Cat:
Disampaikan Pada Forum Seminar Di Universitas Kristen Indonesia Tgl 20 November 2004
TERMINOLOGI
Dalam sejarah teologi Kristen, istilah Demitologisasi, merupakan terminologi yang diperkenalkan oleh seorang teolog bernama Rudolph Bultman. Asumsi dasar yang melatarbelakangi istilah tersebut adalah “adanya gambaran mitologis dalam dunia Perjanjian Baru yang bertentangan dengan gambaran dunia modern”1. Maksud Demitologisasi atau Enmythologisierung adalah “metode interpretasi dari nas Perjanjian Baru, dengan maksud supaya kita dapat melihat apakah yang sebenarnya dimaksudkan dan yang mau dikatakan oleh nas”2.
Secara epistemologis, saya menolak metodologi kajian dalam teori Bultman yang cacat historis dan mengabaikan nilai pengilhaman Kitab Suci. Namun dalam kajian berikut, saya meminjam istilah demytologisasi untuk menjabarkan suatu upaya untuk menghilangkan anggapan-anggapan, prasangka-prasangka, pemahaman yang tidak tepat, yang telah berurat berakar, sehingga menjadi mitos dalam dunia akademik teologia, mengenai nama Yahweh, nama Allah serta istilah-istilah Ketuhanan seperti El, Eloah, Elohim.
PEMETAAN PERSOALAN
Sejak kemunculan traktat berseri yang berjudul “Siapakah Yang Bernama Allah Itu?” dan munculnya “Kitab Suci 2000”, kekristenan di Indonesia “dipaksa” euphemisme dari “dorongan yang kuat”] untuk memikirkan ulang eksistensi dan penggunaan nama Allah dalam Kitab Suci dan komunitas Kristiani. Menanggapi hal tersebut, beberapa penulis, lembaga Kekristenan dan institusi gerejawi mulai memberikan respon, baik bernada positip maupun negatif.
Sampai hari ini, wacana kontroversi tersebut masih tetap mengemuka, baik dalam forum ibadat, seminar maupun berbagai penerbitan literatur kekristenan. Bagi mereka yang menabukan dialektika perkembangan pemikiran keagamaan, wacana ini dianggap sebagai fenomena yang merugikan kesatuan gereja [meskipun sebelum ada fenomena ini pun gereja ternyata belum juga bersatu]. Namun bagi mereka yang menyadari bahwa pemahaman manusia terhadap realitas kebenaran selalu berkembang,maka akan menjadikan wacana ini sebagai dasar untuk berefleksi dan menemukan pencerahan baru.
PROBLEMATIKA DASAR
Wacana diseputar redefinisi penggunaan nama Allah dan urgensi penggunaan nama Yahweh sebagai nama Tuhan yang proper sebagaimana diisyaratkan dalam Kitab Suci TaNaKh [Torah, Neviim, Kethuvim] dan ha Brit ha Khadasha [Perjanjian Baru], didasarkan pada beberapa problematika dasar sbb: Pertama, Dilematic Problem. Apakah Tuhan yang diimani oleh kaum Muslim dengan Kekristenan memiliki kesamaan secara ontologis? Atau sebaliknya, bahwa Tuhan yang diimani Muslim dan Kekristenan memiliki konsepsi teologis yang bersebrangan? Persoalannya, jika Tuhan yang diimani memiliki kesamaan ontologis, mengapa banyak statement dogmatik dalam Kekristenan yang dieliminir oleh Qur’an? Contoh, Qur’an menolak eksistensi historis penyaliban dan kebangkitan Yahshua [Qs 4:157-158], Qur’an menolak essensi Bapa, Putra dan Roh Kudus [Qs 5:72, Qs 4:171], Qur’an menolak status Pra Ada Yahshua yang tidak diciptakan [Qs 3:59], Qur’an menolak Ketuhanan Yahshua [Qs 5:116], Qur’an menolak status Yahshua sebagai Putra Yang Maha Kuasa [Qs 9:30]. Disisi lain, jika dikatakan bahwa Tuhan yang diimani berbeda secara konseptual teologis, mengapa Kekristenan dan Muslim memanggil nama Tuhan yang sama, yaitu Allah? Kedua, Kerancuan Terminologis. Dalam Kitab Suci terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia, ditemui beberapa cara penulisan yang ganjil. Ada istilah ALLAH [Yehz 37:12, Yes 25:8, Amos 3:8, Hab 3:19], Allah [Kej 1:1, 1 Raj 18:39], allah [1 Taw 16:26, Kel 20:3, Ul 10:17] dan TUHAN [Yes 42:8, Kel 3:15, Kel 6:3]. Apakah perbedaan antara ALLAH, Allah, allah dan TUHAN? Mengapa istilah yang serupa dipergunakan dalam bentuk yang berbeda? Kalau seorang pengkhotbah mengucapkan “Allah” di mimbar, bisakah kita mencerna bahwa yang dia maksudkan adalah “ALLAH” atau “Allah” atau “allah”? Apakah dibenarkan jika saya menuliskan “Yahshua adalah Mesias” atau “Yahshua adalah MESIAS” atau “Yahshua adalah mesias?” Tidak ada satupun kaidah menulis yang membenarkan tata tulis demikian. Kita harus memilih salah satu. Mesias, MESIAS atau mesias bagi Yahshua.
Ketiga, pelanggaran terhadap kaidah tata bahasa Indonesia mengenai hukum DM [Diterangkan-Menerangkan]. Frasa “Bapak [D] Teguh [M] berkata”, dapat dimengerti sebagai “ada Bapak yang bernama Teguh yang sedang berkata”. Jika logika ini diterapkan untuk penulisan nama Tuhan dalam Kitab Suci versi LAI, menjadi tidak jelas maksudnya. Frasa “Akulah TUHAN, Allah nenek moyangmu…”[Kel 3:15] bermakna “ada TUHAN bernama Allah”. Namun jika kita membaca Yesaya 42:8 berdasarkan versi Lembaga Alkitab Indonesia yang berbunyi, “Aku ini TUHAN, inilah namaKu”, maka akan diperoleh makna bahwa TUHAN adalah nama pribadi. Namun jika melihat struktur penempatan nama Tuhan dalam terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia, menjadi rancu antara nama pribadi dari Tuhan Pencipta langit dan bumi jika dikaitkan dengan hukum DM.
Akulah TUHAN Allah nenek moyangmu…[Kel 3:15]
[D] [M]
Analisis D-M : Ada TUHAN yang bernama Allah
Aku ini TUHAN, inilah nama-Ku [Yes 42:8]
Analisis: TUHAN adalah nama Pencipta
KAJIAN GRAMATIKAL :
MENGENAI TERMINOLOGI EL, ELOAH, ELOHIM
Kekristenan berakar pada Yudaisme3. E.P. Sanders menyebutkan bahwa Yahshua merupakan nabi kharismatik yang sungguh-sungguh berkarakter dan memiliki kebiasaan sebagai seorang Yahudi4. D.S. Russel menjelaskan: “Whether or not, he can be categorized in this or in any way, it is clear that he lived the life og Jew”5.
