Beberapa waktu lalu, layar televisi dan jagad media
sosial dihebohkan dengan pernyataan Rocky Gerung, seorang dosen Filsafat di
Universitas Indonesia (belakangan muncul berita susulan setelah terjadinya
kontroversi bahwa yang bersangkutan sudah tidak mengajar lagi di institusi
tersebut) pada acara Indonesia Lawyer Club
(ILC) yang diselenggarakan salah satu televisi nasional pada Selasa, 10 April
2018.
Pernyataan yang kemudian berbuntut pemeja hijauan Rocky
Gerung. Berikut transkrip pernyataan Rocky Gerung yang dianggap kontroversial
dan menistakan agama, “Fungsi dari fiksi
adalah untuk mengaktifkan imajinasi. Dan kita sering hidup dalam dunia fiksi
daripada realitas. Fiksi lawannya realitas, bukan fakta. Sudah dua bulan kata
fiksi menjadi kata yang buruk. Kitab Suci fiksi atau bukan? Siapa yang berani
jawab? Kalau saya pakai definisi fiksi itu mengaktifkan imajinasi, Kitab Suci
itu adalah fiksi, karena belum selesai, belum tiba itu”.
Namun tulisan ini tidak hendak menguji dan mengadili
pernyataan Rocky Gerung dari aspek manapun. Pernyataan Rocky Gerung hanya
mengingatkan saya pada seorang Teolog Kristen bernama Rudolph Bultman
(1884-1976), seorang teolog Jerman berlatar belakang Lutheran dan profesor
dalam Studi Perjanjanjian Baru di Universitas Marburg yang terkenal dengan
program hermeneutis Kitab Suci bernama Entmythologisierung/Demythologizing
atau Demitologisasi.
Istilah ini dimunculkan pada tahun 1941 dengan terbitnya
buku karya Bultman Neus Testament und
Mythologie yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris The New Testament and Mythology (Perjanjian Baru dan Mitologi). Tulisan
ini dibuat bukan hanya teringat Bultman namun mengenang kembali reaksi kemudaan
saya di saat awal memasuki sekolah Teologi dan meresponi teori Bultman di
bidang hermeneutika, melalui sebuah artikel yang masih saya simpan rapi hingga
hari ini.
Beberapa penulis tidak sepakat menempatkan dalam mazhab
mana arus pemikiran Rudolph Bultman. Ada yang meletakkannya sebagai Teolog
Liberal, ada pula yang meletakkannya sebagai Teolog Eksistensialis dan ada pula
yang menempatkannya sebagai Teolog Neo Orthodox. Beberapa sekolah teologia di
Indonesia mengembangkan metode interpretasi Bultman dalam memahami teks Kitab
Suci, sementara beberapa sekolah teologia lain memberikan kritik dan serangan
terhadap metode demitologisasi Bultman.
Riwayat Rudolph Bultman
Sesudah menyelesaikan studinya di gymnasium – bersama
Karls Jasper, filsuf Jerman kelak – Rudolph Karl Bultman melanjutkan studi
teologi di Tubingen kemudian Berlin serta Marburg. Pada tahun 1916 Bultman
diangkat menjadi guru besar luar biasa di Breslau. Pada tahun 1920 berpindah ke
Geissen sebagai pengganti professor Wilhelm Bousset kemudian tahun 1921 menetap
di Marburg sebagai guru besar di bidang Perjanjian Baru dan sejarah agama
Kristen kuno. Pada tahun 1924-1925, Bultman bertemu dengan Paul Tilich – Teolog
Kontinental penulis Systematic Theology
– dan Martin Heidegger yang sedang menulis bukunya yang terkemuka Sein und Zeit (Being and Time).
Bultman tertarik dan banyak dipengaruhi pemikiran Martin
Heidegger dalam karya teologianya. Risalah pertamanya dengan judul Glauben und Verstehen (Percaya dan
Memahami) dipersembahkan kepada Heidegger sebagai peringatan akan waktu di mana
mereka bersam-sama di Marburg. Persahabatannya dengan Heidegger berakhir saat
tahun 1933 Heidegger menjadi penganut Sosialisme Nasional Jerman dan diangkat
sebagai rektor di Universitas Freiburg. Sekalipun Bultman banyak dipengaruhi
Heidegger dan menggunakan sejumlah terminologi Heidegger namun kerap
memaknainya secara berbeda sebagaimana dikatakan Karel A. Steenbrink, “Kesulitan lain masih diakibatkan oleh
kenyataan bahwa Bultman kadang-kadang mengambil istilah dari filsafat Heidegger
dalam arti yang berbeda dari pengertian dalam sistem filsafat sang guru
filsafat sendiri” (Perkembangan Teologi Dalam Dunia Kristen
Modern, 1987:45).
