Istilah
"GPL", selain istilah-istilah seperti "Selfie",
"Nongski", "OTW", akhir-akhir ini telah mengakrabi telinga
dan pendengaran kita. Jika kita memesan makanan lantas kita berkata GPL yang
merupakan akronim dari "Gak Pake Lama". Istilah GPL seolah telah
menjadi norma sosial modern dimana kehidupan semakin cepat dan kita harus
menyesuaikan dengan kecepatan tersebut agar tidak tertinggal dalam perubahan
dan kemajuan. Kita menjadi tergila-gila dengan kecepatan dan tidak nyaman hidup
dalam dunia yang lambat. Ada makanan cepat saji (fast food), ada sekolah cepat
jadi (ekstensi), ada jasa peminjaman cepat tanpa antri.
Tahun 2000-an telah menjadi titik balik perubahan sosial kebudayaan melalui revolusi teknologi. Kita mulai mengenal berbagai gadget modern mulai dari hand phone, lap top, note book, tablet. Kita mulai mengenal surat elektronik. Kita mulai mengenal jejaring sosial facebook, instagram, whatsap dll.
Tidak
butuh waktu berhari-hari atau berminggu-minggu untuk mengetahui peristiwa
apapun yang terjadi di berbagai sudut dunia, cukup menekan tombol atau layar
sentuh kita telah terhubung dengan peristiwa dunia dengan cepat. Cukup menekan
tombol surat dan pesan yang kita kirimkan tiba dengan sangat cepat. Sebagaimana
dikatakan Yasraf A. Piliang, “Kecepatan, kini
tidak saja menjadi ukuran kemajuan, ia bahkan menjadi paradigma sosial,
politik, ekonomi, budaya dan kehidupan kontemporer” (Dunia Yang Dilipat: Tamasya
Melampaui Batas-Batas Kebudayaan, 2010:81).
Kehidupan
yang semakin cepat bukan tanpa sebuah risiko. Tahun 1970-an seorang futurolog
sosial bernama Alfin Toffler telah memprediksi sejumlah kejutan-kejutan
kebudayaan yang bakal menghantam kejiwaan manusia yang hidup di era modernitas
yang diistilahkan dengan "future shock" (kejutan masa depan) yaitu
berupa "culture shock" (kejutan budaya) yang merambah fisik dan
psikologis manusia masa depan (Kejutan Masa Depan, 1992:309). Apa
yang diprediksikan telah dapat kita lihat hari-hari ini dengan meningkatkan
depresifitas, agresivisme, anomali-anomali sosial dll.
Dibalik
dunia yang bergerak cepat dan memaksa kita beradaptasi untuk menyesuaikan irama
kecepatan kita agar tidak tertinggal dalam kemajuan dan perubahan, ketenangan
adalah barang mahal saat ini. Kecepatan, ketepatan, kecekatan telah
mengonstruksi kepribadian kita menjadi mesin yang selalu harus bergerak cepat
dan tepat. Namun manusia bukan mesin. Manusia bukan hanya seonggok daging tanpa
sebuah kesadaran. Manusia bukan mesin kecerdasan tanpa perasaan. Ada aspek
psikis dan spiritual yang harus dipenuhi untuk mengisi dan menyegarkan kembali
fungsionalitas kesadaran, kecerdasan, kecepatan, kecekatan.
Ada satu judul yang menarik dalam salah satu program televisi di BBC Earth Channel dengan judul Where the Wild Men Are (Dimana Orang Liar Tinggal) yang dipandu oleh pembawa acaranya Ben Fogle. Program ini berisikkan sejumlah kisah orang atau keluarga yang mengambil pilihan hidup mengasingkan dari keramaian kota besar dan gemerlap harta benda yang telah mereka berhasil kumpulkkan. Ada yang memutuskan untuk menjual semua harta benda mereka hasil pekerjaan bertahun-tahun lantas membeli sebuah pula di suatu negara dan hidup sederhana dan bergantung dari hasil alam dan membeli beberapa kebutuhan terbatas dengan keluar pulaunya. Ada pula yang memutuskan bersama keluarganya untuk tinggal di padang gurun dan memahami perilaku hewan-hewan di padang gurun serta memberikan pengetahuannya untuk mengembangkan sebuah budidaya ternak. Ada pula yang menghabiskan waktunya di hari tua dengan tinggal di tempat yang sangat terpencil dan hanya dapat dikunjungi dengan pesawat terbang yang mendarat di sebuah sungai sebagai landasannya. Bagaimana mereka menghidupi diri mereka di sana? Tentu saja mereka bekerja dan menjual jasa agar mereka dapat bertahan hidup. Ada yang mengandalkan diri dari beternak dan berburu sementara sebagian ada yang menjual jasa pembuatan hosting dan domain secara on line.
Program sejenis yaitu berjudul, Escape to the Wild (Meloloskan Diri Ke
Alam Liar) yang dipandu oleh Kevin McCloud menayangkan fenomena yang sama dimana
orang-orang yang telah mengalami kemapanan ekonomi ternyata mengalami
ketidaknyamanan secara psikologis dengan berbagai rutinitas yang dihasilkan
oleh modernitas. Mereka mengambil risiko dengan membalik kehidupan mereka 180
derajat, tinggal di tempat terpencil baik dengan suami atau istri bahkan dengan anggota-anggota keluarganya.
Membangun rumah secara mandiri dengan menggunakan perkakasa sederhana,
memperoleh makanan dengan melakukan pekerjaan berburu atau mengolah perkebunan
secara mandiri, bermain dan berinteraksi dengan alam dan bukan dengan manusia,
mesin dan benda-benda karya peradaban tinggi seperti gedung pencakar langit
atau gadget elektronik.
