Seseorang bertanya pada saya, apakah Kekristenan berbeda dengan Yudaisme? Saya menjawab bahwa Kekristenan modern dan Yudaisme modern memang berbeda dalam banyak hal. Berbeda dalam memahami Mesias, berbeda dalam konsep peribadahan, berbeda dalam pemahaman mengenai konsep kejatuhan dosa manusia.
Kekristenan sebagai anak kandung Yudaisme
Namun jika kita merujuk pada akar Kekristenan awal pada abad pertama, maka tidak dijumpai adanya perbedaan antara Kekristenan dan Yudaisme. Yesus Sang Mesias bukan seorang Kristen dan tidak mendirikan agama Kristen. Yesus Sang Mesias adalah seorang Yahudi (Ibr 7:14) dan Yudais sejati.
Bukti keyahudian dan keyudaismean Yesus sbb: Dia disunat pada hari kedelapan (Luk 2:21-24), menggunakan pakaian khas Yahudi dengan tsit-tsit di ujung bajunya (Mat 9:20 band. Bil 15:38), mengajar dengan gaya khas seorang rabi Yahudi yang sarat dengan perumpamaan, amsal, midrash yang dikemas dalam bentuk dialog dan diskusi. Beribadah sabat dan membaca gulungan Torah (Luk 4:16), melakukan ibadah harian tiga kali sehari atau tefilah sakharit, minkhah, maariv (Mat 14:23), melaksanakan tujuh hari raya (sheva moedim). Nama ketujuh Hari Raya tersebut adalah: Pesakh , Hag ha Matsah (Roti Tidak Beragi), Hag Sfirat ha Omer (Buah Sulung), Hag Shavuot (Pentakosta), Hag Rosh ha Shanah/Yom Truah (Tahun Baru/peniupan Sangkakala), Hag Yom Kippur (Pendamaian) dan Hag Yom Sukkot (Pondok Daun). Dari ketujuh Hari Raya tersebut, ada tiga Hari Raya besar yang diperingati setiap tahun dengan berkumpul di Yerusalem, yaitu Pesakh, Shavuot dan Sukkot (Ulangan 16:16-17). Kitab Perjanjian Baru mencatat tiga perayaan penting tersebut dihadiri oleh Yesus, baik saat Yesus mulai beranjak remaja maupun sudah mulai dewasa dan melakukan karya Mesianik-Nya. Yesus menghadiri Perayaan Pesakh bersama kedua orang tua-Nya (Luk 2:41-42). Yesus merayakan Sukkot bersama murid-murid-Nya (Yoh 7:1-13).
Hans Ucko mengulas secara kritis mengenai akar dan sumber Kekristenan sbb: “Gereja Kristen, teologi Kristen dan Kekristenan secara keseluruhan, tidak terpisahkan dengan umat Yahudi atau Yudaisme. Orang Yahudi dan Kristen memiliki Kitab Suci yang sama. Iman Kristen lahir dalam lingkungan Yahudi. Gereja masih saja ragu apakah kenyataan tersebut dinilai sebagai berkat atau kutuk. Sejumlah kecil orang Kristen melihat hubungan diatas sebagai suatu masalah dan berupaya memecahkannya dengan membatasi kitab Perjanjian Lama dan agama umat Israel di satu sisi dan Yudaisme di sisi lainnya. Dengan cara ini, seseorang sebenarnya ‘membebaskan’ orang Israel dari keyahudiannya. Pendekatan tersebut mencerminkan sebentuk rasa sulit [bagi orang Kristen atas hubungannya yang terlalu dekat dengan umat Yahudi dan dengan Yudaisme yang hidup saat ini. Seseorang memang tidak mudah mengakui akibat dari memilih ‘Tuhan Yahudi’ itu”[1]
John D. Garr, Ph.D., setelah mengutip dua teolog bernama Harry Gaylord’s dan Morton Scott Enslin, beliau menyimpulkan sbb: “Kedua sarjana sejarah agama tersebut telah menemukan kebenaran yang lebih dalam dan lebih dalam dari apa yang dipelajari Kekristenan hari ini yaitu: Akar Kekristenan berada dalam Yudaisme. Tanpa Yudaisme, Kristen tidak akan pernah ada, karena Yudaisme biblikal adalah induk dari Kekristenan. Salah satu penyimpangan sejarah yang paling ironis adalah, Kekristenan - sang anak – sebagian besar telah bangkit dalam sikap antipati terhadap Yudaisme – sang orang tua – sehingga Judeophobia atau anti yahudi serta anti Semitisme telah datang dalam ciri kekristenan selama lebih dari sembilan belas abad”.[2]