Bultman pernah menjalin pertemanan dengan Karl Barth –
Teolog Neo Orthodox – dan pernah menulis di jurnal yang dikelola Barth yaitu Zwischen den Zeiten. Tidak berbeda
hubungannya dengan Heidegger yang putus demikianlah hubungannya dengan Karl
Barth berakhir dikarenakan Barth melihat bahwa pemikiran Bultman dengan
demitologisasinya lebih mencerminkan dan meneruskan pemikiran Liberalisme Abad
19 yang justru dikritik oleh Barth. Tidak mengherankan jika dikatakan perihal
hubungan Bultman dengan kedua teolog tersebut, “Bersama-sama dengan Karl Barth dan Paul Tillich ia mewujudkan tiga
orang teolog besar dalam abad ke-20 ini”, demikian tulis DR. Harun Hadiwijono
(Teologi
Reformatoris Abad 20, 1993:61)
Pokok
Pemikiran Bultman
Kita tidak akan membahas pemikiran Bultman secara detail
dalam sejumlah publikasi karya teologianya. Kita akan fokuskan pada konsepsi
dan program demitologisasinya yang diuraikan dalam bukunya yang terbit pada
tahun 1941 yaitu Neus Testament und
Mythologie yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris The New Testament and Mythology (Perjanjian Baru dan Mitologi).
Gambaran Dunia Mitologis Dalam Kitab Suci
Menurutnya, kosmologi yang dikisahkan dalam Kitab Suci
khususnya Perjanjian Baru sarat dengan muatan-muatan mitologis yang
bertentangan dengan kosmologi modern yang dibentuk oleh sains. Kosmologi para
penulis Kitab Suci menggambarkan bahwa dunia ini terdiri dari tiga bagian yaitu
bagian atas di mana Tuhan bertahta yang lazim kita namakan surga. Bagian tengah
dimana manusia tinggal lazim di sebut bumi serta bagian bawah dimana manusia
dikuburkan dan locus bagi mahluk jahat dan tempat hukuman-hukuman bagi para
pendosa.
Proyeksi kosmologis sedemikian dinamakan “a mythical world picture” dan dunia
dimana mausia tinggal menjadi “a theater
for the working of supernatural power intervene in natural occurences and in
the thinking, willing and acting of human beings; wonder are nothing unsual”
(New
Testament and Mythology, 1984:1).
Menurutnya, manusia modern tidak akan menerima dan
mengerti kosmologi mitologis tersebut karena selain tidk bermakna juga tidak
mungkin sebagaimana dikatakan, “Can
Christian proclamation today expect men and women to acknowledge the mythical
world picture as true? To do so would be both pointless and impossible” (1984:3).
Dikatakan tidak bermakna karena itu hanya produk
kosmologi masa lalu yang tidak berkaitan dengan kekristenan. Dikatakan tidak
mungkin karena tidak ada satupun yang dpat menyesuaikan dengan gambaran
mitologis yang dihasilkan dari situasi sejarah yang telah berlalu. Menerima
begitu saja gambaran dunia yang mitologis sama saja telah melakukan pengorbanan
terhadap rasio sebagaimana dikatakan, “any
satisfaction of the demand would be a forced sacrificium intellectus and any of
us who would make it would be peculiarly split and untruthful” (1984:3).
