BUKAN SEKEDAR NAMA YAHWEH
Posted byPanggilan Untuk Membarui Diri dan Mengikis Hasrat Fundamentalisme
Pendahuluan
Pengetahuan dan penyingkapan nama Yahweh di Indonesia sudah berusia kurang lebih 11 tahun sejak sekitar akhir 1990an. Semakin banyak pemimpin rohani, pendeta, jemaat yang menyadari bahwa nama Tuhan Pencipta langit dan bumi yang tertulis dalam Kitab TaNaKh atau yang lazim Kekristenan menyebutnya dengan Kitab Perjanjian Lama.
Kebenaran tentang nama Yahweh tidak dapat disangkal lagi karena memang nama Yahweh tertulis sebanyak 6000-an kali dalam Kitab TaNaKh dan disalin dalam naskah Septuaginta dengan Kurios dan disalin dalam naskah Vulgata dengan Senior dan disalin dalam naskah berbahasa Inggris dengan Lord dan akhirnya disalin dalam bahasa Indonesia dengan Tuhan dengan huruf kapital semua (TUHAN) dalam terjemahan LAI.
Tulisan ini bukan hendak mengkaji apa dan bagaimana perihal nama Yahweh, karena kajian-kajian seperti telah sering kali saya ulas dalam banyak artikel dan buku serta blog pribadi saya.
Beberapa Kecenderungan Tidak Sehat
Yang hendak saya ulas kali ini adalah beberapa kecenderungan yang belum dapat hilang dari komunitas yang mengusung dan meyakini bahwa Yahweh adalah nama Tuhan dan bagaimana kita dapat meninggalkan berbagai kecenderungan yang tidak sehat itu agar menjadi sebuah komunitas yang berpengaruh di negeri ini.
Beberapa kecenderungan itu al., Pertama, stagnasi materi. Apa yang dimaksudkan dengan stagnasi materi? Tidak adanya perkembangan pembahasan dan wawasan. Masih saja ada komunitas dan kelompok yang menulis dan menyampaikan hal yang sama yang sudah disampaikan sejak tahun 1990-an akhir yaitu membenturkan persoalan nama Allah dan Yahweh.
Saya sering memperhatikan dalam percakapan di dunia maya seperti Face Book atau forum-forum diskusi Kristen dimana persoalan nama Yahweh masih saja menjadi isu yang terus menerus diulang dan digemakan dengan cara yang itu-itu saja.
Bagi saya, cara-cara demikian adalah bentuk dari stagnasi materi alias kebekuan dan kebuntuan materi. Dengan mengulang-ulang isu yang sama kepada gereja-gereja dan kekristenan di Indonesia, cenderung menimbulkan kebosanan. Seolah-olah tidak ada pembicaraan lain selain persoalan nama Allah dan Yahweh. Saya ibaratkan kondisi ini seperti seorang bayi yang hanya mengetahui ucapan, “papa minum” atau “mama bobok”. Apa jadinya jika seorang bayi yang bertumbuh menjadi remaja dan kemudian dewasa namun hanya mampu mengucapkan kata-kata di atas? Demikianlah nasib komunitas dan pergerakan yang hanya memfokuskan pada persoalan nama Yahweh.
Mengapa saya katakan kondisi di atas dengan “stagnasi materi?” Karena sesungguhnya masih banyak yang harus dikaji dan didalami selain persoalan nama Yahweh dan Allah. Kalau saya ibaratkan nama Yahweh adalah pintu gerbang emas, kebanyakan orang berjingkrak-jingkrak dan menari-nari serta duduk-duduk di depan pintu gerbang emas itu. Setiap hari mereka selalu membicarakan keindahan pintu gerbang emas itu. Namun tidak ada satupun dari antara mereka yang membuka pintu gerbang emas yang sebenarnya berisikan istana yang berisikan aneka warna keindahan dan lika-liku jalan serta lorong yang harus dipecahkan untuk sampai ke singgasana. Demikianlah gambaran mereka yang terus menerus menyibukkan diri mereka dengan aktivitas persoalan nama Yahweh dan Allah.