Ibadah Kristiani awal pun berakar pada Yudaisme. Bahkan Beberapa tradisi liturgis dalam gereja Katholik, Orthodox dan Protestan, berakar dari Yudaisme. Pdt. Theo Witkamp, Th.D., menjelaskan sbb: “Gereja Kristen dimulai sebagai suatu sekte Yahudi. Oleh karena itu, kalau kita ingin tahu tentang asal-usul dan latar belakang ibadah Kristen awal, kita terutama harus memandang kebiasaan-kebiasaan liturgis dan musikal dari agama Yahudi pada Abad Pertama Masehi”[3]
Rashid Rahman seorang pakar liturgi di lingkungan Protestan mengatakan hal senada perihal praktek ibadah harian, “Praktek ibadah harian gereja awal dilatarbelakangi oleh praktek ibadah harian Yudaisme hingga abad pertama. Latar belakang tersebut dapat berupa kontinuitas, diskontinuitas atau pengembangan dari ibadah Yudaisme”[4]. Selanjutnya Rahman menambahkan, “Gereja awal tidak memiliki pola ibadah tersendiri dan asli. Mereka beribadah bersama dengan umat Yahudi dan kemudian mengambil beberapa ritus Yahudi untuk menjadi pola ibadah harian”[5]
Kekristenan awal sebagai salah satu sekte dalam Yudaisme
TaNaKh (Torah, Neviim, Ketuvim atau lazim disebut dengan Kitab Perjanjian Lama) dan Kitab Perjanjian Baru, tidak pernah memberikan penamaan terhadap perilaku religius umat Yahweh dan umat Mesias dengan sebutan “Mesianik” atau “Kristen”.
TaNaKh maupun Kitab Perjanjian Baru justru memberikan identifikasi dengan sebutan “DEREK/DARKE YAHWEH” (Band. 2 Sam 22:22, Yer 5:4, Ul 8:6, Mat 22:16, Kis 9:2, Kis 13:10) sebagaimana dikatakan: “Sebab aku tetap mengikuti jalan Yahweh (דרכי יהוה) dan tidak menjauhkan diri dari Tuhanku sebagai orang fasik” (2 Sam 22:22).
Dalam perkembangannya, sebutan “Yudaisme” lebih kerap ditujukan pada religiusitas Bangsa Yisrael yang menyembah Yahweh dan berpusat pada ibadah di Bait Suci.
Istilah “Yudaisme” pertama kali muncul dalam Kitab 2 Makabe 2:21 dan 2 Makabe 8:1 serta 2 Makabe 14:38 dengan sebutan “Tou Iaudaisemou” dan “Toi Iaudaismoi” sbb:
“tentang penampakan-penampakan dari sorga guna orang-orang berani yang bertindak dengan gagah perkasa untuk kepentingan penganut agama Yahudi (τοῦ Ιουδαϊμοῦ) sehingga mereka, meskipun hanya sedikit jumlahnya, berhasil merebut kembali seluruh wilayah serta mengusir gerombolan orang asing”
“Adapun Yudas yang disebut juga Makabe serta para pengikutnya pergi menyusupi kampung-kampung. Dipanggilnyalah kaum kerabatnya dan dengan menggabungkan dengan mereka semua orang yang tetap teguh dalam agama Yahudi (τῷ Ιουδαϊμῷ), maka dikumpulkannya lebih kurang enam ribu orang”
“Oleh karena Nikanor ingin membuat permusuhan yang ditaruhnya kepada penganut agama Yahudi (Ιουδαϊμοῦ) menjadi nyata, maka disuruhnya lima ratus lebih prajurit menangkap Razis”
Bahkan Rasul Paul mengidentifikasi bahwa dia pun seorang penganut agama Yahudi yang taat sebagaimana dikatakan dalam Galatia 1:13 sbb: “Sebab kamu telah mendengar tentang hidupku dahulu dalam agama Yahudi: (τω ιουδαισμω) tanpa batas aku menganiaya jemaat (Tuhan) dan berusaha membinasakannya”
Ketika Yesus memberitakan Kerajaan Tuhan dan Injil (Besorah) dan setiap orang mulai mempercayai bahwa Dia adalah Mesias yang dijanjikan dalam TaNaKh), maka terbentuklah dua golongan orang yang menerima Dia sebagai Mesias. Golongan pertama adalah golongan Yahudi dari berbagai sekte dan kelas sosial yang berbeda dan kedua golongan non Yahudi dari berbagai kelas sosial yang berbeda.