Terlepas dari manfaat dan perputaran
keniscayaan sejarah peradaban dan kemajuan manusia yang tidak bisa dihindari,
modernitas dan perkembangan masif teknologi informasi tidak selalu berbanding
lurus dengan peradaban dan nilai-nilai humanitas. Meminjam istilah sosiolog George
Ritzer dalam menanggapi konsep sosiolog klasik Max Weber perihal masyarakat yang
semakin terasionalisasi di segala bidang, “konsekuensi-konsekuensi
tidak rasional dari rasionalitas” (Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik
Sampai Perkembangan Terakhir Postmodernisme, 2012:264). Kritiknya ini
berangkat dari konsep Weber perihal tipe-tipe rasionalitas yang telah masuk
dalam segala lini masyarakat (ekonomi, hukum, agama dll) yang turut membentuk
masyarakat modern yaitu Rasional Praktis,
Rasional Teoritis, Rasional Substantif, Rasional Formal. Birokrasi modern
adalah puncak dan wujud dari Rasionalitas Formal yang pada ujungnya justru
menghasilkan “sangkar besi” dimana, “Masyarakat
pada akhirnya menjadi tidak lebih dari jaring yang utuh dari struktur
terrasionalisasi dan tidak akan ada jalan keluar” (George Ritzer, McDonaldisasi
Masyarakat, 2014:51).
Meminjam istilah lain dari sosiolog
Prancis Piere Bourdeu dengan istilah Habitus.
Habitus sendiri didefinisikan sebagai, “Struktur-struktur
mental atau kognitif melalui mana orang berurusan dengan dunia sosial. Orang
dikaruniai dengan serangkaian skema yang diinternalisasi melalui itu mereka
merasakkan, mengerti, mengapresiasi dan mengevaluasi dunia sosial...Habitus
memberikan prinsip-prinsip yang digunakkan orang untuk membuat pilihan-pilihan
dan memilih strategi-strategi yang akan mereka gunakan di dunia sosial” (Teori
Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodernisme, 2012:903-905).
Modernitas dan percepatan kemajuan teknologi informasimasi bukan hanya
menciptakan habitus rasional dan
efisien namun dapat menciptakan habitus yang
serba mekanistik dan rasionalistik dan mencerabut eksistensi nilai-nilai
kemanusiaan yang mendasar.
Kita
tidak perlu menentang laju modernitas dan perkembangan teknologi informasi yang
menyebabkan manusia semakin mudah untuk melaksanakan berbagai pekerjaannya dan
menyelesaikan berbagai problem baik problem kesehatan, ekonomi, hukum dll.
Namun modernitas dan kemajuan teknologi informasi tidak selalu berbanding lurus
dengan peradaban dan nilai-nilai humanitas. Masyarakat Barat yang telah meninggalkan
“sangkar besi” kehidupan rasionalistik dan mekanistik telah membuktikkan
irasionalitas dibalik rasionalitas atas nama modernitas. Setidaknya kita
tersadarkan bahwa modernitas dan kemajuan teknologi informasi yang harus
dikejar bukanlah tujuan akhir proses peradaban manusia. Bagi kita yang hidup di
negara ketiga atau negara berkembang, modernitas dan perkembangan teknologi
informasi tentu saja merupakan sebuah capaian yang harus diraih, namun harus
disertai sebuah kesadaran untuk tetap memenuhi kebutuhan-kebutuhan mendasar
dari kemanusiaan.
Manusia
membutuhkan sebuah tempat yang tenang untuk mengondisikan pikiran dan hati yang
tenang. Ketenangan hati dan fikiran mengonsolidasikan kembali kekuatan dan
kesegaran terhadap tubuh yang menjalankan berbagai aktifitas dan pekerjaan.
Dalam bahasa Alfin Toffler diistilahkan "Stability Zone" (zona
stabilitas). Menurutnya, "Jika kita
memilih perubahan yang cepat dalam beberapa sektor kehidupan, kita dapat dengan
sadar mencoba membangun zona stabilitas di sektor lain" (Ibid.,
1985:338). Membangun ketenangan dan mencari locus
yang menstimulasi ketenangan fikiran dan hati merupakan salah satu cara
membangun zona stabilitas.
Pergilah ke pantai dan renungkan keindahan dan kedahsyatan gempuran air laut memecah karang dan riak gelombang pantai menyentuh jemari kaki Anda. Pergilah ke gunung dan lembah dimana terdapat telaga yang jernih mengalirkan limpahan air dari hulu menuju hilir. Pandangilah dan berdiamlah sejenak di tengah kesunyian dan gemericiknya air telaga. Bangunlah dipagi yang cerah dan berdirilah menyambut matahari terbit di kaki gunung atau menjauhlah sejenak dari keramaian modernitas dan menepilah dalam kegelapan malam di sebuah bukit dimana bulan dan bintang terlihat berkedipan. Semua "natural locus" (lokasi alamiah) di atas menjadi jalur alternatif untuk membangun zona stabilitas dalam kejiwaan kita di tengah gempuran modernitas yang mendorong kita pada laju kehidupan yang cepat dan akurat.
Manusia meninggalkan jejak berupa peradaban dan modernitas serta teknologi yang dalam banyak hal justru mendikte dan mengambil kendali terhadap personalitas kemanusiaan. Tuhanpun meninggalkan jejak-Nya dalam eksotisme alam nan indah dan tenang. Jika keseharian kita mengakrabi persentuhan dengan modernitas yang mensyaratkan kecepatan, ketepatan, keakuratan maka kita pun perlu mencari persentuhan lain dengan eksotisme alam agar zona stabilitas diri kita terpenuhi.
Artikel ini pernah dimuat di Qureta.com (2017)
0 komentar:
Posting Komentar