Yang tidak kurang penting dari pemasyuran nama Yahweh adalah memahami hukum-hukum, aturan-aturan, ketetapan-ketetapan Yahweh. Yang tidak kurang penting dari pemasyuran nama Yahweh adalah memahami bagaimana beribadah yang benar kepada-Nya. Dimana kita dapat memperoleh hal-hal tersebut? Dalam Torah dan dalam sabda-sabda Yesus Sang Mesias yang terekam dalam Kitab Perjanjian Baru. Kita bukan hanya mengenal nama-Nya melainkan syariat-syariat Yahweh. Dan syariat-syariat Yahweh itu ada dalam Torah. Inilah yang seharusnya kita gali dan kaji dengan keilmuan yang memadai[1].
Kecenderungan pertama yaitu “stagnasi materi”, dapat saya istilahkan dengan bahasa lain “Yahweh only”.
Kedua, Meributkan persoalan-persoalan kecil. Saya sangat prihatin dengan kondisi ini karena tidak mencerminkan sikap-sikap cerdas namun memperlihatkan ketidakcerdasan menganalisis persoalan dan memutlakan pandangan-pandangan sempit mereka. Sebagai contoh, masih saja ada kelompok-kelompok yang meributkan dan saling menuding sesat hanya berbeda pendapat dalam persoalan pengucapan nama Yahweh, Yahveh, Yahuweh. Bukan hanya persoalan nama Tuhan melainkan persoalan nama Mesias antara Yahshua, Yahushua, Yeshua pun tidak kalah sengitnya menjadi perdebatan yang tidak ada habisnya dibicarakan di lingkup internal komunitas sejak 1990-an akhir dan yang diwariskan pada pengikut-pengikut yang baru[2].
Seharusnya, perbedaan-perbedaan kecil tersebut tidak perlu dibesar-besarkan dan dihakimi dengan menyesatkan satu sama lain. Kebenaran itu tunggal namun pemahaman terhadap kebenaran itu beragam dan sangat tergantung dari sudut pandang, pengalaman, literatur, perkembangan pengetahuan, dll.
Tidak selayaknya kita menuduh satu sama lain sesat hanya karena perbedaan-perbedaan pandang yang minor seperti di atas. Sekalipun mungkin ada perbedaan pendapat yang tidak dapat dipertemukan, bukankah kita dapat saling menghargai dan memahami satu sama lain?
Ketiga, Penyetanan terhadap apa yang dipercayai keyakinan orang lain sebagai Tuhan. Argumentasi Allah adalah nama berhala kerap dimunculkan demi membenarkan penggunaan nama Yahweh. Dalil yang dipergunakan biasanya dikutip dari buku Robert Moorey berjudul Islamic Invasion yang menghubungkan penemuan arkeologis yang menyatakan Allah adalah dewa bulan. Saya fikir, sumber-sumber literatur yang menyatakan dan menghubungkan Allah dengan paganisme adalah suatu kajian akademis terbatas dan jangan menjadi konsumsi publik serta tidak menjadi dalil utama dalam kaitannya dengan penolakkan terhadap nama Allah. Bukankah dalil internal dari aspek filologis sudah cukup kuat untuk membuktikan tidak dipergunakannya nama Allah sebagai terjemahan untuk kata Ibrani Elohim dan kata Yunani Theos?[3]
Sikap penyetanan terhadap nama Allah dapat mengganggu hubungan dengan keyakinan lain yang juga mengagungkan nama tersebut sebagai kekuatan yang dianggap absolut atas kehidupan manusia alias Tuhan? Tidak masalah kita menyertakan berbagai referensi yang mengulas perihal kajian-kajian arkeologis dan akademis terkait dengan nama Allah namun harus ditempatkan dalam kerangka kajian akademis bukan menjadi bahan olok-olok dan penghinaan yang akan berkembang menjadi anggapan penghinaan bagi keyakinan lain.
Jika kecenderungan ini tidak dibenahi maka akan menimbulkan konflik dan tindakan-tindakan kontraproduktif yang tidak kita inginkan.
Keempat, sikap fundamentalisme dan ekslusifisme. Fundamental artinya mendasar atau prinsip-prinsip utama. Namun fundamentalisme adalah sikap yang memutlakan dan memaksakan berbagai hal yang dianggap mendasar dan prinsip-prinsip utama sehingga mengganggu kebebasan orang lain yang tidak memiliki prinsip yang sama dengannya. Bentuk-bentuk fundamentalisme ini dapat kita lihat dalam hal, melarang beribadah ke suatu gereja yang masih memanggil nama Allah, melarang orang lain yang belum memiliki pemahaman yang sama dengan kita untuk tidak mengucapkan atau membaca nama Allah dalam Kitab Suci, menuduh sesat mereka yang masih menggunakan Allah, menuduh sesat mereka yang berbeda dalam melafalkan nama Yahweh, nama Yeshua atau nama Yahshua, dll.
