ANATOMI KUASA MEDIA SOSIAL
Posted by
Media sosial telah menjadi bagian
dari realitas keseharian masyarakat sebagai konsekwensi revolusi teknologi
informasi yang bukan hanya melahirkan alat komunikasi berupa handphone dan smartphone melainkan telah
memadukkan dengan teknologi internet sehingga memudahkan melakukan pencarian
data secara daring maupun proses interaksi sosial digital melalui sejumlah
aplikasi yang disematkan dalam ponsel pintar.
Sebesar 70 % populasi daring
penduduk Indonesia berada di bawah usia 35 tahun dan mereka adalah pengguna
media sosial yang aktif. Indonesia menempati urutan keempat dunia dalam
penggunaan jejaring media sosial bernama Facebook
pada tahun 2015 sebanyak 64 juta pengguna. Dalam hal penggunaan akun Twitter, Indonesia berada dalam urutan
ketiga tertinggi di dunia dengan 20 juta pengguna (Fredom on the
Net 2015: Indonesia – freedomhouse.org). Ibu Kota Jakarta dijuluki sebagai
kota paling aktif di Twiter, dengan
sebagian besar tweet per hari dikirim
dari kota ini (Erwida Maulia, Jakarta
Named Most Active Twitter City in Recent Study, – the jakartaglobe.com).
Media sosial bukan lagi sekedar sebuah aplikasi digital dan instrumen untuk berinteraksi sosial melainkan telah menjadi sebuah ruang virtual dimana setiap individu atau kelompok sosial berinteraksi dan mempercakapkan banyak hal mulai dari persoalan sosial, budaya, politik, teknologi dan banyak hal lainnya. Ruang virtual ini semacam dunia bernama Pandora dalam film Avatar.
Sebagaimana film Avatar yang
menceritakkan perihal pencarian sumber daya energi yang dapat dipergunakan
untuk kelangsungan hidup manusia yang terletak di sebuah dunia bernama Pandora, yaitu bulan berpenghuni dan
berhutan lebat yang mengitari raksasa gas Polyphemus
dalam sistem bintang Alpha Centaury
yang dihuni oleh suku Na’vi, spesies
humanoid dengan postur tubuh setinggi 10 kaki dan berwarna kebiruan serta
berekor. Agar dapat memasuki dunia Pandora,
seorang manusia harus menciptakan sebuah teknologi yang dapat memasuki dunia
mereka dan mengubah tubuh seseorang agar dapat berinteraksi dengan kehidupan
sosial suku Nev’i. Tokoh Jack yang
anggota militer kemudian memasuki dunia Pandora dan terlibat hubungan khusus
dengan seorang wanita dunia Pandora
bernama Neytiri.
Bukankah saat kita berinteraksi
melalui media sosial? Kita (terkadang) menggunakan nama yang bukan diri kita,
foto yang bukan diri kita? Kalaupun tetap menggunakan nama dan foto profil diri
kita yang asli, kitapun seolah-olah memasuki dunia percakapan yang lebih
leluasa dan imajinatif dari sekedar percakapan di dunia material?
Media sosial ternyata bukan
sekedar ruang virtual tempat bertemunya individu dan kelompok secara virtual
namun media sosial dapat menjadi ruang kunci dan medan pertempuran
menyebarluaskan pengaruh demi membangun modal sosial kelas oligarkis media
untuk kepentingan jangka panjang, khususnya pengaruh politik. Sebagaimana
dikatakan Ross Tapsell, “Alhasil, media
digital menjadi ruang kunci kontestasi dimana kaum oligark media dan
kekuatan-kekuatan warga berlomba-lomba untuk mengendalikannya” (Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki,
Warga dan Revolusi Digital, 2018:17).
Yang tidak kalah menarik untuk dianalisis, media sosial telah menjelma menjadi entitas virtual yang memiliki kuasa (power) yang mampu mengubah keadaan baik yang bersifat sosial, budaya, ekonomi maupun politik khususnya. Kita akan melakukan anatomi kuasa media sosial dengan membandingkan sejumlah peristiwa yang melibatkan peran media sosial di dalamnya.
Kuasa Transformatif
Seseorang yang semula bukan
siapa-siapa (nothing) tiba-tiba menjadi sesesorang yang penting (something)
ketika dirinya kedapatan melakukan sejumlah aksi yang menyentuh kemanusiaan
ataupun heroik yang disebarluaskan dan menimbulkan efek viral.
Kita masih ingat dua orang gadis
bernama Sinta dan Jojo yang melambungkan namanya di tahun 2010 dengan
mengunggah video Lip Sync (singkatan
dari Lip Synchronisation - adalah
sikap seseorang seolah benar-benar bernyanyi dengan menggerakkan bibirnya
dibarengi dengan lagu yang diputar melalui kaset atau media yang lain) berjudul
Keong Racun di You Tube. Setahun kemudian yaitu 2011, jagad media sosial
diigegerkan dengan nama Norman Kamaru, seorang anggota kepolisian yang
fenomenal karena aksinya mengunggah video Lip
Sync dengan menyanyikan lagu-lagu India.
