RSS Feed

BANKING SYSTEM EDUCATION VS POSING PROBLEM EDUCATION

Posted by Teguh Hindarto

SEBUAH UPAYA METODOLOGIS MENAJAMKAN KESADARAN KRITIS


Sumber gambar:in.pinterest.com

Mungkin kita pernah membaca atau menonton film kartun berjudul, The Emperor New Clothes (Baju Baru Sang Raja) karya Hans Christian Andersen. Alkisah pada jaman dahulu hiduplah seorang Baginda Raja yang sangat menyukai pakaian. Koleksi pakaiannya sangat banyak karena hampir setiap hari urusannya hanyalah model-model pakaian yang terus berkembang. Hingga pada suatu saat tiba hari untuk memperingati ulang tahun kemerdekaan kerajaan.

Raja sangat bingung dengan pakaian yang akan dikenakan pada acara puncak perayaan, semua pakaian yang dia koleksi rasanya sudah dipakai semua dan tidak baru lagi. Karena itu ia memutuskan untuk membuat sayembara dicari penjahit yang ahli dan dapat menciptakan pakaian yang tidak mungkin modelnya sama dengan orang lain. Benar juga selang sehari sayembara itu disiarkan datanglah dua orang yang menyatakan sanggup untuk memenuhi permintaan Baginda Raja. Namun mereka meminta banyak benang emas untuk dijadikan pakaian bagi Sang Raja.

Baginda akhirnya memenuhi apa yang diminta penjahit tersebut. Namun sudah beberapa hari pakaian yang dikerjakan belum juga selesai padahal waktu tinggal beberapa jam saja dan saat perdana menteri diutus untuk melihat hasil pekerjaan mereka dia terkaget-kaget karena tidak ada satupun pakaian yang dikerjakan melainkan hanya mesin tenun yang bergerak-gerak. Salah satu dari penjahit tadi berkata pada perdana menteri bahwa pakaian raja hampir selesai dan hanya mereka yang bijaksana dan pandai yang dapat melihatnya.

Akhirnya pakaian itu diselesaikan dan diberikan pada sang raja. Karena tidak mau dianggap bodoh dan tidak bijaksana, sang raja pun mengenakkan apa yang menurut penjahit tersebut sebuah pakaian yang hanya dapat dilihat oleh orang bijaksana, padahal sejatinya dia telanjang.

Dia berjalan keliling kota dan setiap orang berdecak kagum karena tidak mau dianggap bodoh dan tidak bijaksana dan mengiakan seolah raja menggenakan pakaian indah, hingga pada akhirnya terdengar teriakan anak kecil yang sangat polos berkata pada ibunya bahwa sang raja telanjang.

Seketika orang-orang terdiam dan memandang baginda raja yang memang telanjang tanpa sehelai benangpun, seketika wajah Baginda Raja berubah menjadi merah padam. Sang raja akhirnya menyadari telah ditipu oleh dua penjahat yang mengaku sebagai penjahit, emas yang ia berikan sebagai bahan membuat pakaian telah di bawa lari. Kesadaran kritis  membangunkan orang-orang dari kesadaran palsu yang membelenggu dan menyesatkan. Bagi sementara orang, kesadaran kritis dan mempertanyakan segala sesuatu dianggap pikiran yang subversif dan mengganggu tatanan sosial dan keteraturan susunan pengetahuan.

Kesadaran kritis tidak begitu saja turun dari langit. Tanpa sebuah proses pendidikkan yang membuka ruang kesadaran kritis yang kondusif pada siswa didik untuk selalu mempertanyakan realitas yang terbentang dihadapannya, maka tidak akan pernah ada kesadaran kritis yang terbentuk. Yang ada adalah penerimaan sebuah realita, teori, opini, tafsir secara pasif dan tidak menantang kesadaran kritis untuk menguji baik realita yang seolah-olah nampak logis ataupun teori yang telah menjadi fundasi pengetahuan serta tafsir yang membentuk perilaku tertentu.

Dalam derajat tertentu, yang menjadi sumber problem bukanlah kemalasan dan kebodohan siswa didik (sekalipun indikasi ini kerap kita jumpai dalam keseharian persekolahan) namun pada sistem pendidikan dan pendidik itu sendiri yang melestarikan perilaku pendidikan yang menindas kreatifitas dan humanitas serta mengebiri perkembangan nalar kritis. Tidak heran Ivan Illich pernah menuliskan sebuah buku berjudul Descholling Society from School yang pernah diterjemahkan dengan Membebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah (Yayasan Obor Indonesia, 2000). 

Namun mustahil membubarkan sekolah sebagaimana pemikiran Illich. Anggapan tersebut hanya sebuah utopia belaka. Mengapa utopia? Bagaimanapun kita membutuhkan sebuah metodologi yang telah teruji dan diuji untuk menganalisis realitas baik realitas yang bersifat sosiologis, psikis, kimiawi, fisika, matematis, geologis, arkeologis, historis dll dan metodologi itu disusun dalam sebuah lembaga formal bernama sekolah. Setidaknya kritik Ivan Illich mengingatkan kita perihal pemujaan sekolah sebagai satu-satunya lembaga yang berotoritas untuk melakukan transfer pengetahuan dan peluang untuk membuka lembaga-lembaga alternatif dimana seseorang dapat memperoleh pengetahuan.

