PENDAHULUAN 1
Cara pandang seseorang sangat menentukan sikap dan keputusan yang diambilnya. Cara pandang seseorang turut pula mempengaruhi cara pandangnya dalam memahami teks Kitab Suci (baik TaNaKh2 dan Kitab Perjanjian Baru). Cara pandang Kekristenan Barat (Eropa, Amerika) secara langsung dan tidak langsung dipengaruhi oleh cara pandang Helenistik (Yunani). Cara pandang itu mengimbas pula ke dalam cara berpikir Kekristenan di Asia termasuk Indonesia dan belahan dunia lainnya. Cara pandang Helenistik ini diterima sebagai konsekwensi logis penerjemahan kisah-kisah kehidupan Yesus dan tulisan-tulisan rasuli dalam bahasa Yunani3. Cara pandang Helenistik ini semakin menguat ketika “Kabar Baik” (Ibr, Besorah/Arb, Injil/Yun, Euanggelion) diberitakan keluar Yerusalem. Rasul Paul telah berhadapan dengan filsuf-filsuf Yunani (Kis 17) dan para Bapa Gereja (Church Fathers) pun hampir keseluruhannya berlatarbelakang filsuf-filsuf yang mengadopsi cara pandang Yunani untuk memahami Kitab Suci dan memberikan pertanggungjawaban terhadap serangan-serangan terhadap Iman Kristen dari para filsuf Yunani.
Cara pandang Helenistik dalam membaca Kitab Suci, menimbulkan sejumlah dampak serius bagi pemahaman teologi, pemahaman ibadah, pemahaman terhadap doktrin, pemahaman terhadap sejumlah peristiwa yang tertulis dalam Kitab Suci. Faktanya, Kitab Suci (baik TaNaKh dan Kitab Perjanjian Baru) mengisahkan kehidupan tokoh-tokoh yang terkait langsung dengan kebudayaan Semitik Hebraik dan dituliskan oleh orang-orang dengan latar belakang Semitik Hebraik. Selayaknya teks Kitab Suci dibaca, dipahami dan ditafsirkan berdasarkan cara pandang Semitik Hebraik, dengan berpikir Ibrani. Anda tidak akan memahami secara baik sastra keagamaan Hindu India yang berjudul Mahabharata, Bharatayuda, Bhagawadgita, tanpa Anda menyertakan penguasaan bahasa sumber dan latar belakang kebudayaan Kitab tersebut dituliskan, sekalipun kitab-kitab tersebut telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Anda tidak akan memahami dengan baik naskah sastra keagamaan Jawa Hindu Negarakertagama, Pararaton dll jika hanya sebatas mengandalkan terjemahan berbahasa Indonesia.
Definisi Cara Pandang Ibrani
Apa dan bagaimanakah “cara pandang Ibrani” itu? Tim Hegg menjelaskan sbb: “To think Hebraically means to think like a Hebrew did in ancients times. Why would this be important? Because the Scriptures, for the most part, were written by Hebrews (Jews). In fact, only Luke of all the writers of Scriptures was not a Jew by birth (at least by modern scholarly opinion). Thus, if we’re going to understand the manner of speech, the way words are used, and the way important issues of life are described by someone in the Hebrew culture, we must understand, in general terms, how the Hebrew people thought-how they looked at life-their world view” (Berpikir secara Ibrani berarti berpikir sebagaimana orang Ibrani berpikir pada zaman lampau. Mengapa hal ini demikian penting? Karena sebagain besar isi Kitab Suci, dituliskan oleh orang-orang Ibrani. Sebenarnya, hanya Lukas dari keseluruhan penulis Kitab Suci yang bukan seorang Yahudi berdasarkan kelahirannya (setidaknya menurut pendapat sarjana modern). Agar kita dapat memahami yaitu cara berbicara, mengenai kata-kata yang dipergunakan serta pentingnya persoalan-persoalan kehidupan yang digambarkan oleh seseorang dalam kebudayaan Ibrani, maka kita harus memahami dengan istilah umum, mengenai bagaimana orang Ibrani berpikir, bagaimana mereka melihat kehidupan - pandangan dunia yang mereka miliki)4. Cara pandang Ibrani yang khas meliputi:5
Down to earth-action oriented (prinsip berorientasi pada tindakan)
Kebenaran:
Bukan sekumpulan gagasan (ide) melainkan pengalaman. Saya menjelaskan kepadamu mengenai kebenaran melalui apa yang telah terjadi dalam sejarah
Nilai :
Jangan katakan pada saya apa yang akan kamu kerjakan namun tunjukkan pada saya apa yang telah kamu kerjakan
Konsep :
Berorientasi pada tindakan, kongkrit bukan abstrak. Dalam bahasa Ibrani, kata kerja muncul mendahului dalam struktrur kalimat. Banyak konsep diekspresikan dengan istilah-istilah yang tegas al;
וישׂא (wayyissa): “menggangkat mata” (Kej 22:4)
ויחר־אף (wayyikharaf af): “hidung terbakar/murka” (Kel 4:14)
אגלה (egleh): “tidak menutup telinga” (Rut 4:4)
תכבדו את־לבבכם (tekabdu et levavkem): “memiliki hati yang keras” (1 Sam 6:6)
Tuhan:
“Yang tidak nampak” namun digambarkan secara nampak dengan istilah-istilah kongkrit al, Tuhan bertelinga, bertangan, berkaki. Para teolog mengistilahkan dengan “anthropomorphisme”
Teologi :
Teologi bukan dipahami sebagai suatu kepercayaan terhadap sejumlah daftar kepercayaan, rumusan dogma melaikan pada suatu hubungan atau relasi. Hal ini ditunjukkan dengan mengekspresikan proses berpikir yang dilakukan dalam hati, dimana seseorang “mengasihi Tuhan” (Ul 6:5), dimana seseorang “merasa takut akan Tuhan”(Ul 28:65), dimana seseorang “merasa berdosa. Bagian dalam tubuh adalah wilayah dimana muncul rasa takut (Yer 4:19) dan hati dimana terletak rasa tertekan (Rat 2:11) dan juga sukacita (Ams 23:16). Kepala bukan dipahami sebagai pusat berpikir melainkan sebagai tempat bagi sesuatu yang halus yaitu kekuatan kehidupan yang mengalir menuju tubuh.