Hary R. Boer menegaskan: “The roots of the christian church reach back deeply into the history and religion of Israel…the earliest church was wholly Jewish, her Savior was Jew and the entire New Testament was probably written by Jews6.
Kitab Suci TaNaKh dan ha Brit ha Khadasha ditulis dalam bahasa Ibrani, Aram dan diterjemahkan dalam lingua franca, yaitu bahasa Yunani. Dalam Kitab Suci, istilah untuk menjelaskan mengenai Tuhan, digunakan istilah El [Kej 33:20, Mzm 95:3, Hos 11:9], Eloah [Kel 3:15, 1 Taw 16:26] dan Elohim [Kej 1:1, Yer 10:10, Ul 10:10] serta Adonai [Mzm 90:1]. Mengenai istilah El, Encylopedica Judaica menjelaskan: “El, the oldest semitic term for God is El [coresponding to Akkadian Ilum…and Arabic Il]. The etymology of the word is obscure. It is commonly thought the term derived from a root ‘yl’ [il] or ‘wl’ [ul], meaning the ‘powerfull’7.
Sementara Merril F. Unger menjelaskan: ”…the original generic term was Ilum, which dropping the mimation and the nominative case ending ‘u’ became ‘el’ in Hebrew. The word is derived from the root ‘wl’, ‘to be strong’, ‘powerfull’, meaning ‘strong one’…El has of the Hebrew course, no conection with paganism, but is a simple generic term8”.
Dari penjelasan diatas, kita mendapatkan keterangan bahwa istilah “El” adalah istilah semitik kuno yang menjadi istilah bersama dengan beberapa variasi seperti Ilanu, Ilum, Ilah. Kesemuanya hendak mengekspresikan mengenai Yang Maha Kuat.
Walter Eichrodt mengulas bahwa penggunaan istilah El, memberikan beberapa makna. Pertama, “…they do not identify the Godhead with any natural object, but describe it as the power which stands behind nature or the overruling will manifested in it”9. Kedua, “…demonstrates a strong link between the divine activity and the social life of the community. Such names as ‘Gos is Mercyfull’, “God helps’, ‘God is judge’ are extraordinarily frequent and show that we are dealing not merely with some spiritual being of litle positive account, but with a deity who draws into the sphere of his concerns the moral and social needs of a people or tribe”10. Ketiga, “…the frequent practice of naming El after one of the Patriach [God of Abraham, Kej 31:53, Fear of Ishaq, Kej 31:42, Mighty One of Jacob, Kej 49:24]…This distinctivenesss consist in the fact the deity is not associated with particular cultic sites, but with persons who experienced his first revelation and in whose family he is now worshipped”11.
Istilah Eloah, merupakan perkembangan bentuk dari “El”, sebagaimana istilah “El” dan “Eloah” dimaknai sebagai “Yang Kuat”. C.I. Scofield menjelaskan bahwa “Eloah”, berasal dari “El” [Yang Maha Kuat] dan “alla” yang bermakna “sumpah”12. Maksudnya, didepan El, seseorang mengikat sumpah. Mengenai penggunaan istilah Elohim, Walter Eichrodt kembali menjelaskan: “Israel’s use of the term ‘Elohim’ to exalt the God of Sinai as supreme deity need, therefore, have involved nothing more than the adoption of a form of expression already long established…By choosing this particular name, which as the epitome of all embracing divine power exludes all, other divinity, he was able to protect his cosmogony from any trace of politheistic thought and at the same time describe the Creator God as the absolute Ruler and the only being whose will carries aby weight”13
KAJIAN GRAMATIKAL MENGENAI NAMA YAHWEH
Manusia memiliki nama, karena ada yang menamai. Hewan memiliki nama karena ada yang menamai. Kitab Suci mencatat bahwa Yang Maha Kuasa memberi nama Adam kepada ciptaan-Nya yang mulia [Kej 5:2]. Adam, yang diciptakan berdasarkan “Demut” [Gambar] dan “Tselem” [Rupa] Tuhan [Kej 1:27], memiliki otoritas dn kemampuan yang serupa dengan Sang Pencipta, khususnya dalam memberi nama binatang [Kej 2:20]. Jika manusia dan binatang memiliki nama karena dinamai, maka Yang Maha Kuasa [Elohim] juga memiliki nama. Siapakah nama Elohim itu? Saat Musa bertanya pada Yang Maha Kuasa sebelum diutus, dia bertanya, “ma shemo?” [siapa nama-Nya?, Kel 3:13]. Sang Pencipta menjawab, “Ehyeh asyer Ehyeh” [Aku Ada Yang Aku Ada, Kel 3:14]. Lalu sang Pencipta melanjutkan, “YHWH, Elohei avotekem, Elohei Avraham we Elohei Yitshaq we Elohei Yaakov, shelakhmi aleikem. Ze shemi le olam we ze zikri le dor dor” [YHWH, Elohim nenek moyangmu, telah mengutus aku kepadamu. Inilah nama-Ku untuk selamanya dan inilah pengingat-Ku untuk turun temurun, Kel 3:15]. Lalu Yang Maha Kuasa menegaskan, “YHWH Elohim Ivrym…” [YHWH, Elohim orang Ibrani,…Kel 3:18].
Eksposisi Kitab Keluaran pasal 3, menjelaskan, suatu “revelation” [penyingkapan] dan “declaration” [pegumuman] mengenai eksistensi Tuhan, nama Tuhan dan Tuhan yang memilij suatu komunitas untuk melaksanakan mandat-Nya. Frasa “Ehyeh asyer Ehyeh” sering dianggap sebagai pernyataan Tuhan yang tetap menutup misteri mengenai nama-Nya14. Namun saya melihat bahwa kalimat ini merupakan pernyataan Yang Maha Kuasa mengenai keberadaan diri-Nya. Secara gramatikal, ada dugaan bahwa kata “ehyeh”, merupakan bentuk “qal imperfect” dari “hayah”, sehingga dapat dimaknai “I am the One who is”15 Namun ada jugaa pendapat yang mengatakan bahwa “ehyeh” merupakan bentuk “hiphil” sehingga dapat diterjemahkan “He who causes to be”16. “Qal Imperfect” bermakna, “action which has not yet been completed”,17 sementara “Hiphil” bermakna “primarly as the causative of the Qal”18
Saya lebih memilih bahwa kata “ehyeh” merupakan bentuk “qal imperfect” dari “hayah” yang bermakna [1] “exist”, “be present” [2] “come into being”, “happen” [3] “auxilliaries verb”19. Pengertian yang terkandung dalam kata kerja “hayah”, memberikan sinyalemen bahwa Sang pencipta, merupakan Tuhan yang hidup, dinamis, bertindak dan bukan benda mati seperti patung berhala. Frasa ini hendak menyatakan eksistensi sang Pencipta yang dinamis.
Adapun frasa “YHWH Elohei Avotekem…ze shemi le olam we ze zikri le dor dor”, merupakan penyataan mengenai nama diri-Nya. Persoalannya, apakah ucapan yang tepat untuk YHWH? Ada yang mengeja “Jehovah”, “Yehuwah”, “Yahuweh”, “Yahweh”. Beberapa literatur ilmiah dibawah ini menjelaskan mengenai pengucapan yang proper dari YHWH.
