Saya penggemar seni bela diri, mulai dari Kungfu, Pencak Silat, Kempo, Karate, Jiu Jit Su dll. Sekalipun saya bukan seorang ahli. Konsekwensinya berbagai film yang menampilkan kombinasi action atau laga, sangat menarik minat saya.
Berbicara mengenai film laga di Indonesia, sejak saya masih remaja, kerap ada ketidakpuasan bahwa setiap aksi laga yang ditampilkan dalam berbagai film Indonesia – baik dalam bentuk kisah klasik dengan latar belakang sejarah maupun kisah-kisah imajinatif belaka – lebih banyak menampilkan teknik beladiri bukan khas Indonesia. Ambil contoh saja, salah satu film kegemaran saya di tahun 1980-an adalah sertial Jaka Sembung yang mengambil setting masa penjajahan kompeni. Aksi-aksi heroik Jaka Sembung yang diperankan Barry Prima lebih banyak memperlihatkan teknik bela diri bukan asli Indonesia. Jaka Sembung lebih banyak memainkan kaki sebagai senjata dan ini adalah ciri khas Tae Kwon Do, dimana pemeran aslinya memang memiliki latar belakang teknik beladiri tersebut.
Bukan berarti film-film laga Indonesia tidak menampilkan sama sekali teknik beladiri asli bangsa sendiri. Setidaknya film “Ayub dari Pulau Naga” menampilkan teknis beladiri Indonesia, walaupun sebenranya lebih menampilkan corak kung fu mandarin.
Bukan berarti film-film laga Indonesia tidak menampilkan sama sekali teknik beladiri asli bangsa sendiri. Setidaknya film “Ayub dari Pulau Naga” menampilkan teknis beladiri Indonesia, walaupun sebenranya lebih menampilkan corak kung fu mandarin.
Film-film laga Indonesia modern lebih banyak mengadopsi teknik-teknik beladiri kung fu dan sejenisnya, dengan teknik salto berputar-putar di udara berkali-kali seperti terlihat dalam beberapa film laga seperti “Misteri Gunung Merapi” atau “Angling Dharma”.
Bulan Agustus 2009 lalu, jaghad film laga Indonesia merilis judul “Merantau”. Film yang disutradarai pria asal Inggris kelahiran Wales, Gareth Evans ini menampilkan tokoh utama dalam film yaitu Iko Uwais, pesilat nasional yang berperan sebagai “Yuda” dan pendatang baru Sisca Jesicca. Film ini didukung oleh beberapa aktor dan aktris seperti Donny Alamsyah, Christine Hakim, Mads Koudal, Laurent Buson, dan beberapa aktor-aktris lainnya.
Film Merantau ini dimulai dengan Adat istiadat Minangkabau, propinsi Sumatera Barat. Setiap anak laki – laki yang berasal dari Suku Minangkabau harus menjalankan tradisi untuk merantau di tempat lain untuk mencari jati diri sebagai pria sejati dan pengalaman hidup. Lakon utamanya adalah Yuda ( yg diperankan oleh Iko Uwais ) yang mana menguasai beladiri Silat Harimau dan bersiap – siap untuk memulai perantauan. Yuda meninggalkan keluarganya yaitu Ibu yang disayanginya bernama Wulan ( yang diperankan oleh Christine Hakim ) dan adiknya Yayan ( diperankan oleh Donny Alamsyah ). Tujuan utama yang dicari Yuda saat ini adalah Kota Jakarta.
Setelah sampai di kota Jakarta, takdir mempertemukan Yuda dengan Adit yg mana seorang anak yatim piatu ( diperankan oleh Yusuf Aulia ) dan Astri ( diperankan oleh Sisca Jessica ). Saat itu Yuda sedang menelpon dan memergoki Astri sedang di siksa oleh segerombolan organisasi jual beli manusia.
Organisasi itu dipimpin seseorang yang bernama Ratger ( diperankan oleh Mads Koudal ) dan seorang tangan kanan yang bernama Luc ( diperankan oleh Laurent Buson ). Saat itu Ratger berusaha keras mencari Astri yang hendak dijual, tetapi Astri berhasil di selamatkan oleh Yuda dengan mudahnya menghajar Johni ( Alex Abbad ).
Astri, Adit dan Yuda dikejar – kejar oleh mucikari dan preman yang berusaha mengambil alih “barang” yang dimaksud. Setiap langkah yang diambil membuat Yuda harus berkelahi mati – matian untuk melarikan diri di tengah rimbanya kota Jakarta.
Akhirnya karena merasa capek dengan semua itu, Yuda ingin merasakan kebebasan dan berusaha menolong Astri dan Adit dari tangan orang jahat, Yuda akhirnya membuat perhitungan dengan melawan mereka. Ending film ini diakhiri dengan kematian Yuda yang dibunuh secara licik oleh pimpinan mucikari tersebut.
Saya sangat mengapresiasi dari sisi penggunaan seni bela diri pencak silat Minang sebagai kekuatan dalam film ini. Bukan soal perdagangan anak atau eksploitasi terhadap wanita yang sedang saya soroti namun aksi laga dengan menggunakan teknik seni bela diri asli.
Bukankah Indonesia kaya dengan tradisi seni beladiri pencak silat? Di Jawa Barat ada silat Tajimalela, ada silat Cimande, dll. Di Betawi ada silat Cingkring – jurus andalan si Pitung – dan juga silat Sabeni dari Tenabang. Mengapa film-film laga dengan setting sejarah raja-raja, tidak memanfaatkan seni bela diri lokal yang khas ini menjadi core action dalam setiap penampilannya? Dengan menampilkan teknik bela diri bangsa lain dalam film laga berlatar belakang raja-raja justru sangat mendistorsi kekayaan bangsa ini dalam hal teknik bela dirinya yang tidak kalah dengan teknik bela diri impor seperti kungfu Shao lin atau Bu Tong Pay dll.
Celakanya, penggagas pencak silat dipopulerkan dalam film laga Indonesia, justru bukan orang Indonesia sendiri melainkan sutradara asing. Mengapa kita selaluy terlambat untuk mengangkat budaya negeri sendiri sebagai sebuah kekayaan yang dapat mempengaruhi dunia?
Nah, bagi peminat film laga, film “Merantau” merupakan film yang layak ditonton. Bukan semata-mata aksi laga yang menegangkan namun teknik-teknik beladiri “silat harimau” yang khas dari kekayaan bumi Minangkabau didemonstrasikan dalam film ini.
0 komentar:
Posting Komentar