RSS Feed

MESSIANIC JUDAISM & SACRED NAME MOVEMENT: FENOMENA KEAGAMAAN ABAD XX DAN TANGGAPAN KEKRISTENAN (seri 3)

Posted by Teguh Hindarto


TANGGAPAN KEKRISTENAN: RESPON GEREJA-GEREJA DI INDONESIA

Kekristenan di Barat pun merespon secara positif (ada pula yang menyoroti secara negatif) dengan melakukan rekonstruksi berbagai ajaran yang selama ini bercorak anti semit, anti torah, anti nama Yahweh. Organisasi CHURCH OF GOD (www.ucg.com) membuat penerbitan majalah GOOD NEWS MAGAZINES dan berbagai booklet berisikan pengajaran dasar Kekristenan yang mengangkat isue-isue kesemitikan. Demikian pula dengan organisasi RESTORATION FOUNDATION menerbitkan majalah RESTORE. Dalam situsnya (www.restorationfoundation.org) dijelaskan mengenai alasan pendirian yayasan ini sbb: Restoration Foundation is a publishing and educational resource to the body of Christ that is designed to promote and sustain this growing phenomenon of interest in the Jewish roots of Christian faith. We are dedicated to research, development, and implementation of Christianity�s Hebrew foundations. We are committed serving believers around the world who are discovering the profound implications that these historical and theological Hebraic truths have for the church's renewal and continuing vitality. By so doing, we seek to fulfill our corporate vision

Bagaimana kedua pergerakan ini (Mesianik Yudaisme & Sacred Name Movement) sampai di Indonesia? Kedua fenomena keagamaan tersebut di atas turut mengimbas di kalangan gereja-gereja maupun komunitas persekutuan doa serta individu-individu di Indonesia. Fenomena “Sacred Name Movement” lebih dahulu masuk ke Indonesia dibandingkan fenomena “Mesianik Yudaisme”. Sayangnya, fenomena “Sacred Name Movement” masuk ke Indonesia dalam suasana “konflik teologis yang berkepanjangan” dan menimbulkan prasangka-prasangka teologis yang tidak dapat dikompromikan diantara gereja-gereja di Indonesia, antara yang menyambut gerakan ini dan yang menolak pergerakan ini.

Dalam makalah yang saya sampaikan dalam pertemuan penerjemahan Kitab Suci di Wisma Kinasih, saya menjelaskan secara singkat mengenai sejarah pergerakan pemulihan nama Yahweh di Indonesia sbb: “Gerakan Pemulihan Nama Yahweh di Indonesia terbagi dalam empat gelombang. Gelombang pertama adalah periode tahun 1970-an. Gelombang kedua adalah periode tahun 1980-an. Gelombang ketiga adalah periode tahun 1990-an. Gelombang keempat adalah periode tahun 2000 dan selanjutnya”[2]

Karakteristik Gerakan Pemulihan Nama Yahweh periode tahun 1970-an adalah bersifat personal dan pragmatis, artinya hanya dialami oleh beberapa pribadi dan diaplikasikan dalam beberapa kegiatan rohani. Sejumlah nama dapat dideretkan al., kedua kakak beradik Pdt. Daniel Nur Azis Antono dan Pdt. Sabbath Aenul Abiyah dari Gerja Isa Al Masih di D.I. Yogyakarta. Pengalaman kerohanian kedua kakak beradik dalam mendengar suara Yahweh, menuntun mereka melaksanakan kebaktian kebangunan rohani  dan kesembuhan Ilahi, dengan topik “Tuhan Jesus adalah Tuhan Jehuwah Yang Maha Kuasa”. Aktivitas mereka dihentikan dan dibatasi oleh gereja-gereja di Yogyakarta.

Karakteristik Gerakan Pemulihan Nama Yahweh yang terjadi pada periode tahun 1980-an masih bersifat sporadis dan personal pragmatis. Sejumlah nama dapat disebut, yaitu Pdt. Leo dan Yvoune Setzepfand dari gereja Bethel Indonesia Cibunar (sekarang Gereja Kristen Alkitab Indonesia).

Karakteristik Gerakan Pemulihan Nama Yahweh pada periode tahun 1990-an lebih bercorak kritis dan berbobot kajian teologis argumentatif. Gerakan pemulihan yaang terjadi pada tahun 1990-an terbagi menjadi dua sub, yaitu tahun 1990-an awal dan tahun 1990-an akhir. Pada periode awal sejumlah nama terlibat dalam pergerakan ini, al. Pdt. Benyamin Obadyah dari Gereja Bethel Indonesia, Bintaro. Lalu Pdt. Deny pantouw dari Gereja Kristen Rahmani Indonesia. Sementara itu pada periode akhir, muncul Ev.dr. Suradi dari Pusat Latihan Pelayanan (PLP) “Nehemia”. Beliau menerbitkan traktat atas nama “Beth Yeshua ha Mashiah”, dengan judul serial, “Siapakah Yang Bernama Allah itu?”. Berbagai traktat yang diterbitkan dr. Suradi menimbulkan kontroversi tidak berkesudahan, disamping berbagai respon positip dari kalangan gereja-gereja di Indonesia. Beliau juga menerbitkan “Kitab Suci Torat & Injil 2000”, yang menuai protes dari Lembaga Alkitab Indonesia dan gereja-gereja, sehubungan dengan hak cipta.

Melalui traktat yang disebarluaskan, beberapa gembala sidang dan aktivis Kristiani mulai merespon pergerakan ini dan terlibat dalam pengkajian dan pemberitaan. Sejumlah nama dapat disebut al., Pdt Teguh Hindarto, dari Gereja Kristen Jawa di Tengahan, Kebumen (sekarang telah bergabung di Gereja “Kemah Abraham” pimpinan Abuna DR. K.A.M. Jususfroni) lalu Pdt. Lukas Sutrisno dari Gereja Bethel Indonesia “Alfa Omega”, Magelang (sekarang Gereja Alkitab Injili Nusantara “Alfa Omega”). Lalu Pdt. Devon Reynaldi dari Gereja Kristen Alkitab Indonesia, kemudian Pdt. Yakub Sulistyo dari Gereja Bethel Indonesia, Ungaran (sekarang Gereja Pimpinan Roh Kudus), juga Pdt. Remidi panggabean dari Gereja Penyebaran Injil Indonesia.