Encylopedia Judaica menerangkan, “The true pronounciation of the name YHWH was never lost. Several early Greek writers of the Christian church testify that the name was pronounced Yahweh20. Unger’s Bible Dictionary menjelaskan, “Yahweh, the Hebrew Tetragrammaton [YHWH] traditionaly pronounced Jehovah is now known to be correctly vocalized Yahweh”21. Wycliffe Bible Encylopedia menegaskan, “The name par excelence for the Creator of Israel is Yahweh, found 6.823 times in the Old Testament”22. Demikian pula dengan The Interpreter’s Dictionary, “Yahweh-the vocalization of the four consonants of the Israelite name for the creator, which scholars believe to approximate known by this name”23. Ungkapan pujian “Halelu-Yah”, bermakna “Pujilah Yah”. Seruan ini merupakan indikasi yang lebih menguatkan bahwa proper pronounciation bagi YHWH adalah “Yahweh”.
Eksposisi Keluaran 3:14-15 menepis anggapan spekulatif bahwa Tuhan tidak memiliki nama. Plato, dalam bukunya “Parmenides” menyatakan, “Oud ara onoma estin autoi” yang bermakna “therefore no name can be attributed to him”24. Ibn Arabi, sufistik Islam meyakini bahwa Tuhan tidak mempunyai nama. Jika Tuhan mempunyai nama, maka Tuhan dibatasi oleh nama itu. Jika Tuhan dibatasi, maka Dia bukan Tuhan25. Yang Maha Kuasa [Elohim] telah menyatakan nama-Nya pada Musa sebagai Yahweh [Kel 3:15], nama yang sebelumnya telah dikenal oleh leluhur manusia, sejak Enos [Kej 4:26]. Kitab Suci TaNaKh dan ha Brit ha Khadasha memberi kesaksian kokoh mengenai Yahweh sebagai, “Elohim yang benar” [Yer 10:10, Yoh 17:3], “Elohim yang esa” [Ul 6:4], “Elohim yang Roh” [Yoh 4:24], “Bapa Surgawi” [Yes 64:8, Mat 6:9], “Bapa” [dalam arti ontologis] dari Yahshua” [Yoh 10:30], “Pencipta langit dan bumi”[Yes 40:28]. Dengan demikian, Yahweh sebagai Elohim yang disembah bangsa Israel dalam TaNaKh, merupakan Elohim yang menyatakan firman-Nya dalam rupa manusia yaitu Yahshua atau Yesus. Christopher B. Kaiser menjelaskan: “We conclude that the fundamental Christian confession ‘Jesus is Lord’ is rooted in the recognition that the risen Christ is Yahweh, the God of Israel”26
KAJIAN GRAMATIKAL MENGENAI NAMA ALLAH
Kajian mengenai historitas dan aspek etimologis nama Allah, masih debatable. Dari segi historis pra Islam, ada yang mensinyalir bahwa nama Allah adalah “dewa orang badui”27 “dewa air Arabia pra Islam”28, “dewa bulan pra Islam”29, “kepala Pantheon para dewa Arabia pra Islam yang berpusat di Mekkah”30. Sementara dari aspek etimologis, nama Allah ada yang menghubungkan dengan akar kata “Al Ilahah” “Al Uluhiyah” “Al Uluhah” 31, “Alaha” 32, “Lahaya”,33, “Aliha ya’lahu” 34, Al Ilah”35 , dimana kesemua ini dihubungkan dengan istilah “El”, “Eloah”, “Elohim”36. Kitab Qur’an sendiri memberikan kesaksian bahwa Allah adalah, “Nama Tuhan yang esa”[Qs 20:14,98], “Pencipta langit dan bumi” [Qs 2:164], “Tuhan Yahudi dan Nasrani serta Islam” [Qs 29:46], “Sumber Wahyu, Torat, Injil dan Qur’an” [Qs 5:44,45,47], “Tuhan yang esa” [Qs 112:1].
Studi komparatif gramatikal mengenai istilah “El”, “Eloah” dan “Elohim”, “Yahweh” serta “Allah”, memberikan gambaran singkat bahwa ada perbedaan secara substansial antara istilah-istilah tersebut. Perbedaan yang terjadi, bukan hanya dalam aspek gramatikal melainkan secara konseptual teologis. Ada dua pribadi yang mengklaim Esa dan Pencipta, yaitu Yahweh dan Allah. Keduanya memiliki perbedaan signifikan dalam karakter. Kesimpulan ini mengaraj pada fakta bahwa kekristenan di Indonesia telah mengadopsi nama Allah sebagai ganti untuk Elohim da Yahweh, tanpa menyadari ada perbedaan yang signifikan dari aspek gramatikal maupun konseptual teologis.
MITOS-MITOS AKADEMIK
Mengapa saya katakan mitos yang berkembang di dunia akademik? Karena berbagai pernyataan para teolog banyak didasarkan pada asumsi yang mengatasnamakan “keilmiahan”, “obyektifitas”, namun sebenarnya memiliki sejumlah kecacataan metodologis. Kecacatan metodologis yang dimaksud karena dipengaruhi Teologi Liberal dalam mendekati status pengilhaman Kitab Suci. Anggapan-anggaapaan tadi diturunkan dan dipercayai serta dilembagakan dalam berbagai literatur serta dipercaya sebagai otoritas yang sudah definit. Jika pada seminar di Auditorium Duta Wacana, Yogyakarta [20 Oktober 2004], saya mengusulkan RE-DEFINISI terhadap penggunaan nama Allah. Maka saat ini saya menghimbau bahwa kita harus berani melakukan proses DE-MITOLOGISASI terhadap pemahaman yang keliru dise[putar nama Yahweh dan Allah. Beberapa mitos akademik yang populer diseputar nama Yahweh dan Allah adalah, sbb:
Nama Yahweh terlalu suci untuk diucapkan. Setelah masa pembuangan dari babilon, nama Yahweh dilarang diucapkan secara lisan. Pada tahun 70 Ms, sekte Farisi melarang penggunaan nama Yahweh. Menurut halakha, nama itu “tersembunyi” [b.Pes 50a], “tetap dirahasiakan” [b.Kidd.71a]36
Nama Yahweh tidak dapat diucapkan. DR. Daud Soesilo mengatakan, “namun tak seorangpun yang tahu bagaimana melafalkannya…setelah masa pembuangan Israel di Babilonia [538 sM], ucapan nama YHWH yang sesungguhnya tidak diketahui lagi”37. Demikian pula DR. Tom Yakob, “…Bagaimana keempat huruf itu [YHWH] diucapkan atau apa huruf hidupnya, tidak ada orang yang tahu”38
