RSS Feed

MESSIANIC JUDAISM & SACRED NAME MOVEMENT: FENOMENA KEAGAMAAN ABAD XX DAN TANGGAPAN KEKRISTENAN (Seri 1)

Posted by Teguh Hindarto



 
PENDAHULUAN

Istilah “Mesianik” akhir-akhir ini di Indonesia ramai dibicarakan. Terkadang istilah ini dihubungkan dengan fenomena pemulihan nama Yahweh sebagai ganti nama Allah dalam terjemahan Kitab Suci. Namun ada pula yang menghubungkan istilah ini dengan tata cara ibadah dan pola berpikir Ibrani dalam penafsiran Kitab Suci. Sementara yang lain mengartikan istilah ini dengan cara berpakaian dan gaya hidup seperti orang Yahudi. Tidak jarang pula mereka yang mengaku sebagai komunitas Mesianik, memutuskan diri dari Kekristenan. Mereka mengganggap bahwa mereka bukan Kristen. Tindakan ini diperparah dengan berbagai aksi radikalistik dan fundamentalistik atas nama individu dan kelompok yang melakukan berbagai tekanan psikologis untuk memperjuangkan penghilangan nama Allah dan keharusan penggunaan nama Yahweh dalam terjemahan Kitab Suci maupun aplikasi ibadah Kekristenan. Namun apa dan bagaimanakah sesungguhnya “Mesianik” itu? 

KAJIAN TERHADAP HISTORITAS

Jika kita membuka situs internet atau mencari kata “Mesianik” dalam mesin pencari “Google”, maka akan terdapat ratusan bahkan ribuan alamat situs internet yang bersifat “Mesianik” dan “Sacred Name Movement”. Persoalannya adalah, siapakah atau apakah “Mesianik”  dan “Sacred Name Movement” itu?

Fenomena Mesianik Yudaisme (Messianic Judaism) adalah suatu kebangkitan spiritual yang terjadi di kalangan unsur-unsur Yudaisme dan Bangsa Yahudi yang mulai merespon ajaran Yesus (Ibr: Yahshua/Yahushua/Yeshua, Aram, ‘Yeshu’, Greek, ‘Iesous’, Ind, ‘Yesus’) Sang Mesias yang dijanjikan namun tidak menyebut diri mereka sebagai Kristen dan Gereja dan mereka tetap memelihara gaya hidup dan tata ibadat Yudaisme, namun dalam terang ajaran Yahshua Sang Mesias. DR. Michael Shiffman mendefinisikan Mesianik Yudaisme sebagai: “Messianic Jews are physical descendants of the patriarchs, being Jewish by birth, but are not adherents to the authority of rabbinic tradition”[1]  (Mesianik Yudaisme adalah keturunan para leluhur secara jasmani, yang menjadi Yahudi melalui kelahiran namun tidak mengikuti otoritas tradisi kaum rabinik)


Sementara itu DR. David Stern memberikan definisi sbb: “A person who was born Jewish or converted to Judaism, who is genuine believer in Yeshua, and who acknowledge his Jewishness”[2] (Seseorang yang dilahirkan menjadi seorang Yahudi atau masuk ke dalam agama Yahudi, yang beriman kepada Yeshua serta mengakui keyahudian Yeshua)

DR. John Fischer memberikan deskripsi mengenai Mesianik Yudaisme dengan mengatakan: “The convictions of these congregations are uniqe. They are convinced that they can believe in Jesus, be thoroughly biblical, and yet authentically Jewish. They affirm Jesus, as Messiah, Savior and Lord of the universe. They adhere to the entire Bible as the inspired Word of God and refuse to do anything contrary to its teachings. Thy feel a kinship and commitment to the entire body of the Messiah. Yet they express their faith, lifestyle and worship in Jewish form and in Jewish ways”[3] (Keyakinan kumpulan jemaat ini adalah unik. Mereka mengakui bahwa mereka dapat mempercayai Yesus sesuai Kitab Suci, namun yang secara otentik adalah seorang Yahudi pula. Mereka menyetujui bahwa Yesus sebagai Mesias, Juruslamat dan Tuan atas alam semesta. Mereka menerima keseluruhan Kitab Suci sebagai Firman Tuhan yang diilhamkan dan menolak segala sesuatu yang bertentangan ajaran-Nya. Mereka merasakan suatu kekeluargaan dan kesetiaan terhadap seluruh anggota tubuh Mesias. Namun mereka mengekspresikan iman mereka, gaya hidup mereka dan ibadah mereka dalam bentuk dan tata cara Keyahudian).

Dari tiga definisi di atas, kita mendapat tiga karakteristik umum dan khas dari Mesianik Yudaisme, yaitu: Pertama, suatu pergerakan spiritual dikalangan komunitas Yahudi (bangsa) dan Yudaisme (agama). Kedua, mereka beriman pada Yahshua sebagai Mesias dan menerima TaNaKh dan Perjanjian Baru, sebagai kitab suci yang diilhamkan Ruakh ha Kodesh. Ketiga, mereka tetap mempertahankan gaya hidup, tradisi dan kebudayaan luhur Yahudi yang dipelihara berabad-abad, sebagai warisan kebudayaan suatu bangsa.

DR. Michael Schiffman membagi sejarah pergerakan Mesianik Yudaisme menjadi “Sejarah Mesianik Yudaisme Kuno” yang berakar pada Abad I Ms yang bersumber dari ajaran Yahshua dan para murid-murid-Nya (talmidim) dan “Sejarah Mesianik Yudaisme Modern”[4] yang berakar pada Abad XIX di Eropa. Pergerakan Mesianik awal dihubungkan dengan nama sekte Yahudi, “Nazoraios” (Yun) atau “Nazarene” (Ibr) dalam Kisah Rasul 24:5. Ray A. Pritz mengulas mengenai keberadaan sekte Nazarene sbb: “The name Nazarene was at first applied to all Jewish followers of Jesus. Until the name Christian became attached to Anthiochian non Jews, this meant that the name signified the entire Church, not just a sect. So also in Acts 24:5 the reference is not to a sect of Christianity but rather to the entire primitive church as a sect of Judaism”.[5]  (Nama Nazarene pada mulanya disematkan pada semua pengikut Yeshua yang merupakan orang-orang Yahudi. Sampai akhirnya nama Kristen menjadi bagian yang dikenakan pada orang non yahudi di Anthiokia, istilah ini dimaksudkan bagi keseluruhan gereja dan bukan hanya sebatas suatu sekte. Demikianlah dalam Kisah Rasul 24:5, petunjuk ini tidak mengindikasikan suatu sekte Kristen melainkan seluruh gereja purba sebagai sekte dari Yudaisme).

