MELACAK ANTISEMITISME DI HINDIA BELANDA
Posted byUlasan Buku Di Bawah Kuasa
Antisemitisme Karya Romi Zarman
Peta Antisemitisme
Ketika kita mendengar nama Yahudi, maka ingatan publik
kerap terhubung dengan berbagai istilah turunan lainnya yaitu “konspirasi”,
“ambisi mengontrol dunia”, “pembunuh Yesus”, “musuh Islam” dll. Nama Yahudi biasanya dihubungkan dengan sentimen-sentimen
keagamaan yang bertebaran dalam banyak buku-buku di Indonesia, baik yang
bersifat karya terjemahan maupun kajian mandiri. Sebut saja beberapa judul
terjemahan Kenapa Kita Tidak Berdamai Saja Dengan Yahudi, karya Muhsin Anbataani (Jakarta:
Gema Insani Press, 1993), Yahudi Menggenggam Dunia,
karya William G. Carr (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1993), Adapun buku karya non terjemahan al., Jejak Freemason & Zionis Di
Indonesia, karya Herry Nurdi (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2005). Tidak
kurang dalam sejumlah karya sastra berbahasa Indonesia, berbagai gambaran
Yahudi sebagai ancaman dan simbolisasi kejahatan dalam novel Anak
Betawi Diburu Intel Yahudi.
Bisa jadi novel karya Ridwan Saidi mengilhami novel berikutnya yang diterbitkan
tahun 2011 yaitu The Jacatra Secret: Misteri Satanic Symbols di Jakarta garapan
Rizki Ridyasmara.
Sebagaimana telah saya ulas dalam artikel
berjudul, Kartini di Antara Yahudi dan
Teosofi, alih-alih memberikan deskripsi sosiologis dan historis Yahudi dan
Yudaisme dengan segala dinamikanya di Indonesia era kolonial hingga menjelang
pembentukan Indonesia modern, kita terjebak pada berbagai gambaran bias yang
direproduksi dari berbagai mitos-mitos yang berkembang di Eropa Abad Pertengahan
hingga munculnya fasisme Hitler sebagai kulminasi ekspresi Antisemitisme dalam
wujudnya yang merusak dan mematikkan (https://www.qureta.com/post/kartini-di-antara-yahudi-dan-teosofi)
Berbagai tulisan Era Patristik (100-700 Ms) atau karya
Bapa Gereja al., Yustinus Martyr, Athanisius, Clement dari Alexandria,
Tertulianus, Origenes kerap tersisipi pandangan-pandangan negatif terkait
Yahudi dan Yudaisme yang kemudian kerap
dituding sebagai benih-benih Antisemitisme modern yang memuncak pada Nazisme
Hitler. Dalam salah satu kotbahnya, Yohanes Christosomos (347-407 Ms) mengatakan,
“sekarang izinkan saya berbicara,
perkataan ini melawan orang-orang Kristen yang berpikiran Yahudi ini. Jika Anda
menilai bahwa Yudaisme adalah agama yang benar, mengapa Anda menyebabkan
masalah bagi gereja? Tetapi jika Kekristenan adalah iman yang benar,
sebagaimana adanya, tetap di dalamnya dan ikutilah. Beritahu saya ini. Apakah
Anda berbagi misteri ibadah ini bersama kami, apakah Anda menyembah Mesias
sebagai seorang Kristen, apakah Anda memintanya berkat-Nya serta merayakannya
dengan musuh-musuhnya? Lalu, dengan tujuan apakah Anda datang ke gereja?” (Michael
Schiffman, Return of the Remnant: The Rebirth of Messianic Judaism, 1990:17).
Nasib Yahudi dan penganut
Yudaisme di Abad Pertengahan pun dipengaruhi stereotip dan produksi stigma
sebelumnya yang telah berkembang dalam tubuh kekristenan. Pada Tgl 31 Maret 1492 Raja Ferdinand dan Ratu
Isabela menandatangani Edict of Expulsion
(Perintah Pengusiran) untuk membersihkan
komunitas Yahudi dari Spanyol. Mereka diberi dua pilihan: dibaptis dan menjadi
Kristen atau dideportasi. Banyak yang mencintai Spanyol dan akhirnya memilih
dibaptis dan menjadi Kristen. Namun sebanyak 80.000 orang Yahudi lainnya
memilih menyebrang ke Portugal dan 50.000 lainnya memilih menyebrang ke dunia
Islam khususnya di pemerintahan Khalifah Utsmaniah (Karen Armstrong, Berperang
Demi Tuhan, Serambi & Mizan 2000:4).