Manusia:
Manusia dipahami sebagai kombinasi utuh dan integral antara bagian yang nampak (material part) dan tidak nampak (immaterial part). Tidak ada yang lebih utama dan penting di antara keduanya
Truth is in the ‘both-and’, not ‘either-or (prinsip harmonisasi)
Cara pandang Ibrani lebih menekankan prinsip keselarasan dan mempertahankan ketegangan daripada berusaha menyelesaikan ketegangan dan mengkontradiksikan ketegangan. Ada banyak persoalan yang kontradiktif namun seluruhnya dipahami sebagai satu kesatuan dan bukan dikontradiksikan. Cara pandang ini disebut “Box Logic” dan pandangan yang berkebalikan dengan itu adalah “Linear Logic” sebagaimana cara pandang Yunani. Contoh-contoh berikut akan dikontradiksikan jika mengikuti cara pandang Yunani namun dalam pemikiran Ibrani ketegangan tersebut diakomodir. Contoh : Tidak ada satu orangpun yang pernah melihat Tuhan (Yoh 1:18, 1 Tim 1:17) namun dibagian lain dikatakan Moshe, Akharon melihat Tuhan (Kel 24:9-10) bahkan Yesus sendiri mengatakan bahwa barangsiapa murni hatinya dia akan melihat Tuhan (Mat 5:8). Prinsip harmonisasi terangkum dalam Yesaya 45:7, “YHWH menjadikan terang dan gelap, yang menjadikan (nasib) beruntung dan menciptakan (nasib) yang buruk” (yotser or ubore khoshek, osheh shalom ubore ra, YHWH oshe kol elleh). Cara pandang mengkontradiskikan segala sesuatu nampak dalam cara pandang beberapa kelompok Islam dalam membaca teks Kitab Suci TaNaKh dan Perjanjian Baru.
Everything in life relates to God (prinsip seluruh kehidupan berhubungan dengan Tuhan)
Tidak ada perbedaan antara yang sekular dan spiritual. Semua ciptaan Tuhan baik (Kej 1:31). Segala sesuatu diterima dengan ucapan syukur (1 Tes 5:17). Dunia adalah arena untuk berkarya (Ul 26:5-10). Kata “ibadah” dan “bekerja” diturunkan dari akar kata yang sama Davar. Bekerja adalah melayani, beribadah adalah melayani. Baik bekerja maupun beribadah adalah pelayanan. Yang satu melayani manusia dan manusia serta yang satu melayani Tuhan.
Religion as a way of life (prinsip agama sebagai gaya hidup)
Agama tidak dipahami sebagai seperangkat sistem kepercayaan dan norma-norma belaka melainkan suatu gaya hidup dan ringkasan pengalaman hidup. Tidak mengherankan kata “berjalan bersama YHWH” (wwayithalek Khanok et ha Elohim) atau “berjalan di jalan-Nya” (haholek biderakaiw) sebagaimana dinyatakan beberapa ayat seperti (Kej 5:24, Mzm 128:1).
Time and History are in God’s hand (prinsip waktu dan sejarah dalam genggaman Tuhan)
Sejarah dipahami sebagai sejarah Tuhan berinteraksi dengan umat manusia. Dalam sudut pandang Ibrani, seseorang harus mengenal sejarah karena dengan mengenal sejarah seseorang dapat mengetahui siapa dirinya. Jika dia tidak mengetahui darimana dia datang maka dia tidak mengetahui kemana dia akan pergi. Hubungan dengan Tuhan didasarkan atas peristiwa sejarah. Ini menuntun pada pemahaman tentang “perjanjian” dengan Tuhan. Seorang yang menjadi anggota suatu perjanjian hany berlaku saat mana dia menjadi anggota masyarakat yang mengikat perjanjian dengan Tuhan. Di luar ikatan perjanjian, dia terlepas dari masyarakat tersebut. Oleh karenanya penanggala dalam sistem kalender Ibrani berkaitan dengan peristiwa-peristiwa historis YHWH terhadap umatnya yang direfleksikan dalam perayaan-perayaan. Pentingnya sejarah terekam dalam Mazmur 78:1-71.