Demitologisasi Sebagai Interpretasi Eksistensial
Sekalipun Bultman meninggalkan teologi Liberal yang
dianut para pendahulunya namun bukan dibuang sama sekali melainkan diperbarui
dan dipergunakan untuk melayani gereja dan teologia. Sebagaimana dikatakan
Harun Hadiwijono, “Bahan-bahan atau
material yang menyusun teologi Bultman ilah: kritik historis dari teologi liberal,
pengrahan kepada Firmn dan iman di dalam teologia dialektis, ajaran
reformatoris tentang pembenaran dan filsafat Heideger. Semuanya itu dimasak
secara konsekuen sistematis menjadi sesuatu yang baru, yang memiliki cirinya
sendiri” (1984:61-62)
Berbeda dengan pemikiran para teolog Liberal yang
membuang mitos-mitos dalam Kitab Suci sehingga mereduksi isi Kitab Suci, maka
Bultman menempuh jalan berbeda. Tugas teologia bukan untuk secara kritis
meniadakan mitos-mitos melainkan untuk menginterpretasikannya secara
eksistensial, bukan pula untuk membuang isi Kitab Suci atau membuang sebagian
daripadanya melainkan untuk mengupas kulitnya, mengupas gambaran dunianya yang
telah tidak laku tadi. Ini bukan pula metode pengurangan melainkan metode
hermeneutik atau interpretasi yaitu metode interpretasi eksistensial
sebagaimana dikatakan, “If we may say
schematically that during the epoch of critical research the mythology of the
New Testament was simply eliminated, the task today – also to speak
schematically – is to interpret New Testament mythology". (1984:12).
Selanjutnya perihal interpretasi eksistensial Bultman
mengatakan bahwa mitos-mitos tersebut memerlukan sebuah penafsiran melalui
pemahaman dan istilah-istilah eksistensial sebagaimana dikatakan, “These mythologies, also do not have their point
in their objectifying representation, but have to be interpreted in term of
their understanding of existence, that is, in existentialist term, after the
example of hans Jonas’s interpretation of Gnosticism” (1984:15).
Menegaskan kembali perihal interpretasi eksistensial,
J.L. Ch. Abineno mengatakan, “Jadi
pertanyaan Entmythologisierung sebagai ‘interpretasi eksistensial dari
Perjanjian Baru ialah: Bagaimana dalam Perjanjian Baru orang berkata-kata
tentang manusia dan tentang (Tuhan). Mengapa demikian? Jawabnya: karena orang
tidak dapat berkata-kata tentang manusia tanpa berkata-kata tentang (Tuhan)
tanpa berkata-kata juga tentang manusia” (Rudolph Bultman dan Theologianya,
1989:13).
Menurut Bultman, karya pembebasan Tuhan dalam Kitab Perjanjian
Baru digambarkan sebagai kejadian yang sarat dengan muatan bahasa mitologis
seperti konsep tentang Anak Tuhan, berbagai pengusiran roh-roh jahat oleh
Yesus, kematian dan kebangkitan Yesus dari kematian.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada diri Yesus
dikategorikan sebagai mitologis sebagaimana dikatakan, “...the revelation of God’s love, namely, the Christ occurance, is a
mythical event” (1984:32). Perihal peristiwa Salib, Bultman menegaskan, “If we follow the objectifying
representation of the New Testament, the cross is indeed understood as a
mythical event: the crucified one is the preexistent Son of God who becomes man
and who as such is sinless” (1984:33-34).
Demikian pula dengan kebangkitan Yesus dari kemarian dikatakan,
“But what about the resurrection of Christ? It is not an utterly mythical
event? In any case, it is not a
historical event that is to be understood in its significance” (1984:36).
Pengaruh Heidegger terhadap Bultman nampak saat Bultman
merumuskan dua konsep pra struktur memahami yang berasal dari Heideger yaitu vorverstandnis atau “pra-pemahaman” dan Lebenbezug yang bermakna “hubungan
kehidupan” (F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik Dari Sleiermacher
Sampai Derrida, 2015:141).
Latar belakang intelektual penafsir Kitab Suci akan
sedikit banyak menentukkan pemahamannya tentang teks yang akan ditafsirkannya.
Pengetahuan tentang latar belakang ini yang diistilahkan Bultman dengan pra
pemahaman. Sementara hubungan kehidupan tidak lain daripada makna eksistensial
teks yang ditangkap oleh si penafsir dikarenakan persoalan dalam teks berbicara
perihal persoalannya si penafsir juga.
Bultman, sebagaimana Heidegger tidak terlalu hirau dengan historisitas, obyektifitas, positivisme historis peristiwa-peristiwa yang dituliskan dalam Kitab Suci termasuk peristiwa-peristiwa adikodrati yang dialami Yesus Sang Mesias. Berbagai peristiwa mukjizat tidak dapat diartikan secara historis melainkan eksistensial dimana kita mengalami perjumpaan eksistensial dengan teks dan terlibat di dalamnya dengan menarik keluar makna eksistensialnya ke luar dari teks.