Sekalipun
keberadaan orang-orang Yahudi di Andalusia, Spanyol kerap dihubungkan dengan
Abad Keemasan Islam dimana mereka terlibat secara aktif dalam berbagai kegiatan
keagamaan dan produksi pengetahuan serta berbagai penerjemahan karya klasik
Yunani (Jewish Under Islamic Rule in the Middle Ages, Journal of Islamic
Studies and Culture, Vol 2, 2014:35). Namun tidak semua sarjana Barat dan
Yahudi sependapat dengan kondisi Yahudi di era Islam yang disebut mengalami era
keemasan. Salah satunya Robert Cohen, seorang Professor Studi Timur Dekat dari
Universitas Princeton yang menulis buku Under Crescent and Cross: The Jews in the
Middle Ages (2008). Dalam salah satu artikelnya yang berjudul, The
Golden Age of Jewish Muslim Relations: Myth and Reality, dikatakan, “They exploited the tolerance they ascribed to Islam to chastise their
Christian neighbors for failing to rise to the standards set by non Christian
society hundreds of year earlier” (https://press.princeton.edu/chapters/p10098.pdf).
Demikian pula Martin Luther dalam bukunya berjudul, On The Jews and Their Lies
(1543) menuliskan sejumlah pernyataan keras bernada hasutan terhadap Yahudi
dan berbagai literatur mereka yang harus dimusnahkan karena dianggap berisikan
ajaran yang membahayakan (http://www.jrbooksonline.com/PDF_Books/JewsAndTheirLies.pdf).
Sebagaimana dikatakan Marvin Perry dan Frederick M. Schweitzer, “Antisemitism has very little to do with the actual behavior of Jews or the strictures of their highly ethical religion—indeed, antisemites usually are totally ignorant of the rich tradition of rabbinical writings that discuss, often wisely and insightfully, biblical themes and Jewish laws—but is rooted in delusionary perceptions that are accepted as authoritative and passed on and embellished from generation to generation” (Antisemitisme sangat sedikit hubungannya dengan perilaku orang Yahudi yang sebenarnya atau ketatnya etika agama mereka— bahkan, orang-orang antisemit biasanya benar-benar tidak tahu tentang tradisi kaya tulisan-tulisan kerabian yang membahas, sering secara bijaksana dan penuh wawasan, tema-tema Kitab Suci dan hukum Yahudi — tetapi berakar pada persepsi delusi yang diterima sebagai berwibawa dan diwariskan dan dihias dari generasi ke generasi – Antisemitism: Myth and Hate From Antiquity to the Present, 2002:3).
Sikap-sikap Antisemitisme lebih didasarkan
pada mitos-mitos tinimbang interaksi sosial langsung dengan teks-teks keagamaan
Yudaisme dan pergaulan keseharian dengan orang Yahudi. Mengapa demikian? Karena
sekalipun teks-teks keagamaan menjadi rujukan, khususnya Kekristenan, thoh
diakui atau tidak diakui Yesus Sang Mesias yang menjadi sentrum ajaran
Kristiani secara antropologis adalah seorang Yahudi (Teguh Hindarto, Yesus,
Yahudi, Yudaisme, 2018:17-52). Logikanya, jika Yesus adalah seorang
Yahudi (Ibrani 7:14), maka membenci Yahudi secara tidak langsung membenci
Yesus. Bersikap Antisemit berarti secara tidak langsung bersikap Anti Yesus
yang Semit. Oleh karenanya makna kalimat delusionary perceptions
lebih pada pemahaman bias dalam membaca teks-teks Kitab Suci dalam membaca
relasi Yesus dan Yahudi.
Kombinasi
antara prasangka teologis dan mitos-mitos yang diproduksi mengenai Yahudi di
era Hitler pun masih mewarnai pandangan negara-negara Arab terhadap eksistensi
Yahudi sebagaimana dikatakan Marvin Perry dan Frederick M. Schweitzer, “It needs to be remembered that the Arabs
imported German antisemitism in the 1930s and during World War II, a
development that was extended when numerous Nazi war criminals and officials
found refuge after 1945 in Arab states” (Perlu diingat bahwa orang-orang
Arab mengimpor antisemitisme Jerman pada 1930-an dan selama Perang Dunia II,
sebuah perkembangan yang diperluas ketika banyak penjahat perang dan pejabat
Nazi menemukan perlindungan setelah 1945 di negara-negara Arab - Antisemitism: Myth and Hate From Antiquity to the Present, 2002:10).