Perbedaan Cara Pandang Ibrani dan Cara Pandang Yunani
Pemahaman terhadap cara pandang Semitik Hebraik menuntut kita memahami pula secara ringkas cara pandang Helenistik (Yunani). Tim Hegg mengatakan, “In our western culture, the worldview ‘glasses’ we wear derive primarly from the Greek philosophies of ancient times. Even if we are entirely unaware of the Greek thinkers, such as Plato and Aristotle, their philospohical pressupositions have shaped and molded the way we interpret reality and particulary how we think about God and His activity within the scipe of human history. When we read the Bible woth our Greek mindset, we inevitably misinterpret it because the human authors of the Scriptures were Hebrew, not Greeks. The eternal, inspired words of the Almighty are clothed in a Semitic worldview, not the garb of the Greek philosophers. Granted, there are areas of commonality between the two both there are also stark contrast. In many ways, the two worldviews are worlds apart”6 (dalam kebudayaan kita – Barat – ‘kaca mata’ sudut pandang yang kita gunakan berasal dari sumber filsafat Yunani kuno. Sekalipun kita tidak menyadari sepenuhnya pemikir-pemikir Yunani seperti Plato dan Socrates namun presuposisi filsafat mereka telah mempertajam dan membentuk cara kita menafsirkan realitas dan secara khusus mengenai bagaimana kita berpikir mengenai Tuhan dan karya-Nya dalam sejarah manusia. Ketika kita membaca Kitab Suci dengan cara pandang Yunani, maka kita sama sekali akan menafsirkan secara keliru pesan-pesan di dalamnya karena penulis Kitab Suci adalah orang Ibrani bukan Yunani. Firman kekal yang diilhamkan Yang Maha Kuasa dibungkus dalam pakaian cara pandang Semitik bukan berpakaian para filsuf Yunani. Sesungguhnya ada wilayah yang sama di antara keduanya namun juga perbedaan yang menyolok. Dalam banyak hal, cara pandang keduannya terpisah).
Tim Hegg meringkaskan perbedaan cara pandang Ibrani dan Yunani sbb:7
Dunia Materi versus Dunia Ide
Pandangan Helenis (Yunani) didominasi terutama oleh karya-karya Plato (428 SM). Pemahaman Plato terhadap realitas adalah “Dualism”. Dia mengajarkan bahwa ada dua realita yaitu realita Ide dan realita Materi. Keduanya saling berkontradiksi. Realitas sejati adalah dunia Ide. Manusia terpenjara dalam realita dunia Materi oleh karenanya untuk mencapai kebenaran di dunia Ide, seseorang harus mengembangkan intelektualitasnya melalui proses berfilsafat yang benar. Konsekwensi logis dunia Ide adalah yang utama maka dunia Materi yang hanyalah dunia bayangan, semu menjadi lebih rendah. Dunia Materi selalu dijadikan sumber segala sumber kejahatan. Pemikiran demikian mengimbas dalam tradisi penafsiran Kristen yang bersifat alegoris. Dengan penafsiran alegoris dikontraskan antara nilai-nilai yang historis dengan yang spiritual. Torah mengenai makanan tahor dan tame dalam Imamat 11 dipahami secara spiritual sebagai pengendalian hidup, menjauhi hal-hal yang najis namun mengabaikan aspek literal dari perintah tersebut. Dualisme bukanlah cara pandang Ibrani.
Logika Linear versus Logika Kotak Tertutup
Dalam pemikiran Helenis, kebenaran berdiri sendiri di luar sana dan menunggu untuk ditemukan. Penemuan kebenaran adalah melalui kegiata intelektualitas termasuk filsafat. Kebenaran yang berada di luar sana bersifat keterkaitan logis satu sama lain. Jika diibaratkan seperti efek domina. Kebenaran yang ditemukan akan berefek pada kebenaran yang lain dan tidak ada jalan tengah. Cara berpikir demikian dinamakan “linear logic” (logika linear). Berkebalikan dengan cara berpikir demikian, cara pandang Ibrani justru bersifat menampung seluruh kenyataan yang sekalipun nampak kontradiktif. Penulis Kitab Suci tidak pernah berupaya untuk menjelaskan berbagai aspek yang nampaknya rumit untuk dirumuskan, contohnya mengenai relasi ontologis Bapa, Putra dan Roh Kudus, namun penulis Kitab Suci termasuk Rasul Paul tetap menyebutkan istilah-istilah tersebut tanpa harus memberikan penjelasan apapun kepada para pembaca surat-suratnya. Cara pandang demikian adalah cara pandang yang dinamakan “box logic” (logika kotak tertutup). Tim Hegg merumuskan kenyataan tersebut dengan mengatakan, “The Hebrew epistemology, then begins by admiting that man’s knowledge will always fall short of producing an entirelly coherent system of truth. Rather than forcing all facts into a linear sequence of logic, the biblical writers affirms the tension of living with truths that appear contradictory…the Hebrew recognized that reality perceived from God’s point of view (and revealed in Scriptures) might appear as contradictory to that same reality viewed from mankind’s limited perpective” (epistemologi Ibrani dimulai dengan sebuah pengakuan bahwa pengetahuan manusia akan selalu gagal menghasilkan seluruh sistem kebenaran yang lengkap. Daripada memaksakan fakta-fakta yang da ke dalam rangkaian logika linear, para penulis Kitab Suci mengakui ketegangan hidup dalam mana bersamaan dengan kebenaran yang kontradiktif…orang Ibrani mengakui bahwa kenyataan yang diterima dari sudut pandang Tuhan (dan disingkapkan dalam Kitab Suci) nampak seperti kontradiktif jika dipandang dari sudut pandang manusia yang terbatas).