Sedangkan gerakan pemulihan di awal tahun 2000, lebih bersifat akademis, teologis, informatif dan konsolidatif. Tercatat berbagai seminar, penerbitan buku, penyebarluasan VCD dan berbagai peralatan teknolog dilibatkan dalam pemulihan nama Yahweh. Tercatat berbagai nama diperiode tahun 2000 (yang masih eksis sampai hari ini dalam arus pergerakan) adalah: Pdt. (Alm) Yesaya Heri dari Gereja Pentakosta Serikat di Semarang (sekarang Gereja Alkitab Injili Nusantara), Pdt. Paulus Miskan dari Gereja Jemaat Kristen Indonesia (sekarang Gereja Alkitab Injili Nusantara), Pdt. Carlos Coesoy dari Gereja Bethel Tabernakel Banyuwangi, serta Pdt. Jahja Iskandar dari Gereja Bethel Jakarta, Pdt. Johan Mawati, Pdt Nico Sumolang dari Gereja Pimpinan Roh Kudus Manado.

Pergerakan Mesianik dan Sacred Name Movement di Indonesia akhir-akhir ini (2007-2008) semakin meluas ke berbagai gereja dan organisasi Kristen. Mulai muncul penerbitan KITAB SUCI INDONESIA LITERAL TRANSLATION oleh Yayasan Lentera Bangsa lalu penerbitan Tabloid SHEKINAH. Keluasan area penerimaan gereja atas fenomena ini sudah tidak terdeteksi dengan mudah seperti beberapa tahun yang lalu. Berbagai varian pemahaman muncul di tubuh Kekristenan di Indonesia terhadap fenomena dan isi pengajaran dua gerakan kerohanian di atas, sehingga sulit untuk membuat pemetaan dan sistematika pengajaran yang khas.

Dalam tulisan saya berjudul “KEKRISTENAN & KESEMITIKAN”, beberapa pemetaan pergerakan Sacred Name Movement yang akhir-akhir ini cenderung ke arah pergerakan Mesianik dipetakan secara kasar sbb:[3]

Komunitas Yahweh only 

Mereka yang dikategorikan sebagai “Yahweh only”, nampaknya memahami gerakan ini sebagai suatu bentuk memperjuangkan penggunaan nama Yahweh dalam terjemahan Kitab Suci, dalam berbagai kotbah di mimbar rumah ibadah, dalam berbagai tulisan-tulisan. Seiring dengan itu, penolakkan terhadap penggunaan nama Allah dalam tradisi Kristiani di Indonesia.

 Mereka sangat bergiat membuat literatur dalam bentuk traktat, brosur, buku penjelasan, dll untuk meyakinkan orang-orang Kristen di Indonesia untuk menolak keberadaan nama Allah dan pentingnya penggunaan nama Yahweh. Tidak terbersit untuk memperluas makna dan aplikasi perjuangan penggunaan nama Yahweh dalam konteks yang lebih luas, yaitu dalam pokok iman, teologi, tata ibadah dan etika. Yang penting semua pendeta, atau organisasi gereja yang digembalakannya dan para pimpinan serta pengajar sekolah teologi Kristen telah menyadari dan menggunakan nama Yahweh, maka bagi mereka misi tersebut telah selesai.

Komunitas Back to Hebraic Root 

Berbeda dengan kelompok pertama, kelompok yang dikategorikan sebagai “Back to Hebraic Root” adalah mereka yang concern (menaruh perhatian) terhadap persoalan penelusuran historis terhadap asal-usul Kekristenan atau akar Kekristenan yang berakar pada Yudaisme. Kelompok ini menekankan pemulihan akar ibrani yang diekspresikan dalam pokok iman, tata ibadah, teologi, etika praktis. Meskipun demikian, dalam kelompok ini ada begitu banyak keragaman pemahaman dan sikap terhadap isu-isu teologis tertentu. Namun secara kasar dapat dikategorikan menjadi beberapa sub kategori sbb:

Import pemahaman Back to Hebraic Root

Kelompok ini memiliki visi dan kerinduan untuk memulihkan akar Ibrani Kekristenan dalam pengakuan iman, tata ibadah dan etika praktis. Namun mereka sekedar “mengimport” pemahaman dan aktualisasi dari fenomena Messianic Judaism yang melanda wilayah Amerika, Eropa, Asia dan Afrika serta Timur Tengah, yaitu fenomena pemulihan tata ibadah pengikut Mesias dari kalangan Yahudi yang tidak mau menyebut diri mereka “Kristen” melainkan “Mesianic Judaism”.

Kelompok ini memindahkan begitu saja tata ibadah yang mengekspresikan Keyahudian seperti lagu-lagu Ibrani, ucapan-ucapan Ibrani, kostum-kostum Ibrani, tradisi-tradisi Ibrani, literatur-literatur rabinik dan melaksanakannya dalam pertemuan-pertemuan ibadah individual dan komunal. Dalam kelompok inipun masih terbagi dalam beberapa sub kategori mengenai penggunaan nama Yahweh, yaitu:

Ha Shem dan Adonai ganti Yahweh

Mereka melarang pengucapan secara literal nama Yahweh, sebagai bentuk pelestarian tradisi dalam Yudaisme yang masih dipelihara secara ketat sampai hari ini di Israel dan komunitas Yudaisme di luar Israel

Yahweh ganti ha Shem dan Adonai

Berkebalikan dengan kelompok yaang melarang penggunaan nama Yahweh, kelompok ini justru menyalahkan tradisi Yudaisme tersebut dan menekankan serta meyakinkan bahwa penggunaan nama Yahweh secara literal adalah firmaniah dan histo

Yahshua, bukan Yeshua

Kelompok ini meyakini bahwa nama Sang Juruslamat bukan Yesus atau Yeshua, melainkan Yahshua yang setara dengan penerus Musa, yaitu Yahshua ben Nun.