Berbicara perihal sistem pendidikan,  Paulo Freire dalam bukunya Pedagogy of the Opressed  yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, Pendidikan Kaum Tertindas (LP3S 2000) mengajak para pendidik untuk melakukan redefinisi metodologi dari sistem bank (banking system education) pada anak didik menjadi sistem tanggap masalah (problem posing education) sehingga menghasilkan konsientisasi (conscientizaco - conscientization) alias kesadaran diri terhadap realitas yang melingkupi dirinya.

Konsep Banking Sytem Education hanya melahirkan keseragaman berfikir, kepatuhan tanpa penalaran, generasi pandai menghafal banyak hal, sebagai konsekwensi murid penerima pasif dari satu-satunya sumber pengetahuan yaitu guru. Bersebrangan dengan metode di atas, Paulo Freire menggagas konsep Problem Posing Education yaitu pendidikan hadap dan tanggap masalah. "Jadi, dalam format ini tidak ada dikotomi antara kegiatan pendidik yang mengajar dan peserta didik yang sedang diajar. Kedua-duanya sama-sama belajar dan diajar. Pendidik bukanlah seorang yang tahu sekaligus sebagai orang yang bercerita. Pendidikan membimbing peserta didik untuk mengenal dan mengetahui realitas dan tidak sekedar menerima perpindahan dari pendidiknya..Pendidik dan peserta didik bersama-sama menjadi subyek dan disatukan oleh obyek yang sama. Tidak ada lagi yang memikirkan dan dipikirkan, melainkan berfikir bersama" (Siti Murtiningsingsih, Pendidikan Alat Perlawanan: Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire, 2004:83-84).

Dengan pendidikan kritis model Posing Problem Education, maka peserta didik mampu membangun jarak dengan realitas dan secara kritis turut berkontribusi mengontruksi realitas yang baru di kemudian hari sebagaimana dikatakan Paulo Freire dalam artikelnya, Pendidikan Yang Membebaskan, Pendidikan Yang Memanusiakan sbb: "Realitas sosial yang obyektif tidaklah eksis secara kebetulan saja, melainkan ada sebagai buah tindakan manusia, maka transformasinyapun tidak terjadi secara kebetulan. Jika manusia memproduksi kenyataan sosial (yang pada gilirannya berbalik mengondisikan manusia), maka mengubah kenyataan merupakan sebuah tugas historis, sebuah tugas bagi manusia" (Paulo Freire dkk, Menggugat Pendidikan: Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis, 2015:441-442).

Dalam bukunya yang lain, Education for Critical Consciousness, Paulo Freire menegaskan kembali pentingnya pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritis dengan bersentuhan dengan realitas kongkrit sbb: 

“We need, then, an education which would lead me to take a new stance toward their problems – that of intimacy with thoses problem, one oriented toward research instead of repeating irrelevant principles. An education of ‘I wonder’ instead of merely ‘I do’. Vitality, instead of insistence on the transmission of what Alfred North Whitehead has called ‘inert ideas’ – that is to say, ideas that are merely receive into the mind without being utilised or tested or thrown into fresh combination...Our traditional curriculum disconnected from life, centered on words emptied of the reality they are meant to represent, lacking in concrete activity, could never develop a critical consciousness”  (Kita membutuhkan sebuah pendidikan yang akan membuat saya mengambil cara pandang baru terhadap masalah mereka – yaitu keintiman dengan masalah ini, yang berorientasi pada penelitian, bukan mengulangi prinsip-prinsip yang tidak relevan. Sebuah pendidikan yang 'saya bertanya-tanya' bukan hanya 'saya lakukan'. Teramat penting, daripada memaksakan proses transmisi tentang apa yang oleh Alfred North Whitehead disebut 'gagasan malas' - maksudnya, gagasan yang hanya diterima di dalam pikiran tanpa dimanfaatkan atau diuji atau dilemparkan ke dalam kombinasi segar ... Kurikulum tradisional kita terputus dari kehidupan, berpusat pada kata-kata yang dikosongkan dari realitas yang seharusnya mereka wakili, kehilangan aktivitas nyata, tidak akan pernah bisa mengembangkan kesadaran kritis - 2005:32-33).

Lembaga sekolah, selayaknya bukan hanya melahirkan insan muda baik lelaki dan perempuan yang kelak menjadi – meminjam istilah Herbert Marcuse – “manusia satu dimensi” dimana, “Masyarakat semacam ini mungkin hanya menuntut suatu penerimaan dari prinsip-prinsip dan institusi-institusinya untuk mengurangi oposisi dalam hal diskusi dan promosi mengenai kebijakkan-kebijakkan di dalam status quo” (Manusia Satu Dimensi, 2016:3). Pendidikkan dan pengajaran bukan hanya menjadikan insan muda baik lelaki dan perempuan menjadi sebuah komoditas dan produk sebuah pabrik bernama sekolah yang “membentuk para pelajarnya menjadi roda-roda dalam proses ekonomis dan teknologis” (J. Drost,SJ., Proses Pembelajaran Sebagai Proses Pendidikan, 1999:3).

Sebaliknya, lembaga sekolah seharusnya menghasilkan manusia mulia yang memiliki kompetensi intelektual sekaligus kepekaan terhadap realitas sosial, keberanian untuk melakukan perubahan sosial, keberanian untuk melakukan keberpihakkan terhadap mereka yang tertindas dan nilai-nilai yang setara dengan itu. Pendidikkan dan pengajaran seharusnya membebaskan manusia dari berbagai pemahaman yang keliru dan memampukkan manusia untuk melakukan tugas pembebasan melalui ilmu dan pengetahuan serta nilai-nilai spiritual dan moral yang terbentuk dalam kesadaran.



Artikel ini pernah dimuat di Qureta.com (2017)

0 komentar:

Posting Komentar