Penggunaan nama Yahweh berarti kembali pada pola Perjanjian Lama. Samin Sitohang memberikan ulasan, “Jika umat kristen mempertahanan YHWH sebagai nama Sang Pencipta yang kekal dan bukan YHWH-MENYELAMATKAN, maka kita sedang kembali ke dalam alam Perjanjian Lama”39
Oleh kehendak Roh Kudus, nama Yahweh telah diganti menjadi Kurios. DR. Josias Lengkong,MTh., menyatakan dalam makalahnya, “Roh Kudus Yang maha Bijaksana telah menuntun dan menetapkan bahwa dalam kepentingan misi dunia dan dalam kaitan dengan penyebaran Injil secara global, maka bukan bahasa Ibrani lagi yang dipakai untuk menjadi naskah asli Perjanjian Baru, melainkan bahasa Yunani. Dengan demikian para penulis Perjanjian Baru diilhami [diberi inspirasi] untuk menerjemahkan nama Yahweh dengan Kyrios; kemudia El dan Elohim dengan Theos”40
Nama Yahweh berasal dari adopsi nama dewa di luar Israel. Ada yang beranggapan bahwa nama Yahweh berasal dari suku Keni, ada yang mengganggap dari Mesir dan ada yang mengganggap sebagai pahlawan Ilahi dari Kanaan41
Istilah El merupakan nama dewa Kanaan yang diadopsi Israel. I.J. Satyabudi menjelaskan, “Kata El ini memiliki asal-usul kata dari nama diri Ilahi suku bangsa Kanaan”42
Nama Allah cognate dengan istilah El, Eloah, Elohim. Bambang Noorsena mengatakan, “Kata Allah berasal dari akar kata Ibrani El, Eloah dan Elohim”43
Nama Allah berasal dari kontraksi Al dan Ilah. Kembali Bambang Noorsena menegaskan, “Nama Allah merupakan gabungan dari Al dan Ilah. Al adalah definit article [the] dan Ilah [God] adalah istilah lain bagi Tuhan [God]. Allah artinya, “Tuhan itu”44
DEMITOLOGISASI PEMAHAMAN
DISEPUTAR NAMA YAHWEH DAN ALLAH
Bagi saya, upaya De-mitologisasi, bukan hanya memberikan “interpretasi baru” sebagaimana tesis Bultman, melainkan meminjam istilah Ulil Abshar Abdala – “membongkar asumsi-asumsi tersembunyi”45 – dibalik setiap mitos-mitos akademik yang mengelilingi nama Yahweh dan Allah. Asumsi umum yang berlaku dalam mitos-mitos akademik tersebut adalah, “Tuhan tidak mempunyai nama”. Nama Tuhan yang beragam adalah penamaan yang dilakukan manusia terhadap Realitas Absolut yang dijumpainya dalam kehidupan religiusnya.
Asumsi demikian tidak memiliki landasan scriptural yang kokoh. Exegesa Keluaran Pasal 3:13-15, meruntuhkan asumsi apapun yang menyebutkan bahwa Tuhan tidak punya nama. Kitab Kejadian sampai Wahyu, selalu menghubungkan perbuatan ajaib Tuhan atas umat-Nya, melalui nama-Nya. Berikut tanggapan penulis terhadap beberapa mitos akademis yang telah dipaparkan sebelumnya.
Mengatakaan bahwa nama Yahweh terlalu suci untuk diucapkan, merupakan mis-interpretsi terhadap Keluaran 20:7 yang memerintahkan, “lo tisha et shem Yahweh la shawe”. Ayat ini tidak memaksudkan bahwa kita tidak boleh sama sekali memanggil nama Yahweh, melainkan berhati-hati dan menggunakan nama itu bukan untuk melegalisasi perilaku yang jahat. Firman Tuhan menegaskan, “ho du la Yahweh yiqru bishemo” artinya, “Bersyukurlah kepada Yahweh, panggilah nama-Nya” [1 Taw 16:8]. Umat-umat Tuhan dalam zaman pra Mesias, memanggil secara langsung nama Yahweh dalam doa seperti Elia [1 Taw 18:36], Daud [2 Sam 22:2], Salomo [1 Raj 3:7], dll. Bahkan Kitab Suci Perjanjian Baru Semitik yang lebih tua dari naskah Yunani seperti Shem Tov, Du Tillet, Ccrawford dan Munster, yang dikompilasi oleh DR. James Trimm dalam the hebraic Root version New Testament, menuliskan nama diri Yahweh sebanyak 210 kali dibeberapa ayat46
Tidak masuk akal jika nama Yahweh tidak dapat diucapkan. Jika setiap huruf dalam bahasa Ibrani yang tertulis dalam kitab Suci dapat diucapkan dan dituliskan, mengapa nama Yahweh tidak bisa diucapkan. Kitab Kejadian 1:1 tertulis, “brsht br lhm t h shmym w t h rts”, orang Yahudi dan para ahli bahasa akan langsung mengucapkan, “bersehit bara Elohim et ha shamaym we et ha arets”. Namun mengapa dalam Keluaran 3:15, YHWH lh vtkm” menjadi “ADONAI Elohe Avotekem?” Justru varian penyebutan nama YHWH menjadi “Iabe”, “Iaove”, “Ian”, “Yau”, “Jehovah”, “Yahuweh”, “Yahweh”, memberikan indikasi pada kita bahwa nama YHWH dapat diucapkan, dapat dibunyikan dan perlu diselidiki dengan mendalam akurasi pelafalannya. Seruan “Halelu-Yah”, memberikan indikasi kuat bahwa pelafalannya adalah Yahweh.
Menyimpulkan bahwa menggunakan dan memanggil nama Yahweh adalah kembali ke alam Perjanjian Lama, menyiratkan “asumsi tersembunyi” bahwa Torah bersifat sementara. Jika Torah bersifat sementara fungsinya, maka segala apapun yang berhubungan dengan Perjanjian Lama adalah sementara dan akan digantikan oleh Perjanjian Baru. Namun Yahshua menegaskan makna kedatanganNya, yaitu bukan untuk meniadakan Torah, melainkan untuk memenuhkan arti Torah [Mat 5:17-20]. Pengaruh Marcionisme yang mempertentangkan eksistensi Torah dan Perjanjian Baru, berpengaruh pula terhadap penggunaan nama Yahweh. Jika nama itu akan menjadi nama satu-satu-Nya di bumi [Zak 14:9], dimana tertera di dahi pengikut Putra-Nya [Why 14:1], bagaimana mungkin kita menyimpulkan bahwa nama Yahweh adalah sebuah masa lalu yang harus ditinggalkan?