Yeshua, bukan Yahshua

Kelompok ini meyakini bahwa nama Sang Juruslamat bukan Yesus atau Yahshua, melainkan Yeshua, sebagaimana tertulis dalam naskah Perjanjian Baru versi Shem Tov, Du Tillet serta Peshitta

Kontekstualisasi pemahaman Back to Hebraic Root

Mereka yang tergabung dalam komunitas ini adalah yang memiliki visi dan penerapan memperluas aspek pembaruan bukan hanya berhenti dalam penggunaan nama Yahweh. Jika pembaruan hanya berhenti dalam penggunaan nama Yahweh semata, namun pokok iman dan tata ibadah masih dalam baju komunitas yang lama, lalu apa yang berbeda? Ini tentunya bukan visi besar jika sekedar mengganti nama Allah menjadi Yahweh. Komunitas ini menyadari bahwa pembaruan dan pemulihan merupakan tugas dan panggilan besar yang membutuhkan wawasan yang luas dan kinerja pembaru yang berkualitas serta memiliki kapabilitas dan bukan sekedar emosi atau keberanian semata.

Kekhasan komunitas ini adalah dalam dua hal: Pertama, mengadaptasi tata ibadah dan berbagai ekspresi Yudaik sebagai akar iman namun dalam terang kematian dan kebangkitan Yesus sebagai Mesias. Berbagai tradisi rabinik Yudaisme yang tidak sejalan dengan Torah Yahweh dan Torah Mesias, tidak dipergunakan, seperti penggunaan nama ha Shem atau Adonai bagi Yahweh. Kedua, berani mengambil jarak terhadap fenomena Mesianik Yudaisme dan mengapresiasi serta mereaktualisasi dalam KONTEKS lokal etnis dimana mereka berada. Contoh, dalam konteks komunitas Jawa, maka ekspresi ibadah dalam bahasa Jawa atau idiom-idiom Jawa serta kesenian Jawa dengan leluasa di sintesakan dengan warna Hebraik, sehingga menghasilkan PENGAYAAN EKSPRESI KULTURAL. Pola ini diisyaratkaan oleh Rasul Paul mengenai “hancurnya perseteruan” antara Yahudi dan Goyim, oleh kematian dan kebangkitan Yesus Sang Mesias (Ef 2:15). Tidak ada perbedaan dan tidak ada sikap-sikap inferiority compleks dari pihak non Yahudi terhadap Yahudi.

Disamping pergerakan Sacred Name yang mengristal menjadi pergerakan Mesianik di beberapa gereja-gereja beraliran Evanggelical (Gereja Alkitab Injili Nusantara), Pentakostal (Gereja Isa Al Masih, Gereja Pimpinan Roh Kudus, dll), Protestan (Gereja Kristen Jawa), Kharismatik, telah hadir di Indonesia Gereja dengan membawa visi penggalian akar-akar Semitik dalam Kekristenan. Komunitas ini bernama Gereja Kemah Abraham, pimpinan K.A.M. Jusufroni. Kehadiran Gereja Kemah Abraham cukup mewakili pergerakan Mesianik non Yahudi di Indonesia

Adapun yang menjadi visi dan misi Gereja Kemah Abraham, sebagaimana diatur dalam Bab I Pasal 3 Tata Gereja Kemah Abraham sbb:
  1. Pewaris Monoteisme Abraham
  2. Membangun Pengajaran Pencerahan Umat
  3. Memelihara Tradisi Semitik
Concern Abuna Jusuf Roni terhadap pengkajian semitik sebagai akar Kekristenan, nampak juga dalam buku terbarunya dimana beliau menyatakan: “Awalnya, orang-orang Kristen, yaitu para pengikut Yesus, adalah Yahudi. Mereka beribadah pada hari Sabat dan mengikuti tradisi Yahudi. Bukan hanya itu, mereka bahkan bersama-sama dengan orang-orang Yahudi, sebab mereka dianggap sebagai salah satu sekte Yahudi, yaitu sekte Nasrani…Ketika kekristenan diterima sebagai agama oleh Romawi. Identitas kekristenan semakin menampakkan ciri Hellenisnya. Di bawah payung kekuasaan Romawi, kekristenan bercorak Hellenis yang prinsip-prinsip dasarnya diletakkan oleh Paulus ini menjadi semakin besar dan akhirnya menenggelamkan kekristenan bercorak Yahudi, yang dikembangkan oleh dua belas Rasul lainnya…Atas kenyataan inilah maka aku melihat penting sekali bagi kekristenan untuk kembali ke akarnya. Ia lahir dalam budaya semitik yang sangat akrab dengan Islam. Ini dapat memudahkan kekristenan untuk masuk dalam dialog dengan Islam…Namun, ternyata untuk kembali ke akar Kekristenan, hambatannya tidak sedikit. Kekristenan ibarat seorang anak yang telah sukses di rantau dan lupa untuk pulang ke kampung halamannya” [4]

Kajian di atas menjadi semacam peta jalan bagi para pembaca bahwa telah terjadi pergeseran dalam tubuh Yudaisme maupun Kekristenan khususnya untuk meredefinisi, merekontruksi eksistensi akar dan sumber religiusitasnya yang bercorak Timur atau Semitik.

REKONSTRUKSI & REDEFINISI

Kekristenan di Indonesia seharusnya berefleksi atas fenomena Mesianik Yudaisme dan Sacred Name Movement di Indonesia dengan rekonstruksi dan redefinisi dalam tiga area penting berikut:[5]

Dalam Ibadah (Avodah)

Merekonstruksi kembali tata ibadah pengikut Mesias yang berakar pada keyahudian dan menerapkan secara kontekstual yaitu, sabat, tefilah shakharit-minhah-maariv, tujuh hari raya, dll. Sejarah mencatat bahwa Yahshua dan para rasul tidak pernah memerintahkan mengganti sabat dengan ibadah minggu. Kaisar Konstantin yang pertama kali menggagas untuk memindahkan ibadah sabat menjadi minggu, ketika Kekristenan berhasil dijadikan agama negara.