Termasuk di dalamnya perihal mitos Protocols of the Learned Elders of Zion yang aslinya
adalah roman yang ditulis sekitar tahun 1864 oleh seorang pengacara Perancis
Maurice Joy sebagai kritik terselubung terhadap diktator Kaisar Napoleon III
dan aslinya berjudul Dialogue in Hell
Betwen Machialvelli and Montequieu atau Dialog dalam Neraka antara
Machialvelli and Montequieu (Martin van Bruinessen, Yahudi Sebagai Simbol Dalam
Wacana Pemikiran Islam Indonesia Masa Kini, Jurnal GEMA Duta Wacana Edisi 53, 1998:113).
Antisemitisme Terhadap Yahudi di Hindia Belanda
Berbeda dengan beberapa buku sebelumnya
yang mengulas eksistensi Yahudi dan Yudaisme di Hindia yang dipengaruhi
pemahaman bias Antisemit dan melihat secara parsial sebagai organisme dan
organisasi yang bersifat konspiratif, buku karya Romi Zarman dengan judul, Dibawah
Kuasa Antisemitisme: Orang Yahudi di Hindia Belanda 1861-1942) mengulas
secara komprehensif eksistensi Yahudi dan Yudaisme dari perspektif historis
melalui analisis teks sumber primer berupa arsip-arsip dan majalah-majalah
Yahudi yang terbit di Hindia Belanda.
Romi Zarman lebih memfokuskan pada alur
narasi historis arus masuknya pemahaman Antisemitisme di Hindia Belanda yang
dimulai dari Eropa dan mengonstruksi pemahaman penduduk Hindia Belanda hingga
terbentuknya Indonesia modern dan bagaimana upaya-upaya yang dilakukan oleh
orang-orang Yahudi di Hindia Belanda dalam merespon Antisemitisme yang merayapi
Hindia Belanda.
Dalam konteks kolonialisme, eksistensi
Yahudi di Hindia Belanda terbagi menjadi dua kelompok sebagai konsekwensi
penerbitan Reglement op den Burgerlijken
stand voor alle Christenen en Joden oleh Du Bus pada tanggal 18 Juni 1828
yaitu Vreemde Joden (Yahudi Asing)
dan Nederlandsch Joden (Yahudi Belanda). Mereka yang
terkategori Vreemde Joden termasuk Yahudi Turki, Yahudi Portugis, Yahudi
Polandia, Yahudi Austria, Yahudi Rusia, Yahudi Rumania, Yahudi Hunggaria,
Yahudi Armenia, Yahudi Arab, Yahudi Persia, Yahudi Bagdad (hal 61). Istilah
tersebut bergeser pada tahun 1885 menjadi Europeesche
Joden (Yahudi Eropa) dan Aziatische
Joden (Yahudi Asia) (hal 63).
Salah satu bentuk bias Antisemitik yang
dialami orang-orang Yahudi di Hindia Belanda adalah perlakuan diskriminatif di
mata hukum. Jika mereka bermasalah dengan orang Eropa maka mereka kerap dalam
posisi yang kalah namun jika mereka berhadapan dengan Inlander (pribumi) maka mereka memiliki posisi hukum yang kuat (hal
69-72).
Sejumlah diskriminasi dan stigma
negatif yang kerap dilekatkan pada diri mereka membuat mereka harus melakukan
“strategi sosial” berupa perkawinan campur (hal 45-53) penyamaran nama-nama mereka
ke dalam nama Eropa (hal 53-57) Penamaan
asli Yahudi di pusara-pusara prajurit Belanda Yahudi di pemakaman Peutjut, Aceh yaitu mereka yang tewas
dalam pertempuran Krueng Kale (1873),
dianalisis oleh Romi Zarman sebagai “jalan pulang” yaitu pengakuan asal usul
mereka yang baru berani dimunculkan saat mereka telah tiada (hal 58).
