Sumber gambar: dmleditingandwriting.com
Kita tentu masih ingat kehebohan berita
perihal pemenang lomba puisi di sebuah event lomba kemerdekaan hanya dihadiahi
handuk? Tentu kita sudah bisa membayangkan komentar netizen ketika berita
tersebut tersebar di sosial media. Mereka yang berkecimpung dengan dunia
sastra, tentu berhak tersinggung atau prihatin melihat perlakuan panitia dalam
menghargai karya sastra.
Minusnya apresiasi, menjadi sisi lain
wajah sastra kita. Sudah berapa banyak bacaan sastra yang diwajibkan siswa
didik membacanya dalam setahun? Apakah ruang-ruang kelas pelajaran sastra
khususnya puisi diisi dengan presentasi puisi di depan kelas? Ataukah kita
hanya mengulang model pembelajaran menghafal perihal definisi dan kronologi
serta kategori di seputar kesastraan?
Ketika kita bicara sastra, tentu tidak
hanya berbicara perihal puisi belaka karena puisi hanyalah bagian dari ekspresi
sastra. Namun kita bicara perihal novel, roman, cerpen sebagai bagian dari
sastra imajinatif disamping sastra non imajinatif (biografi, memoar, esai dsj).
Omong-omong soal apresiasi sastra,
entahkah dalam bentuk membaca novel, cerpen, puisi, mari kita lihat sejumlah
perbandingan dengan negara lain sebagai cermin dan bahan evaluasi.
Amerika mewajibkan siswanya membaca 32
judul karya sastra dalam setahun. Jepang mewajibkan siswanya membaca 15 judul
karya sastra dalam setahun sementara Brunei 72 judul karya sastra, Singgapura
dan Malaysia 6 karya sastra serta Thailand 5 judul karya sastra.
Di zaman kolonialisme, siswa AMS-B
(setara SMA) diwajibkan membaca 15 judul karya sastra per tahun sedangkan siswa
AMS-A diharuskan membaca 25 karya sastra per tahun. Siswa AMS wajib membuat 1
karangan per minggu, 18 karangan per semester atau 36 karangan per tahun
(Indonesia Hanya Terbitkan 24.000 Buku, Kompas, 16 Januari 2014).
Itu baru persoalan bacaan sastra. Jika dikaitkan dengan budaya membaca secara lebih luas, kita masih harus terus berjuang menjadikan gaya hidup membaca bagian dari budaya kita.
Tidak berbeda jauh dengan potret
apresiasi sastra, demikian pula apresiasi membaca. Menurut riset UNESCO, indeks
minat baca Indonesia 0,001 %. Artinya dari 1.000 penduduk hanya 1 orang yang
serius membaca. Data dari survei 3 tahunan BPS juga mencatat bahwa tingkat
minat baca anak-anak Indonesia hanya 17,66 %, sementara minat menonton mencapai
91,67 %. Hasil survei internasional, Programme for International Student
Assessment (PISA) tahun 2015 mengatakan bahwa kemampuan membaca siswa Indonesia
menduduki urutan ke-69 dari 76 negara yang disurvei.
Minusnya apresiasi sastra bermuara pada
miskinnya gaya bertutur kita di ruang publik. Lihatlah parade tuturan
kebencian, banalitas ucapan, dekadensi estetika berbahasa yang diperlihatkan
bukan hanya oleh figur publik tapi sebagian masyarakat kita.
Pidato politik tidak cukup hanya
menyuguhi masyarakat dengan data tapi penuturan yang sarat dengan muatan bahasa
yang cendekia. Debat publik tidak cukup hanya memperlihat sistematika dan
logika bahasa melainkan estetika berbahasa. Di sinilah peran sastra mempertajam
gaya bertutur di depan publik dan menciptakan horison keyakinan bagi yang
mendengarnya.
Kembali ke persoalan wajah sastra kita.
Apapun kondisinya saat ini, tidak cukup hanya mengeluh dan menyalahkan
institusi negara ataupun institusi pendidikkan. Masyarakat sastra dan komunitas
sastra harus turut bekerja lebih keras lagi menjadikan sastra milik publik dan
publik menjadikan sastra sebagai media untuk mengasah kedalaman estetika.
Aksi visibilitas (keterlihatan)
pementasan karya sastra berupa pembacaan puisi di ruang-ruang publik dapat menjadi
bentuk ajakkan kepada masyarakat untuk belajar perihal sastra khususnya membuat
dan membacakkan puisi.