Menyimpulkan bahwa Roh Kudus mengilhami para murid untuk mengganti nama Yahweh menjadi Kurios, adalah pemahaman yang over simplicity. Bagaimana mungkin Roh Kudus yang adalah Roh Yahweh sendiri [Yoh 15:26] yang mengilhami para nabi bernubuat bahwa segala bangsa akan sujud dan memanggil nama Yahweh [Mzm 22:29-32], serentak mengilhami untuk mengganti menjadi Kurios? Bagaimana mungkin Tuhan inkonsisten dengan perintah-Nya? Perubahan nama Yahweh menjadi Kurios, bukan merupakan pengilhaman Roh Kudus namun pengaruh tradisi Yudaisme paska babilon yang melarang penggunaan nama Yahweh secara langsung. Tradisi Yudaisme ini diperluas dengan menerjemahkan TaNaKh dalam bahasa Yunani dengan menerjemahkan ADONAI menjadi KURIOS. Naskah Perjanjian Baru berbahasa Yunani merujuk kebiasaan ini, sehingga nama Yahweh diganti Kurios dalam Perjanjian Baru. Namun naskah semitik Perjanjian Baru tetap melestarikan nama Yahweh sebanyak 210 kali dan tersebar diseluruh ayat Perjanjian baru. DR. james Trimm telah menerbitkan The Hebraic Root Version New Testament, pada tahun 2001, yaitu penerjemahan naskah Ibrani-Aramaik Perjanjian Baru dalam bahasa Inggris.
Anggapan bahwa nama Yahweh merupakan nama dewa di luar Israel yang diadopsi oleh Israel, merupakan “mitos akademik” yang telah mengakar kuat karena pengaruh teori “Hipotesa Dokumenter” dari Jean Astruc, J.G. Eichorn, K.H. Graff, Wellhausen47. teori-teori diatas menyediakan jalan bagi asumsi yang lebih jauh, bahwa nama Yahweh adalah dewa impor. Bagaimana mungkin Tuhan yang menciptakan langit dan bumi serta mengikat perjanjian dengan Israel untuk memberitakan perbuatan-Nya yang ajaib serta mengutus Mesias bagi Israel dan dunia, adalah Tuhan yang meminjam nama dewa bangsa lain? Sungguh memalukan dan tidak masuk akal! Yang Maha Kuasa telah mengidentifikasi nama diri-Nya sebagai Yahweh [Kel 3:15, Yes 42:8], Tuhan yang tidak memiliki persamaan dengan yang lainnya [Yes 45:21], Tuhan yang mengatasi segala yang dipertuhan [Ul 10:17]. Bagaimana mungkin bahwa nama pribadi-Nya adalah nama hasil adopsi? Teori diatas memiliki asumsi tersembunyi yang dilandasi teori-teori liberalistik terhadap Kitab Suci. Arkeologi belum membuktikan bahwa ada patung dewa Yahweh yang disembah bangsa di luar Israel.
Istilah El, merupakan istilah bersama di dunia semitik kuno dengan bermacam variannya seperti Ilah [Arab], Ilum dan Ilanu [Akkadian], Elah [Aram]. El, bukanlah nama dewa tertentu, meskipun bangsa Kanaan kuno memahami El sebagai kepala Pantheon yang memiliki putra Baal. Telah terjadi pemahaman bersama di dunia semitik kuno dan terjadi proses sinkretisme terhadap El, secara sporadis dibeberapa wilayah yang cenderung paganistik. Meminjam istilah Prof. Raviy Siregar, “tidak ada paradigma keilmuan yang memastikan bahwa setiap yang sama atau yang mirip adalah karena terjadi saling pengaruh atau karena plagiat”48. Asumsi tersembunyi dibalik argumentasi bahwa El adalah nama dewa Kanaan yang diadopsi Israel, adalah pengaruh teori “evolusi agama” yang dikenakan dalam sejarah Israel.
Jika benar bahwa Allah adalah kontraksi dari Al dan Ilah, mengapa pada kasus “Al” dan “Ilmu”, tidak menjadi “Almu?” Atau “Al” dan “Ilham”, tidak menjadi “Alham?” Pendapat yang mengatakan bahwa Allah adalah bentukan dari “Al” dan “Ilah” adalah salah satu dari sekian banyak teori mengenai akar kata Allah yang masih debatable. Jadi bukan satu-satunya harga mati. Allah adalah bentuk tunggal [mufrad]. Ini memberikan indikasi nama diri. Sementara “Ilah”, dapat dibuat jamak menjadi “Alihah”. Sebagaimana dalam terminologi Ibrani, istilah “Eloah” dapat dibuat jamak menjadi “Elohim”. Setiap nama diri, selalu berbentuk tunggal, al., Yahweh, Yahshua, Yokhanan, Adam, Abraham, dll. Demikian dengan nama Allah, tidak ada bentuk jamak dari Allah49
KESIMPULAN
Mitos-mitos yang berkembang dalam dunia akademik teologi, dipengaruhi oleh asumsi tertentu. Upaya de-mitologisasi, bukan hanya membuang mitos-mitos tersebut atau memberikan interpretasi baru terhadap realitas yang telah diteliti, namun juga membongkar asumsi-asumsi yang tersembunyi dibalik setiap teori-teori yang mengatasnamakan akademik dan ilmiah. Argumentasi yang dikemukakan untuk melemahkan relevansi penggunaan nama Yahweh dimasa kini, tidak lebih hanya mitos-mitos akademik saja. Karenanya, perlu dilakukan De-mitologisasi dan Re-definisi secara sinergis serta terpadu., dengan melibatkan kuasa Roh Kudus, pengkajian teologi yang mendalam, pengkajian gramatikal yang akurat serta penguasaan perkembangan sejarah dan arkeologi kontemporer. Darimana dan siapa yang harus memulai strategi De-mitologisasi dan Re-definisi? Siapapun yang telah mengalami pencerahan terhadap kebenaran nama suci ini. Tulisan ini merupakan salah satu upaya dalam memberikan landasan epistemologis dan teologis, sehingga setiap orang dapat memperoleh rambu-rambu untuk mengambil keputusan serta pencerahan.
Disampaikan Pada Forum Seminar Di Universitas Kristen Indonesia Tgl 20 November 2004
TERMINOLOGI
Dalam sejarah teologi Kristen, istilah Demitologisasi, merupakan terminologi yang diperkenalkan oleh seorang teolog bernama Rudolph Bultman. Asumsi dasar yang melatarbelakangi istilah tersebut adalah “adanya gambaran mitologis dalam dunia Perjanjian Baru yang bertentangan dengan gambaran dunia modern”1. Maksud Demitologisasi atau Enmythologisierung adalah “metode interpretasi dari nas Perjanjian Baru, dengan maksud supaya kita dapat melihat apakah yang sebenarnya dimaksudkan dan yang mau dikatakan oleh nas”2.
Secara epistemologis, saya menolak metodologi kajian dalam teori Bultman yang cacat historis dan mengabaikan nilai pengilhaman Kitab Suci. Namun dalam kajian berikut, saya meminjam istilah demytologisasi untuk menjabarkan suatu upaya untuk menghilangkan anggapan-anggapan, prasangka-prasangka, pemahaman yang tidak tepat, yang telah berurat berakar, sehingga menjadi mitos dalam dunia akademik teologia, mengenai nama Yahweh, nama Allah serta istilah-istilah Ketuhanan seperti El, Eloah, Elohim.
PEMETAAN PERSOALAN
Sejak kemunculan traktat berseri yang berjudul “Siapakah Yang Bernama Allah Itu?” dan munculnya “Kitab Suci 2000”, kekristenan di Indonesia “dipaksa” euphemisme dari “dorongan yang kuat”] untuk memikirkan ulang eksistensi dan penggunaan nama Allah dalam Kitab Suci dan komunitas Kristiani. Menanggapi hal tersebut, beberapa penulis, lembaga Kekristenan dan institusi gerejawi mulai memberikan respon, baik bernada positip maupun negatif.