Antisemitisme yang telah melanda Hindia
Belanda memerlukan sebuah “strategi sosial” dari orang-orang Yahudi yang
tinggal di sana. Selain perkawinan campur dan penyamaran nama sebagaimana
diulas dalam halaman sebelumnya, bergabung dalam ide pembentukkan negara Yahudi
modern yaitu Zionisme. Berbeda banyak buku yang mengulas dengan nada hujatan
dan disematkan dengan teori-teori konspirasi, eksistensi Zionisme oleh Romi Zarman
dinilai sebagai respon terhadap Antisemtisme sebagaimana dikatakan, “Zionisme adalah ideologi tandingan atas
antisemitisme. Perlawanannya tampak menjanjikan di amana ia pertama kali masuk
di Hindia Belanda pada akhir dekade pertama Abad 20” (hal 74). Sejatinya,
Zionisme sebagai gerakan politik memang bertujuan untuk merespon pogrom sebagaimana dikatakan Howard N. Lupovitch, “The most dramatic Jewish response to the
pogroms was a renewed sense of Jewish nationalism among disillusioned Russian
maskilim, which resulted in the birth of Zionism. Zionism refers to an ideology
and political movement that aimed at creating a Jewish homeland in the Land of
Israel” (Jews and Judaism in World History, 2009:187).
Kegagalan pendekatan Asimilasi
(penyesuaian Yahudi terhadap lingkungan setempat) menyebabkan ide Zionisme
berkembang di Hindia Belanda dengan ditandai berdirinya Nederlandsch Zionistebond di Amsterdam tahun 1898 yang kemudian dibawa ke Jawa pada tahun
1909 oleh Isidore Hen yang kelak memimpin dua sertikat Yahudi di Hindia Belanda
Nederlandsch Indie Zionistebond dan Vereeniging voor Jodsch belangen in
Nederlandsch Indie yang nantinya dipersatukan dalam satu bendera bernama Centrale Joodsch Raad (Dewan Pusat Yahudi)
(hal 75). Zionisme berbeda dengan para Asimilasionis yang defensif, mereka
bersifat ofensif dan tidak menutupi identitas keyahudian mereka. Termasuk
melakukan penerbitan majalah Erets Israel (Het
Joodsche Land) di Padang tanggal 9 September 1926 (hal 77).
Namun perjuangan Zionisme di Hindia
Belanda semakin meredup seiring hadirnya National
Sozialistische Deutsche Arbeiterpartei (NSDAP) yaitu cabang Partai Nazi di
Batavia pada tahun 1932. Sebagaimana ditulis Romi, “Tawaran-tawaran yang dihadirkan Zionisme sejak awal dekade ketiga
hingga abad ke-20 dipaksa surut ke kedalaman dan orang-orang Yahudi kembali
berfikir ulang mengenai strategi sosial yang sedang berlangsung di Hindia
Belanda” (113).
Saat Pemerintahan Jepang mengambil alih
Hindia Belanda pada tanggal 8 Maret 1942, nasib orang-orang Yahudi tidak jauh
berbeda dengan sebelumnya bahkan lebih buruk karena harus masuk di kamp
interniran beberapa tahun kemudian (hal 127)
Pentingnya Diskursus Yahudi dan Yudaisme Dalam
Historiografi Indonesia
Dalam banyak kajian Historiografi
Indonesia, kita mendapati banyak sumber-sumber literatur yang mengulas
keberadaan orang-orang Eropa di Hindia Belanda. Demikian pula dengan keberadaan
orang-orang Arab dan Tionghoa namun kajian sistematis dan komprehensif keberadaan
orang-orang Yahudi dan Yudaisme masih minus. Kalaupun ada, sifatnya parsial dan
sarat prasangka keagamaan. Sebagaimana dikatakan Romi, “Sarjana Indonesia telah lama memunggungi soal-soal kehadiran Yahudi di
negeri ini, setidak-tidaknya berlangsung hingga awal Abad Milenium” (hal
13)
Sebagaimana ditetapkan oleh Indische Staatsregeling 1927 Pasal 162
perihal golongan penduduk Indonesia di era Hindia Belanda yang terdiri dari (1)
Golongan Eropa (2) Golongan Timur Asing (3) Golongan Bumiputra/Pribumi (Nurani
Soyomukti, Soekarno dan Cina, 2012:195), maka keberadaan Yahudi bisa
terbagi menjadi baik golongan Eropa maupun Timur Asing. Kajian Romi Zarman
berkontribusi menelaah lebih dalam historiografi golongan dalam struktur
masyarakat Hiondia Belanda yang tidak teridentifikasi dengan baik yaitu Yahudi
dan agama Yudaisme.
Kiranya kajian ini menjadi pijakan utama dimana dilanjutkan dengan kajian-kajian yang lebih komprehensif perihal Yahudi dan Yudaisme sebagai bagian dari masayarakat pra Indonesia yaitu Hindia Belanda, sehingga kita memiliki potret yang lebih obyektif dari perspektif sosiologis dan historis.
Artikel ini pernah dimuat di Qureta.com (2018)
0 komentar:
Posting Komentar