Revolusi teknologi informasi dan komunikasi yang telah melahirkan ruang-ruang virtual dimana kita dapat berinteraksi melalui jaringan internet dan berhasil mendigitalisasi waktu, ruang, materi, bukan hanya berhasil “mendatarkan dunia” (Thomas L. Friedman, The World is Flat: Sejarah Ringkas Abad 21, 2009) namun juga “melipat dunia” (Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan, 2011) juga “meniadakan batas antar negara” (Kenichi Ohmae, The Borderless World: Dunia Tanpa Batas, 2008) bahkan “mendisrupsi berbagai sektor ekonomi” (Rhenald Kasali, Disruption, 2017).
Istilah-istilah di atas yang dijabarkan oleh para penulisnya hendak menggambarkan perubahan landskap kehidupan material yang beralih ke dalam kehidupan virtual sehingga batas-batas geografis menjadi semu dan roboh sehingga setiap orang dimanapun dapat saling terhubung dalam waktu yang semakin cepat dan efekstif serta efisien
Modernitas Abad 21 bukan hanya ditandai dengan berbagai proses kebaruan sebagaimana konsepsi modernitas Abad 19-20 namun juga ditandai dengan proses digitalisasi di segala bidang kehidupan. Tidak mengherankan kita menyebutnya dengan Era Digital (Digital Era). Di era yang lazim disebut Era Digital, segala sesuatu dapat direduksi menjadi lebih singkat, padat, cepat sesuai kebutuhan.
Dinamakan era digital karena memanfaatkan
teknologi yang berbasis sinyal elektrik komputer, dimana sinyalnya bersifat
terputus-putus dan menggunakan sistem bilangan biner, kemudian bilangan biner
tersebut akan membentuk kode-kode yang merepresentasikan suatu informasi
tertentu. Setelah melalui proses digitalisasi informasi yang masuk akan berubah
menjadi serangkaian bilangan biner yang membentuk informasi dalam wujud kode
digital. Teknologi digital yang telah bersenyawa dengan smartphone menghasilkan
banyak kemudahan baik dalam bertransaksi dan pemenuhan kebutuhan lainnya,
termasuk jasa layanan makanan, jasa layanan transportasi yang bersifat digital
dan on line (Teguh Hindarto, Gadget Sebagai Zuhandenes, Qureta.com 2019).
Era digital ditandai dengan kecepatan, ketepatan, yang dihasilkan oleh perangkat teknologi informasi dan komunikasi khususnya internet. Kecepatan menjadi pilihan dan gaya hidup manusia modern di era digital. Yasraf A. Piliang mendeskripsikan fenomena kehidupan yang memuja kecepatan sbb, “Kecepatan, kini tidak saja menjadi ukuran kemajuan, ia bahkan menjadi paradigma sosial, politik, ekonomi, budaya dan kehidupan kontemporer” (Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan, 2010:81).
Anthony Giddens mendeskripsikan modernitas Abad 20 sebagai “fenomena dengan dua ujung” dimana “kesempatan yang lebih luas bagi manusia untuk menikmati eksistensi yang aman dan memuaskan...Namun modernitas juga mengandung sisi mengerikan yang menjadi begitu nyata pada abad ini” (Konsekuensi-Konsekuensi Modernitas, 2017:9). Demikian pula Mark Horkheimer salah satu tokoh Teori Kritis Mazhab Frankfurt menuliskan kegelisahannya dengan modernitas Abad 20 dimana, “kemajuan sarana-sarana teknis disertai sebuah proses dehumanisasi. Kemajuan mengancam menghancurkan tujuan yang maunya dicapai-cita-cita manusia” (Franz Magnis Suseno, Dari Mao ke Marcuse: Percikan Filsafat Marxis Pasca Lenin, 2013:211).
Demikian pula modernitas Abad 21 dimana
terjadi revolusi teknologi informasi yang disebut era digital menghasilkan
sejumlah paradoxnya sendiri yang mana di satu sisi menghasilkan kecepatan dan
efisiensi serta efektifitas (informasi, pengetahuan, transaksi ekonomi dll)
sementara di sisi lainnya menghasilkan banalitas atau kedangkalan pemahaman (banality
of understanding). Kita cenderung menginginkan informasi dan pengetahuan yang
serba cepat sehingga mengabaikan penelaahan, pemahaman yang mendalam.
Munculnya program pendidikan ekstensi di
satu sisi meringkas dan memangkas mata pelajaran yang seharusnya ditempuh dalam
tempo 4-5 tahun namun bisa ditempuh menjadi lima tahun melalui pemadatan
materi. Namun para siswa kehilangan pendalaman materi dan hanya memfokuskan
pada pemenuhan waktu-waktu secara formal.
Banjir informasi melalui jaringan media
sosial mulai dari link berita atau share artikel memenuhi layar smartphone dan
pikiran namun kita kehilangan kemampuan untuk memverifikasi apakah sebuah
berita yang kita terima dapat dipercaya atau hoax belaka. Begitu cepat kita
menerima begitu cepat pula kita membaginya tanpa mengambil waktu untuk memahami
apa yang kita baca.