Gereja perlu untuk mengembalikan Sabat Yahweh karena sabat merupakan penetapan Yahweh sendiri. Berbagai gereja di berbagai belahan dunia, telah menyadari pentingnya sabat dan mulai memelihara sabat dan menguduskannya dalam bentuk peribadahan. Bukan berarti Hari Minggu tidak memiliki keabsahan. Kita dapat tetap memelihara ibadah minggu dengan dasar memperingati kebangkitan Yahshua. Namun bukan berarti Minggu telah menggantikan Shabat. Doa harian tiga kali sehari, yaitu Shakharit, Minha dan Maariv yang telah dilaksanakan sejak masa Daud (Mzm 55:17), Daniel (Dan 6:11), Ezra (Ezr 9:5) sebagai bentuk doa harian yang merujuk pada pola mempersembahkan korban di Bait Suci yang dilaksanakan tiga kali sehari (Kel 29:38-42, Bil 28:1-8, 2 Raj 16:15, 1 Taw 16:40). Meskipun ada beberapa penulis yang tidak menyetujui bahwa Yahshua melakukan praktek doa harian tiga kali sehari, sebagaimana diterangkan oleh Rashid Rahman, demikian: “Sejauh ini sulit membuktikan secara eksplisit bahwa Yesus melakukan tiga kali berdoa sehari sebagaimana pola Farisi…Rupanya pola ibadah harian yang  Yesus lakukan mengikuti langsung ibadah Yudaisme pola Eseni: Shema dan Terapeutik, yakni pola tradisonal dari kaum leluhur: Patrious (Mrk 12:26) dan monastik Yahudi”[6].

Namun beberapa ayat memberikan indikasi bahwa Yahshua melakukan pola tersebut (Mrk 1:35, Mrk 6:46, Luk 6:12). Demikian pula para rasul meneruskan tradisi Tefilah Shakharit, Minha dan Maariv, sebagaimana dilaporkan bahwa Petrus dan Yohanes masuk ke Bait Suci untuk beribadah pada jam ke sembilan (jam 15.00 WIB, Kis 3:1), lalu Petrus berdoa di Yope pada jam keenam (jam 12.00 WIB, Kis 10:9).Gereja perlu memulihkan kembali pola ibadah tiga kali sehari ini untuk menghubungkan dirinya dengan akar ibadah Yudaisme yang menjadi latar belakang ibadah Mesias dan murid-murid-Nya.

Demikian pula dengan keberadaan hari-hari raya. Dalam Imamat 23:1-44 Yahweh menegaskan ada tujuh hari raya Yishrael. Ketujuh hari raya tersebut memiliki makna berlapis. Disatu sisi itu merupakan pesta panen. Disisi lain berhubungan dengan tindakan Yahweh yang telah menyelamatkan Yishrael dari perbudakan Mesir sampai peringatan penyertaan Yahweh dipadang gurun, melalui simbol-simbol ibadah dalam ketujuh hari raya tersebut. Namun Gereja di Abad ke-2 Ms dan seterusnya kehilangan akar perayaan ini dan menggantikannya dengan ibadah yang tidak firmaniah seperti “Christmass” yang dirayakan pada setiap 25 Desember dan “Easter” sebagai pengganti Paskah. Dalam berbagai kajian telah dibuktikan bahwa  Christmass tanggal 25 Desember merupakan bentuk peribadahan yang berakar dari perayaan paganistik, yaitu penyembahan pada dewa “Sol Invictus”. Sementara Easter merupakan perayaan paganistik di musim semi. Uraian mengenai hari raya dan berbagai hari raya pengganti, akan diuraikan secara tersendiri dalam bagian tulisan ini. Gereja perlu untuk memulihkan tujuh hari raya yang ditetapkan Yahweh sendiri. Secara prophetik, tujuh hari raya tersebut bukan hanya menunjuk pada suatu peristiwa historis antara Israel dan Yahweh namun menunjuk pada Mesias yang akan datang, yaitu menunjuk pada kehidupan dan karya Sang Mesias dari sejak kelahiran, kematian, kebangkitan, kenaikan ke Sorga hingga kedatanganNya yang kedua.

Dalam Pokok-pokok Iman (Emunah) 

Merekonstruksi kembali pokok-pokok ajaran pengikut Mesias yang berakar pada keyahudian dan menerapkan secara kontekstual (Keesaan Tuhan, Nama Tuhan, Hakikat Mesias, Baptisan, Sorga, Neraka, Setan, Malaikat,dll.). Gereja diawal pertumbuhannya tidak pernah merumuskan istilah “Tritunggal”. Sebagaimana Yudaisme yang mendasarkan pada keesaan Elohim sebagaimana diperintahkan dalam Ulangan 6:4-5, demikianlah Mesias melafalkan “Shema” ketika ditanya oleh para ahli Taurat mengenai hukum yang terutama (Mrk 12:29). Tidak ditolak bahwa didalam tulisan Perjanjian Baru tersebar formula sebutan “Bapa”, “Putra” dan “Roh Kudus” sebagaimana menjadi warna dari keseluruhan tulisan Rasul Paul, namun para rasul, termasuk Rasul Paul tidak pernah menyebutkan istilah Tritunggal. Sebaliknya, para rasul selalu menyebutkan Elohim sebagai Esa (Yoh 17:3, Yoh 5:44, 1 Kor 8:5-6, 1 Tim 2:5) meskipun serentak menyebut baik Bapa, Putra dan Roh Kudus. Secara historis, istilah Tritunggal merupakan rumusan Tertulianus (166-220 Ms) yang dimaknai “Una Substantia Tres Persona” (Lat) atau “Mono Ousia Tres Hypostasis” (Yun) artinya “Satu Keberadaan yang memiliki tiga pribadi”. Diskusi mengenai irelevansi terminologi Tritunggal akan pula dibahas secara terpisah dalam tulisan ini. Demikianpula dengan eksistensi nama Yahweh yang tertulis sebanyak kurang lebih 6000 kali dalam TaNaKh dan kurang lebih 210 dalam Besorah (Injil), perlu mendapatkan tempat dan pengkajian yang serius serta diaplikasikan dalam penerjemahan Kitab Suci, tata ibadah, nyanyian, khotbah dan berbagai kajian  kerohanian.

Dalam Etika (Halakhah) 

Merekonstruksi kembali pokok-pokok etika pengikut Mesias yang berakar pada keyahudian dan menerapkan secara kontekstual (etika sosial, etika politik, etika rumah tangga, etika ekonomi, etika pendidikan, etika kesehatan, dll). Halakhah Yudaisme yang didasarkan pada pernyataan para rabbi yang hidup diberbagai abad, menjadi salah satu sumber informasi dalam mengambil berbagai keputusan sosial, ekonomi, pemerintahan yang didasarkan pada Torah Yahweh. Di satu sisi, surat-surat rasul Paul, bisa juga dianggap menjadi rujukan halakhah mesianik di abad 1 Ms [walaupun bukan ini satu-satunya definisi yang tepat], maka umat pengikut Mesias perlu menggembangkan berbagai kajian dibidang sosial, ekonomi, politik, kebudayaan yang merupakan berbagai kumpulan tafsir dan pemahaman yang didasarkan pada TaNaKh maupun Besorah. 

