RSS Feed

PEREMPUAN BERKALUNG SURBAN: MENALAR KEBERAGAMAAN KITA

Posted by Teguh Hindarto




Tanggal 26 Februari 2010. Saat letih badan usai pulang dari Yogyakarta pk 12 malam. Niatnya berbaring karena esok pagi harus ke Cilacap. Namun ada tayangan film di salah satu televisi swasta yang membuat kantuk saya lenyap dan mencambuk minat dalam hatiku. Kebetulan aku penggemar film baik Barat maupun Timur dari genre misteri, politik, dokumenter, kritik sosial, religi dll. Tulisan ini nampaknya tidak relevan diangkat saat orang-orang tidak lagi memperbicangkan peredaran film ini yang menuai kontroversi pada tahun 2009 silam. Saya hanya ingin menyampaikan kesan yang menyentuh perasaan saya, bukan memberi penilaian normatif.

Film ini hampir saja saya abaikan karena letih dan kantuk. Namun isi cerita dan hentakan emosi dan gemuruh cinta serta gairah pembebasan intelektual yang dikemas dalam film yang disutradarai Hanung Bramantyo membuat saya mulai larut dalam kisah di dalamnya. Film tersebut berjudul “Perempuan Berkalung Sorban”.

Berikut sinopsisnya: Film ini berkisah mengenai pengorbanan seorang wanita Muslim, Anissa (diperankan oleh Revalina S. Temat), seorang wanita berpendirian kuat, cantik, dan cerdas. Anissa hidup dalam lingkungan keluarga Kyai di sebuah pesantren Salafiah putri al-Huda, di Jawa Timur, Indonesia, yang konservatif. Baginya ilmu sejati dan benar hanyalah al-Qur’an, Hadist dan Sunnah. Buku modern dianggap menyimpang.

Dalam pesantren Salafiah putri Al Huda diajarkan bagaimana menjadi seorang perempuan muslim dimana pelajaran itu membuat Anissa beranggapan bahwa Islam membela laki-laki, perempuan sangat lemah dan tidak seimbang. Tapi protes Anissa selalu dianggap rengekan anak kecil. Hanya Khudori (diperankan oleh Oka Antara), paman dari pihak Ibu, yang selalu menemani Anissa. Menghiburnya sekaligus menyajikan ‘dunia’ yang lain bagi Anissa. Diam-diam Anissa menaruh hati pada Khudori. Tapi cinta itu tidak terbalas karena Khudori menyadari dirinya masih ada hubungan dekat dengan keluarga Kyai Hanan (diperankan oleh Joshua Pandelaky), sekalipun bukan sedarah. Hal itu membuat Khudori selalu mencoba membunuh cintanya. Sampai akhirnya Khudori melanjutkan sekolah ke Kairo, Mesir. Secara diam-diam Anissa mendaftarkan kuliah ke Yogyakarta, Indonesia, dan diterima. Namun Kyai Hanan tidak mengizinkannya dengan alasan bisa menimbulkan fitnah, ketika seorang perempuan belum menikah berada sendirian jauh dari orang tua. Namun Anissa bersikeras dan protes kepada ayahnya.

Akhirnya Anissa malah dinikahkan dengan Samsudin (diperankan oleh Reza Rahadian), seorang anak Kyai dari pesantren Salaf terbesar di Jawa Timur. Sekalipun hati Anissa berontak, tapi pernikahan itu dilangsungkan juga. Kenyataannya Samsudin menikah lagi dengan Kalsum (diperankan oleh Francine Roosenda). Harapan untuk menjadi perempuan muslimah yang mandiri bagi Anissa seketika runtuh. Dalam kiprahnya itu, Anissa dipertemukan lagi dengan Khudori. Keduanya masih sama-sama mencintai ( www.wikipedia.com/Perempuan_Berkalung_Sorban.htm).

