SUROTO, TRIKORA, REALITA HIDUP, AKU
Posted byPak Suroto, itulah namanya. Kami berkenalan di atas kereta Pramek (Prambanan Express) jurusan Solo-Kutoarjo. Tgl 1 Februari 2010, kereta tidak terlalu padat namun semua orang telah memadati setiap kursi yang tersedia. Seorang tua berpakaian tentara dan berjaket mendekatiku.
Dalam pembicaraan saya mengetahui bahwa beliau adalah salah satu anggota veteran Trikora . Operasi Trikora, juga disebut Pembebasan Irian Barat, adalah konflik dua tahun yang dilancarkan Indonesia untuk menggabungkan wilayah West New Guinea. Pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Indonesia Soekarno mengumumkan pelaksanaan Trikora di Alun-alun Utara Yogyakarta. Soekarno juga membentuk Komando Mandala. Mayor Jenderal Soeharto diangkat sebagai panglima. Tugas komando ini adalah merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan Papua Barat dengan Indonesia(http://fadli25.blogspot.com/2009/05/operasi-trikora-pembebasan-irian-barat.html#comment-form)
Saya tanya, mau kemana Pak? dia menjawab mau ke Jakarta. Mau apa? Dia tiba-tiba mengeluarkan buku dari balik jaketnya dan selembar kertas semacam tanda bukti penerimaan uang. Dia meminta saya memperhatikan dengan baik-baik tulisan dalam selembar kertas itu. Sekelebatan mata saya melihat bahwa kertas itu adalah bukti penerimaan tunjangan bulanan Pak Suroto sebesar Rp. 250.000,-
Dia melanjutkan bertanya pada saya, "Mas, uang Rp. 250.000,- apa bisa makan untuk sebulan tidak?" Saya mengernyitkan kening saya. Tersenyum getir sambil berkaca diri bahwa uang makan saya hanya berbeda beberapa ratus ribu saja dengan beliau. Saya katakan, "Iya Pak, tentunya tidak cukup".
Kemudian dia bercerita panjang lebar mengenai kehidupannya sejak zaman Trikora, kisah-kisah heroik yang dialaminya, falsafah-falsafah yang dianutnya bahkan kesulitan-kesulitan hidupnya selama ini. Dengan menahan tangis di matanya, dia menceritakan bagaimana dia tinggal di atas tanah yang bukan miliknya di desa Brebah, Yogyakarta. Rumah itupun sudah ambruk akibat gempa. Dia tinggal di bekas tenda para sukarelawan. Dia mengeluhkan perhatian pemerintah yang hanya memberi tunjangan sedemikian minim tanpa melihat jasa dan tindakannya selama ini dalam merebut Irian Barat dengan bertaruh nyawa. Namun demikian dia mensyukuri bahwa di pemerintahan sekarang dia menerima tunjangan sedemikian sementara di pemerintahan sebelumnya, dia tidak menerima sama sekali.
Dalam sela pembicaraan yang disertai gelak tawa, decak kagum, senyum getir, tiba-tiba dia bertanya, "Mas, sudah gajian belum?" Saya asal saja menjawab, "Tanggal 5 Februari Pak! Ada apa?" tanya saya. "Jika Mas tidak keberatan, mbhok saya dikasi Rp. 5000,- untuk bekal saya ke Jakarta" (Beliau ternyata hendak transit ke Kuatoarjo menunggu kereta Sawunggaling ke Jakarta. Beliau musti ambil uang Rp. 250.000,- ke Jakarta. Agar tidak dikenai biaya, dia selalu mempergunakan seragam tentara marinirnya, karena dia tidak pernah membawa uang banyak jika tidak membawa sama sekali).
Saya katakan padanya, "Nanti Pak, saya beri, gak enak kalau dilihat orang". Dan saya meneruskan pembicaraan, mengeksplorasi kisah kehidupan dan pahit getir salah satu mantan pejuang di negeri ini. Penuh ironi dan kegetiran dibalik pakaian yang mengindikasikan kekuatan.