Sekte ini berpusatkan pada ajaran Yesus yang dipercaya sebagai Nabi, Mesias dan Putra Yahweh sendiri. Ada beberapa sekte dalam Yudaisme pada Abad I Ms, spt. “Farisi”, “Saduki”, “Esseni”, “Zealot”. Secara umum, tidak ada perbedaan diantara Sekte Netsarim dengan Yudaisme pada umumnya, baik dalam Emunah, Avodah maupun Halakhah. Yang membedakan adalah pemahaman tentang siapa Yahshua itu? Apakah Dia Mesias yang dijanjikan atau hanya seorang anak tukang kayu?

Namun gerakan yang muncul dalam tubuh Yudaisme ini lama kelamaan mengalami perpisahan dari Yudaisme. Penyebabnya adalah faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah dua peristiwa dalam sejarah Yudaisme yaitu penyerbuan Jendral Titus pada tahun 66-70 Ms dan Revolusi Bar Khokbah Tahun 132-135 Ms.

Perisiwa pertama, tahun 66-70, ketika pasukan Romawi dibawah pimpinan Jendral Titus hendak memusnahkan Yerusalem, maka kaum Nazarene harus mengungsi ke Pella di Transyordan dan melanjutkan keimanan dan pola hidup hebraic. Alasan mereka untuk mengungsi ke Pella karena mengikuti nasihat Mesias, jika melihat ‘pembinasa keji’ berdiri di Bait Suci, maka mereka harus lari kegunung-gunung yang tinggi (Luk 21:20-24)[6]. Sikap kaum Nazarene melarikan diri ke Pella menyebabkan mereka dijuluki “Meshummed” (penghancur) oleh para Rabbi. Setelah tahun 70 Ms., kaum Nazarene dan Yahudi secara umum, kembali menetap di Yerusalem sampai masa Revolusi BarKhokba.

Peristiwa kedua, tahun 70-132 merupakan terbentuknya Rabbinic Judaism, dimana golongan yang berpengaruh pada waktu kaum Farisi. Disebabkan golongan Saduki yang berkuasa terhadap Bait Suci telah kehilangan pengaruh karena hancurnya Bait Suci, maka Sinagog memainkan peranan penting. Berbagai tradisi lisan dibukukan menjadi Talmud yang terdiri dari Misnah dan Gemara. Dimasa ini terjadi perselisihan yang semakin tajam antara kaum Nazarene dengan Yahudi Rabbinik. Perselisihan tersebut disebabkan karena kaum Nazarene menolak berbagai tradisi lisan yang disusun oleh kaum Farisi tersebut dan disebabkan penolakkan mereka bergabung dalam Revolusi bar Khokba. Nazarene menolak bergabung dalam revolusi dikarenakan Bar Kokhba menyebut dirinya Mesias, padahal kaum Nazarene hanya mengakui satu-satunya Mesias, yaitu Yahshua. Akibatnya dalam struktur doa kuno yang disebut Shemone Esrei (18 doa berkat) ditambahkanlah satu doa kutukan terhadap keberadaan “ha Minim” (Bidat), yaitu kaum Nazarene karena tidak turut dalam Revolusi Bar Khokba[7].

Sekte Yudaisme ini terekam dalam berbagai tulisan Kristiani sejak abad 2 M sampai 11 Ms. Sebut saja Irreneus[8], Eusebeius[9], Epiphanius[10]. Apakah yang membedakan sekte Netsarim ini dengan sekte-sekte Yahudi lainnya? Perbedaan Sekte Nazarene dengan sekte-sekte Yahudi lainnya adalah dalam hal memandang siapa Yahshua ben Yosef. Dia bukan sekadar putra Yusuf namun juga Mesias yang dijanjikan, Putra Elohim Yang Hidup. Mereka tetap beribadah di Sinagog dan berinteraksi dengan sekte-sekte Yahudi lainnya dalam peribadahan di Bait Suci. Selain itu, sekte Netsarim menolak  tradisi lisan kaum Farisi yang kelak dinamai dengan Misnah dan Gemara atau Talmud sebagaimana dijelaskan oleh Robert & Remy Koch, dalam bukunya sbb: “The apostles and other followers of the Way did not recognize the Pharisaic Oral Law as having any authority over them…Their conflict was in the nature of a family disagrement. The Pharisees thought the Nazarenes had an incorretct interpretation of Torah. But they never challenged their Judaism[11] (para rasul dan pengikut Jalan itu tidak mengakui tradisi lisan kaum Farisi sebagai sesuatu yang berkuasa atas mereka…perselisihan diantara mereka hanya ketidaksependapatan yang bersifat kekeluargaan. Kaum Farisi menganggap bahwa sekte nazarene keliru menafsirkan Torah. Namun mereka tidak mengancam Yudaisme).

Tidak semua penulis sependapat, kapan keberadaan sekte Nazarene ini kehilangan pengaruh dalam sejarah. Harry R. Boer memperkirakan bahwa mereka telah kehilangan pengaruh sejak tahun 62-70 Ms[12]. DR. Michael Schiffman memastikan lenyapnya pengaruh Nazarene pada Abad IV-V Ms[13]. Sementara Robert dan Remy Koch memastikan lenyapnya pengaruh Nazarene mulai Abad XI Ms[14].

Pergerakan Mesianik Yudaisme modern di awali oleh munculnya organisasi The Hebrew Christian Alliance of Great Britain, yang didirikan pada tahun 1866. Dalam konstitusinya, mereka mengumumkan demikian: “Let us not sacrifice our identity. When we profess Christ, we do not cease to be Jews; Paul, after his conversion, did not cease to be a Jew; not only Saul was, but even Paul remained, a Hebrew of the Hebrews. We cannot and will not forget the land of our fathers, and it is our desire to cherish feelings of patriotism… As Hebrews, as Christians, we feel tied together; and as Hebrew Christians, we desire to be allied more closely to one another”[15] (Janganlah kita mengorbankan identitas kita. Ketika kita mengakui Kristus, janganlah kita berhenti menjadi seorang Yahudi; Paul, beberapa waktu setelah pertobatannya, tidak berhenti menjadi seorang Yahudi; Bukan hanya Saul bahkan Paul tetap sebagai orang yang lebih Ibrani dari orang Ibrani. Kita tidak dapat dan tidak akan melupakan tanah air orang tua kita, inilah kebanggaan kita yaitu menghargai perasaan patriotisme…entahkan sebagai orang Ibrani entahkan sebagai orang Kristen, kami merasa terikat bersama; dan sebagai orang Kristen Ibrani, kami ingin bersekutu lebih dekat satu dengan lainnya)