Sebutan “Christianoi” muncul di Anthiokhia yaitu julukan bagi Pengikut Mesias dari kalangan non Yahudi sebagaimana dikatakan, “Mereka tinggal bersama-sama dengan jemaat itu satu tahun lamanya, sambil mengajar banyak orang. Di Antiokhialah murid-murid itu untuk pertama kalinya disebut Kristen” (Kis 11:26),
Sementara sebutan “Nazoraios” atau “Netsarim” merupakan julukan bagi Pengikut Mesias dari kalangan Yahudi sebagaimana dikatakan, “Telah nyata kepada kami, bahwa orang ini adalah penyakit sampar, seorang yang menimbulkan kekacauan di antara semua orang Yahudi di seluruh dunia yang beradab, dan bahwa ia adalah seorang tokoh dari sekte orang Nasrani” (Kis 24:5).
Sebutan-sebutan seperti “Christianoi” atau “Nazoraios”, tidak memberikan suatu pemahaman pada waktu bahwa mereka aalah orang-orang yang terlepas dari Yudaisme. Mereka berada dan beraktivitas dalam bingkai Yudaisme. Kekristenan pada waktu itu adalah salah satu sekte dari Yudaisme.
Kekristenan terlepas dari Yudaisme
Abad ke-II Ms, merupakan suatu era titik balik dalam sejarah gereja. Terjadi perpindahan dari teologi Palestina yang kongkrit menuju Teologi Helenis yang abstrak.25 Hal ini terjadi dikarenakan semakin banyaknya bangsa non Yahudi yang menerima Mesias, oleh pemberitaan para rasul. Dalam perkembangannya, gereja semakin menjauh dari akar ibrani. Realita ini memuncak pada saat Kaisar Konstantin naik tahta menjadi Raja dan mengubah status Kekristenan dari “religio ilicita” (agama yang tidak sah) menjadi “religio licita” (agama yang sah). Peristiwa ini terjadi pada tahun 312 Ms bersamaan dengan dikeluarkannya Edik Milano, dimana Kekristenan diubah menjadi agama negara dan orang-orang Kristen Roma diberi kebebasan penuh dalam melaksanakan peribadahan.26
Semenjak Konstantin dan seterusnya, gereja non Yahudi semakin menjauh dari akar Ibrani bahkan cenderung membenci keberadaan Yahudi, sebagaimana dikatakan oleh sejarawan David Rausch, “The Gentile Church claimed to be the true Israel and tried to disassociate itself from the Jewish people early in its history”27 (Gereja non Yahudi mengklaim menjadi Israel yang benar dan mencoba untuk memutus dirinya dari masyarakat Yahudi dalam sejarahnya).
Kekristenan mengalami disorientasi
Dampak penting apa ketika Gereja dan Kekristenan non Yahudi tercerabut dari akar budaya Semitik dan akar religius Yudaisme? Disorientasi! Disorientasi artinya kehilangan arah, kehilangan kiblat. Disorientasi inilah yang menyebabkan kita sekarang ini tidak dapat melihat berbagai kesamaan antara Yudaisme dan Kekristenan. Apa yang kita lihat hari ini (perbedaan) adalah hasil dan residu dari Kekristenan yang terlepas dari induk atau ibu kandungnya yaitu Yudaisme.