Pengakuan Iman versus Melakukan Torah
Ketika Gereja non Yahudi dituntut untuk mempertanggungjawabkan imannnya terhadap berbagai serangan dari pemikiran filsuf-filsuf Yunani, maka Gereja pun memakai instrumen yang sama. Berbagai rumusan pengakuan iman yang dilegalisasi melalui keputusan-keputusan konsili, sarat dengan perdebatan teologis dan filsafat. Rumusan-rumusan pengakuan iman akhirnya bukan hanya sebagai pertanggungjawaban Gereja terhadap kekafiran namun bergerak semakin jauh menjadi suatu pengakuan yang bersifat doktrinal dan dogmatis. Tim Hegg memberikan komentar, “In contrast, we find no such doctrinal creeds in the Judaism of the early centuries. It was not until the middle ages when Rambam, wanting to provide the Jewish community with an answer for Christian apologist, composed the Thiteen Principles as a Jewish ‘confession of faith” (sebaliknya, kita tidak menemukan pengakuan iman sedemikian dalam Yudaisme awal. Hal itu tidak ada sampai pada akhirnya muncul pada Abad Pertengahan ketika Rambam, berusaha untuk menyediakan komunitas Yudaisme agar dapat menjawab para apologet Kristen kemudian menyusun Tiga Belas Prinsip yang dianggap sebagai pengakuam Iman Yahudi). Kitab Suci merekam bagaimana Yesus mengajarkan bahwa seseorang dapat dikategorikan beriman atau tidak bukan dalam hal apa yang mereka percayai melainkan buah apa yang mereka hasilkan, alias perbuatan yang dapat dinilai (Mat 7:16).
Teologi yang sistematik
Cara berpikir linear logic menimbulkan konsekwensi logis menciptakan susunan teologi yang sistematis dalam Kekristenan. Kecenderungan untuk melakukan sistematisasi kebenaran bukan ciri khas dalam literatur-literatur rabinik. Menurut Tim Hegg, “for the rabbis, contradictions provided the necessary ‘push/pull’ energy required for seeing any given subject from every vantage point” (bagi para rabbi, kontradiksi menyediakan perlunya suatu tekanan terhadap kekuatan yang ingin melihat suatu pokok persoalan dari sudut pandang yang menguntungkan). Oleh karenanya diskusi dan perdebatan rabinik dalam Talmud tidak pernah disimpulkan melainkan dibiarkan agar pembaca mengambil kesimpulan sendiri. Tim Hegg melanjutkan, “From a rabbinic perpective, the circle of truth was large enough to include conradictory viewpoints” (dari sudut pandang rabinik, lingkaran kebenaran terlalu luas untuk dimasukkan dalam sudut pandang saling mengkontradiksikan).
Mental Kathedral
Tim Hegg menjelaskan, “Having accepted the Platonic dualism in which the material world is considered evil, the Church focused its attention on hope of escaping the world for a heavenly existence” (Dengan menerima dualisme Platonik yang mana dunia material dianggap sebagai jahat, maka Gereja lebih memfokuskan pada harapan terluput dari dunia menuju keberadaan yang bersifat surgawi). Doa Bapa Kami yang diajarkan Yesus mengatakan, “datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di Bumi seperti di Surga”, merefleksikan suatu cara pandang Ibrani bahwa bumi adalah ajang dan arena untuk memanifestasikan kehendak Tuhan melalui karya umat-Nya. Gereja bukan semata-mata mengumpulkan orang berdosa untuk bertobat dan masuk dalam ruangan ibadah dan bergulat dengan konsep-konsep religius belaka melainkan dituntut hadir ditengah-tengah dunia.
Cara pandang Yunani, Haruskah Dibuang?