Konteks Sosio Historis Dibalik Program Demitologisasi
Teologi Bultman dengan program demitologisasi Kitab
Sucinya tidak lahir dari ruang hampa. Dengan menggunakan perspektif Sosiologi
Pengetahuan yng dikembangkan Karl Mannheim kita dapat melacak situasi-situasi
sosial yang melatarbelakangi konsepsi-konsepsi Bultman dalam rumusan teologianya,
sebagaimana dikatakan Mannheim, “Karena
kita melihat latarbelakang-latarbelakang sosial ini muncul dan menjadi dapat
diketahui sebagai kekuatan-kekuatan yang tidak kelihatan yang mendasari
pengetahuan, kita menyadari bahwa pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan bukanlah
hasil ilham terisolasi dari orang-orangjenius yang termasyur.
Pengalaman-pengalaman historis kolektif suatu kelompok yang diandaikan
individu, namun tanpa syarat dianggap sebagai ‘pikiran kelompok’ bahkan
mendasari tilikan yang mendalam dari sang jenius” (Prof Karl Mannheim, Ideologia
dan Utopia: Menyingkap Kaitan Antara Pikiran dan Politik, 1991:292).
“Pengalaman historis kolektif” manakah yang dapat
menjelaskan terbentuknya sistem pengetahuan dan teologia Bultman perihal
penyangkalannya terhadap kosmologi Kitab Suci yang dianggapnya sebagai mitos
yang berbeda dengan kosmologi modern yang dibentuk oleh sains dan teknologi?
Sebagaimana dikatakan sejarawan gereja Tony Lane bahwa
dunia modern menghadapkan sejumlah tantangan internal bagi iman Kristen yaitu:
rasionalisme, sains, penelitian kritis terhadap sejarah serta sekularisasi (Runtut
Pijar: Sejarah Pemikiran Kristen, 2003:196-197).
Pada Abad ke-17 (Renaisance) hingga Abad ke-18 (Aufklarung)
terbangun sebuah kesadaran baru melanda Eropa yaitu Rasionalisme yang memuja
kekuatan rasio sebagai penentu jawaban memahami realitas. Orang-orang seperti
Machiavelli, Bruno dan Bacon dikatakan oleh F. Budi hardiman sebagai “berjasa besar dalam membawa pemikiran baru
melalui krisis di ambang modernitas” (Pemikiran-Pemikiran Yang Membentuk Dunia
Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, 2011:9).
Nama-nama besar tokoh filsafat lainnya seperti Imannuel
kant, Descartes, Hegel, Marx kelak akan mewarnai cara pandang manusia modern
melihat realitas. Stanley J. Grenz menisbatkan dengan apik antara Modernisme,
Renaisance dan Aufklarung dalam ungkapan, “Modernisme lahir setelah dikandung
sekian lama. Dapat ditakan, enaisance adalah nenek moyang bagi modernisme dan Pencerahan
adalah ibu kandungnya” (A Primer on Postmodernisme:Pengantar Untuk Memahami
Postmodernisme, 2001:101)
Namun Rasionalisme akhirnya melahirkan Deisme yang
berusaha mengambil alih keyakinan terhadap Tuhan dan Agama hingga lahirnya
Ateisme dan Agnostisisme Abad ke-19. Deisme sendiri adalah sebuah keyakinan
bahwa Tuhan tidak mencampuri kehidupan manusia dan akal pikiran dapat menjadi
penentu mendapatkan pengetahuan perihal realitas.
Sementara kebangkitan sains telah membuahkan teknologi
yang membantu menggerogoti ketergantungan manusia terhadap Tuhan. Manusia
modern lebih mengandalkan hasil temuan teknologi dalam menyelesaikan berbagai
problem kehidupan
Lahirnya penelitian kritis terhadap sejarah termasuk
pembentukkan Kitab Suci turut melahirkan sejumlah cara pandang baru yang turut
menggerogoti keyakinan rohaniawan dan umat Kristiani. Kitab Suci tidak lagi
dipandang sebagai yang memiliki kewibawaan Ilahi melainkan disetarakan dengan
teks sastra pada umumnya.