Saya tidak membawa uang banyak. Saat dari Yogyakarta, saya dititipi uang dalam amplop sebesar Rp. 200.000 untuk diserahkan bendahara gereja dimana uang tersebut thoh nantinya akan diserahkan juga pada saya. Saya bulatkan tekad di hati untuk mengambil uang Rp. 50.000,- dalam amplop dan saya berikan nanti pada Pak Suroto.
Pukul 15.45 kereta tiba di Stasiun Kutoarjo. Kami berjabatan tangan dan berpisah. Tidak lupa saya sematkan uang Rp.50.000,- digengaman tangannya.
Hari itu saya belajar 3 hal penting:
(1) Berbagi dan berbuat baik tidak perlu menunggu sampai kita memiliki kehidupan yang mapan dan berlimpah secara material.Bukankah dikatakan jika kita memberi dari apa yang benar-benar kita miliki sesungguhnya kita telah memberi dari keseluruhan hidup kita? Mereka yang memberi dari kelimpahan mereka sebenarnya hanya memberi dari sisanya saja? Pak Suroto sedang memerlukan pertolongan dan bukan nasehat, ceramah maupun kotbah. Saya sering tersenyum getir ketika ada seseorang yang menasihati dan menceramahi seseorang yang sedang meminta bantuan dan pertolongan. Bukan itu yang diperlukan orang tersebut. Dia memerlukan tindakan kita. Nasihat dan petuah adalah baik. Motivasi dan doa adalah mulia. Namun lebih mulia jika kita berbuat sesuatu sebagai wujud nyata petuah dan doa kita.
(2) Masih ada orang yang lebih susah dari saya. Terkadang, saat kita tertindih dengan persoalan yang berat, kita merasa bahwa kitalah yang paling menderita. Di atas langit ada langit, di bawah bumi ada bumi. Kita bukan satu-satunya yang paling menderita dan mengalami persoalan. Masih ada orang-orang yang mengelami beban melebihi diri kita. Ini mendorong kita untuk selalu optimis dan berpengharapan bahwa masa depan selalu ada bagi kita. Jika seekor burung pipit dipelihara tangan Tuhan bukankah kita yang diciptakan berdasarkan Rupa dan Gambar-Nya lebih mulia? Persoalan hidup hanyalah sisi lain dan bentuk lain Tangan Tuhan mendidik dan mendewasakan kita.
(3) Pak Suroto tidak tergoda untuk melakukan jalan pintas dalam melewati getirnya hidup. Saat dia masih aktif sebagai pejuang Trikora, dia dilatih melakukan tindakan penyusupan, pencurian data dll. Semua ilmu itu tentu dapat saja disalahgunakan dalam kondisi hidup yang sedemikian sulit. Namun dia tidak melakukannya. Dia tetap jernih berbagi wawasan kehidupan dengan saya dan tetap menjaga kehormatan (bahasa sekarang, "Integritas Moral") sebagai seorang mantan pejuang.
Apa yang saya utarakan di atas hanyalah petikan dari pelajaran yang saya dapat. Hidup adalah belajar. Pertemuan dengan orang atau peristiwa yang baik dan yang buruk adalah belajar. Rabbi Ben Zoma berkata, "Ezehu khakam? hallomed mmikol adam!" (Siapakah yang bijaksana? Dia yang belajar dari semua orang" (Pirkey Avot IV.1). Dan dikatakan dalam Pirkey Avot III.3 sbb: "Halomed mekhaver perek ekhad, uhalaka ekhat, upasuk ekhad, udibur ekhad, uafilu ot ekhad, tsarik linhag bo kavod?" (Dia yang belajar dari sesamanya meski hanya 1 pasal, 1 aturan, 1 ayat, 1 kalimat atau 1 huruf sekalipun, musti kita menghormatinya). Yahshua ha Mashiakh (Yesus Sang Mesias) mengajarkan bahwa sesama kita adalah "mereka yang berbuat baik bagi sesamanya".