Saya tidak sependapat bahwa cara pandang Yunani dibuang begitu saja. Yang harus dibuang adalah paradigma dan kecenderungan untuk menggunakan cara pandang Helenis (Yunani) untuk memahami pikiran Kitab Suci yang ditulis oleh orang Ibrani dengan struktur khas Ibrani, karena jika paradigma ini tetap dilestarikan maka akan semakin mendistorsi pemahaman kita terhadap sejumlah teks dan peristiwa historis dalam Kitab Suci. Kita cukup mengetahui cara pandang Yunani itu apa (sebaik kita mengetahui cara pandang suatu kebudayaan yang menjadi latar belakang kita) dan mencari celah untuk mewartakan Kabar Baik itu dalam bingkai apapun termasuk kebudayaan Yunani (termasuk kebudayaan Indonesia) tanpa menghilangkan essensi dan akar berita yang kita bawa. Karena Rasul Paul telah memberikan teladan, bagaimana dia mempelajari sastra dan filsafat Yunani sehingga dalam beberapa suratnya dia mengutip tulisan-tulisan filsuf Yunani untuk menemukan celah mewartakan Kabar Baik.
Mengutip Sajak Epimenides: αγνωστω θεω (Agnostho Theo, Kis 17:23)
Mengutip Sajak Aratus/Cleanthes: του γαρ και γενος εσμεν (Tou gar kai henos esmen,Kis 17:28)
Mengutip Sajak Menander: φθειρουσιν ηθη χρηστα χρησθ ομιλιαι κακαι (Phtheirousin hethe chresth homiliai kakai, 1 Kor 15:33)
Mengutip Sajak Epimenides dari Kreta: κρητες αει ψευσται κακα θηρια γαστερες αργαι (Kretes aei pseustai kaka theria gasteres argai, Tit 1:12)
Aplikasi Pemahaman Cara Pandang Ibrani Terhadap Pembacaan Kitab Suci
Pengertian istilah Klao (memecah roti) dalam Matius 26:26
Dalam Kitab Perjanjian Baru, ada beberapa kali kalimat “memecah roti” muncul. Saat Yesus memberi makan 4000 orang (Mat 14:19), saat Yesus melakukan perjamuanYesus ke Sorga. Para rasul dan murid-murid Yesus bertekun dalam persekutuan, doa, pengajaran dan memecah roti dirumah-rumah (Kis 2:42, 46, Kis 20:7). Namun demikian, makna “memecah roti” dalam beberapa peristiwa diatas, memiliki makna yang berbeda. Memecah roti dalam Matius 14:19, menunjuk pada pengucapan syukur yang ditandai dengan mengucap Berakhah dengan kalimat Barukh Atta YHWH Eloheinu Melekh ha Olam ha Motsi Lehem min ha Arets (diberkatilah Engkau YHWH Tuhan Raja Alam Semesta yang telah memberikan kami roti dari bumi). Memecah roti dalam Kisah Rasul 2:42,46, Kis 20:7, menunjuk pada tata cara makan dan pengucapan syukur Ibrani setiap hari atau pada hari-hari khusus seperti Sabat atau pada waktu hari raya. Kisah 20:7 merupakan kegiatan Havdalah atau penutupan Sabat yang ditandai dengan makan khallah (Roti Beragi) dengan anggur. Kisah Rasul 2:42,46 dapat juga dimaknai sebagai “perluasan” Seder Pesakh secara praktis untuk mengingat Mesias (1 Kor 11:25-26). Memecah roti dalam Matius 26:26 merupakan bagian dari Seder Pesakh. Kata ‘Seder’ bermakna ‘Tata Cara’. Seder Pesakh merupakan tradisi merayakan Paskah secara Hebraic yang ditandai dengan makan roti tidak beragi (Matsah) dan minum anggur (Tirosh)dengan liturgi khusus. Unsur-unsur dalam Seder Pesakh adalah 4 cawan anggur (Kiddush: Cawan Berkat, Makkot: Cawan Tulah, ha Geulah: Cawan Penebusan, Hallel: Cawan Pujian) dan 1 Cawan untuk Elia. Selain 4 Cawan anggur ada Roti Tidak Beragi (Matzo), Selada (Karpa), Rempah Pahit (Maror), Campuran (Kharoset), Air garam. Apa yang dipahami oleh orang Kristen pada umumnya (Orthodox. Katholik, Protestan) sebagai Ekaristi atau Perjamuan Kudus sebenarnya adalah pelaksanaan Seder Pesakh. Ketika Yesus mengambil roti dan mengucap berkat serta memecah roti, Dia sedang mengambil Afikomen (Matsah yang dipecah dan disembunyikan dengan kain putih) dan menjadikan Afikomen sebagai lambang dari tubuh-Nya yang dipecah dan dikorbankan untuk penebusan umat manusia dari kutuk dosa. Matsah adalah Roti Tidak Beragi, sebagai lambang kemurnian dan tanpa dosa. Dalam salah satu terjemahan Kitab Suci versi Orthodox Brit Khadsha, nuansa Seder dapat dirasakan dalam istilah-istilah