Film yang sempat menuai kritik dan kecaman dari Majelis Ulama Indonesia nampak berbeda dengan film-film bertemakan religi lainnya. Jika film-film religi Islam lainnya lebih mengedepankan sikap hegemonik dan superioritas seperti “Ayat-ayat Cinta” (sutradara yang sama dari novel karya Habiburahman) yang berujung pada isue poligami dan jatuh cintanya seorang wanita Kristen Koptik Mesir kepada seorang lelaki Muslim Indonesia bernama Fakhri, yang studi di Al Ahzar Mesir yang sudah memperistri seorang muslim sebelumnya, maka film “Perempuan Berkalung Sorban” (diadaptasi dari novel karya Abidah Al Khalieqy ) lebih mengedepankan sikap-sikap kritis terhadap fanatisme dalam keberagamaan. Bukan hanya itu, film ini hendak menyampaikan pesan tentang realita sosial dan keagamaan dimana terjadinya tarik menarik antara modernisme dan konservatifisme, antara dinamika tafsir terhadap teks Kitab Suci dan sikap stagnan menerima tafsir yang telah diterima selama berabad-abad tanpa melihat konteks zaman yang berubah.



Terkait kontroversi film tersebut, beberapa pandangan negatif muncul dari beberapa institusi religius yang diwakili oleh Ali Mustafa Yakub. Sebagaimana dikutip Suaramedia.com, “Bagi Ali Mustafa Yakub yang juga menjadi Wakil Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), ada dua hal yang menyakitkan umat Islam dalam film itu. Pertama, pencitraan Islam yang sangat buruk. Seolah-olah Islam mengajarkan yang tidak sesuai perkembangan zaman, misalnya, seorang perempuan tidak boleh keluar rumah untuk belajar dan sebagainya sesuai dengan mahromnya dan sebagainya itu. Kedua, penggambaran salah tentang pesantren. "Pencitraan tentang pesantren sangat disayangkan sekali, bahkan saya berani mengatakan itu bukan hanya merusak citra saja tapi memfitnah itu," kata pemimpin Pondok Pesantren Daarus Sunna tersebut. Tidak hanya memboikot, Ali Mustafa juga meminta film yang diangkat dari novel karya Abidah El Khaleiqy itu ditarik sementara dari peredaran untuk diperbaiki” ( http://www.suaramedia.com/berita-nasional/13/4046-imam-besar-istiqlal-serukan-boikot-film perempuan-berkalung-sorban.html).

Pandangan di atas menuai tanggapan pula dari masyarakat. Saya mengutip dari salah satu blog sbb: “Alih-alih menangkap kesimpulan besarnya, tetapi justru MUI membuat pencitraan sendiri kepada suatu karya. Film sama seperti buku, ada tema dan garis besar yang hendak diwacanakan. Untuk menilai suatu karya, kita harus melihat itu semua. Jelas-jelas film Perempuan Berkalung Sorban ingin mengemukakan suatu permasalahan yang semestinya segera diselesaikan dalam konteks sosial umat Islam, bahwa masih ada saja segelintir orang atau oknum dari kaum muslimin yang mempraktikkan budaya-budaya feodalisme, seperti melarang perempuan untuk menuntut pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Seharusnya MUI bisa melihat tema besarnya, tidak semua tokoh dalam film itu menyatakan bahwa perempuan itu sebagai kelas dua, itu namanya pernyataan generalisasi belaka. Justru maksudnya jelas bahwa di satu sisi ada tokoh yang menentang pandangan konservatif seorang muslim yang melarang anak perempuannya keluar rumah. Dan ini yang sebenarnya arah yang dituju, bahwa sikap melarang perempuan keluar rumah untuk menuntut ilmu dan bekerja adalah salah dalam Islam, bukan penyesatan dogma teologis” ( http://kupretist.blogspot.com/2009/02/perempuan-berkalung-sorban-bukan-film.html)
Bagi saya sendiri, film ini setidaknya menarik perhatian saya dikarenakan tiga hal :