Kemudian pada tahun 1915 didirikanlah The American Hebrew Christian Alliance. Kemudian Tahun 1925 didirikanlah the International Hebrew Christian Alliance. Penggerak awal dari Mesianik Yudaisme adalah Joseph Rabinowitz. Eric Gabe melukiskan pelayanan Rabinowitz sbb:  “Rabinowitz continued to observe, even as a Hebrew Christian, a number of Old Testament comandments, such as the sabbath, circumcision and the Passover. He thus became the founder of the Hebrew Christian movement in Bessarabia, which he called The Community of Messianic Jews, Sons of the New Covenant, in Hebrew, Yehudim Mesichim Bney Brit Hachadashah”[16] (Rabinowitz tetap melanjutkan memelihara – meskipun sebagai orang Kristen Ibrani – yaitu sejumlah perintah dalam Perjanjian Lama, seperti sabat, sunat dan Pesakh. Selanjutnya dia menjadi pendiri gerakan Kristen Ibrani di Bessarabia, yang disebut dengan Komunitas Mesianik Yahudi Putra Perjanjian Baru yang dalam bahasa Ibrani, Yehudim Mesichim Bney Brit Hachadashah)

Dibagian lain bukunya, Eric Gabe memberikan deskripsi mengenai tempat peribadatan yang dibangun oleh Rabinowitz sbb: “The House of Prayer…approximated…the appearance of Synagogue rather than that of a Church. In the photograph, Rabinowitz stands in the pulpit holding a complete copy of the Bible in Hebrew. Behind him hangs a menorah…just as in any Synagogue…The photograph shows some of the Hebrew texts displayed in his House of Prayer. The text on his left contains the hebrew name of Jesus, namely YESHUA…Separated on the right…(is) the Aron Kodesh-The Holy Ark-within which the sacred scrolls of the Bible are kept”[17]

(Rumah doa…kira-kira…seperti berbentuk Sinagog dibandingkan dengan bangunan Gereja. Dalam foto, nampak bahwa rabinowitz berdiri dengan menggenggam ujung salinan Kitab Suci dalam bahasa Ibrani. Di sampinya tergantung sebuah menorah…sebagaimana layaknya di Sinagog…foto yang ditunjukan itu memperlihatkan beberapa teks Ibrani dipertontonkan di dalam rumah doanya. Teks itu terdiri dari nama Yesus dalam bahasa Ibrani, yaitu YESHUA…terpisah di sebelah kanan {yang adalah} Aron Kodesh – Tabut Suci – yang di dalamnya tersimpan dengan rapih, gulungan Kitab Suci)

A.E. Thomson dalam bukunya, A Century of Jewish Missions, pada tahun 1902 melaporkan berbagai komunitas Mesianik Yudaisme dengan istilah “Hebrew Christian” di Eropa, Inggris, Eropa. Thomson melaporkan mengenai aktivitas The Hebrew Christian Assembly yang terbentuk pada tahun 1898. Kemudian Abraham Levi pada tahun 1894 mendirikan komunitas Mesianik[18]. Dalam deskripsi Schiffman, dilaporkan bahwa berturut-turut tumbuh komunitas Mesianik Yudaisme diberbagai tempat[19] al. Pada tahun 1905 didirikanlah komunitas “Hebrew Christians” di Baltimore, Maryland di bawah bantuan Gereja Presbyterian. Komunitas ini kelak berganti nama menjadi Emmanuel Messianic Conggregation. Pada tahun 1930, berdiri sebuah komunitas Mesianik di Chicago dan telah berganti nama menjadi Adat Hatikvah. Kemudian tahun 1940-an dan 1950-an, seorang bernama Lawrence Duff-Forbes membuka Messianic Conggregation di Los Angeles. Mereka beribadat pada hari sabat, merayakan tujuh hari raya dengan liturgi Yahudi. Pada tahun 1950-an denominasi Presbyterian mengembangkan komunitas Mesianik keempat di Los Anggeles, setelah sebelumnya yaitu Adat HaTikvah di Chicago, Emmanuel Messianic Conggregation di Baltimore dan Beth Messiah di Philadhelphia. Namun komunitas di Los Anggeles ini tidak bertahan lama. Terjadi perkembangan luar biasa pada tahun 1970. Shiffman mensinyalir ada sekitar seratus lima puluh jemaat Mesianik diseluruh dunia[20] dan ada tiga organisasi penting yang berkaitan bersama, yaitu: the Union of Messianic Jewish Congregations (UMJC), the Fellowship of Messianic Congregations (FMC), the International Alliance of Messianic Congregations and Synagogues (IAMCS). Meskipun ada beberapa perbedaan antara “Hebrew Christians” dan “Messianic Jewish”, namun menurut Sciffman itu hanya dalam hal “respect of affiliation” (kebergabungan)[21]. Jika “Hebrew Christians” bergabung dibawah gereja-gereja Protestan atau Presbyterian, maka Mesianik Yudaisme terlepas dari ketergantungannya terhadap gereja Protestan atau Presbyterian, dan mereka tetap memelihara gaya hidup sebagai orang Yahudi.

Dari deskripsi di atas, kita dapat memiliki sedikit gambaran mengenai latar belakang kemunculan fenomena Mesianik Yudaisme. Secara historis, gerakan yang muncul di kalangan orang Yahudi yang beriman kepada Yahshua (Yeshua) sebagai Mesias, adalah gerakan yang baru muncul pada Abad XIX, meskipun secara teologis memiliki akarnya pada Abad I Ms, saat pelayanan Yahshua dan rasul-rasul-Nya yang merupakan orang-orang Yahudi. Karena gerakan ini baru muncul di Abad XIX, maka kedewasaan teologi dan warisan kebudayaanya masih berkembang dan belum menciptakan suatu kebudayaan baru yang mempengaruhi suatu peradaban. Oleh karenanya DR. David Stern menamakan judul bukunya “Messianic Judaism: A Modern Movement With An Ancient Past” (revisi buku pertamanya, “Messianic Jewish Manifesto). Dengan judul tersebut David Stern hendak menegaskan bahwa ini merupakan gerakan di Abad XIX yang berusaha mencari akar sejarah pada pergerakan masa lampau bukan penerus yang berkesinambungan secara hirarkhis kepemimpinan seperti layaknya Gereja Orthodox maupun Katholik.

Berbeda dengan “Gereja Kristen” (sebutan bagi Qahal Mesianik yang telah terlepas dari akar Ibrani, sejak Abad II Ms sampai sekarang), baik itu “Katholik”, “Orthodoxs”, “Protestan”, “Baptis”, “Advent”, “Pentakosta”, “Kharismatik” yang telah menciptakan suatu peradaban khas, baik di Eropa, Amerika, Asia dan Timur Tengah, maka komunitas “Messianic Judaism” (Mesianik Yudaisme) belum membawa pengaruh terhadap peradaban selain pembaruan di bidang agama.

