SELFIE, SELF, KNOW SELF
Posted byBeberapa hari lalu, saat di Yogyakarta. Seperti biasa jika mampir ke kota di mana saya pernah menimba ilmu untuk memperoleh gelar sarjana, saya selalu menyempatkan diri mampir ke sebuah warung steak kegemaran saya. Saat menunggu pesanan tiba, saya memperhatikan sekelompok anak-anak muda penuh tawa ria bercanda sambil menunggu pesanan yang sama dengan saya. Saat pesanan mereka tiba, ada sebuah pemandangan yang menarik dan untuk pertama kali saya lihat dengan mata kepala tanpa gambar perantara. Dengan memasang pose masing-masing di hadapan hidangan yang tersedia, berlangsunglah ritual modern menjelang makan di kalangan anak muda. Ya..."Selfie" namanya.
Sejak tahun 2002, istilah
"Selfie" mulai dikenal dalam media sosial semacam facebook, instagram,
whatsap dll. Istilah ini pertama kali muncul dalam sebuah forum internet
Australia (ABC Online) pada tanggal 13 September 2002. Istilah Selfie
berasal dari kata Self (diri) dan bermakna bermakna foto diri sendiri
yang diambil oleh diri sendiri melalui penggunaan kamera digital atau
hand phone yang memiliki fasilitas kamera digital di dalamnya. Dalam
dunia industri hiburan Korea dinama "Selca" (self camera).
Pada
tahun 2013, istilah "Selfie" secara resmi tercantum dalam Oxford
English Dictionary versi on line dan bulan November 2013 Oxford
Dictionary menobatkan kata ini sebagai Word of the Year. Sebelum ada
istilah yang menjadi fenomena sosial dan membentuk perilaku masyarakat
dunia dengan melakukan tindakan memfoto diri sendiri dengan istilah
"Selfie", tahun 1914, seorang putri kekaisaran Rusia bernama Anastasia
Nikolaevna pernah melakukan foto diri menggunakan kamera box Kodak
Brownie melalui sebuah cermin yang diperuntukkan bagi temannya.
Sebelumnya, teknologi memotret diri telah muncul pada 1839 saat Robert
Cornelius menampilkan foto diri dengan latar toko keluarganya di
Philadelphia, Amerika Serikat. Saat ini foto tersebut ditempatkan di
Library of Congress Washington. Pada 1970-an, seniman Andy Warhol
bereksperimen dengan potret diri, menyambut datangnya teknologi foto
langsung jadi, polaroid.
Berbicara perihal istilah “Diri” (self),
saya teringat pada karya seorang sosiolog bernama George Herbert Mead
menuliskan judul bukunya, “Mind, Self, and Society: From the Standpoint
of a Social Behaviorist” (Chicago, 1934). Dalam karyanya yang cukup
sulit dipahami, beliau menjelaskan perihal “Diri” (self) seseorang yang
terbagi menjadi “I” (aku) dan “Me” (saya). Antara “I” dan “Me” terjadi
hubungan yang dialektis dan saling mempengaruhi. Sederhananya, “I” (aku)
merupakan identitas individu yang otentik dan orisinil. “I” (aku)
mewakili “diri” saat ini dan yang akan datang. Sementara “Me” (saya)
adalah aspek sosial dari individu. “Me”, mewakili perilaku, sikap, nilai
dan norma yang dipelajari dari orang lain. “Me” bisa dikategorikan
sebagai “Self” (diri) di masa lalu dan dia selalu mengalami perubahan
dan perkembangan akibat dan melalui proses interaksi sosial.
Jauh sebelum Mead mengupas perihal pembelahan “Diri” antara “I” dan
“Me”, pada tahun 1924 seorang ahli Psikoanalisis terkemuka Sigmund Freud
menuliskan paper berjudul “Das Ich und Das Es” (The Ego and the Id)
dimana beliau mengemukakan opini dan analisisnya perihal struktur
kejiwaan dan kepribadian seseorang dengan membaginya menjadi “Id”,
“Ego”, “Super Ego”. Istilah “Id” menunjuk pada struktur kejiwaan yang
paling primitif dan bersifat spontan, natural, naluriah. Sementara “Ego”
adalah aspek rasional yang mengontrol dan menghubungkan antara “Id” dan
“Super Ego”. Adapun “Super Ego”, semacam konsep “Me” dalam pandangan
Mead yang mengacu pada sejumlah nilai dan norma yang membentuk dan
mengontrol “Id”. Bersama “Ego”, “Super Ego” mengatur dan mengarahkan
tingkah laku manusia yang bermaksud memuaskan dorongan-dorongan dari
“Id”, yaitu melalui aturan-aturan dalam masyarakat, agama atau
keyakinan-keyakina tertentu mengenai perilaku baik dan buruk.
Kita tinggalkan sejenak teori abstrak Freud dan Mead dan kembali
memahami perilaku “SeLfie” sebagai fenomena sosial. Dibalik fenomena
sosial selfie kita kerap melihat fenomena lain yang berbanding terbalik
yaitu kita semakin berjarak dan tidak mengenal diri kita sendiri. Kita
justru terjebak semakin mencintai diri kita begitu berlebihan yang dalam
bahasa psikologinya disebut Narsisme. Istilah ini pertama kali
digunakan dalam Ilmu Psikologi oleh Sigmund Freud dengan mengambil dari
tokoh dalam mitos Yunani, Narkissos (Latin, Narcissus), yang dikutuk
sehingga ia mencintai bayangannya sendiri di kolam. Ia sangat
terpengaruh oleh rasa cinta akan dirinya sendiri dan tanpa sengaja
menjulurkan tangannya hingga tenggelam dan akhirnya tumbuh bunga yang
sampai sekarang disebut bunga Narsis.
Filsuf Socrates pernah
berujar, γνῶθι σεαυτόν - Gnothi seauthon (kenallah dirimu sendiri).
Perkataan ini mengandung makna mendalam bahwa seharusnya kita mengenali
siapa diri kita, baik kekurangan dan kelebihan serta berbagai tindakan
kita yang berpotensi menimbulkan kerugian dan sandungan baik bagi diri
sendiri maupun orang lain. Saat kita melakukan "Selfie", jadikanlah
momentum untuk kita semakin mengenal dan mengakrabi diri sendiri (know
self) dan bukan semakin mencintai diri (love self) serta memanipulasi
gambar diri kita melalui teknologi untuk membangun citra diri. Mengenal
diri sendiri mendorong setiap kita untuk selalu melakukan evaluasi
sehingga tidak terjebak pada perilaku tidak terpuji yang mengakibatkan
orang lain dan diri sendiri merugi.
0 komentar:
Posting Komentar