Kelima, Sikap anti Teologi dan memutlakan keawaman. Masih kerap saya temui sikap-sikap berburuk sangka terhadap Teologi dan menganggapnya sebagai musuh yang harus dijauhi karena menghalangi pengenalan akan Tuhan dengan benar. Naifnya, sikap demikian dibarengi dengan sikap-sikap yang membanggakan dan memutlakan keawaman yang identik dengan memutlakan ketidaktahuan. Tidak mengherankan terjadi klaim-klaim absolut dan saling tuduh sesat atas apa yang tidak dia pahami dengan komprehensif. Semua dikarenakan karena mereka tidak memiliki pengetahuan yang memadai namun terlalu mengandalkan pemahaman yang apa adanya dimiliki. Tidak mengherankan ketika salah satu intelektual Kristen dari golongan yang mempertahankan nama Allah kemudian menuduh komunitas pengagung nama Yahweh sebagai “kelompok kurang cerdas”.
Panggilan Untuk Membarui Diri dan Mengikis Hasrat Fundamentalisme
Melihat kecenderungan-kecenderungan di atas maka sangat kecil kemungkinannya kita akan menjadi sebuah gerakan yang membawa pengaruh positip dalam tubuh Kekristenan di Indonesia. Mungkin saja terjadi penambahan secara kauntitatif terhadap mereka yang mengenal nama Yahweh. Mungkin saja terjadi ibadah-ibadah euforia di gereja-gereja yang memanggil nama Yahweh. Namun kita harus waspada, karena bisa saja kita sedang mengembangbiakan sikap-sikap fundamentalis yang kontraproduktif sehingga akan melahirkan bayi-bayi fundamentalis yang akan menimbulkan keresahan dan ketidaknyamanan baik di kalangan Kristen maupun agama lain.
Sudah saatnya berbagai kecenderungan negatif di atas harus dihentikan. Kita harus memperbarui diri dan memberanikan diri mengikis hasrat fundamentalisme. Apa yang harus kita lakukan untuk mengikis sikap-sikap dan kecenderungan negatif tersebut? Pertama, kita harus berani membarui diri. Martin Luther, bapak Reformasi Kristen mengatakan, “Ekklesia reformata semper reformanda” (jemaat/gereja yang memperbarui adalah jemaat/gereja yang senantiasa diperbarui). Kita harus berani mengoreksi dan mengevaluasi sikap dan pemahaman serta pendekatan yang kita lakukan selama ini. Jangan memutlakan diri terhadap pemahaman dan pendekatan yang selama ini kita pegang. Dibutuhkan evaluasi dan pembaruan internal. Kedua, mengadakan pusat pendidikan dan pembelajaran. Pusat pendidikan dan pembelajaran yang saya maksudkan bukan pusat pendidikan dan pembelajaran untuk mengawetkan sikap-sikap fundamentalis dan ekstremis melainkan pusat pendidikan dan pembelajaran yang mengkaji kebenaran nama Yahweh dari sudut pandang teologi dan sejarah. Bukan hanya itu saja melainkan menghubungkan penggunaan nama Yahweh dengan doktrin-doktrin Kristen lainnya dan tidak hanya berdiri sendiri sebagaimana sikap Yahweh only yang sudah saya sitir sebelumnya.
Bukan Sekedar Nama Yahweh
melainkan Hukum dan Ketetapan serta Perintah-Nya.
Sebagaimana saya telah jelaskan di atas, bahwa kita harus beranjak atau bergerak dari pemahaman yang stagnant dan statis yang hanya berputar-putar disekitar nama Yahweh, kontroversi nama Yahshua dan Yeshua dan beranjak pada pemahaman yang semakin mendalam.
Suatu ketika saya di telepon oleh salah seorang teman yang tinggal di luar negeri. Dia mengatakan bahwa dia meminta maaf karena telah memaksakan pandangan-pandangan pada saya selama ini. Lalu dia meminta apa yang dapat dia perbuat untuk saya. Saya hanya menjawab singkat: “Jangan lagi mempersoalkan penyebutan Yahshua dan Yeshua dan jangan pula memaksakan mereka yang memanggil nama Mesias dengan Yeshua, untuk menyebut dengan Yahshua sebagaimana Anda menyebutnya. Daripada kita mempeributkan nama Sang Mesias lebih baik kita mengkaji dan meneliti sabda-sabda dan perintah-perintah Mesias”.