Berbeda dengan fenomena “Messianic Judaism”, maka fenomena “Sacred Name Movement”, merupakan suatu pergerakan dikalangan Eropa dan Amerika yang memfokuskan pada pemulihan nama Yahweh dalam terjemahan Kitab Suci. Dalam beberapa tingkatan tertentu, komunitas “Sacred Name Movement” juga mengembangkan ajaran, hingga melakukan rekonstruksi dengan mengupayakan suatu ajaran yang berusaha mencari sumber akar Ibrani, tanpa meninggalkan kebudayaan mereka sebagai orang Amerika dan Eropa. Demikian sebaliknya bahwa dalam beberapa tingkatan tertentu komunitas “Messianic Judaism” mengadaptasi pemahaman “Saced Name Movement” mengenai penggunaan nama Yahweh meskipun mayoritas komunitas Messianic tetap memelihara tradisi Yudaisme yang mengucapkan Yahweh dengan “Adonai” atau “Ha Shem”. Organisasi Yahweh New Covenant Assemblies (YNCA) sebagai salah satu komunitas penggerak pemulihan nama Yahweh, dalam salah satu artikelnya yang berjudul “Sacred Name Movement History”, menjelaskan sbb:

The Sacred Name Movement began in the 1930's among the Church of G-d, 7th Day members who pondered the question of Proverbs 30:4, "What is His name and His Son's name if you can tell?" The Church of G-d, 7th Day is a Sabbath-keeping group, which came out of the Millerite movement of 1844, as did the 7th Day Adventists. Up to that time, there was little teaching or discussion about the return of the Messiah. The general understanding was that upon dying, one went either to heaven or hell, or in the case of the Roman Church, to purgatory. Those who became known as Millerites came from various religious denominations including the 7th-Day Baptists. Most churches in Christianity, almost with one voice, taught that the Son's name was Jesus. What about the Father's name?  Did not the Son say He came in His Father's name, and would not His name be much the same or very similar? [22] (Gerakan Pemulihan Nama Kudus, dimulai pada tahun 1930-an dikalangan anggota Church of G-d 7th Day, {Gereja Tuhan Hari Ketujuh} yang merenungkan pernyataan dalam Amsal 30:4, “Siapakah yang naik ke sorga lalu turun? Siapakah yang telah mengumpulkan angin dalam genggamnya? Siapakah yang telah membungkus air dengan kain? Siapakah yang telah menetapkan segala ujung bumi? Siapa namanya dan siapa nama anaknya? Engkau tentu tahu!” Church of G-d 7th Day, {Gereja Tuhan Hari Ketujuh} adalah orang-orang yang memelihara dengan setia ibadat Sabat, yang bermula dari gerakan Millerite di tahun 1844, sebagaimana yang juga dilakukan oleh 7th Day Adventists {Adven Hari Ketujuh}. Pada waktu itu, hanya sedikit orang yang membicarakan mengenai kembalinya Sang Mesias. Pemahaman umum pada waktu hanya menjelaskan, bahwa jika seseorang meninggal, mereka akan masuk Sorga atau Neraka, atau pada umumnya di Gereja Katholik, masuk api  penyucian. Mereka yang dikenal sebagai kaum Millerites, berasal dari berbagai denominasi termasuk 7th Day Adventists {Adven Hari Ketujuh}. Kebanyakan gereja sepakat mengajarkan bahwa nama Putra-Nya adalah Yesus. Namun siapakah nama Bapa-Nya? Bukankah Sang Putra telah mengatakan bahwa diri-Nya datang atas nama Bapa-Nya? Dan apakah mungkin nama-Nya tetap sama atau sangat sama?)

Dari pemaparan singkat kedua fenomena di atas, nampak jelas perbedaannya. Jika “Mesianik Yudaisme” merupakan sebuah pembaruan teologi dan ibadah di kalangan orang yahudi yang beragama Yudaisme, dengan mempertahankan corak budaya dan berbagai pandangan rabinik, maka fenomena “Sacred Name Movement” merupakan suatu pembaruan yang berasal dari kalangan Advent dan Baptis, yang menitik beratkan pada eksistensi dan penggunaan nama Yahweh, sekalipun berbagai kebenaran lain yang disosialisasikan komunitas Mesianik Yudaisme, tetap diadaptasi dalam batas-batas tertentu.

KAJIAN TERHADAP DOGMATIKA

Sebagaimana sebuah pergerakan rohani, baik “Messianic Judaism/Jewish” dan “Sacred Name Movement” memiliki karakteristik dalam dogmatika. Namun demikian tidak mudah memaparkan dogmatika khas mereka mengingat varian di kalangan mereka sangat beragam. Namun demikian jika dibuat sebuah pemetaan sederhana kita akan menemui beberapa benang merah khas yang membedakan dengan dogmatika Kekristenan (baik Orthodox, Katholik maupun aliran-aliran Reformasi seperti Protestan, Pentakosta, Kharismatik). Kajian dogmatik dalam tulisan ini lebih dititik beratkan pada komunitas “Messianic Judaism” tinimbang “Sacred Name Movement” mengingat komunitas terakhir ini lebih menonjolkan pemahaman dan penggunaan nama Yahweh dalam terjemahan Kitab Suci dan aplikasi ajaran Kristen.

Pandangan Tentang Tuhan

Seluruh komunitas “Messianic Judaism” mempercayai bahwa Tuhan Pencipta adalah Yahweh yang disapa berdasarkan tradisi Yudaisme dengan sebutan “Adonai” atau “Ha Shem” dan Firman-Nya yang menjadi manusia yaitu Yahshua (mayoritas Mesianik Yudaisme mengucapkan Yeshua). Persoalannya adalah bagaimanakah hubungan antara Yahweh dengan Firman-Nya yang menjadi manusia, nampaknya di antara mereka belum menemukan kata sepakat. Relasi Ontologis tersebut biasa diistilahkan dengan sebutan “Trinitas” atau “Tritunggal”. Berkaitan dengan istilah tersebut ada perbedaan pendapat mengenai perlu tidaknya penggunaan istilah tersebut.