Sampai hari ini, wacana kontroversi tersebut masih tetap mengemuka, baik dalam forum ibadat, seminar maupun berbagai penerbitan literatur kekristenan. Bagi mereka yang menabukan dialektika perkembangan pemikiran keagamaan, wacana ini dianggap sebagai fenomena yang merugikan kesatuan gereja [meskipun sebelum ada fenomena ini pun gereja ternyata belum juga bersatu]. Namun bagi mereka yang menyadari bahwa pemahaman manusia terhadap realitas kebenaran selalu berkembang,maka akan menjadikan wacana ini sebagai dasar untuk berefleksi dan menemukan pencerahan baru.
PROBLEMATIKA DASAR
Wacana diseputar redefinisi penggunaan nama Allah dan urgensi penggunaan nama Yahweh sebagai nama Tuhan yang proper sebagaimana diisyaratkan dalam Kitab Suci TaNaKh [Torah, Neviim, Kethuvim] dan ha Brit ha Khadasha [Perjanjian Baru], didasarkan pada beberapa problematika dasar sbb: Pertama, Dilematic Problem. Apakah Tuhan yang diimani oleh kaum Muslim dengan Kekristenan memiliki kesamaan secara ontologis? Atau sebaliknya, bahwa Tuhan yang diimani Muslim dan Kekristenan memiliki konsepsi teologis yang bersebrangan? Persoalannya, jika Tuhan yang diimani memiliki kesamaan ontologis, mengapa banyak statement dogmatik dalam Kekristenan yang dieliminir oleh Qur’an? Contoh, Qur’an menolak eksistensi historis penyaliban dan kebangkitan Yahshua [Qs 4:157-158], Qur’an menolak essensi Bapa, Putra dan Roh Kudus [Qs 5:72, Qs 4:171], Qur’an menolak status Pra Ada Yahshua yang tidak diciptakan [Qs 3:59], Qur’an menolak Ketuhanan Yahshua [Qs 5:116], Qur’an menolak status Yahshua sebagai Putra Yang Maha Kuasa [Qs 9:30]. Disisi lain, jika dikatakan bahwa Tuhan yang diimani berbeda secara konseptual teologis, mengapa Kekristenan dan Muslim memanggil nama Tuhan yang sama, yaitu Allah? Kedua, Kerancuan Terminologis. Dalam Kitab Suci terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia, ditemui beberapa cara penulisan yang ganjil. Ada istilah ALLAH [Yehz 37:12, Yes 25:8, Amos 3:8, Hab 3:19], Allah [Kej 1:1, 1 Raj 18:39], allah [1 Taw 16:26, Kel 20:3, Ul 10:17] dan TUHAN [Yes 42:8, Kel 3:15, Kel 6:3]. Apakah perbedaan antara ALLAH, Allah, allah dan TUHAN? Mengapa istilah yang serupa dipergunakan dalam bentuk yang berbeda? Kalau seorang pengkhotbah mengucapkan “Allah” di mimbar, bisakah kita mencerna bahwa yang dia maksudkan adalah “ALLAH” atau “Allah” atau “allah”? Apakah dibenarkan jika saya menuliskan “Yahshua adalah Mesias” atau “Yahshua adalah MESIAS” atau “Yahshua adalah mesias?” Tidak ada satupun kaidah menulis yang membenarkan tata tulis demikian. Kita harus memilih salah satu. Mesias, MESIAS atau mesias bagi Yahshua.
Ketiga, pelanggaran terhadap kaidah tata bahasa Indonesia mengenai hukum DM [Diterangkan-Menerangkan]. Frasa “Bapak [D] Teguh [M] berkata”, dapat dimengerti sebagai “ada Bapak yang bernama Teguh yang sedang berkata”. Jika logika ini diterapkan untuk penulisan nama Tuhan dalam Kitab Suci versi LAI, menjadi tidak jelas maksudnya. Frasa “Akulah TUHAN, Allah nenek moyangmu…”[Kel 3:15] bermakna “ada TUHAN bernama Allah”. Namun jika kita membaca Yesaya 42:8 berdasarkan versi Lembaga Alkitab Indonesia yang berbunyi, “Aku ini TUHAN, inilah namaKu”, maka akan diperoleh makna bahwa TUHAN adalah nama pribadi. Namun jika melihat struktur penempatan nama Tuhan dalam terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia, menjadi rancu antara nama pribadi dari Tuhan Pencipta langit dan bumi jika dikaitkan dengan hukum DM.
Akulah TUHAN Allah nenek moyangmu…[Kel 3:15]
[D] [M]
Analisis D-M : Ada TUHAN yang bernama Allah
Aku ini TUHAN, inilah nama-Ku [Yes 42:8]
Analisis: TUHAN adalah nama Pencipta
KAJIAN GRAMATIKAL :
MENGENAI TERMINOLOGI EL, ELOAH, ELOHIM
Kekristenan berakar pada Yudaisme3. E.P. Sanders menyebutkan bahwa Yahshua merupakan nabi kharismatik yang sungguh-sungguh berkarakter dan memiliki kebiasaan sebagai seorang Yahudi4. D.S. Russel menjelaskan: “Whether or not, he can be categorized in this or in any way, it is clear that he lived the life og Jew”5.
Hary R. Boer menegaskan: “The roots of the christian church reach back deeply into the history and religion of Israel…the earliest church was wholly Jewish, her Savior was Jew and the entire New Testament was probably written by Jews6.
Kitab Suci TaNaKh dan ha Brit ha Khadasha ditulis dalam bahasa Ibrani, Aram dan diterjemahkan dalam lingua franca, yaitu bahasa Yunani. Dalam Kitab Suci, istilah untuk menjelaskan mengenai Tuhan, digunakan istilah El [Kej 33:20, Mzm 95:3, Hos 11:9], Eloah [Kel 3:15, 1 Taw 16:26] dan Elohim [Kej 1:1, Yer 10:10, Ul 10:10] serta Adonai [Mzm 90:1]. Mengenai istilah El, Encylopedica Judaica menjelaskan: “El, the oldest semitic term for God is El [coresponding to Akkadian Ilum…and Arabic Il]. The etymology of the word is obscure. It is commonly thought the term derived from a root ‘yl’ [il] or ‘wl’ [ul], meaning the ‘powerfull’7.
Sementara Merril F. Unger menjelaskan: ”…the original generic term was Ilum, which dropping the mimation and the nominative case ending ‘u’ became ‘el’ in Hebrew. The word is derived from the root ‘wl’, ‘to be strong’, ‘powerfull’, meaning ‘strong one’…El has of the Hebrew course, no conection with paganism, but is a simple generic term8”.
Dari penjelasan diatas, kita mendapatkan keterangan bahwa istilah “El” adalah istilah semitik kuno yang menjadi istilah bersama dengan beberapa variasi seperti Ilanu, Ilum, Ilah. Kesemuanya hendak mengekspresikan mengenai Yang Maha Kuat.