Sekalipun saya menggunakan nama Mesias dengan Yahshua, namun saya menegur teman saya tersebut agar menghentikan sikap-sikap fundamentalis dan meributkan hal-hal kecil di atas. Seharusnya sikap cerdas dan arif serta dewasa dapat pula ditunjukkan bagi komunitas yang memanggil nama Mesias dengan Yeshua. Dan jangan sebaliknya melakukan kecaman dan tuduhan sesat terhadap mereka yang menggunakan nama Yahshua bagi Sang Mesias.
Dengan menuliskan kajian kritis dan reflektif di atas, saya tidak bermaksud mengatakan bahwa saya adalah orang yang paling proporsional dan arif bijaksana. Tidak sama sekali. Saya adalah bagian dari visi besar ini. Saya adalah benih rohani yang dilahirkan dari kegerakan yang memperjuangkan dan memperkenalkan nama Yahweh sebagai Tuhan yang benar, Bapa dari Yesus Sang Mesias Juruslamat kita.
Saya menuliskan hal-hal di atas karena saya belajar dari kesalahan yang saya buat. Saya selalu mengevaluasi dan membarui diri dan tidak pernah memutlakan pemahaman serta pendekatan yang selama ini saya telah kerjakan bertahun-tahun. Selalu ada evaluasi dan modifikasi. Dan saya membagikan perspektif saya ini untuk mengingatkan siapapun bahwa kita sebenarnya adalah hamba dari Yahweh Tuhan Alam Semesta yang telah menyatakan diri-Nya melalui firman-Nya yang menjadi manusia yaitu Yesus Sang Mesias (Yahshua/Yeshua ha Mashiakh).
Pejuang dan Pemikir yang berdiri diantara
Gereja Ortodox dan Messianic Judaism
Judul di atas menjadi motto saya hari-hari ini yang saya publikasikan dalam blog yang merupakan wahana untuk menuangkan gagasan intelektual dan proses berpikir yang menimbulkan pencerahan bagi orang lain.
Apa arti pernyataan di atas? Pejuang. Artinya saya adalah seorang yang melakukan perjuangan. Apa yang diperjuangkan? Sebuah kerinduan dan doa bahwa di negeri Indonesia ini, Kekristenan di negeri ini kembali kepada akar semitik yudaiknya dan mengenal Yahweh sebagai Tuhan Pencipta dan mengenal Yesus Sang Mesias (Yahshua/Yeshua ha Mashiakh). Bukan hanya berhenti sampai di situ. Saya merindukan bahwa Kekristenan di Indonesia memulihkan kewibawaan Mesias dengan mengikuti syariat-syariat Mesias dalam hal ibadah harian (Tefilah), ibadah pekanan (Sabat), ibadah bulanan (Rosh Kodesh), ibadah tahunan (Moedim). Saya merindukan dan memimpikan setiap keluarga Kristen yang saleh dan beribadah dengan sujud sembahyang tiga kali sehari seperti nabi-nabi dan rasul Mesias terdahulu telah melakukannya. Saya merindukan dan memimpikan orang-orang Kristen di Indonesia memulihkan kesucian mereka dalam berpakaian yang pantas saat beribadah di rumah Tuhan yaitu dengan menggunakan kerudung. Saya memimpikan dan merindukan umat Kristen yang menjauhkan dari hewan-hewan yang tidak diperkenankan untuk dimakan sebagaimana diperintahkan oleh Tuhan Yahweh dalam Torah-Nya. Dan masih ada sederetan mimpi dan kerinduan yang tidak akan tertampung dalam tulisan kecil ini.
Pemikir. Artinya, saya adalah seorang yang melakukan proses kerja intelektual dan penafsiran teologi atas semua yang saya perjuangkan dan yang saya tuliskan dalam artikel, buku maupun blog dll.
Perjuangan saya lahir dari sebuah pemikiran dan pemikiran saya diaktualisasikan dalam sebuah perjuangan. Keduanya satu kesatuan yang menghasilkan dinamika.