1. Otokritik. Pergulatan seorang wanita Islam untuk melawan otoritarianisme yang masih begitu kuat mendominasi masyarakat patriakhi dan semangat untuk meraih ilmu tanpa harus dibayang-bayangi oleh berbagai ketakutan yang dibungkus dengan ungkapan-ungkapan religius. Sementara film-film berdimensi religius Islami lainnya mengedepankan hegemoni religius dan dakwah maka film ini lebih berani menyoroti realita keberagamaan masyarakat kita. Saya tidak melihat bahwa novel maupun film ini hendak melecehkan Islam dan memberikan stigma negatif tentang Islam sebagai agama yang anti kemajuan. Justru saya melihat bahwa film ini hendak melakukan kritik internal atas cara beragama yang didominasi tafsir-tafsir konservatif yang tentu saya merugikan Islam dan membuat Islam mendapat stigma negatif. Bahkan reaksi berlebihan terhadap film ini dapat memperkuat stigma negatif tersebut. Saya senang bisa melihat tayangan film ini di stasiun televisi swasta walaupun cukup larut dan tidak banyak yang menontonnya. Setidaknya televisi swasta tidak terintimidasi oleh berbagai kontroversi dan kritik atas substansi film tersebut.

Saya jadi teringat perkataan Asghar Ali Engineer dalam bukunya “Liberalisasi Teologi Islam: Membangun Teologi Damai dalam Islam” sbb: “Orang beriman seharusnya berpikir bahwa iman bukan berarti pengkopian buta tradisi-tradisi lampau. Iman harus terikat dalam nilai, bukan pada tradisi lama. Seperti halnya sekularisme mutlak dapat menghantarkan kepada kehidupan yang hampa makna dan hampa tanggungjawab terhadap insan yang lain, iman mutlak juga dapat membawa ke penyerahan buta pada otoritas-otoritas yang menjalankan praktik pencerahan semaunya” (Yogyakarta: Alenia 2004, hal 29).

2. Adegan yang tidak munafik. Dalam adegan film tersebut pada akhirnya Annisa menerima cinta dan pinangan Khudori walaupun Annisa harus melewati berbagai kepahitan hidup akibat menerima perjodohan yang dilakukan orang tuannya dengan seorang lelaki yang tidak dicintainya. Dalam adegan tersebut, ada hal yang tidak pernah saya lihat dalam film-film religi lainnya, dimana seorang perempuan berjilbab saat melaksanakan kewajiban sebagai seorang istri kepada suaminya, mulai melepaskan satu persatu kancing baju suaminya...dan adegan inipun diakhiri dengan adegan lain (mungkin juga disensor). Bagi saya adegan ini bukan sesuatu yang menjijikkan dan melecehkan nilai-nilai religius, melainkan menampilkan realita apa adanya sebagai konsekwensi cinta kasih akan bermuara dalam hubungan yang intim antara suami dan istri (yang tentu saja adegan selanjutnya tidak perlu diperlihatkan, sebagaimana beberapa film Barat atau film Indonesia bergenre mistik yang kerap mengumbar sensualitas).

Adegan lainnya yang mencerminkan kegelisahan Annisa dan pemberontakan Annisa terhadap kemunafikan saat dia menihilkan pemahaman Khudori yang mengatasnamakan Tuhan dan memberikan nasihat atas penderitaan-penderitaan dan kesabaran Annisa selama ini menerima perlakuan yang tidak wajar dari suaminya dan lingkungannya.

3. Ajaran Yesus Sang Mesias. Entah penulis novel dan penggarap film ini menyadari atau tidak, namun saya sebagai orang non Islam lebih tersentuh saat salah satu adegan mencerminkan salah satu ucapan Yesus Sang Mesias dalam Injil Yohanes 8:1-11 sbb:

Tetapi Yesus pergi ke bukit Zaitun. Pagi-pagi benar Ia berada lagi di Bait (Tuhan), dan seluruh rakyat datang kepada-Nya. Ia duduk dan mengajar mereka. Maka ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi membawa kepada-Nya seorang perempuan yang kedapatan berbuat zinah. Mereka menempatkan perempuan itu di tengah-tengah lalu berkata kepada Yesus: "Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah. Musa dalam hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian. Apakah pendapat-Mu tentang hal itu?" Mereka mengatakan hal itu untuk mencobai Dia, supaya mereka memperoleh sesuatu untuk menyalahkan-Nya. Tetapi Yesus membungkuk lalu menulis dengan jari-Nya di tanah. Dan ketika mereka terus-menerus bertanya kepada-Nya, Ia pun bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka: "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu." Lalu Ia membungkuk pula dan menulis di tanah. Tetapi setelah mereka mendengar perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua. Akhirnya tinggallah Yesus seorang diri dengan perempuan itu yang tetap di tempatnya. Lalu Yesus bangkit berdiri dan berkata kepadanya: "Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?" Jawabnya: "Tidak ada, Tuan (dalam teks Ibrani, “oudeis Kurie/dalam teks Aramaik, “la anash Mar-Ya”/dalam teks Ibrani, “ein gam ekhad Adoni”)." Lalu kata Yesus: "Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang."

Penggalan kisah yang saya senangi di atas muncul dalam adegan film “Perempuan Berkalung Surban” dimana saat Khudori dan Annisa dituduh melakukan perzinahan saat mereka secara diam-diam menceritakan persoalan mereka berdua di salah satu kandang hewan. Saat para santri lain melempari batu atas hasutan suami Annisa yaitu Samsudin (Reza Rahadian),ibu Annisa berteriak histeris menghentikan aksi rajam tersebut. Dengan kalimat yang menghipnotis para pelempar batu itu, ibu Annisa mengambil salah batu yang dilemparkan dan berkata satu persatu kepada para santri lainnya, “siapakah diantara kalian yang tidak berdosa, silahkan melempar batu ini?” dan satu persatu menggelengkan kepala dan meninggalkan Khudori dan Annisa.

Dengan melihat film ini, saya berharap siapapun dapat mengambil nilai dan manfaatnya bagi keberagamaan kita selama ini. Agama seharusnya menjadi rahmat dan menjadi alat pembebasan dari ketertindasan serta pencerahan spiritual-intelektual. Sikap-sikap fanatik buta dan anti perubahan, anti pembaruan, anti eksistensi agama lain, anti eksistensi peradaban bangsa lain, sesungguhnya memerosotkan hakikat agama menjadi penjara jiwa dan semacam candu buat para penganutnya (mengutip istilah Karl Marx). Yesus berkata, “Apabila kamu mengetahui kebenaran maka kebenaran itu akan memerdekakan kamu” (Yohanes 8:32). Merdeka dari apa? Merdeka dari penjara pemahaman atas perilaku keberagamaan kita yang fanatik buta, anti pengetahuan, anti perubahan, anti pembaruan, lebih mengedepankan sikap-sikap emosional dan bertindak berdasarkan irrasionalitas.


3 komentar:

  1. Teguh Hindarto
    Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
  1. kuntilanak

    Jika agama menjadi juri penilaian
    Biasanya hati nurani tertutup.
    Hati nuarni menjadi kebal, mati dan terbiasa melihat hal yg salah sebagai kebenaran.

    Bagaimana memperbaikinya? Agama?
    Menurut saya melihat dunia secara lebih luas akan lebih baik. (bergaul dengan berbagai macam manusia yg mempunyai berbagai nilai.
    Melihat berbagai kegiatan positif di seluruh dunia
    ATAU?

  1. Unknown

    Baru beberapa hari yg lalu saya nonton film tsb di tv kabel. itupun karena tidak sengaja dan belum tuntas menontonnya.

    Memang bisa dikatakan cukup mengagetkan karena filmnya mengkritisi tentang Islam yang terpaku dalam tradisi2 lampau.

    Dan sama-halnya dengan film Ayat2 Cinta, juga ada penggambaran tentang poligami.

    Dan hal2 seperti itu yg membuat saya bersyukur mulai dari orangtua dari orangtua saya sudah menjadi pengikut Yeshua Ha Mashiakh

Posting Komentar