Begitu berlimpahnya buku-buku digital bertebaran di dunia maya mulai dari karya-karya klasik di bidang Teologi, Filsafat, Sains, Sosiologi dll yang dapat diakses dengan mengunduh melalui jaringan internet dalam bentuk ebook dengan format pdf yang bisa dibaca melalui layar smartphone atau kita mencetaknya menjadi sebuah buku sesuai aslinya.
Alih-alih membacanya secara mendalam,
biasanya kita hanya mencari sejumlah penjelasan yang sesuai dengan apa yang
kita perlukan. Sebelum lahirnya revolusi teknologi informasi, memiliki
buku-buku klasik dan kontemporer di bidang keilmuan tertentu membutuhkan biaya
besar baik untuk membelinya di luar negeri ataupun menempuh pendidikan
tertentu. Saat ini, semua kesulitan itu teratasi dengan cepat dengan
digitalisasi berbagai genre buku namun seiring banjir buku-buku digital, kita
tidak memiliki waktu dan kedalaman dengan sejumlah buku yang harus kita baca.
Fenomena yang dikemukakan di atas
menjadi beberapa contoh kasus betapa banalitas telah menghinggapi kehidupan
banyak orang dan mereduksi kesadaran kritis. Banalitas pemahaman bahkan lebih
buruk dari sekedar kesadaran membaca buku yang rendah yang juga mulai
menghinggapi masyarakat di era digital.
Kecepatan arus informasi di era digital yang tidak diimbangi kesadaran kritis sangat berpotensi menimbulkan pendangkalan alias banalitas pemahaman. Membaca dan menerima informasi tanpa menguji dan menelaah secara kritis validitas isi secara sambil lalu kemudian membaginya kepada sebanyak mungkin orang melalui jaringan sosial media.
Banalitas pemahaman bukan hanya
mendistorsi realitas namun mendistorsi pengetahuan sehingga kita tersesat dalam
rimba informasi digital. Banalitas pemahaman turut berkontribusi terhadap
penyebaran informasi yang berkategori hoax. Mengapa? Karena pemahaman yang
dangkal terhadap arus informasi menyebabkan kita begitu mudah mempercayai semua
hal yang kita dapatkan dan terima di media sosial untuk kemudian membagikanya
kepada sebanyak mungkin orang sehingga mengakibatkan banyak orang terpapar
informasi yang menyesatkan.
Di era digital, bukan hanya dibutuhkan kecerdasan bermedia sosial melalui penjarakkan dan pembacaan kritis dengan arus informasi yang kita terima dan baca, berupa berita, informasi, artikel dsj (Teguh Hindarto, Cerdas Bermedia Sosial) sehingga kita terhindar seminimal mungkin dari penyesatan informasi melainkan diperlukan kesadaran reflektif agar apa yang kita baca benar-benar dipahami secara utuh sehingga kita mengerti substansinya yang kita baca dan pelajari.
Tanpa kesadaran reflektif maka banalitas atau pendangkalan pemahaman semakin menstrukturasi kesadaran dan perilaku masyarakat. Bukan tidak mungkin, banalitas akan menjadi bagian dari kebudayaan kita yang memiskinkan gaya bertutur kita atau mendangkalkan kemampuan kita untuk menyelidiki persoalan-persoalan pelik. Fenomena copy paste para siswa didik bahkan para pendidik saat menuliskan sejumlah karya ilmiah menjadi salah satu indikasi merebaknya gejala banalitas pemahaman yang enggan meneliti dan memahami sebuah persoalan sampai ke akar secara mendalam.
Kesadaran reflektif menjadi salah satu upaya untuk mengatasi banalitas pemahaman di era yang memuja kecepatan akibat perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat. Dengan kesadaran reflektif kita menjaga jarak dari berbagai informasi yang kita baca dan terima dan mencoba untuk menelisik secara mendalam.
Dengan kesadaran reflektif kita mencoba dengan lebih tenang dan membagi waktu secara efisien untuk membaca berbagai buku-buku tanpa harus didesak untuk secara terburu-buru membuat penilaian dari cover maupun judulnya. Jika program digital bisa kita retas, seharusnya era digital yang melahirkan gaya hidup serba instan dan cepat dapat kita retas melalui kesadaran reflektif. Sebagaimana dikatakan Yasraf Piliang, “Jangan sampai kecepatan yang mengontrol irama kehidupan dan mengikis dimensi-dimensi sosial, mental dan spiritualnya, kan tetapi kita yang mengontrol kecepatan agar sesuai dengan harkat martabat manusia yang memiliki wawasan spiritual” (2010: 87). Dalam bahasa Herbert Marcuse yang dikutip Fransz Magnis Suseno, jangan sampai rasionalisasi modern menghasilkan “rasionalitas dalam detail tetapi irasionalitas dalam keseluruhan” (2013:212).
Melalui kesadaran reflektif, kita
mempertahankan kemanusiaan kita yang kritis agar tidak direduksi oleh perangkat
teknologi yang menghomogenisasi perilaku yang menjauhi eksistensi kemanusiaan
kita.
Artikel ini pernah dimuat di Qureta.com (2018)
0 komentar:
Posting Komentar