DR. David Stern menolak istilah Tritunggal dengan menyatakan sbb: “The word ‘trinity’ nowhere in the New Testament; it was developed later by theologians tryng to express profundities which God has revealed about himself. The New Testament does not teach triteism, which is belief in three gods. It does not teach unitarianism, which denies the divinity of Yeshua the Son and the Holy Spirit. It does not teach modalism, which that God appears sometimes as the Father, sometimes as the Son and sometimes as the Holy Spirit, like an actor changing mask”[23] (Istilah Trinitas tidak ditemukan dimanapun dalam Kitab Perjanjian Baru; Istilah tersebut dikembangkan oleh para teolog yang mencoba untuk menjabarkan kedalaman dimana Tuhan telah menyingkapkan keberadaan diri-Nya. Kitab Perjanjian Baru tidak mengajarkan mengenai Triteisme yang mana mempercayai adanya tiga tuhan. Kitab Perjanjian Baru pun tidak mengajarkan mengenai Unitariansme yang menolak keilahian Yeshua Sang Putra dan Roh Kudus. Kitab Perjanjian Baru tidak pula mengajarkan mengenai Modalisme yang mengajarkan baha Tuhan terkadang menampakkan diri sebagai Bapa dan terkadang seperti Sang Putra serta terkadang seperti Roh Kudus).

Sementara DR. Michael Schiffman lebih cenderung menggunakan istilah “Triunity” tinimbang “Trinity”. Konsep Triunity dijelaskan sebagai keyakinan pada Tuhan yang Esa dengan tiga pribadi. Beliau memberikan keterangan bahwa mayoritas Mesianik Yudaisme menganut istilah “Triunity”. Selengkapnya beliau menjelaskan: “Belief in the triune nature of God is not merely held by a group within the Messianic community, but is believed by every Messianic organisation of the community: the Union of Messianic Jewish Conggregations, the Fellowship of Messianic Conggregations and the Messianic Jewish Allience of America”[24] (Percaya mengenai keberadaan kesatuan dari tiga sifat Tuhan bukan hanya dipertahankan oleh kelompok di dalam komunitas Mesianik namun juga dipercayai oleh setiap organisasi dari komunitas Mesianik yaitu : the Union of Messianic Jewish Conggregations, the Fellowship of Messianic Conggregations and the Messianic Jewish Allience of America)

Menurut beliau bahwa kesulitan bagi mayoritas Mesianik Yudaisme bukan dalam hal konsep tentang Triunity melainkan dalam hal terminologi saja. “A related area of difficulty for Messianic Jews is not the concept of the triunity but the terminology. Trinity sounds catholic and hence non Jewish”[25] (Wilayah yang sukar bagi Mesianik Yahudi bukanlah konsep mengenai kesatuan tiga sifat atau Triunity melainkan peristilahan)

Selain masalah terminologi yang terdengar berbau non Yahudi, kesulitan muncul dalam hal menjelaskan keyakinan ini. Namun beliau memberikan solusi untuk mengeliminir kesulitan-kesulitan tersebut dengan mengatakan sbb: “The problem Messianic Jews face is the problem all believers face: explaining the faith. No matter from what perspective one tries to explain, faith is mistery. The solution is to affirm the truths of Scripture concerning God, leaving further explanation to mystery. In other words, affirms that God is one and eternally exist in three persons – Father, Son and Spirit, without seeking to explain how this can be”[26] (Masalah yang dihadapi oleh Mesianik Yudaisme adalah yang di hadapi oleh semua orang beriman: Bagaimana menjelaskan keimanan ini. Tidak menjadi persoalan dari sudut pandang mana seseorang mencoba untuk menjelaskan namun iman tetaplah sebuah misteri. Jalan keluarnya adalah mengakui kebenaran Kitab Suci mengenai Tuhan jauh melampaui logika sampai pada misteri. Dengan kata lain mengakui bahwa Tuhan adalah esa dan keberadaannnya kekal dalam tiga pribadi yaitu Bapa, Anak, Roh Kudus tanpa berusaha untuk menjelaskan bagaimana ini dapat terjadi)

Pandangan Tentang Manusia, Dosa, Pertobatan, Penebusan, Pengampunan 

Secara umum pandangan tentang manusia tidak berbeda jauh dengan Kekristenan. Manusia adalah ciptaan yang Segambar dan Serupa dengan Tuhan. Dosa telah merusak Gambar dan Rupa Tuhan tersebut. Namun ada yang menarik mengenai konsep pertobatan, penebusan dan pengampunan. DR. David Stern memberikan komentar berkaitan hal tersebut sbb:

 “On the matter of attonement for sin, Messianic Judaism should be sure to bring out all that the New Testament teaches on the subject, for Christianity tend to gloss over the very elements which Judaism stresses. In order for Yeshua atonement to be effective, a person who has sinned must not only admit his sin, he must repent-which mean being determined not to commit the sin again; he must be sorry-not out of self pity but out of distress at having offended other people or God; and he must make restitution to the person wronged. From Christianity one seems to hear mostly how willing God is to forgive, from Judaism how crucial it is for us to do all we can to right the wrong. But righting wrongs is scriptural in both the Tanakh and the New Testament, as is God’s desire to forgive the repentant sinner”[27] (Mengenai penebusan dosa, Mesianik Yudaismesudah seharusnya sungguh-sungguh menyatakan bahwa Kitab Perjanjian Baru mengenajarkan mengenai hal tersebut karena Kekristenan cenderung memperhalus tiap unsur yang sebenarnya ditekankan dalam Yudaisme. Agar penebusan Yeshua menjadi efektif, seseorang yang berdosa bukan hanya mengakui dosanya namun demikian dia pun harus bertobat yang bermakna menetapkan dirinya untuk tidak mengulang perbuatan berdosa kembali;dia bukan hanya membuang cinta diri sendiri melainkan membuang sikap yang membawa sandungan bagi orang lain atau Tuhan. Dan dia harus mengampuni terhadap seseorang yang bersalah. Dari Kekristenan seseorang nampaknya mendengar banyak hal mengenai kehendak Tuhan terhadap pengampunan dan dari Yudaisme betapa penting hal ini bagi kita untuk dilakukan yaitu untuk memperbaiki kesalahan. Namun memperbaiki sebuah kesalahan adalah skriptural baik dalam TaNaKh dan Kitab Perjanjian Baru sebagaimana Tuhan berkehendak untuk mengampuni orang yang bertobat)

Mengenai sistem korban dalam Imamat Lewi, Stern menjelaskan sbb: “Has the Levitical system of sacrifices been abolished by the New Covenant? The New Testament book of Messianic Jews (Hebrews) is devoted to the subject, but a careful reading shows that only the sin offering has been canceled, replaced by Yeshua himself. It appears that if and/or when the Temple is rebuilt (the propheters have varying opinions on this) the other sacrifices (continual offering, thank offering, rain offering, etc) would continue”[28] (Apakah sistem pengorbanan Lewi telah dihapuskan oleh adanya Perjanjian Baru? Kitab Perjanjian Baru yaitu Kitab Ibrani memusatkan perhatian pada topik tersebut namun dengan pembacaan yang hati-hati , menunjukkan bahwa hanya korban terhadap dosa yang dihapuskan yaitu digantikan oleh Yeshua sendiri. Sistem Imamat Lewi nampaknya, jika/dan atau saat Bait Suci dibangun kembali (para nabi memiliki pemahaman yang beragam mengenai hal ini) maka korban yang lain akan dilanjutkan)