khas sbb : “And at the Seudah, Rebbe, Melech HaMoshiach, having taken matzah, having made ha-Motzi, he broke the middle matzah, giving the afikomen to the talmidim, and said, Take and eat, this is my basar. And having taken the Cup of Redemption and having made the bracha, he gave it to them, saying, Drink from it, all of you” (Dan saat Seudah, Rabbi, Raja Mesias, mengambil matsah, melakukan ha Motsi lalu Dia memotong matsah yang ditengah, memberikan afikomen kepada para muridNya dan berkata, ambil dan makanlah, inilah tubuhKu. Dan mengambil Cawan Penebusan dan mengucapkan Brakha, memberikannya pada mereka sambil berkata, Minumlah dari cawan ini, bagi kamu semua). Ketika Yesus mengangkat cawan berisi anggur, Dia sedang meminum Cawan Penebusan (ha Geulah) Berakhah yang diucapkan, Barukh Atta YHWH Eloheinu Melekh ha Olam borei pri ha gofen” (Diberkatilah Engkau YHWH Tuhan kami, Raja Alam Semesta yang menciptakan buah anggur). Sinyalemen bahwa Yesus sedang melaksanakan Seder Pesakh dapat ditelaah dari perkataan Yesus, “Dia yang mencelupkan tangannya kedalam qeraah (mangkok/pinggan), dialah yang akan menyerahkan Aku” (Mat 26:23). Mencelup tangan disini bisa bermakna “membasuh tangan”, namun dapat juga bermakna “mencelupkan karpas dan maror dalam kharoset” dan dapat juga bermakna, “mencelupkan karpas ke dalam air garam”. Sinyalemen lain adalah laporan Matius, “Sesudah menyanyi nyanyian pujian (Hallel), pergilah Yesus dan murid-murid-Nya ke Bukit Zaitun” (Mat 26:30). Pujian dalam penututpan Seder, biasanya diambil dari mazmur 113-118, 136.
Pengertian istilah “nomos” (torah) dalam seluruh Kitab Perjanjian Baru
Kata “Torah” muncul sebanyak 221 kali dalam TaNaKh. American Standard Version selalu menerjemahkan dengan “hukum” (law) sementara Revised Standard Version terkadang menerjemah dengan istilah “ajaran” (teaching), “petunjuk” (intstruction), “keputusan” (decision). Hampir selalu kata “torah” dalam terjemahan Septuaginta diterjemahkan “Nomos” dan dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan “law” (hukum). Padahal essensi kata “torah” adalah “ajaran”. Dalam Torah ada hukum namun Torah bukan hukum belaka. Torah lebih kepada ajaran yang disampaikan YHWH kepada Musa dan Israel yang berisikan pedoman hidup, pedoman ibadah, pedoman perilaku, pedoman berinteraksi dengan sesama dll. Pengertian hukum selalu mengandaikan adanya unsur hukuman, sehingga mendistorsi essensi Torah dan YHWH yang menurunkan Torah.
Pengertian kata “kataluo” (membatalkan) dan “pleroo” (menggenapkan) dalam Matius 5:17
DR. David Bivin dan Roy Blizard memberikan perspektif lain mengenai makna pernyataan “Aku datang bukan untuk meniadakan Torah” sebagai suatu ungkapan khas Ibrani dalam diskusi Rabinik. Ungkapan ini bermakna bahwa “seseorang telah menafsirkan secara keliru tentang Torah”. Jika ada seseorang menafsirkan Torah secara keliru, maka para rabbi yang lain akan mengatakan, “engkau membatalkan Torah”. Dalam konteks makna literal ini, maka Yahshua sedang membantah kepada para pendengarnya, bahwa diri-Nya bukan datang untuk menyimpangkan atau menafsirkan secara keliru terhadap Torah dan Kitab Para Nabi8. Kata yang digunakan untuk “menggenapi” dalam teks Yunani, adalah Pleroo. Kitab Perjanjian Baru menuliskan sebanyak 86 kali dalam arti, “memenuhi”, “menggenapi”, “habis”, “lewat”, “menyatakan dengan penuh”, “memberitakan kemana-mana”, “menyelesaikan”, “melakukan”9. Sebagaimana komentar sebelumnya, David Bivin dan Roy Blizard menyatakan bahwa pengertian “membatalkan” dan “menggenapi” bermakna “tafsir yang menyimpang” dan “tafsir yang tepat”. Selengkapnya, beliau menjelaskan : “Kata ‘membatalkan’ dan ‘menggenapi’, merupakan istilah teknis yang digunakan dalam diskusi rabinik. Ketika seorang bijak merasa bahwa temannya menafsirkan secara keliru bagian dari Kitab Suci, dia akan mengatakan ‘anda telah membatalkan Torah!’, singkatnya, dalam banyak kasus, temannya menunjukkan ketidaksepahaman yang keras. Bagi orang bijak, yang dimaksud dengan ‘melenyapkan Torah” maka kebalikannya, ‘menggenapi Torah’ atau menafsirkan Kitab Suci dengan tepat” 4