Dalam Teologi (Elohut)

Mempelajari pola penafsiran Hebraic Rabbinik 

Ada banyak metode dalam melakukan proses penafsiran Kitab Suci (Hermeneutik) yang diajarkan dalam berbagai sekolah teologia. Pdt. Hasan Sutanto, MTh. Memberikan bentangan informatif mengenai beragam metode tafsir yang terbentang dari sejak zaman Ezra, Rabbinik sampai abad modern[7]. Secara umum, berbagai metode tafsir yang saat ini masih diberlakukan di berbagai sekolah teologia adalah:[8]
  1. Textual Criticsm (Menyelidiki kata-kata asli atau dalam teks Kitab Suci)
  2. Historical Criticsm (Menyelidiki latar belakang dan konteks dimana Kitab Suci dituliskan)
  3. Grammatical Criticsm (Menyelidiki struktur bahasa yang meliputi tata bahasa, dalam teks Kitab Suci)
  4. Literary Criticsm (Menyelidiki susunan, struktur, gaya bercerita suatu teks dalam Kitab Suci)
  5. Form Criticsm (Menyelidiki gaya sastra dan fungsi suatu teks dalam Kitab Suci)
  6. Tradition Criticsm (Menyelidiki tahapan penyusunan suatu teks dalam Kitab Suci)
  7. Redaction Criticsm (Menyelidiki sudut pandang akhir dan kanonik serta teologi dalam suatu teks Kitab Suci)
Tidak ada satupun metode-metode tersebut yang sempurna. Maka dengan melakukan sintesa diantara berbagai metode penafsiran, akan dihasilkan sudut pandangan atau penafsiran yang mendekati kesempurnaan. Metode-metode diatas tidak perlu dibuang dan ditiadakan dikarenakan semata-mata dipengaruhi pola pikir Helenis yang rasionalistik,namun perlu disintesakan dengan pola penafsiran hebraic yang telah dikerjakan sejak zaman rabbinik pra Mesias maupun dizaman Mesias. Pola Yahudi kuno memiliki sistem penafsiran Kitab Suci yang disebut “PaRDeSh”. Secara literal bermakna “taman” namun sebenarnya istilah tersebut merupakan akronim dari :[9]
  1. Peshat (Menyelidiki teks yang tersurat)
  2. Remez (Menyelidiki makna yang tersembunyi dalam teks) 
  3. Drash (Menyelidiki makna suatu perikop dalam kaitannya dengan khotbah, pengajaran, dll) 
  4. Shod (Menyelidiki aspek gematria {angka-angka} yang tersembunyi dan mengandung pesan yang harus dipecahkan)
Yang tidak kalah menariknya adalah metode Hillel dalam menafsirkan yang terkenal dengan sebutan “Tujuh Aturan Hillel” yang terdiri dari :[10]
  1. Qal wa Khomer (Berat dan Ringan)
  2. Gezerah shawah (Persamaan kalimat)
  3. Binyan ab mikatuv ehad (Membangun suatu pernyataan dari satu teks pendukung)
  4. Binyan ab mishene Kethuvim (Membangun suatu pernyataan dari satu atau lebih teks pendukung)
  5. Kelal u Ferat (Umum dan Khusus)
  6. Kayotse bo mimemom ahar (Analogi yang dibuat berdasarkan teks yang berbeda)
  7. Davar milmad ha anino (Penjelasan berdasarkan konteks teks)
Berbagai metode diatas dapat disintesakan sehingga menghasilkan pola penafsiran yang berakar pada keyahudian tanpa kehilangan warisan penafsiran yang telah dipelihara oleh berbagai sekolah teologi.

Mempelajari tradisi Rabbinik Yudaik, untuk memahami latar belakang peristiwa, ucapan, idiom Yudaik, dalam Kitab Perjanjian Baru

Dalam Kitab Perjanjian Baru, kita akan menemui sejumlah pernyataan atau kalimat yang asing ditelinga kita namun tidak asing jika didengar oleh orang Yahudi pada Abad 1 Ms, karena berbagai idiom khas tersebut menjadi bagian dari diskusi rabbinik. Sebagaimana kita dapat melihat dalam Matius 5:17-48 dimana Yahshua selalu membuat tanggapan terhadap pernyataan yang sebelumnya telah berlaku dengan berkata, “engkau telah mendengar” (shematem) namun aku berkata kepadamu (Ani omer attem,Heb.)”.

Berbagai kalimat atau ungkapan khas Yahudi tersebut dinamakan idiom. Beberapa idiom Hebraic dalam Kitab Perjanjian Baru al, “mata baik dan mata buruk” (Mat 6:22-23), “mengikat dan melepas” (Mat 16:19), “letakkan kata-kata ini ditelingamu” (Luk 9:44), “membatalkan Torah dan menggenapi Torah” (Mat 5:17). David Bivin & Roy Blizzard telah mengulas secara ilmiah mengenai temuan idiom-idiom hebraic yang tertulis dalam Kitab Perjanjian Baru. Kegagalan memahami makna idiom hebraic, mengakibatkan terjemahan yang keliru dan penafsiran teologi yang keliru[11].

Memberi bobot secara proporsional terhadap pengkajian kebahasaan, baik bahasa Yunani maupun bahasa Ibrani

Dalam berbagai sekolah teologi, terkadang tekanan diberikan pada penguasaan bahasa Yunani daripada Ibrani. Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan yang telah tersebar luas bahwa Kitab Perjanjian Baru mula-mula ditulis dalam bahasa Yunani. Maka diperlukan penguasaan terhadap bahasa Yunani untuk melakukan penafsiran terhadap teks.  Tidak jarang terjadi, bahwa mata pelajaran bahasa Yunani dan Ibrani terkadang hanya menjadi mata pelajaran sekunder dan kurang mendapat perhatian seutuhnya, sehingga menghasilkan penguasaan materi yang sepenggal-sepenggal dan bersifat pasif. Kedua mata pelajaran bahasa Ibrani dan Yunani, mutlak dikuasai oleh mereka yang menggeluti dunia teologia. Tanpa penguasaan bahasa, kita akan gagal memahami maksud teks, idiom kalimat, sehingga mengakibatkan penafsiran yang menyimpang dari masud teks dan konteksnya.