Pak Suroto sesama saya tempat saya belajar. Dan apa yang telah saya dapat, saya sampaikan bagi Anda yang mau belajar dari peristiwa di atas. Kiranya setiap kita mendapat pencerahan (Haskalah).
Teguh Hindarto
Tlatah Kebumen, Medio Februari 2010, Pk. 23.00
http://www.facebook.com/?sk=messages&tid=1541143703250#!/note.php?note_id=295025953810
Saya tanya, mau kemana Pak? dia menjawab mau ke Jakarta. Mau apa? Dia tiba-tiba mengeluarkan buku dari balik jaketnya dan selembar kertas semacam tanda bukti penerimaan uang. Dia meminta saya memperhatikan dengan baik-baik tulisan dalam selembar kertas itu. Sekelebatan mata saya melihat bahwa kertas itu adalah bukti penerimaan tunjangan bulanan Pak Suroto sebesar Rp. 250.000,-
Dia melanjutkan bertanya pada saya, "Mas, uang Rp. 250.000,- apa bisa makan untuk sebulan tidak?" Saya mengernyitkan kening saya. Tersenyum getir sambil berkaca diri bahwa uang makan saya hanya berbeda beberapa ratus ribu saja dengan beliau. Saya katakan, "Iya Pak, tentunya tidak cukup".
Kemudian dia bercerita panjang lebar mengenai kehidupannya sejak zaman Trikora, kisah-kisah heroik yang dialaminya, falsafah-falsafah yang dianutnya bahkan kesulitan-kesulitan hidupnya selama ini. Dengan menahan tangis di matanya, dia menceritakan bagaimana dia tinggal di atas tanah yang bukan miliknya di desa Brebah, Yogyakarta. Rumah itupun sudah ambruk akibat gempa. Dia tinggal di bekas tenda para sukarelawan. Dia mengeluhkan perhatian pemerintah yang hanya memberi tunjangan sedemikian minim tanpa melihat jasa dan tindakannya selama ini dalam merebut Irian Barat dengan bertaruh nyawa. Namun demikian dia mensyukuri bahwa di pemerintahan sekarang dia menerima tunjangan sedemikian sementara di pemerintahan sebelumnya, dia tidak menerima sama sekali.
Dalam sela pembicaraan yang disertai gelak tawa, decak kagum, senyum getir, tiba-tiba dia bertanya, "Mas, sudah gajian belum?" Saya asal saja menjawab, "Tanggal 5 Februari Pak! Ada apa?" tanya saya. "Jika Mas tidak keberatan, mbhok saya dikasi Rp. 5000,- untuk bekal saya ke Jakarta" (Beliau ternyata hendak transit ke Kuatoarjo menunggu kereta Sawunggaling ke Jakarta. Beliau musti ambil uang Rp. 250.000,- ke Jakarta. Agar tidak dikenai biaya, dia selalu mempergunakan seragam tentara marinirnya, karena dia tidak pernah membawa uang banyak jika tidak membawa sama sekali).
Saya katakan padanya, "Nanti Pak, saya beri, gak enak kalau dilihat orang". Dan saya meneruskan pembicaraan, mengeksplorasi kisah kehidupan dan pahit getir salah satu mantan pejuang di negeri ini. Penuh ironi dan kegetiran dibalik pakaian yang mengindikasikan kekuatan.
Saya tidak membawa uang banyak. Saat dari Yogyakarta, saya dititipi uang dalam amplop sebesar Rp. 200.000 untuk diserahkan bendahara gereja dimana uang tersebut thoh nantinya akan diserahkan juga pada saya. Saya bulatkan tekad di hati untuk mengambil uang Rp. 50.000,- dalam amplop dan saya berikan nanti pada Pak Suroto.
Pukul 15.45 kereta tiba di Stasiun Kutoarjo. Kami berjabatan tangan dan berpisah. Tidak lupa saya sematkan uang Rp.50.000,- digengaman tangannya.