Walter Eichrodt mengulas bahwa penggunaan istilah El, memberikan beberapa makna. Pertama, “…they do not identify the Godhead with any natural object, but describe it as the power which stands behind nature or the overruling will manifested in it”9. Kedua, “…demonstrates a strong link between the divine activity and the social life of the community. Such names as ‘Gos is Mercyfull’, “God helps’, ‘God is judge’ are extraordinarily frequent and show that we are dealing not merely with some spiritual being of litle positive account, but with a deity who draws into the sphere of his concerns the moral and social needs of a people or tribe”10. Ketiga, “…the frequent practice of naming El after one of the Patriach [God of Abraham, Kej 31:53, Fear of Ishaq, Kej 31:42, Mighty One of Jacob, Kej 49:24]…This distinctivenesss consist in the fact the deity is not associated with particular cultic sites, but with persons who experienced his first revelation and in whose family he is now worshipped”11.
Istilah Eloah, merupakan perkembangan bentuk dari “El”, sebagaimana istilah “El” dan “Eloah” dimaknai sebagai “Yang Kuat”. C.I. Scofield menjelaskan bahwa “Eloah”, berasal dari “El” [Yang Maha Kuat] dan “alla” yang bermakna “sumpah”12. Maksudnya, didepan El, seseorang mengikat sumpah. Mengenai penggunaan istilah Elohim, Walter Eichrodt kembali menjelaskan: “Israel’s use of the term ‘Elohim’ to exalt the God of Sinai as supreme deity need, therefore, have involved nothing more than the adoption of a form of expression already long established…By choosing this particular name, which as the epitome of all embracing divine power exludes all, other divinity, he was able to protect his cosmogony from any trace of politheistic thought and at the same time describe the Creator God as the absolute Ruler and the only being whose will carries aby weight”13
KAJIAN GRAMATIKAL MENGENAI NAMA YAHWEH
Manusia memiliki nama, karena ada yang menamai. Hewan memiliki nama karena ada yang menamai. Kitab Suci mencatat bahwa Yang Maha Kuasa memberi nama Adam kepada ciptaan-Nya yang mulia [Kej 5:2]. Adam, yang diciptakan berdasarkan “Demut” [Gambar] dan “Tselem” [Rupa] Tuhan [Kej 1:27], memiliki otoritas dn kemampuan yang serupa dengan Sang Pencipta, khususnya dalam memberi nama binatang [Kej 2:20]. Jika manusia dan binatang memiliki nama karena dinamai, maka Yang Maha Kuasa [Elohim] juga memiliki nama. Siapakah nama Elohim itu? Saat Musa bertanya pada Yang Maha Kuasa sebelum diutus, dia bertanya, “ma shemo?” [siapa nama-Nya?, Kel 3:13]. Sang Pencipta menjawab, “Ehyeh asyer Ehyeh” [Aku Ada Yang Aku Ada, Kel 3:14]. Lalu sang Pencipta melanjutkan, “YHWH, Elohei avotekem, Elohei Avraham we Elohei Yitshaq we Elohei Yaakov, shelakhmi aleikem. Ze shemi le olam we ze zikri le dor dor” [YHWH, Elohim nenek moyangmu, telah mengutus aku kepadamu. Inilah nama-Ku untuk selamanya dan inilah pengingat-Ku untuk turun temurun, Kel 3:15]. Lalu Yang Maha Kuasa menegaskan, “YHWH Elohim Ivrym…” [YHWH, Elohim orang Ibrani,…Kel 3:18].
Eksposisi Kitab Keluaran pasal 3, menjelaskan, suatu “revelation” [penyingkapan] dan “declaration” [pegumuman] mengenai eksistensi Tuhan, nama Tuhan dan Tuhan yang memilij suatu komunitas untuk melaksanakan mandat-Nya. Frasa “Ehyeh asyer Ehyeh” sering dianggap sebagai pernyataan Tuhan yang tetap menutup misteri mengenai nama-Nya14. Namun saya melihat bahwa kalimat ini merupakan pernyataan Yang Maha Kuasa mengenai keberadaan diri-Nya. Secara gramatikal, ada dugaan bahwa kata “ehyeh”, merupakan bentuk “qal imperfect” dari “hayah”, sehingga dapat dimaknai “I am the One who is”15 Namun ada jugaa pendapat yang mengatakan bahwa “ehyeh” merupakan bentuk “hiphil” sehingga dapat diterjemahkan “He who causes to be”16. “Qal Imperfect” bermakna, “action which has not yet been completed”,17 sementara “Hiphil” bermakna “primarly as the causative of the Qal”18
Saya lebih memilih bahwa kata “ehyeh” merupakan bentuk “qal imperfect” dari “hayah” yang bermakna [1] “exist”, “be present” [2] “come into being”, “happen” [3] “auxilliaries verb”19. Pengertian yang terkandung dalam kata kerja “hayah”, memberikan sinyalemen bahwa Sang pencipta, merupakan Tuhan yang hidup, dinamis, bertindak dan bukan benda mati seperti patung berhala. Frasa ini hendak menyatakan eksistensi sang Pencipta yang dinamis.
Adapun frasa “YHWH Elohei Avotekem…ze shemi le olam we ze zikri le dor dor”, merupakan penyataan mengenai nama diri-Nya. Persoalannya, apakah ucapan yang tepat untuk YHWH? Ada yang mengeja “Jehovah”, “Yehuwah”, “Yahuweh”, “Yahweh”. Beberapa literatur ilmiah dibawah ini menjelaskan mengenai pengucapan yang proper dari YHWH.
Encylopedia Judaica menerangkan, “The true pronounciation of the name YHWH was never lost. Several early Greek writers of the Christian church testify that the name was pronounced Yahweh20. Unger’s Bible Dictionary menjelaskan, “Yahweh, the Hebrew Tetragrammaton [YHWH] traditionaly pronounced Jehovah is now known to be correctly vocalized Yahweh”21. Wycliffe Bible Encylopedia menegaskan, “The name par excelence for the Creator of Israel is Yahweh, found 6.823 times in the Old Testament”22. Demikian pula dengan The Interpreter’s Dictionary, “Yahweh-the vocalization of the four consonants of the Israelite name for the creator, which scholars believe to approximate known by this name”23. Ungkapan pujian “Halelu-Yah”, bermakna “Pujilah Yah”. Seruan ini merupakan indikasi yang lebih menguatkan bahwa proper pronounciation bagi YHWH adalah “Yahweh”.