Situasi ini melahirkan jenis pendekatan hermeneutik yang
disebut Historis Criticsm (Kritik
Sejarah) yang kemudian melahirkan banyak teori-teori lainnya yang bersifat
liberalistik yang terbagi menjadi Higher
Criticsm (Kritik Tinggi) meliputi Teori Hipotesa Dokumenter, Teori Kritik
Bentuk, Kritik Tradisi, Kritik Redaksi dan Lower
Criticsm (Kritik Rendah) meliputi Kritik Teks dan Kritik Kanon (Pdt. Stevri
Lumintang, MTh. Teologi Abu-Abu:Pluralisme Iman, 2002:131-132).
Kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan dari sejumlah
pemikiran kritis yang bercoral liberalistik tersebut dikatakan oleh James Barr,
“...menyebabkan retak-retak yang cukup
mendalam dalam tubuh gereja Protestan. Kaum konservativ berpendapat bahwa
kesimpulan-kesimpulan yang demikian itu membahayakan atau menyangkali
sentralitas dan kewibawaan Alkitab di dalam gereja” (Alkitab di Dunia Modern,
1983:9)
Demikian pula proses sekularisasi merupakan konsekwensi
logis ketika wibawa gereja telah dibatasi hanya mengurusi persoalan-persoalan
keagamaan belaka dan sedikit banyak mempengaruhi munculnya beragam pemikiran
yang berusaha menyesuaikan dengan konteks zamannya.
Keempat hal yang diutarakan Tony Lane di atas dapat
memberikan sebuah latar belakang perihal landskap zaman di mana Bultman hadir
mempertanggungjawabkan imannya dan merumuskan pemikiran teologianya.
Epistemologi Bultman dibentuk oleh “Pengalaman historis kolektif” (meminjam
istilah Karl Mannheim) yang dipenuhi dengan gegap gempita optimisme dan positivisme
sains dan teknologi serta akal budi manusia yang dianggap mampu menyelesaikan
berbagai persoalan kehidupan kemanusiaan.
Namun paska Perang Dunia ke-2 dimana perang telah
mencabik-cabik harkat martabat kemanusiaan, optimisme Modernisme warisan Renaisance
dan Aufklarung dikritik habis oleh banyak filsuf dan teolog hingga lahirnya
pemikir Postmodernisme.
Program Demitologisasi Rudolph Bultman bukan hanya
dipengaruhi situasi zamannya namun juga memiliki banyak kelemahan secara
metodologis. Ketika membicarakan Tuhan, bagaimana kita dengan mudahnya
mereduksi segala kemungkinan yang dilekatkan pada Tuhan yaitu kekuasaan-Nya
termasuk mengerjakan mukjizat sehingga memasukannya pada kotak pemahaman
rasionalistik yang sempit dengan mengebriti kekuasaan-Nya dan harus menafsirkan
kisah-kisah mukjizat sebagai mitos yang harus ditafsirkan untuk memuaskan
manusia modern.
Kelemahan lainnya adalah, bagaimana mungkin berbicara
perihal iman kepada Yesus Sang Juruslamat dengan mengebiri peristiwa
historisnya yang melatarbelakanginya? Bukankah dengan cara demikian kita
beriman kepada Yesus yang ahistoris dengan kata lain yang mitologis?
Saya sepakat dengan kesimpulan yang diberikan J.L.Ch.
Abineno sbb, “Pertama, bahwa Bultman –
seperti yang telah kita katakan di atas – tidak begitu berhasil dengan
programnya dan bahwa ia juga tidak secara konsekwen menjalankan program itu.
Kedua, bahwa untuk programnya itu ia tidak banyak mendapat dukungan dari para
ahli, bukan saja dari ahli-ahli teologia, tetapi juga – seperti yang dilaporkan
oleh Doppel dan kawan-kawannya di dalam buku ‘Geloof en Naturrwetenschap’, II,
1967 – dari ahli-ahli di bidang-bidang ilmu pengetahuan yang lain”
(1984:24).
Dengan demikian, program Demitologisasi Bultman yang
pernah mengharu biru pemikiran teologia di Eropa sekian abad lalu dan yang
jejak-jejaknya masih dirawat di beberapa sekolah teologi bercorak liberal
hingga hari ini, sebenarnya telah menjadi sebuah mitos dunia akademik belaka.
Program Demitologisasi telah menjadi Mitos itu sendiri.
Artikel ini pernah dimuat di Qureta.com (2018)
0 komentar:
Posting Komentar