Hari itu saya belajar 3 hal penting:
(1) Berbagi dan berbuat baik tidak perlu menunggu sampai kita memiliki kehidupan yang mapan dan berlimpah secara material.Bukankah dikatakan jika kita memberi dari apa yang benar-benar kita miliki sesungguhnya kita telah memberi dari keseluruhan hidup kita? Mereka yang memberi dari kelimpahan mereka sebenarnya hanya memberi dari sisanya saja? Pak Suroto sedang memerlukan pertolongan dan bukan nasehat, ceramah maupun kotbah. Saya sering tersenyum getir ketika ada seseorang yang menasihati dan menceramahi seseorang yang sedang meminta bantuan dan pertolongan. Bukan itu yang diperlukan orang tersebut. Dia memerlukan tindakan kita. Nasihat dan petuah adalah baik. Motivasi dan doa adalah mulia. Namun lebih mulia jika kita berbuat sesuatu sebagai wujud nyata petuah dan doa kita.
(2) Masih ada orang yang lebih susah dari saya. Terkadang, saat kita tertindih dengan persoalan yang berat, kita merasa bahwa kitalah yang paling menderita. Di atas langit ada langit, di bawah bumi ada bumi. Kita bukan satu-satunya yang paling menderita dan mengalami persoalan. Masih ada orang-orang yang mengelami beban melebihi diri kita. Ini mendorong kita untuk selalu optimis dan berpengharapan bahwa masa depan selalu ada bagi kita. Jika seekor burung pipit dipelihara tangan Tuhan bukankah kita yang diciptakan berdasarkan Rupa dan Gambar-Nya lebih mulia? Persoalan hidup hanyalah sisi lain dan bentuk lain Tangan Tuhan mendidik dan mendewasakan kita.
(3) Pak Suroto tidak tergoda untuk melakukan jalan pintas dalam melewati getirnya hidup. Saat dia masih aktif sebagai pejuang Trikora, dia dilatih melakukan tindakan penyusupan, pencurian data dll. Semua ilmu itu tentu dapat saja disalahgunakan dalam kondisi hidup yang sedemikian sulit. Namun dia tidak melakukannya. Dia tetap jernih berbagi wawasan kehidupan dengan saya dan tetap menjaga kehormatan (bahasa sekarang, "Integritas Moral") sebagai seorang mantan pejuang.
Apa yang saya utarakan di atas hanyalah petikan dari pelajaran yang saya dapat. Hidup adalah belajar. Pertemuan dengan orang atau peristiwa yang baik dan yang buruk adalah belajar. Rabbi Ben Zoma berkata, "Ezehu khakam? hallomed mmikol adam!" (Siapakah yang bijaksana? Dia yang belajar dari semua orang" (Pirkey Avot IV.1). Dan dikatakan dalam Pirkey Avot III.3 sbb: "Halomed mekhaver perek ekhad, uhalaka ekhat, upasuk ekhad, udibur ekhad, uafilu ot ekhad, tsarik linhag bo kavod?" (Dia yang belajar dari sesamanya meski hanya 1 pasal, 1 aturan, 1 ayat, 1 kalimat atau 1 huruf sekalipun, musti kita menghormatinya). Yahshua ha Mashiakh (Yesus Sang Mesias) mengajarkan bahwa sesama kita adalah "mereka yang berbuat baik bagi sesamanya".
Pak Suroto sesama saya tempat saya belajar. Dan apa yang telah saya dapat, saya sampaikan bagi Anda yang mau belajar dari peristiwa di atas. Kiranya setiap kita mendapat pencerahan (Haskalah).
Teguh Hindarto
Tlatah Kebumen, Medio Februari 2010, Pk. 23.00
3 komentar:
mas, tau alamatnya pak suroto ga?
Sepertinya kami mengenal Beliaunya...., Ya begitulah nasib "veteran" di negara "berkembang", by the way terimakasih atas perhatian terhadap beliaunya...Syukron.
Reza, maaf terlambat membaca tanggapan Anda. Saya pernah diberi alamatnya tapi saya lupa dimana. Jika Anda berminat, akan saya coba mencari alamat beliau
Posting Komentar