Memperluas pengkajian sejarah Yudaik pada masa Intertestamental

Yang dimaksud dengan zaman atau masa Intertestamental  adalah: “zaman sepanjang empat ratus tahun antara maleakhi sampai kelahiran (Mesias). Sumber-sumber informasi utama untuk zaman ini adalah kita-kitab Makabe yang menceritakan tentang pemberontakan yang dipimpin oleh wangsa Makabeus serta kekacauan yang terjadi di tanah Palestina waktu itu dan tulisan-tulisan Yosefus, sejarawan Yahudi abad pertama”[12].

Mengapa penelitian dan pendalaman terhadap zaman Intertestamental ini diperlukan? Robert dan Remy Koch menjelaskan sbb: “It is important for both Jews and Christians to understand the silent period between the last TaNaKh (Old Testament) Prophets and the writings of the Brit Chadasha (New Testament) because the five hundred year period formed the foundation of both modern Rabbinic Judaism and Messianic Judaism (the Nazarenes) of which Christianity is a branch. One truly cannotr comprehend the Brit Chadasha (New Testament) without knowing something about the time, religious customs and conroversies, social custom and attitudes of the Jewish population in general”[13] (Adalah penting bagi kedua pihak, yakni kaum Yahudi dan Kristiani untuk memahami periode ‘kesunyian’ yang terentang  dari akhir TaNaKh, nabi-nabi hingga penulisan Kitab Perjanjian Baru, sebab periode waktu lima ratus tahun ini, merupakan dsar terbentuknya baik Yudaisme Rabbinik modern maupun Mesianik Yudaisme, yang mana merupakan akar dari Kekristenan. Belumlah lengkap pemahaman seseorang mengenai Perjanjian Baru tanpa mengetahui sesuatu yang berkaitan dengan waktu, kebiasaan agama dan perdebatan-perdebatan, kebiasaan masyarakat dan berbagai sikap komunitas Yahudi secara umum pada waktu itu).

Selanjutnya Robert dan Remy Koch melanjutkan: “By studyng this period, Jews and Christians will be able to discern the doctrine of the Messiah, Shaul (Paul) and the other writers of the Brit Chadasha (New Testament) based only on accurate understanding of history and Biblical Judaism. The Brit Chadasha will be put back into the original time and place. Context must determine content”[14] (dengan mempelajari periode waktu ini, maka baik orang Yahudi maupun Kristiani akan mampu membedakan pengajaran Mesias, pengajaran Rasul Shaul {Paul} dan penulis Kitab Perjanjian Baru lainnya, yang didasarkan pada pemahaman yang tepat terhadap sejarah dan Yudaisme Biblikal. Kitab Perjanjian Baru akan diletakkan selayaknya pada ruang dan waktu yang mula-mula. Konteks akan menentukan isinya).

Meninjau ulang asumsi pembatalan Torah di masa Perjanjian Baru 

Meskipun Kekristenan pada umumnya tidak secara langsung menyebutkan telah membatalkan Torah, namun dari berbagai sikap yang ditunjukan, memperlihatkan sikap yang mengabaikan Torah dan mengganggapnya hanya sebagai era Musa yang telah kehilangan relevansi seutuhnya dizaman Yahshua. Kita dapat melihat berbagai kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang kristen seperti memakan hewan-hewan yang dikategorikan “tame” (kotor) sebagaimana diatur dalam Imamat 11. Demikian pula masih mengkonsumsi darah, hewan yang dimasak dari hasil mencekik dan menganiaya, sementara para rasul pun melarangnya (Kis 15:20). Perilaku demikian disebabkan asumsi teologi yang sudah tertanam oleh berbagai pengajaran yang didasarkan pada berbagai terjemahan Kitab Suci yang buruk dan mengesankan bahwa Torah telah dibatalkan. Dalam bagian awal tulisan ini telah disinggung beberapa ayat yang diterjemahkan secara keliru sehingga mengakibatkan pemahaman teologi yang keliru. 

Meninjau ulang asumsi peniadaan nama Yahweh, dalam Kitab Perjanjian Lama dan Kitab Perjanjian Baru

Jika hanya mengacu pada naskah Kitab Perjanjian Baru versi Yunani yang tersedia, kita tidak mendapatkan nama Yahweh secara literal tertulis. Semua nama Yahweh yang dikutip dari Kitab Perjanjian Lama, oleh naskah Kitab Perjanjian Baru berbahasa Yunani didasarkan pada naskah Septuaginta yang telah mengganti nama Yahweh dengan sebutan Kurios dan bukan dari TaNaKh versi Masoretik maupun Dead Sea Scroll (Naskah Laut Mati) yang usianya lebih tua dari naskah Masoretik. Maka ketika Kitab Perjanjian Baru berbahasa Yunani mengutip Kitab Perjanjian Lama akan menuliskannya dengan Kurios. Namun jika membaca naskah Perjanjian Baru versi Shem Tob, Du Tillet, Crawford, Munster, Old Syriac, Peshitta, nama Yahweh muncul dalam bentuk “MarYah” (ayrmd “Mar”=Tuan + “Yah”=Yahweh) dan hvhy serta yy. Dalam Hebraic New Testament Version, terjemahan DR. James Trimm, nama Yahweh muncul sebanyak 210 kali dalam naskah Kitab Perjanjian Baru. Berbagai terjemahan Kitab Suci yang telah memulihkan kembali penggunaan nama Yahweh dalam Kitab Perjanjian Baru al, The Scriptures, The Word of Yahweh, The Restoration Scriptures, The Sacred Bible, ha Brit ha Khadasha, dll. Terjemahan-terjemahan tersebut dapat menjadi rujukan dalam melakukan terjemahan alternatif non Lembaga Alkitab Indonesia.