Apresiasi karya sastra berupa ulasan
rutin karya-karya sastra berupa novel dan cerpen atau antologi puisi oleh
komunitas-komunitas sastra dapat menjadi media pembelajaran untuk mendekatkan
dan melatih masyarakat dengan karya kesusastraan.
Pertunjukkan Spoken Word Poetry (puisi
lisan) dan Poetry Slam (adu puisi) perlu digalakkan untuk mengasah kecerdasan
sastra dan bahasa. Spoken Word merupakan ekspresi seni wicara dimana seseorang
menuangkan pemikirannya terhadap suatu hal baik berkaitan isu politik, religi,
edukasi, sosial, cinta, dll untuk kemudian diaudiosasikan. Tidak berbeda dengan
pidato, hanya menggunakan pilihan diksi, rima dan kalimat yang menarik. Jika
Anda pernah melihat tayangan Stand Up Comedy, macam itulah hanya yang
membedakkan adalah pilihan kalimat yang dipergunakan lebih puitis.
Berbicara perihal puisi, tentunya kita
pernah mendengar semboyan, "One child, one teacher, one book, one pen can
change the world (satu anak, satu guru, satu huku, satu pena dapat mengubah
dunia)” bukan? Pernyataan genial dan populer tersebut diucapkan seorang
perempuan berusia 21 tahun bernama Malala Yousafzai (lahir 12 Juli 1997)
seorang perempuan pembela pendidikan Pakistan yang, pada usia 17 tahun di tahun
2014 telah menjadi penerima Nobel Peace
Prize setelah selamat dari upaya pembunuhan oleh Taliban. Pada 9 Oktober 2012,
seorang pria bersenjata anggota Taliban menembak Malala ketika dia sedang dalam
perjalanan pulang dari sekolah. Dia selamat dan terus berbicara tentang
pentingnya pendidikan. Pada 2013, ia memberikan pidato kepada PBB dan
menerbitkan buku pertamanya, I Am Malala dan pernah disiarkan di channel
National Geographic.
Saya tidak hendak bercerita tentang
Malala tapi kutipan pernyataannya jika dihubungkan dengan peran sebuah puisi.
Pertanyaannya adalah, apa yang bisa dilakukan sebuah puisi? Dapatkah dia
mengubah dunia? Atau sekedar memahami dan memaknai apa yang terlihat dan
terjadi di dunia?
Bagi saya, puisi bukan sekedar pengungkapan perihal pemujaan terhadap keindahan alam dan ketampanan atau kecantikkan manusia. Bukan pula artikulasi kecemasan dan kegembiraan belaka. Bukan sekedar umpatan keluh kesah terhadap dunia. Bukan pula sekedar penuturan kalimat indah berima dan berirama.
Lebih dari itu, puisi adalah alternatif bertutur. Bertutur tentang apa? Tentang anomali kehidupan, krisis eksistensi kemanusiaan, kesenjangan sosial yang menganga kebijakkan yang diskriminatif, sistem yang manipulatif. Bertutur yang bagaimana? Tuturan kritis yang dibingkai dan dianyam antara rasionalitas dan rasa sehingga setiap orang dapat melihat sebuah persoalan yang sedang terjadi melalui bait-bait yang terartikulasi.
Bisa Anda bayangkan jika seorang politisi atau seorang anggota LSM atau kritikus sosial, bukan sekedar menulis dan mengucapkan argumen namun menyampaikkan argumennya dengan ungkapan yang puitis (tidak harus dimaknai berbentuk puisi), inspiratif, menggugah untuk melakukan perubahan. Bukan sekedar ungkapan pernyataan banal penuh sindiran dan lelucon naif serta ditunggangi sentimen kebencian yang kerap kita lihat dan saksikan di layar kaca rumah kita.
Jika puisi dapat menjadi alternatif
bertutur untuk mengajak setiap orang melihat sisi lain kehidupan yang tidak
berjalan sebagaimana mestinya, maka puisi pun bisa menjadi alternatif bertutur
untuk menciptakan perubahan. Maka meminjam semboyan Malala, saya mengubahnya
menjadu "one word, one poetry, can change the world".
Artikel ini pernah dimuat di Qureta.com (2019)
0 komentar:
Posting Komentar