Menarik
membaca pernyataan dalam sebuah artikel berikut ini:
“Bagi Indonesia sendiri, sebetulnya, membuka hubungan diplomatik dengan Israel
membuka peluang untuk memosisikan Indonesia lebih aktif dalam proses
rekonsiliasi konflik. Indonesia sudah terlebih dulu punya hubungan
diplomatik dengan Palestina, dan Dubes Palestina sudah bercokol lama di
Jakarta. Dengan demikian, Indonesia akan punya peluang lebih besar dalam
memediasi Israel dan Palestina tanpa ada hambatan politik yang berarti.
Di sinilah ‘cerdas’-nya Gus Dur.
Membuka hubungan diplomatik bukan berarti ‘mendukung’ Israel. Ini soal siasat.
Jika Indonesia tidak membuka relasi pertemanan yang lebih baik, bagaimana
mungkin Indonesia bisa tampil dalam proses perdamaian?
Artinya, membuka hubungan diplomatik
dengan Israel bukan berarti ‘mendukung penjajahan Israel atas Palestina’
seperti banyak dituduhkan selama ini, tetapi justru ‘turut serta menjaga
ketertiban dunia’ sebagaimana diamanatkan Konstitusi.
Inilah ‘ijtihad’ yang coba diambil Gus
Dur. ‘Ijtihad’ ini bukannya tidak berisiko. Risiko terbesar adalah ditolak
warganya sendiri. Inilah yang menghampiri Gus Dur ketika ia menjadi presiden.
Hambatan lainnya, tentu saja, soal yang remeh-temeh
dalam politik internasional –keamanan regional, posisi Indonesia dalam
pergaulan di negara-negara mayoritas Islam, spionase dan intelijen, hingga
mobilitas orang dan keamanan nasional.
Namun, jika risiko tersebut tidak
diambil, apa arti dari sebuah kebijakan politik? Plus dan minus dari
suatu kebijakan pasti ada. Yang perlu dimiliki oleh seorang kepala negara
adalah keberanian. Inilah yang dipunyai dan diajarkan oleh seorang Gus Dur
ketika ingin membuka hubungan diplomatik dengan Israel”.
GUS
DUR, ERDOGAN, DAN ISRAEL
Berbicara mengenai konflik Israel dan Palestina, opini publik di
Indonesia sudah dapat terpetakkan antara yang mendukung Israel, mendukung
Palestina, mendukung kemanusiaan dan perdamaian dan tidak mendukung konflik
keduanya sampai yang apatis dan tidak memperdulikan konflik kedua wilayah yang
jauh dari teritori Indonesia.
Para pemimpin negeri ini dan juga segenap masyarakatnya bukan sekedar
membela dan memperjuangkan kemerdekaan Palestina untuk bisa berdaulat menjadi
sebuah negeri dengan mengatasnamakan Hak Asasi dan Konstitusi namun memerlukan sebuah keberanian baru untuk
membangun hubungan diplomatik dengan Israel dengan tujuan dapat menjalankan
peran dan partisipasi aktif dalam memediasi konflik di antara keduanya
sekaligus memberikan kontribusi konstruktif untuk menghadirkan dua buah entitas
yang dapat hidup berdampingan tanpa saling menihilisasi satu sama lain.
Membangun hubungan diplomatik dengan Israel, memerlukan sebuah
keberanian. Keberanian bukanlah semata-mata tindakan yang dihubungkan dengan
kekerasan, peperangan, perkelahian. Keberanian adalah sebuah tindakan yang
memerlukan segenap kekuatan baik pikiran dan perkataan serta tindakan untuk
memberikan respon terhadap berbagai ancaman ataupun situasi yang menghimpit.
Mengeluarkan sebuah keputusan yang tidak populer namun telah menimbang manfaat
dan kerugiannya adalah juga sebuah keberanian. Sebagaimana konsepsi kekuatan
bukan hanya diletakkan pada kemampuan fisik yang luar biasa. Yesus Sang Mesias
telah mengajar mengenai konsepsi kekuatan dan keberanian ketika di atas kayu
salib dan penderitaannya mengatakan: "Ya
Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”
(Lukas 23:34). Hanya orang yang kuat dan berani yang mampu mengeluarkan
kata-kata pengampunan terhadap musuhnya yang telah menganiaya dan mengakhiri
kehidupannya dengan mengeksekusinya di atas salib yang hina.
Alm. Gus Dur telah menjadikan keputusannya dan tindakannya sebagai referensi
historis dengan melakukan terobosan baru melalui membangun komunikasi,
interaksi dengan pemerintahan Israel untuk memperjuangkan kepentingan rakyat
Palestina.
Namun demikian, ada tindakan lain yang memerlukan keberanian dari
sekedar membangun hubungan diplomatik dengan Israel. Apakah itu? Memahami dan memiliki pengetahuan yang
proporsional serta obyektif mengenai Israel baik mengenai struktur sosial,
struktur budaya serta struktur agamanya dengan mendekonstruksi semua negatif
labeling yang selama ini dilekatkan padanya. Mengapa demikian? Selama ini,
kita hanya dijejali dan menjejali diri dengan informasi yang bias mengenai
Israel atau Yahudi.