Pernyataan diatas diperkuat dengan frasa “kamu telah mendengar” tetapi “Aku berkata kepadamu”. Tanggapan Yesus terhadap tafsiran para rabbi sebelumnya terhadap Torah, ditegaskan kembali secara tepat oleh Yesus dengan penekanan kalimat, “Tetapi Aku berkata kepadamu”. (tafsir) Torah mengatakan, janganlah membunuh karena barangsiapa yang membunuh akan mendapatkan hukuman namun Yesus menegaskan secara tepay makna Torah bahwa yang harus dihukum bukan hanya mengenai kasus yang berat namun yang kelihatannya ringan, seperti kemarahan yang luar biasa dengan mengeluarkan umpatan kasar seperti raka (Mat 5:21-22). (tafsir) Torah mengatakan jangan berzinah. Yesus memberikan pemahaman yang tepat mengenai zinah, bahwa seseorang yang berzinah bukan semata-mata yang memiliki hubungan dengan wanita lain selain istrinya, namun memandang wanita yang bukan istrinya dan mengingininya, sudah dikategorikan perzinahan (Mat 5:27-28). (tafsir) Torah mengijinkan suatu perceraian namun Yesus memberikan pemahaman bahwa jika bukan karena alasan yang kuat, yaitu perzinahan, maka janganlah sampai terjadi perceraian. Dengan melakukan perceraian, kita telah menjadikan diri kita dan pasangan kita sebagai seorang yang berzinah (Mat 5:31-32). (tafsir) Torah mengajarkan agar jangan bersumpah palsu. Yesus memberikan pemahaman yang tepat bahwa hendaklah seseorang tidak bersumpah demi apapun juga, karena sumpah mengandung risiko. Tidak jarang kita melakukan dalih dalam sumpah yang kita ucapkan dihadapan Tuhan dan sesama (Mat 5:38-42). (tafsir) Torah mengajarkan untuk mengasihi dan membenci musuh. Ayat ini sering dijadikan alasan untuk membenci dan tidak memaafkan orang-orang yang bersalah pada diri kita. Yesus memberikan pemahaman yang tepat dengan mengatakan untuk mengasihi musuh dan jangan membalas kejahatan dengan kejahatan yang setimpal (Mat 5:43-48).
Eksposisi penegasan Yesus diatas membuktikan bahwa Yesus bukan “membatalkan Torah” (menyimpangkan makna Torah) melainkan “menggenapi Torah” (memberikan pemahaman yang benar). Senada dengan ulasan David Bivin dan Roy Blizard, DR. David Stern dalam ulasannya mengenai kata “membatalkan” dan “menggenapi”, mengatakan sbb: “Adalah tepat bahwa Yeshua memelihara Torah secara sempurna dan menggenapi berbagai nubuatan dalam Kitab Para Nabi. Namun bukan ini pokok persoalannya. Yeshua tidak datang untuk membuat tidak berlaku Torah namun membuat ‘maknanya menjadi penuh’ mengenai apa yang dituntut dalam Torah dan Kitab Para Nabi. Selanjutnya Dia melengkapi pemahaman kita terhadap Torah dan Kitab Para Nabi…Pasal 5 yang tersisa, menjelaskan enam kasus khusus dimana Yesus memberikan penjelasan makna rohani secara penuh mengenai pokok-pokok dalam hukum Yahudi”10.
Pengertian kata “logos” (firman) dalam Yohanes 1:1
Yohanes 1:1 dibuka dengan kalimat, εν αρχη ην ο λογος και ο λογος (en arkhe en ho Logos). Apa arti pernyataan tersebut? Logos, dalam arti filsafatnya sudah lama di pakai sebelum penggunaannya di dalam Kitab Yokhanan, baik dalam konteks pemikiran Yunani maupun Mesir bahkan pemikir Yahudi bernama Philo11. Heraklitus (500 SM) mula-mula menggunakan istilah Logos. Menurutnya, dunia selalu mengalami perubahan. Daya penggerak perubahan tersebut adalah Logos. Logos adalah pikiran yang benar dan bersifat kekal Anaxagoras (400 SM) beranggapan bahwa Logos adalah jiwa manusia yang menjadi pengantara antara Elohim dan manusia. Logos berdiam di dalam dunia. Philo (20 SM-20 Ms) seorang Yahudi Alexandria menyatakan bahwa Logos adalah akal tuhan yang menjadi pengantara antara Tuhan dan manusia. Logos tidak berkepribadian dan Logos tidak dapat berubah menjadi manusia.