Kuasa Penekan Keputusan Hukum dan
Politik
Keputudan hukum ataupun politik
yang dianggap mencederai keadilan terhadap individu tertentu, dapat dengan
mudah mendorong reaksi massa melalui jejaring media sosial. Di tahun 2009,
kasus perseteruan Prita Mulyasari dengan R.S. Omni Internasional melahirkan istilah
Koin Peduli Prita, sebagai bentuk
dukungan dan kepedulian terhadap kasus Prita melalui jejaring media sosial.
Gerakan Koin Peduli Prita mengajak
masyarakat khususnya para pengguna internet mengumpulkan uang koin untuk
disumbangkan kepada Prita Mulyasari. Uang ini untuk membayar denda Prita kepada
RS OMNI Internasional Alam Sutera yang bernilai Rp 204 juta. Masih di tahun
2009 ketika terjadi perseteruan institusional antara KPK dan Kepolisian,
menyusul ditangkapnya Bibit Samad dan Chandra Hamzah, melahirkan sebuah
dukungan melalui jejaring media sosial bernama Gerakan 1.000.000 Facebooker Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad
Riyanto yang diinisiasi Dosen
Universitas
Muhammadiyah Bengkulu bernama Usman Yasin.
Kuasa Mobilisasi Massa
Perlawanan terhadap sebuah rezim
yang dianggap melakukan penindasan struktural, hasrat untuk melihat sebuah
perubahan politik, penolakkan terhadap sebuah kebijakkan, dilakukan dengan
kekuatan mobilasi massa. Media sosial dapat mempercepat mobilisasi massa dengan
melakukan penggiringan opini, ajakan baik yang bersifat persuasif maupun
provokatif. Fenomena Arab Spring yang
mengakibatkan tumbangnya kekuatan politik status
quo di kawasan Timur Tengah, terpilihnya Obama dan Jokowi sebagai presiden,
tidak dipungkiri karena peran mobilisasi melalui jejaring media sosial. Aksi
212 di tahun 2018 yang berhasil mengonsentrasikkan massa Muslim di Monas dengan
jumlah yang begitu besar karena peran media sosial.
Kuasa Penyesatan Informasi
Media sosial dapat mengubah kehidupan seseorang yang semula adalah orang terpandang dan disegani menjadi terlujuti kehormatannya oleh viralitas sebuah berita hoax tentang dirinya yang sekalipun kemudian dapat diklarifikasi namun viralitas secara digital tidak mudah menghapus hoax yang diterima publik. Kita masih ingat di tahun 2017, kepolisian menangkap jaringan sindikat bernama Saracen yang melakukan bisnis ujaran kebencian dengan biaya berkisar 75 juta hingga 100 juta, melalui provokasi dan berita palsu berkonten SARA yang dapat menjatuhkan nama baik seseorang, menyandera pertumbuhan karir seseorang, merusak hubungan personal dan sosial serta membenturkan emosi antar umat beragama.
Penyebarluasan berita hoax, saat ini
sudah membentuk kesadaran publik sehingga penyebarluasan berita hoax tidak harus menjadi domain
organisasi tertentu namun dapat melibatkan individu dengan kepentingan
tertentu, entah politik atau sekedar ketidaksukaan terhadap seseorang. Kasus hoax ijazah Presiden Jokowi oleh seorang
bernama Umar Khadid Harahap memperlihatkan jenis penyebarluasan hoax yang tidak harus melibatkan
organisasi tertentu dengan biaya tertentu.
Kuasa Mendelegitimasi Bisnis
Beberapa hari ini, media sosial dihebohkan dengan cuitan pendiri bisnis Bukalapak.com bernama Ahmad Zaky yang mempersoalkan minimnya dana riset dan harapannya terhadap presiden baru agar dapat mengubah landskap penelitian. Pernyataannya dianggap sebuah serangan terhadap Presiden Jokowi sehinggamenimbulkan viralitas tagar #UninstallBukalapak yang sedang tren di Twitter sampai saat ini. Rating Bukalapak mengalami penurunan dari 4 menjadi 3,2.
Peristiwa
yang sama pernah dialami produk Sari Roti saat diboikot oleh peserta Aksi 212
karena menyangkal keterlibatan dan dukungan mereka terhadap aksi mobilisasi. Aksi
212 yang berbuntut gerakan boikot Sari Roti sendiri terjadi pada Desember 2016.
Hasilnya, emiten ROTI mengalami penurunan penjualan bersih dari Rp 610,97
miliar di kuartal I-2016 menjadi Rp 602,45 miliar di kuartal I-2017 (Sari
Roti Pernah Diboikot Seperti Bukalapak, Gimana Dampaknya? –
Kumparan.com)
Dari pemaparan anatomis kuasa
media sosial di atas, kita tidak dapat begitu saja mengatakan bahwa media
sosial sebagai produk modern dan revolusi teknologi hanya memiliki wajah yang
ramah sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya (kuasa transformatif dan menekan
sebuah kebijakkan yang dianggap mencederai keadilan) namun media sosial
memiliki wajah tidak ramah (kuasa penyesatan informasi dan mendeligitimasi
bisnis).
Artikel ini pernah dimuat di Qureta.com (2019)
0 komentar:
Posting Komentar