MENGORGANISIR GEREJA YANG CONCERN TERHADAP ISUE-ISUE PENGKAJIAN  AKAR SEMITIS KEKRISTENAN

Tanpa adanya suatu visi dan visualisasi program, maka langkah dan arah tujuan suatu organisasi atau komunitas, menjadi tidak jelas. Inilah yang saat ini terjadi dengan gereja-gereja yang merespon pergerakan Sacred Name Movement dan Mesianik Yudaisme. Akhir Tahun 2004 saya menulis beberapa kelemahan yang masih mencolok dalam pergerakan ini sbb:[15]
  1. Metodologi perjuangan yang bersifat fundamentalis dan radikalis, sehingga menimbulkan reaksi yang tidak simpatik
  2. Sumber daya manusia yang terlibat dalam gerakan ini didominasi bukan oleh kalangan teolog, peneliti atau cendekiawan Kristen, sehingga nilai dan bobot argumentasi cenderung tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademik, ilmiah, teologis (Bambang Noorsena paling getol menyebut gerakan ini dikemudikan oleh ‘orang-orang kurang cerdas’ atau ‘orang-orang kurang terpelajar’)
  3. Sikap-sikap agitatif (mengancam), emosional dalam mengemukakan pendapat yang kerap terjadi dalam berbagai kesempatan seminar, khususnya yang dilaksanakan oleh gereja-gereja yang masih mempertahankan nama Allah
  4. Sikap anti teologi dan anti ilmu pengetahuan serta teknologi. Sikap ini muncul sebagai latar belakang bawaan doktrin dari denominasi yang lama atau sikap-sikap pendeta yang konservatif serta mengabaikan peran rasio yang juga diciptakan Yahweh
  5. Label baru substansi lama. Meskipun para pengagung Yahweh telah direspon secara positip oleh para pemimpin namun mereka tidak melanjutkannya dengan mengeksplorasi sejumlah doktrin yang selama ini dipegang. Sikap-sikap anti Torah, anti Semitik, kontaminasi Prosperity Gospel serta Replacement Theology masih mengakar kuat. Bedanya, kalau dulu menggunakan nama Allah sekarang menggunakan nama Yahweh
  6. Tidak adanya etika bersama (common ethic) dan aturan bersama (common law) dalam mensinergikan langkah-langkap perubahan. Setiap individu, setiap pemimpin memiliki pola sendiri dalam melakukan perubahan. Hal ini tidak menjadi masalah sepanjang itu dikerjakan dalam koridor komunitas yang dipimpinnya. Namun ketika metode mereka diaplikasikan keluar, kadang terjadi benturan metodologi dengan pemimpin lain
  7. Eksklusifisme. Ada kecenderungan di beberapa kalangan Pengagung Yahweh untuk tidak berbaur dengan kalangan gereja-gereja yang masih menggunakan nama Allah serta menganggap mereka sebagai orang yang telah “dipredestinasikan” (ditetapkan) untuk binasa.
Saat tulisan ini dibuat (Tahun 2008), sudah banyak perubahan di sana-sini. Akhir-akhir ini telah muncul berbagai perkembangan positip sbb:

  1. Munculnya beberapa situs yang bercorak Mesianik/Kesemitikan al.,
    1. www.messianic-indonesia.com
    2. www.tahtakasih-mediaonline.com
    3. www.cherubim.org
    4. www.kemahabrahm.com
  2. Penerbitan terjemahan Kitab Suci “Indonesia Literal Translation” oleh Yayasan Lentera Bangsa (meskipun masih terdapat kekurangan di sana sini)
  3. Penerbitan Tabloid Shekinah (meskipun masih banyak kekurangan dalam substansi materi)
Namun berbagai kemajuan di atas belum menyentuh persoalan yang paling essensial dari pergerakan Mesianik atau Kekristenan Semitik di Indonesia yaitu:
  1. Belum adanya etika bersama (common ethic) dan aturan bersama (common law) dalam mensinergikan langkah-langkap perubahan. Setiap individu, setiap pemimpin memiliki pola sendiri dalam melakukan perubahan. Saatnya para pemimpin pergerakan duduk bersama menyatukan persepsi untuk melakukan perubahan secara sinergis di Indonesia dengan menghormati berbagai perbedaan pemahaman teologis yang ada.
  2. Belum adanya corak teologi yang khas dan tersistematisir dari gereja-gereja yang merespon pergerakan Mesianik Yudaisme/Yahudi di Indonesia. Dibutuhkan pemahaman yang jelas mengenai konsep Ketuhanan, konsep Keesaan Tuhan, konsep unitas pribadi Mesias (yang Tuhan yang manusia), konsep mengenai ibadah dan tata ibadah dll. Sungguh memprihatinkan ketika salah satu tabloid memberikan penjelasan mengenai pribadi Mesias Yesus bahwa diri-Nya dalah “Yahweh yang menjadi manusia” (seharusnya Firman Yahweh yang menjadi manusia). Lalu ada kotbah yang mengomentari transfigurasi Yahshua di atas bukit sebagai suatu peristiwa dimana “Yahshua berubah menjadi Yahweh” (seolah-olah kemanusiaan Yesus adalah doketik/semu).
Kembali kepada persoalan di atas yaitu masalah visi dan visualisasi program, Rasul Paul memberikan teladan yang baik dengan mengatakan “aku berlari-lari kepada tujuan, yaitu panggilan sorgawi”. Kalimat atau pernyataan ini menunjukkan bahwa Rasul Paul bertindak berdasarkan suatu visi. Hidup Paul digerakkan oleh suatu tujuan mulia. Rasul Paul memiliki suatu arah yang pasti. Keberhasilan Rasul Paul melaksanakan penatalayanan terhadap Qahal Mesias di Abad Pertama bukan hanya karena Rasul Paul memiliki visi namun Rasul Paul melakukan visualisasi dan misi, sehingga komunitas yang terbentung di luar Yerusalem, merupakan hasil karya pemberitaan Besorah yang terarah, terukur dan berkesinambungan. Berkaca terhadap kenyataan diatas, maka diperlukan adanya visualisasi program Gereja di Indonesia. Visualisasi, merupakan “penghidupan apa yang dilihat”, dengan kata lain “apa yang direnungkan dan dipetakan secara abstrak, diwujudnyatakan atau dikongkritkan dalam bentuk berbagai tindakan”.