Pandangan Tentang Kitab Suci 

Dibeberapa kelompok Mesianik Yudaisme dikembangkan konsep “Progressive Revelation” (Tuhan memperkenalkan kebenaran-Nya dengan cara bertahap) dan “Biblical Continuity” (Pesan Kitab Suci tetap sama dari Kitab Kejadian sampai Wahyu)[29]. Dampak pemahaman tersebut salah satunya adalah, “progressive revelation clarifies the Torah the foundation of our faith” (pewahyuan progresif menjelaskan mengenai Torah sebagai dasar iman)[30]. Selengkapnya dijelaskan sbb: “If God never changes and never contradicts Himself, then we can assured that those things which we believe concerning Yeshua have their beginnings, their roots and their foundations in the Torah-the first main body of revelation given by God to mankind. This is why it is not suffient for believers to look to Reformation, to the Church Fathers, or even to the Brit Hadasha in order to establish the foundations of their faith. By virtue of the concept of progressive revelation, we must look even further back into history-to the bedrock of the Torah, the first five books of the Bible and its subsequent revelation found in the Tanakh”[31] (Jika Tuhan tidak pernah mengubah dan tidak pernah berkontradiksi dengan diri-Nya sendiri, maka kita dapat yakin bahwa sesuatu yang kita percayai mengenai Yeshua telah ada sejak mulanya, akar dan dasarnya dalam Torah sebagai pewahyuan utama yang diberikan Tuhan pada manusia. Oleh karena itu tidak cukup bagi orang beriman hanya melihat Reformasi atau kepada Bapa Gereja juga kepada Kitab Perjanjian Baru untuk mendirikan landasan iman mereka. Dengan mempertimbangkan konsep pewahyuan progresif, kita seharusnya melihat lebih jauh yaitu kembali ke dalam sejarah -  kepada batu fundasi Torah yaitu kelima Kitab pertama dari Kitab Suci dan selanjutnya pewahyuan yang ditemukan dalam TaNaKh)

Pandangan Tentang Torah

Pengaruh Teologi Dispensasional[32] dan Teologi Covenant[33] terhadap orang Kristen pada umumnya adalah, sikap yang memandang rendah hakikat dan peranan Torah, sebagai hukum seremonial dan kultis yang berkaitan terhadap Yishrael di masa lampau. Gereja, yang didefinisikan sebagai Israel baru dan rohani, menerima mandat yang berbeda dengan Israel. Torah selalu berhubungan dengan Yishrael dan Anugrah selalu berhubungan dengan Gereja.

DR. David Stern mengakui kesenjangan pemahaman antara Kekristenan dan Yudaisme, ketika membicarakan mengenai Torah. Menurut beliau, jika memperbandingkan buku-buku teologia baik Kristen maupun Yudaisme, akan diperoleh fakta bahwa kedua belah akan bersebrangan pemahaman mengenai topik Torah. Dalam penelusuran berbagai buku teologi Kristen mengenai Torah, al., Augustus Strong’s Systematic Theology, hanya membahas mengenai topik Torah, sebanyak 28 halaman dari 1056 halaman (kurang dari 3%). Sementara L. Berkhof dalam bukunya Systematic Theology, hanya mengulas sebanyak 3 halaman dari 745 halaman (kurang dari 1/2%). Berbeda dengan buku-buku teologi dikalangan Yudaisme,al., Isidor Epstein’s yaitu the Faith of Judaism,mengulas mengenai Torah sebanyak 57 halaman dari 386 halaman (15%) dan Solomon Schetcher dalam Aspects of Rabbinic Theology mengulas sebanyak 69 halaman dari 343 halaman (20%)[34]. Stern berkesimpulan: ”In short, Torah is the great unexplored territory, the terra incognita of Christian Theology” (singkatnya, Torah merupakan wilayah yang belum sama sekali digali, suatu wilayah tidak dikenal dalam Teologi Kristen)[35].

Pernyataan ini menyiratkan bahwa Teologi Kristen menempatkan kajian tentang Torah, secara tidak berimbang dibandingkan dengan topik lainnya seperti Tuhan Keselamatan/Anugrah, Dosa, dll. Ariel & Devorah Berkowitz dalam kata pengantar bukunya menjelaskan mengenai pembahasan Torah yang menyita perhatian para ahli teologi sbb: “If there is one area of misguided theological thinking for believers, it is the study of Torah. In fact, most evanggelical Bible colleges and seminaries do not even have an area of study called Torah”[36] (Jika ada satu wilayah dari pemikiran teologi yang kerap disalahpahami oleh orang beriman tiada lain adalah studi tentang Torah. Faktanya kebanyakan perguruan tinggi Kitab Suci dari kaum Injili dan berbagai seminari tidak memiliki wilayah yang disebut studi Torah)

Dalam bukunya, beliau mengulas tuntas asumsi-asumsi hermeneutis yang keliru terhadap surat-surat Rasul Paul yang seolah-olah menentang Torah. Dalam Bab VII bukunya yang berjudul “Christian Misconceptions of the Torah”, diulas bahwa ada dua kekeliruan yang dilakukan banyak penafsir Kristen. Pertama, menganggap bahwa Kitab Kisah Rasul adalah kitab transisi. Beliau mengritik pandangan Merril C. Tenney dalam bukunya “New Testament Survey” sbb: “For him, and many others like him, it was not merely a transition from a predominantly Jewish body of Messiah to a predominantly Gentile one. Rather, it was also a transition from law to grace…Acts 21 makes such a conclusion untenable. If there had been such a theological transition intended by God, then we would expect to see fewer and fewer believers following the Torah. Instead, Acts 21 tells us that some thirty years after Yeshua sent His students around the world to tell others of His Grace, there grew such a strong Jewish congregation in Jerusalem that is was noted, “how many thousands of Jews there are which believe; and they are all zealous of the law:[37] (Bagi dia dan banyak orang lain seperti dia, itu bukan hanya sebuah transisi dari tubuh Mesias Yahudi secara umum menuju tubuh non Yahudi secara umum. Disamping itu juga merupakan transisi dari hukum kepada anugrah...Kisah Rasul 21 membuat kesimpulan tersebut tidak dapat dipertahankan lagi. Jika ada transisi teologi yang diperintahkan oleh Tuhan maka kita akan melihat sedikit dan sangat sedikit pengikut Mesias mengikuti Torah. Sebaliknya, Kisah Rasul 21 menyampaikan pada kita bahwa selama tiga puluh tahun setelah Yeshua mengutus para muridnya ke seluruh dunia untuk menyampaikan pada orang lain mengenai Anugrah-Nya, ada perkembangan yang kuat dari jemaat di Yerusalem sebagaimana dituliskan, ‘betapa berpuluh puluh ribu orang Yahudi menjadi percaya dan mereka rajin memelihara Torah’)