Gereja Ortodox. Gereja Ortodox adalah gereja yang dapat ditelusuri keberadaannya sejak zaman paska para rasul dimana dalam gereja ini masih dipelihara sejumlah tradisi yang diwariskan dari para rasul. Masih dapat ditemukan sejumlah aspek budaya semitik yudaik yang tetap terpelihara dalam gereja ini sekalipun ada pula aspek-aspek keimanan yang lepas dari akar semitik yudaiknya. Di Indonesia kita mengenal eksistensi Gereja Ortodox sekitar tahun 1990-an akhir. Dan sekarang komunitas Gereja Ortodox semakin melebarkan saya di negeri ini.
Messianic Judaism. Orang-orang dari latar belakang Yahudi dan Yudaisme yang menerima Yesus dan menyebutnya dengan Yeshua/Yahshua sebagai Mesias Ibrani. Mereka tetap mempertahankan tradisi dan budaya serta ekspresi Yahudi dalam penghayatannya akan iman mereka terhadap Mesias. Dan mereka tidak mau menyebut diri mereka dengan Kristen.
Berdiri diantara. Mengapa saya menggunakan kalimat ini? Ya, saya bukan seorang penganut Gereja Ortodox dan bukan pula seorang penganut Messianic Judaism. Saya adalah seorang Kristen yang adalah pejuang dan pemikir yang mengadaptasi seluruh pengajaran dan gagasan besar yang terkandung dalam kedua entitas tersebut yang meliputi, keilahian Yesus, kedudukan Torah, ibadah harian, pelantunan ayat-ayat Kitab Suci, kesalehan dalam berpakaian, aturan perihal makanan dll.
Saya biasanya menamakan posisi teologis ini dengan sebutan “Kristen Semitik” atau “Kristen Rekonstruksionis” atau “Judeo Christian”. Istilah-istilah tersebut hanya hendak menamai karakteristik dan corak berpikir serta pola ibadah Kekristenan yang saya pahami sekarang ini.
Yahweh Tuhanku, Yahshua Mesias dan Jurslamatku,
Torah dan Sabda Mesias adalah pedoman hidupku.
Pernyataan di atas dapat mempertegas posisi teologis saya. Kepercayaan kepada Yahweh sebagai Tuhan Israel dan Tuhan Pencipta Langit Bumi serta Bapa Surgawi bukanlah sebuah keyakinan yang berdiri sendiri. Keyakinan kepada Yahweh bersandingan dengan kepercayaan kepada Yesus (Yahshua/Yeshua) sebagai Mesias dan Juruslamat yaitu Sang Firman yang menjadi manusia. Dan akhirnya pengejawantahan sikap percaya dan keyakinan saya haruslah bersumber dari Torah dan sabda-sabda Yesus Sang Mesias. Inilah yang saya namakan Syariat al Masih atau Halakah ha Mashiakh. Dan syariat al Masih mengatur perihal akidah dan ibadah serta ahlak seorang pengikut Mesias.
Penutup
Demikianlah pokok-pokok pikiran dan refleksi yang telah saya sampaikan. Kiranya tulisan ini memberikan dorongan pada kita sekalian untuk senantiasan membarui diri dan mengikis habis sikap-sikap fundamentalis dan berjuang dengan kuasa Roh Kudus agar nama Yahweh diserukan di dalam bibir orang Kristen di Indonesia dan mereka mengenal-Nya secara pribadi serta melaksanakan hukum dan perintah serta ketetapan-Nya. Baruk ha Shem Ekhad, Amen we Amen.
[1] Halakhah ha Mashiakh – Syariat Al Masih , http://teguhhindarto.blogspot.com/2011/05/halakah-ha-mashiakh-syariat-al-masih.html
[2] Nama Sang Juruslamat, http://teguhhindarto.blogspot.com/2011/05/nama-sang-juruslamat.html dan Apakah Nama Yahshua Tidak Ada Dalam Kitab Suci? http://teguhhindarto.blogspot.com/2011/10/apakah-nama-yahshua-tidak-ada-dalam.html
[3] Meninjau Penggunaan Nama Allah Dalam terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia, http://teguhhindarto.blogspot.com/2011/05/meninjau-ulang-penggunaan-nama-dalam.html
1 komentar:
baca buku KOREKSI TERHADAP ROH FANATISME PENGGUNA NAMA YAHWE hub. fb: sambas s amigoro
Posting Komentar