sebab musabab atau akar penyebab
munculnya konflik dan kekerasan agama? Sosiologi, khususnya perspektif
Struktural dan Konflik lebih melihat pada faktor-faktor sosiologis mana yang
lebih dominan berkontribusi membentuk pemahaman dan perilaku fundamentalistik
dan radikalistik hingga bentuknya yang destruktif berupa konflik dan kekerasan
agama, sebagaimana telah diuraikan di atas perihal aktor/agensi, interpretasi,
sosialisasi, interaksi sosial serta konstruksi sosial.
Namun tidak cukup hanya menggunakan telaah
sosiologis untuk membaca fenomena konflik dan kekerasan atas nama agama karena
teks agama dalam dirinya sendiri menyediakan sejumlah narasi yang memang dapat
diinterpretasi dan dimanfaatkan sebagai roda pendorong untuk melakukan
perubahan sosial baik yang bersifat konstruktif dan dekonstruktif. Perubahan
sosial konstruktif artinya perubahan sosial yang menghasilkan keteraturan
sosial tanpa sebuah gejolak sosial yang menimbulkan keresahan dan ketakutan
hingga korban jiwa secara masif. Setidaknya buku karya Max Weber berjudul, Etika
Protestan dan Spirit Kapitalisme (Pustaka Pelajar 2006) menjadi contoh
dan rujukkan perihal perubahan sosial konstruktif yang didorong oleh
nilai-nilai religius. Sementara perubahan sosial destruktif adalah perubahan
sosial yang menghasilkan situasi chaos
di dalam struktur kehidupan sosial masyarakat. Bentuk ekstrim perubahan sosial
destruktif adalah konflik dan kekerasan agama yang berujung pada aksi
terorisme. Dalam beberapa bagian tertentu, teks dan narasi keagamaan (baik
Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, Budha) kerap melaporkan sejumlah peperangan,
penyerangan sebuah kelompok, bentuk hukuman kejam terhadap sebuah pelanggaran
hukum, kritik terhadap keberadaan kelompok lain. Teks dan narasi ini secara
tidak langsung dapat menimbulkan sejumlah interpretasi yang bisa saja bermuara
pada tindakan konstruktif maupun destruktif.
Namun kembali kepada persoalan aktor/agensi
dan interpretasinya, teks dan narasi Kitab Suci yang berisikan narasi konflik
dan kekerasan tersebut memang terbuka dan berpotensi untuk dipahami secara
tekstual dan literal maupun simbolik. Berpulang kembali pada pemahaman
seseorang terhadap teks dan narasi keagamaan tersebut. Pemahaman literalis dan
tekstual akan melahirkan pemikiran dan perilaku yang fundamentalistik dan
radikalistik yang bermuara pada tindakan destruktif. Sementara pemahaman
integratif akan melahirkan pemikiran dan perilaku yang konstruktif dan lebih
moderat sebagaimana dikatakan Mun’im Sirry, “Dengan
demikian, teks-teks bernada polemik yang lahir dalam kondisi polemik janganlah
dipahami apa adanya. Setiap statemen polemik pasti mengandung unsur
melebih-lebihkan (exaggerating) bahkan distorsi. Demikian juga tuduhan-tuduhan
Perjanjian Baru terhadap kaum Yahudi. Bukan saja tuduhan itu bersifat
subyektif, tapi mungkin juga tidak dimaksudkan sebagaimana yang dikatakannya.
Melalui pemahaman tentang kondisi sosial di mana Kitab Suci muncul dan watak
teks itu sendiri, kita dapat menafsirkan ulang ayat-ayat polemik dalam konteks
modern yang tak lagi polemikal. Dan reinterpretasi semacam itu membantu
mengurangi “cengkraman” teologi supersesionisme terhadap Gereja secara
signifikan” (Memahami Ayat-Ayat Polemik dalam Bible - http://geotimes.co.id/memahami-ayat-ayat-polemik-dalam-bible/).
Sebagaimana dikatakan oleh seorang teolog Islam bernama Ashgar Ali Engineer
mengenai makna Jihad dan peperangan. Beliau menuliskan kritik internal terhadap
pembacaan hurufiah teks Qur’an sbb: “Hendaknya diingat, perintah Qur’an tentang
perang seharusnya ditempatkan dalam konteks Arab abad keenam dan tujuh dan dunia
Arab dalam tradisi kesukuan. Mutlak tanpa kekerasan, sebagaimana anggapan
banyak orang masih merupakan utopia hingga deasa ini, lebih-lebih Arab pra
Islam. Nabi Muhammad (saw) dan para sahabat harus berhadapan dengan situasi
nyata yang mau tidak mau harus dihadapi...Memang terdapat sejumlah besar
kekerasan dalam sejarah Islam, tapi lebih banyak disebabkan oleh kepentingan
pribadi demi keuntungan sendiri, katimbang ajaran Qur’an. Demikian juga, perlu
diingat bahwa dalam sejarah Islam cukup banyak kita temuka perang permusuhan di
dalam tubuh umat Islam daripada peperangan melawan Non Muslim atau peperangan
menyebarkan Islam” (Liberalisasi Teologi Islam: Membangun
Teologi Damai Dalam Islam, Alenia 2004, Hal 17,19).
Kembali kepada keseluruhan gagasan dalam
artikel ini yang mengajukan pertanyaan apakah agama memang sejatinya berwajah
ganda yaitu kesalehan dan kekerasan maka dapat kita jawab bahwa agama sejatinya
sebuah sistem kepercayaan yang mengatur relasi dengan Keberadaan Yang Maha Tinggi
yang dituangkan dalam seperangkat peraturan dan hukum yang berkaitan dengan
peribadatan dan etika sosial sebagai pengejawantahan nilai-nilai yang
dilekatkan pada Keberadaan Yang Maha Tinggi. Kekerasan dan konflik dengan
mengatasnamakan keagamaan oleh para penganut agama baik yang ditujukkan secara
internal (dengan sekte/denominasi yang berbeda dengan dirinya) maupun eksternal
(dengan penganut agama yang berbeda dengan dirinya) lebih dikarenakan
faktor-faktor sosiologis yang mempengaruhi dan membentuk struktur interpretasi,
pemahaman, sikap, perilaku, tindakan individu yaitu sosialisasi, interaksi
sosial, konstruksi sosial. Faktor-faktor sosiologis inilah yang akhirnya
membentuk individu pelaku agama atau dengan kata lain membentuk wajah lain dari
agama yaitu konflik dan kekerasan.
Dengan mempertimbangkan faktor-faktor
sosiologis yang membentuk wajah agama antara kesalehan dan kekerasan, maka
jalan keluarnya bersifat sosiologis pula dimana seseorang sudah seharusnya lebih
banyak berinteraksi dengan pemikiran dan kelompok serta komunitas yang memahami
agama sebagai sumber kesalehan dan perubahan sosial konstruktif. Selain itu,
interaksi sosial dan pergaulan dengan beragam etnis dan kepercayaan akan
mengikis sikap ekslusif dan superioritas keyakinan keberagamaan seseorang dan
menimbulkan sikap saling menghargai dan berbagi ruang terhadap
perbedaan-perbedaan. Rumah (keluarga) dan sekolah adalah sumber darimana
nilai-nilai pluralitas dan penghargaan keragaman dimulai. Jika rumah dan
sekolah gagal menjalankan fungsionalitasnya maka konflik dan kekerasan agama
akan terus direproduksi dan mengalami repetisi dalam ruang waktu dari hasil interaksi
sosial dan konstruksi sosial yang keliru.
1 komentar:
Mantap.
Posting Komentar