Kedua, keliru memahami kata-kata Rasul Paul dalam surat-suratnya, terutama istilah Greek upon nomon  (Rm 6:14, “di bawah hukum Torah) dan ergon nomon (Gal 2:16 “pekerjaan hukum Torah”). Kedua istilah ini sering dianggap oleh Kekristenan sebagai istilah negatif terhadap Torah. Namun yang terjadi sebenarnya Paul hendak mengutarakan bahwa praktek Legalisme tidak mendatangkan keselamatan di hadapan Tuhan. Tidak ada kata Yunani yang setara untuk menerjemahkan istilah Legalistik (upaya memperoleh keselamatan dengan melakukan Torah dengan kekuatan diri sendiri). Selegkapnya beliau menjelaskan:

In these passages, Shaul was teaching against legalism –the attempt to earn, merit or keep one’s salvation through obedience to law. But there were no sufficient words to express legalism. Instead he had to use certain phrases which interpreted incorrectly, could easly lead one to believe that he was against the Torah”[38] (Dalam bagian ini, Shaul  telah mengajarkan untuk melawan legalisme – suatu usaha untuk mendapatkan upah atau balasan atau memperoleh keselamatan melalui ketaatan menjalankan hukum. Namun tidak ada kat-kata yang cukup layak untuk mewakili legalisme. Sebaliknya Shaul menggunakan kalimat yang jelas yang dapat ditafsirkan secara keliru yaitu yang dapat menuntun orang untuk mempercayai bahwa dia melawan Torah)

Mengenai relevansi Torah bagi Yahudi dan non Yahudi yang telah menerima Mesias, dengan menarik Ariel dan Devorah Berkowitz memaparkan: “The best solution to this problem is to assert that God has always had one bride, His chosen people. His bride has always been Israel, remnant Israel. All along, this has been enlarged to include those grafted in to Israel, the Gentile believers. Since, therefore, God has one bride, it would then follow that the same ketubah still defines this divine marriage: the Torah…Believing Israel in the first century was a mighty light to the nations. As a result, many from those nations came to faith and were ‘grafted in’ to the holy community. The holy community is Torah community…According to our understanding…the Torah for me?Yes! for you? Are you grafted in? Then, yes! The Torah is for the holy community![39] (Solusi terbaik untuk persoalan ini adalah menagaskan bahwa Tuhan selalu memiliki satu mempelai yaitu umat pilihan-Nya. Mempelainya hampir selalu adalah Yisrael atau sisa-sisa Yisrael dan kemudian diikuti dengan ketubah yang menegaskan pernikahan ilahi tersebut yaitu Torah...mempercayai Yisrael di Abad Pertama sebagai terang bagi dunia. Hasilnya adalah banyak bangsa-bangsa datang kepada iman bangsa Yisrael dan ditempelkan ke dalam komunitas yang kudus. Komunitas kudus tersebut adalah komunitas Torah...menurut pemahaman kita...Torah bagi saya? Ya! Bagi Anda? Apakah Anda ditanamkan? Tentu saja Ya! Torah adalah untuk komunitas yang kudus)

Pandangan Tentang Hari Raya

Berbeda dengan mayoritas Kekristenan, maka komunitas Mesianik Yudaisme/Yahudi tidak memelihara tradisi perayaan “Christmass”(Natal) dan “Easter” (Paskah ala Gereja Barat), maupun “Sunday Worship” (Ibadah Minggu). Ada alasan-alasan teologis yang mendasarinya. Robert & Remy Coch mengulas panjang lebar dalam bukunya, mengenai akar historis ibadah-ibadah di atas[40]. Sebaliknya, komunitas ini memelihara ketetapan mengenai “Moedim” (Hari Raya) yang telah diperintahkan dalam Imamat 23:1-44 yaitu: Pesakh (14 Nisan), ha Matsah (15-21 Aviv), Sfirat ha Omer (menghitung omer setelah shabat), Shavuot (50 hari setelah Sfirat ha Omer-Buah Sulung), Yom Truah/Rosh ha Shanah (1 Tishri), Yom Kippur (10 Tishri), Sukkot (15-21 Tishri). Selain itu beberapa perayaan tradisi Yahudi yang berkaitan dengan peristiwa bersejarah seperti Purim, Khanukah, Tisha ba Av, dll.

Barney Kasdan mengulas mengenai essensi Tujuh Hari Raya yang ditetapkan Yahweh dalam Imamat 23:1-44 sbb: “The feast of the Lord or the biblical holy days, teach us about the nature of God and His plan for mankind”[41] (Perayaan YHWH atau hari raya menurut Kitab Suci mengajarkan kita mengenai sifat Tuhan dan rencananya bagi umat manusia). Barney Kasdan melihat dari perspektif yang berbeda mengenai arti Kolose 2:16-17 sbb: “While this passage is often taken to mean ‘avoid legalism’ there is another truth stated. It is true that the ‘festivals’ are not the ultimate goals of faith, yet they do hold tremendous lesson for God’s children. The festivals are not antiquated tangents to faith but on the positive side, they are in fact legitimate shadows or models of God’s truth”[42] (Sementara bagian ini terkadang diambil untuk menghindarkan diri dari legalisme namun ada kebenaran lain yang hendak disampaikan. Adalah benar bahwa perayaan-perayaan tersebut bukanlah tujuan iman namun perayaan-perayaan tersebut mengandung pelajaran luar biasa bagi anak Tuhan. Perayaan-perayaan  tersebut bukanlah persoalan kuno bagi iman namun dari aspek positipnya, bayangan yang sah atau model dari kebenaran Tuhan).