Jika kita ringkaskan, wujud disorientasi tersebut, nampak dalam tiga hal yaitu:
- Disorientasi Sejarah: Gereja dan Kekristenan pada umumnya menganggap bahwa asal usul Kekristenan berasal dari Barat. Ada yang menganggap Kekristenan berpusat di Roma Katolik, dikarenakan setiap tahun saat perayaan Christmass dan Easter, televisi-elevisi swasta selalu menyiarkan perayaan tersebut yang berpusat di Roma.
- Disorientasi Dogmatik: Muncullah istilah-istilah asing yang abstrak dan filosofis mengenai konsep ketuhanan Ibrani yang dinamis dan hidup. Muncullah istilah “una substansia tres persona” atau “mono ousia tres hypostasis” bagi Tuhan Pencipta. Istilah ini kelak populer dengan sebutan “Tritunggal” atau “Trinitas”.
- Disorientasi Devosi: Muncul juga perayaan-perayaan non biblikal seperti “Christmass”, “Easter” yang menggantikan tujuh hari raya yang firmaniah dalam Imamat 23. Hilangnya tradisi doa harian yang disebut Tefilah Shakharit, Minkhah dan Ma’ariv menjadi doa-doa spontan. Hilangnya tradisi liturgis yang bercorak semitik hebraik, berganti menjadi rangkaian liturgi yang terlalu rumit dan menjemukkan[6].
Rekonstruksi Teologi dan Devosi Kristiani
Setelah kita mengkaji sejarah akar kebudayaan dan keagamaan Kristen yang berasal dari budaya Semitik dan agama Yudaisme serta memetakan berbagai dampak ketika Kekristenan terlepas dari akarnya, maka pertanyaan akhirnya adalah, lalu apa yang harus kita kerjakan? Apa yang seharusnya Gereja dan Kekristenan lakukan?
Saya tidak ingin hanya berhenti dalam dialog wacana belaka. Saya melangkah lebih jauh lagi. Saya mengusung istilah “Rekonstruksi Teologi dan Devosi Kristiani” sebagai pertanggungjawaban intelektual dan spiritual seorang pemikir dan pengkaji teologi.
Berangkat dari mengamati dan mempelajari kemunculan Messianic Judaism [7]yaitu berbagai komunitas orang Yahudi dan Yudaisme yang telah menerima Yesus sebagai Mesias dengan sebutan Yeshua/Yahshua ha Mashiakh dan tetap memelihara akar budaya Yahudi dalam interpretasi Kitab Suci dan devosi atau peribadahan, maka saya mulai mengembangkan model Kekristenan yang kembali ke akar Ibrani atau saya istilah Kristen Semitik (Semitic Christian) atau Kristen berakar Yudaisme (Judeo Christianity).
Dengan istilah tersebut saya ingin mengajak kepada semua Gereja Kristen khususnya di Indonesia untuk setidaknya membaca ulang sejarah Kekristenan dan membuang sikap yang keliru terhadap Yudaisme. Sikap-sikap yang keliru tersebut telah menampakkan wajahnya dalam bentuk-bentuk al., Torah adalah untuk Yahudi dan tidak kaitannya dengan Kekristenan. Pilar-pilar ibadah seperti Tefilah (ibadah harian), Sabat (ibadah pekanan), Rosh Kodesh (ibadah bulanan), Sheva Moedim (ibadah tahunan) hanyalah milik Yahudi dan tidak ada relevansinya bagi Kekristenan. Dan masih banyak sikap-sikap lain yang mencerminkan keterputusan atau keterpisahan antara Yudaisme dan Kekristenan.
Baru-baru ini saya menerima selebaran perihal sebuah seminar yang akan dilangsungkan di Surabaya yang konon dilaksanakan secara besar-besaran dalam rangka Perayaan Pondok Daun (Sukkot) dengan tema, “Perbedaan Yudaisme dan Kekristenan”. Saya sangat menyayangkan pemilihan tema tersebut. Mengapa? Mengesankan kontradiktif. Di satu sisi ada keinginan untuk melakukan rekontsruksi dan mengembalikan akar Ibrani atau akar Semitik Yudaik Kekristenan dengan memulihkan tujuh hari raya Yahweh yang salah satunya adalah Sukkot atau Pondok Daun. Namun tema yang dipilih mengesankan kontradiksi dengan perayaan yang justru menekankan harmonisasi Yudaisme dan Kekristenan. Seharusnya tema yang selaras dengan ibadah Sukkot adalah “Persamaan Yudaisme dan Kekristenan” atau “Menemukan Akar Yudaisme iman Kristen” dan tema-tema sejenis.