DR. David Stern memberikan sederetan program yang harus dikerjakan oleh komunitas Mesianik Yahudi, dalam bukunya, “Messianic A Modern Movement With An Ancient Past,”[16]. Dalam ulasannya mengenai pentingnya program dan peranan institusi formal, beliau mengatakan: “The leaders in the Messianic Jewish movement are not unaware of programmatics. The progres the movement has made since the 1960’s can be understood partly in term of breadth of vision and realization of plans. Most of the leaders are pragmatists, constantly revising their plans in accordance with experience, new knowledge, newly perceive needs, feedback from what has happened so far, external sources of information, and better understanding of Scripture; and may it so continoue. Why is programmatic important? Because ‘without a vision the people perish’. According to George Ladd, this verse, exegetically, means that without a prophetic vision inspired by God the people perish. Therefore what I mean is that programmatics must spell out such a prophetic vision”[17] (Para pemimpin dalam gerakan Mesianik Yahudi, tidak menyadari pentingnya pemrograman. Perkembangan pergerakan yang telah dimulai sejak tahun 1960-an dapat dipahami secara khusus dalam pengertian nafas dari visi dan perwujudan dari rencana-rencana. Kebanyakan para pemimpin bersifat pragmatis, terus menerus merevisi berbagai rencananya berdasarkan pengalaman, pengetahuan baru, kebutuhan yang baru, umpan balik dari apa yang telah terjadi sejauh itu, sumber informasi dari luar, dan pemahaman yang lebih baik dari Kitab Suci; demikianlah seterusnya. Mengapa pemrograman itu penting? Oleh karena tanpa visi, umat menjadi binasa. Menurut George Ladd, secara eksegetis, ayat ini bermakna, bahwa tanpa visi kenabian yang diilhamkan Tuhan, umat binasa. Apa yang saya maksud pemrograman, seharusnya dieja sebagai visi kenabian)

Ketika beliau sampai pada ulasan mengenai pentingnya sebuah institusi sebagai wadah untuk melakukan perubahan, beliau mengatakan: “Many believers are suspicious of institutions. They are suspicious on principle – people are warm and caring, but institutions are cold and heartless, easily becoming vehicles for domination of the many by the few. Although there is a kernel of truth behind this attitude, in what follows I assume that people can stand to think about creating institutions and organizations and can see them more as tools to be used than as monsters to be feared. In fact, when I talk about institutions, I have in mind an environment of community; and by nature, community must be organic, built on interpersonal relationship. Note that the ultimate community must exist before the institutions are created; on the contrary, the purpose of the institutions is to foster community. They are also meant to foster the development of Messianic Jewish identity within the framework of Messianic Jewish community”[18] (Kebanyakan orang curiga terhadap institusi. Mereka curiga secara prinsip, orang-orang peuh kehangatan dan kepedulian, sementara institusi dingin dan tidak berperasaan, mudah menjadi wahana penguasaan orang banyak oleh sejumlah kecil orang. Namun demikian, ada kebenaran yang dangkal dibalik sikap demikian. Berkaitan dengan persoalan di atas, saya menganggap bahwa orang dapat berpendirian untuk memikirkan penciptaan institusi dan organisasi dan dapat melihatnya sebagai sebuah alat daripada monster yang menakutkan. Kenyataannya, ketika saya berbicara mengenai institusi, saya memiliki pikiran mengenai lingkungan suatu komunitas; dan secara alamiah bahwa suatu komunitas adalah bersifat organik, membangun hubungan antar pribadi. Perlu dicatat, bahwa suatu komunitas seutuhnya, telah berdiri sebelum institusi diciptakan. Sebaliknya, institusi diciptakan untuk membantu perkembangan suatu komunitas. Mereka juga dimaksudkan untuk mendorong perkembangan identitas Mesianik Yahudi di dalam bingkai komunitas Mesianik Yahudi)

Berkaca dari epistemologi pentingnya pemrograman dan isntitusi formal, sebagai pendorong perkembangan suatu komunitas, maka Gereja, khususnya yang concern dengan isue-isue Kekristenan yang berakar pada semitisme atau Kekristenan yang kembali pada akar Ibrani atau yang saya istilahkan sebelumnya dengan “Kristen Rekonstruksionis” atau “Kristen Semitik” (untuk membedakan dengan beberapa denominasi yang memiliki karakteristik khas dalam teologi dan devosi), perlu memetakan tugas-tugasnya di Indonesia. Beberapa proposal program yang urgen untuk segera dikerjakan adalah:



1.      Membentuk suatu forum/wadah setara PGI/PGLII/KWI, untuk memayungi secara yuridis dan menjadi wahana mengekspresikan sifat Kemesianikan, atau Kekristenan yang semitik atau Kekeristenan yang Kembali ke Akar Ibrani atau Kristen Rekonstruksionis
2.    Membentuk berbagai forum komunikasi
3. Menerbitkan terjemahan Kitab Suci non LAI yang bersifat Kemesianikan, atau Kekristenan yang Semitik atau Kristen Rekonstruksionis
4.   Mendirikan berbagai percetakan yang bersifat Kemesianikan, atau Kekristenan yang Semitik atau Kristen Rekonstruksionis
5.   Menerbitkan buku, jurnal, renungan, kajian kontemporer, majalah, tabloid, buletin yang bersifat Kemesianikan, atau Kekristenan yang semitik atau Kekeristenan yang Kembali ke Akar Ibrani atau Kristen Rekonstruksionis
6.  Mendirikan berbagai Beth Midrash yang bersifat Kemesianikan, atau Kekristenan yang Semitik atau Kristen Rekonstruksionis
7.  Mendirikan berbagai Yayasan yang bersifat Kemesianikan, atau Kekristenan yang Semitik atau Kristen Rekonstruksionis

Marilah Gereja yang telah menyadari akar semitismenya dan bertekad untuk kembali ke akar Ibrani iman Kristen serta mengaktualisasikannya dalam pilar-pilar emunah (pokok kepercayaan), avodah (ibadah) serta halakhah (penerapan Torah dalam kehidupan sehari-hari), bersatu padu, bersinergi untuk melakukan “Tiqun ha Olam” (pembaruan semesta) dibidang teologi dan devosi, menjelang kedatangan Sang Juruslamat, Junjungan Agung kita, Yesus Sang Mesias yang akan datang sebagai “Din ha Emet” (Hakim Yang Adil).

0 komentar:

Posting Komentar