Bahkan relevansi perayaan tersebut bagi Kekristenan, sangat signifikan. Dikatakan selanjutnya: “In short, all of the Feast of the Lord were given to Israel and to ‘grafted-in’ believers to teach , in practical way, more about God and his plan for the world. When analyzed with the right spirit, there are some exciting new truths waiting to be rediscovered through participation in the Jewish/biblical holy days!”[43] (Singkatnya seluruh perayaan YHWH yang diberikan bagi Yisrael dan bagi orang beriman yang ditanamkannya ke dalam Yisrael, mengajarkan sebuah cara praktis mengenai Tuhan dan rencananya bagi dunia)

Pandangan Tentang Yisrael 

Mayoritas Kekristenan mengidentifikasi diri mereka sebagai Yishrael rohani yang menggantikan posisi Yishrael jasmani yang gagal mematuhi perintah Tuhan dengan menyalibkan Sang Mesias. Sebagaimana diulas sebelumnya bahwa asumsi tersebut dipengaruhi oleh proses hermeneutik yang tidak proporsional yang diusung penganut Replacement Theology (Teologi Pengganti). Komunitas Mesianik Yudaisme/Yahudi justru melihat bahwa posisi Yishrael penting dalam rencana Tuhan (Rm 11: 1,2, 26).

DR. David Stern memberikan perspektifnya mengenai Yishrael berdasarkan kajiannya atas 2 Korintus 1:20[44] dan Matius 5:17[45] sbb: “To sum up, the Hebrew Bible’s promises to the Jews are not cancelled in the name of being ‘fulfilled in Yeshua’. Rather fulfillment in Yeshua is an added assurances that what God has promised the Jews will yet come to pass. For the gifts and the call of God are irrevocable”[46] (Ringkasnya janji kepada orang-orang Yahudi dalam Kitab Suci berbahasa Ibrani, tidak dibatalkan dalam nama pemenuhan dalam nama Yeshua. Sebaliknya pemenuhan nubuat dalam Yeshua menambahkan atau menguatkan keyakinan apa yang Tuhan telah janjikan akan sampai)

Dengan optimis DR. David Stern menghubungkan fenomena pergerakan Mesianik Yudaisme sebagai salah satu bagian dari rencana Tuhan terhadap keselamatan Yishrael seutuhnya: “I believe that the reappearance of Messianic Jewish community in our day is significant phase in God’s process of saving Israel”[47] (Saya percaya bahwa hadirnya komunitas Mesianik Yahudi di hari ini merupakan tahapan bermakna dari proses Tuhan menyelamatkan Yisrael).

KAJIAN TERHADAP LITURGI

David H. Stern dan Eleazar Brandt dalam artikelnya mengenai penggunaan Siddur mengatakan: “Demikianlah kita telah memiliki warisan suatu sistem doa dan peribadahan sinagog yang secara historis atau midrashik berhubungan dengan para leluhur Israel, pelayanan Bait Suci dan doa dimasa hidup Yahshua dan para rasul-Nya. Untuk ambil bagian dalam bagian ini dengan menggunakan Siddur dalam peribadahan Mesianik Yahudi, adalah untuk menyatakan bahwa kita berbagi pengharapan dan perjuangan bangsa kita. Selanjutnya, melalui doa-doa tambahan dan lagu-lagu pujian, kita mengumumkan bahwa Yeshua adalah jawaban terhadap harapan dan perjuangan mereka. Dengan kita tidak ambil bagian, kita telah menunjukkan bahwa kita melepaskan bagia pengharapan dan perjuangan Yahudi , dengan menyetujui iman yang baru dan berbeda. Kenyataannya, ini bukan sekedar penampilan, sebab dengan tanpa menggunakan warisan bentuk sedemikian, kita termasuk melepaskan makna menyeluruh pengalaman Keyahudian, dan membuangnya seperti sampah[48].



John Fischer, seorang Mesianik Yahudi yang telah mengimani bahwa Yahshua sebagai Mesias, mengatakan mengenai fungsi liturgi sbb:  “In so doing, liturgy teaches us about God and his actions in our world. The liturgy, though an effective guide in worship, is not worship in and of itself. It must be accompanied by the right attitude”  

(Dengan demikian, liturgi mengajar kepada kita mengenai Tuhan dan karya-Nya di dunia. Meskipun demikian, liturgi merupakan petunjuk efektif dalam beribadah. Liturgi bukanlah penyembahan dalam dan dari dirinya sendiri. Liturgi seharusnya dikaitkan dengan sikap yang benar)[49].

Selanjutnya beliau memberikan beberapa pola alternatif dalam penggunaan liturgi ibadah dalam Siddur Mesianik sbb:[50
  1. Hadlakat Haneyrot (penyalaan lilin Shabat)
  2. Lekhu Neranenah
  3. Lekhah Dodi
  4. Barkhu
  5. Birkat sebelum Shema
  6. Shema (Ul 6:4-5)
  7. Ha Elohim Asher (Heb 1:1-3)
  8. We Shamru (Kel 31:16-17)
  9. Penggalan Kadish
  10. Mazmur 23
  11. Tefilat ha Talmidim (Doa Para Murid)
  12. Amidah
  13. Pembacaan Kitab Suci
  14. Kotbah
  15. Magen Avot
  16. Membaca Kadish
  17. Kiddush
  18. Aleinu
  19. Kaddish
  20. Yigdal
  21. Adon Olam
  22. Lagu pujian
  23. Birkat Harun (Bil 6:24-26)

Bersambung...

7 komentar:

  1. Teguh Hindarto

    Ada pak, nanti saya informasikan

  1. Tedja Handono

    MALAM PAK,

    KAPAN AKAN JALAN JALAN KE YERUSHALAYIM?

  1. Unknown

    malam saya ingin bertanya adakah gereja mesianik di wilayah lampung

  1. Anonim

    Ulasan yang amat baik pak teguh.


    Yudha,apa mas yudha mau pindah dr islam ke mesianik nih??

  1. Unknown

    Teori Tritunggal perlu diluruskan, karena itu hanya sekedar teori dari bapak Tertulianus bahkan beliau sendiri telah meninggalkan teori Tritunggal yang ia buat, bisa di cek sejarahnya.

    Tuhan itu 1 Pribadi bukan 3.
    Istilah Bapa, Anak & Roh Kudus = Bentuk kata Kiasan dari Tuhan Yesus kepada manusia.
    Bapa = ke-Ilahian Yesus yang bertahta di Sorga.
    Anak/Anak Manusia = Yesus Sang Firman memilih menjadi Anak Manusia untuk turun ke bumi demi menebus umat manusia dan memberi pengampunan dosa.
    Roh Kudus = Roh Kebenaran, Roh-Nya Yesus yang Ia janjikan sebagai Penolong, untuk menyertai setiap orang percaya.

  1. Dan

    Halo saya boleh tau dilokasi mana sinagoga ini, saya ingin pelajari tentang cara ibadat dan teologi Mesianic Judaism

  1. Unknown

    Salam Bapak Teguh,
    Mohon info dimanakah komunitas messianic Jews di Jakarta?

Posting Komentar