Kembali kepada istilah Kristen Semitik (Semitic Christian) dan Kristen berakar Yudaisme (Judeo Christianity). Dalam pengkajian sebelumnya telah diuraikan bahwa Gereja dan Kekristenan telah mengalami disorientasi historis, disorientasi dogmatik, disorientasi devosi. Oleh karenanya dengan Kristen Semitik (Semitic Christian) dan Kristen berakar Yudaisme (Judeo Christianity) sebagai model, maka saya melakukan berbagai rekonstruksi dengan memulihkan berbagai unsur yang hilang dalam kekristenan. Beberapa bentuk rekonstruksi dan restorasi tersebut meliputi: (1) Pemulihan nama Yahweh dalam terjemahan Kitab Suci dan devosi Kristiani (2) Penerapan hukum dan aturan serta ketetapan Yahweh dalam Torah sebagai landasan perilaku pengikut Yesus Sang Mesias (3) Pemulihan pilar-pilar ibadah Kristiani yang meliputi Tefilah (ibadah harian), Sabat (ibadah pekanan), Rosh Kodesh (ibadah bulanan), Sheva Moedim (ibadah tahunan). (3) Pola penafsiran Kitab Suci yang melibatkan tafsir-tafsir yang telah dikembangkan dalam Yudaisme dengan pendekatan pola pikir Ibrani (Hebraic Thinking).
Demikianlah beberapa penerapan model berpikir dari Kristen Semitik (Semitic Christian) dan Kristen berakar Yudaisme (Judeo Christianity). Kiranya penjelasan awal ini menjadi semacam introduksi atau pendahuluan untuk memasuki kejian-kajian yang lebih dalam lagi perihal akar Ibrani iman Kristen
[1] Akar Bersama: Belajar tentang Iman Kristen dari Dialog Kristen-Yahudi, Jakarta: BPK, 1999, hal 5
[2] Our Lost Legacy: Christianity’s Hebrew Heritage, Golden Key Press, Atlanta 2006, p.17
[3] Mazmur-Mazmur Kekristenan Purba Dalam Konteks Yahudi Abad Pertama”, dalam Jurnal Teologi GEMA Duta Wacana, No 48 Tahun 1994, hal 16
[4] Ibadah Harian Zaman Patristik, Bintang Fajar, 2000, hal 5
[5] Ibid., hal 36
25 Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, BPK 1994, hal 51
26 Harry R. Boer, A Short History of the Early Church, Grand Rapids Michigan : William B. Eerdmans Publishing Company, 1986, p.105
27 Messianic Judaism: Its History, Theology and Polity, Lewiston, New York: Edwin Mellen Press, 1982, p.13
[6] Teguh Hindarto, Kekristenan dan Kesemitikan (http://teguhhindarto.blogspot.com/2011/02/kekristenan-kesemitikan.html)
[7] Messianic Judaism dan Sacred Name Movement: Fenomena Keagamaan Abad XX dan Tanggapan Kekristenan, Forum Studi Mesianika. Kajian secara berseri dapat di simak di blog berikut:
1 komentar:
Yah,, tulisan yang mencerahkan,, tapi sayang bila melupakan nubuat Yesus dalam Matius 21:43, bahwa Kerajaan Allah telah diambil dari bangsa Yahudi, keselamatan tidak lagi datang dari bangsa Yahudi (lihat Yoh 4:22); hak istimewa itu telah dicabut dan diberikan kepada bangsa lain, yang berciri seperti disebut dalam Markus 4:31-32.
Dan alhamdulillah hal ini pun dikonfirmasi dalam Al-Qur'an: Al-Fath 48:29.
Karena itu, monggo masuk dalam Kerajaan Allah :)
http://ishamerdeka.blogspot.com/2011/10/kerajaan-allah.html
Posting Komentar