Pendapat beberapa ahli mengenai penggunaan kata “Logos” dalam Kitab Perjanjian Baru sbb:“Rasul Yohanes tanpa ragu-ragu memakai kata Logos sebagai sarana untuk memperkenalkan Tuhan Yesus. Tetapi Logos yang di maksudkan oleh Yohanes tidak sama dengan Logos yang di artikan oleh orang lain”. Selanjutnya Purnawan menambahkan, “Rasul Yohanes telah menyimak suasana pikiran zamannya, mengambil istilah yang umum di pakai dan tumpuan harapan orang sesamanya, serta memberi arti baru yang lebih dalam sesuai dengan ilham Roh Kudus kepadanya”12. Injil Yohanes di karenakan istilah itu sudah di kenal dalam lingkungan Yahudi dan Yunani, namun penggunaan Logos harus di mengerti latar belakangnya dalam penyataan Elohim dalam Perjanjian Lama13
Jika ditinjau dari sudut pandang Hebraik atau akar Semitik naskah Greek, maka kata Logos memiliki akar Semitiknya yang berasal dari penggunaan kata Davar. DR. David Stern mengulas sbb: “The language echoes the first sentence of Genesis…thus the TaNaKh lays the groundwork for Yochanan’s statement that the Word was with God and was God’s (bahasa tersebut menggemakan kalimat pertama dari Kitab Kejadian…sehingga TaNaKh meletakkan dasar bagi pernyataan Yohanes bahwa Sang Firman bersama Tuhan dan Firman adalah Tuhan)14.
Pengertian kata horan tes proseuches (waktu sembahyang) dalam Kisah Rasul 3:1
Dalam Yudaisme, dikenal istilah Tefilah. Tefilah bermakna berdoa. Namun pengertian tefilah dalam Yudaisme bukan hanya sekedar ucapan spontan kepada Tuhan yang berisikan permohonan. Tefilah meliputi waktu-waktu tertentu dalam menghadap Tuhan dan dengan diiringi sikap tubuh yang tertentu. Kitab Suci memberi petunjuk mengenai tefilah yang meliputi:
Waktu-waktu yang tertentu
Waktu doa harian Yudaisme terdiri dari Shakharit, Minha dan Maariv. Dalam tradisi Yudaisme, waktu-waktu doa dinamakan zemanim. Pola ibadah ini merujuk pada waktu peribadahan di Bait Suci (Kel 29:38-42; Bil 28:1-8). Nabi-nabi dan raja-raja di Israel kuno melaksanakan tefilah harian sbb : Daud (Mzm 55:17), Daniel (Dan 6:11), Ezra (Ezr 9:5), Yesus Sang Kristus (Luk 6:12), Petrus dan Yohanes (Kis 3:1), Petrus dan Kornelius (Kis 10:3,9)
Sikap tubuh yang tertentu
Beberapa petunjuk mengenai berbagai sikap atau postur tubuh yang tertentu al., Berdiri (Ul 29:10, , Mzm 76:8), Bersujud (Mzm 96:9, Mat 26:39), Berlutut (Mzm 95:6, Kis 20:36), Mengangkat kedua tangan (Rat 3:41; Mzm 134:2)
End Note
1 Disampaikan pada Retreat Gereja Kemah Abraham di Mount Hermont, Kec. Pacet Cipanas Cianjur, Jawa Barat, 29 Juni – 1 Juli 2009.
2 Akronim untuk Torah, Kethuvim, Neviim. Kekristenan pada umumnya menyebut dengan istilah “Perjanjian Lama”, sebuah istilah yang tidak biblikal dan bias pemahaman
3 Saya menggunakan kalimat, “penerjemahan kisah-kisah kehidupan Yesus dan tulisan-tulisan rasuli dalam bahasa Yunani”, karena saya termasuk yang meyakini teori-teori dan tradisi yang menyatakan bahwa Kitab Perjanjian Baru baik Injil Sinoptis maupun surat-surat rasuli ditulis dalam bahasa sumber baik Ibrani dan Aramaik kemudian diterjemahkan dalam bahasa Yunani (Band. Christopher Lancaster, “Was The New Testament Really Written in Greek? A Concise Compendium of the Many Internal and External Evidences of Aramaic Peshitta Primacy” www.watch.pair.com/peshitta.html, dan kajian Michael D. Marlowe dalam artikelnya, “The Semitic Style of the New Testament, www.bible-researcher.com, Brian Knowles, dalam “Which Language did Jesus Speak Aramaic or Hebrew? http://www.godward.org/Hebrew%20Roots/did%20jesus%20speak%20hebrew.htm, serta kajian D. Bivin dan R. Blizzard , Understanding the Difficult Word of Jesus, 2001)
4 Interpreting the Bible: An Introduction to Hermeneutics, TorahResources.com Distance Learning Yeshiva, 2000, p. 20
5 Ibid., p.20-23
6 My Big Fat Greek Mindset (Part 1 & 2) 2006 on www.torahresources.com
7 Ibid
8 Understanding the Difficult Words of Jesus, Destiny Image Publishers, 2001, p. 114
9 Op.Cit., Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia, hal 648
4 Ibid., Understanding the Difficult Words of Jesus
10 Jewish New Testament Commentary, JNTP, 1992, p.25-26
11 Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I, BPK Gunung Mulia, 1993, hal 363
12 Apologetika Abad Pertama (Buletin “Sahabat Gembala”, Bandung, 1992, h.58)
13 STT I-3, Batu, Malang, Jatim, 1993, hal 13
14 DR. David Stern., Jewish New Testament Commentary, JNTP 1992, p.153