Eksposisi Keluaran 3:14-15 menepis anggapan spekulatif bahwa Tuhan tidak memiliki nama. Plato, dalam bukunya “Parmenides” menyatakan, “Oud ara onoma estin autoi” yang bermakna “therefore no name can be attributed to him”24. Ibn Arabi, sufistik Islam meyakini bahwa Tuhan tidak mempunyai nama. Jika Tuhan mempunyai nama, maka Tuhan dibatasi oleh nama itu. Jika Tuhan dibatasi, maka Dia bukan Tuhan25. Yang Maha Kuasa [Elohim] telah menyatakan nama-Nya pada Musa sebagai Yahweh [Kel 3:15], nama yang sebelumnya telah dikenal oleh leluhur manusia, sejak Enos [Kej 4:26]. Kitab Suci TaNaKh dan ha Brit ha Khadasha memberi kesaksian kokoh mengenai Yahweh sebagai, “Elohim yang benar” [Yer 10:10, Yoh 17:3], “Elohim yang esa” [Ul 6:4], “Elohim yang Roh” [Yoh 4:24], “Bapa Surgawi” [Yes 64:8, Mat 6:9], “Bapa” [dalam arti ontologis] dari Yahshua” [Yoh 10:30], “Pencipta langit dan bumi”[Yes 40:28]. Dengan demikian, Yahweh sebagai Elohim yang disembah bangsa Israel dalam TaNaKh, merupakan Elohim yang menyatakan firman-Nya dalam rupa manusia yaitu Yahshua atau Yesus. Christopher B. Kaiser menjelaskan: “We conclude that the fundamental Christian confession ‘Jesus is Lord’ is rooted in the recognition that the risen Christ is Yahweh, the God of Israel”26
KAJIAN GRAMATIKAL MENGENAI NAMA ALLAH
Kajian mengenai historitas dan aspek etimologis nama Allah, masih debatable. Dari segi historis pra Islam, ada yang mensinyalir bahwa nama Allah adalah “dewa orang badui”27 “dewa air Arabia pra Islam”28, “dewa bulan pra Islam”29, “kepala Pantheon para dewa Arabia pra Islam yang berpusat di Mekkah”30. Sementara dari aspek etimologis, nama Allah ada yang menghubungkan dengan akar kata “Al Ilahah” “Al Uluhiyah” “Al Uluhah” 31, “Alaha” 32, “Lahaya”,33, “Aliha ya’lahu” 34, Al Ilah”35 , dimana kesemua ini dihubungkan dengan istilah “El”, “Eloah”, “Elohim”36. Kitab Qur’an sendiri memberikan kesaksian bahwa Allah adalah, “Nama Tuhan yang esa”[Qs 20:14,98], “Pencipta langit dan bumi” [Qs 2:164], “Tuhan Yahudi dan Nasrani serta Islam” [Qs 29:46], “Sumber Wahyu, Torat, Injil dan Qur’an” [Qs 5:44,45,47], “Tuhan yang esa” [Qs 112:1].
Studi komparatif gramatikal mengenai istilah “El”, “Eloah” dan “Elohim”, “Yahweh” serta “Allah”, memberikan gambaran singkat bahwa ada perbedaan secara substansial antara istilah-istilah tersebut. Perbedaan yang terjadi, bukan hanya dalam aspek gramatikal melainkan secara konseptual teologis. Ada dua pribadi yang mengklaim Esa dan Pencipta, yaitu Yahweh dan Allah. Keduanya memiliki perbedaan signifikan dalam karakter. Kesimpulan ini mengaraj pada fakta bahwa kekristenan di Indonesia telah mengadopsi nama Allah sebagai ganti untuk Elohim da Yahweh, tanpa menyadari ada perbedaan yang signifikan dari aspek gramatikal maupun konseptual teologis.
MITOS-MITOS AKADEMIK
Mengapa saya katakan mitos yang berkembang di dunia akademik? Karena berbagai pernyataan para teolog banyak didasarkan pada asumsi yang mengatasnamakan “keilmiahan”, “obyektifitas”, namun sebenarnya memiliki sejumlah kecacataan metodologis. Kecacatan metodologis yang dimaksud karena dipengaruhi Teologi Liberal dalam mendekati status pengilhaman Kitab Suci. Anggapan-anggaapaan tadi diturunkan dan dipercayai serta dilembagakan dalam berbagai literatur serta dipercaya sebagai otoritas yang sudah definit. Jika pada seminar di Auditorium Duta Wacana, Yogyakarta [20 Oktober 2004], saya mengusulkan RE-DEFINISI terhadap penggunaan nama Allah. Maka saat ini saya menghimbau bahwa kita harus berani melakukan proses DE-MITOLOGISASI terhadap pemahaman yang keliru dise[putar nama Yahweh dan Allah. Beberapa mitos akademik yang populer diseputar nama Yahweh dan Allah adalah, sbb:
Nama Yahweh terlalu suci untuk diucapkan. Setelah masa pembuangan dari babilon, nama Yahweh dilarang diucapkan secara lisan. Pada tahun 70 Ms, sekte Farisi melarang penggunaan nama Yahweh. Menurut halakha, nama itu “tersembunyi” [b.Pes 50a], “tetap dirahasiakan” [b.Kidd.71a]36
Nama Yahweh tidak dapat diucapkan. DR. Daud Soesilo mengatakan, “namun tak seorangpun yang tahu bagaimana melafalkannya…setelah masa pembuangan Israel di Babilonia [538 sM], ucapan nama YHWH yang sesungguhnya tidak diketahui lagi”37. Demikian pula DR. Tom Yakob, “…Bagaimana keempat huruf itu [YHWH] diucapkan atau apa huruf hidupnya, tidak ada orang yang tahu”38
Penggunaan nama Yahweh berarti kembali pada pola Perjanjian Lama. Samin Sitohang memberikan ulasan, “Jika umat kristen mempertahanan YHWH sebagai nama Sang Pencipta yang kekal dan bukan YHWH-MENYELAMATKAN, maka kita sedang kembali ke dalam alam Perjanjian Lama”39
Oleh kehendak Roh Kudus, nama Yahweh telah diganti menjadi Kurios. DR. Josias Lengkong,MTh., menyatakan dalam makalahnya, “Roh Kudus Yang maha Bijaksana telah menuntun dan menetapkan bahwa dalam kepentingan misi dunia dan dalam kaitan dengan penyebaran Injil secara global, maka bukan bahasa Ibrani lagi yang dipakai untuk menjadi naskah asli Perjanjian Baru, melainkan bahasa Yunani. Dengan demikian para penulis Perjanjian Baru diilhami [diberi inspirasi] untuk menerjemahkan nama Yahweh dengan Kyrios; kemudia El dan Elohim dengan Theos”40
Nama Yahweh berasal dari adopsi nama dewa di luar Israel. Ada yang beranggapan bahwa nama Yahweh berasal dari suku Keni, ada yang mengganggap dari Mesir dan ada yang mengganggap sebagai pahlawan Ilahi dari Kanaan41
Istilah El merupakan nama dewa Kanaan yang diadopsi Israel. I.J. Satyabudi menjelaskan, “Kata El ini memiliki asal-usul kata dari nama diri Ilahi suku bangsa Kanaan”42
Nama Allah cognate dengan istilah El, Eloah, Elohim. Bambang Noorsena mengatakan, “Kata Allah berasal dari akar kata Ibrani El, Eloah dan Elohim”43
Nama Allah berasal dari kontraksi Al dan Ilah. Kembali Bambang Noorsena menegaskan, “Nama Allah merupakan gabungan dari Al dan Ilah. Al adalah definit article [the] dan Ilah [God] adalah istilah lain bagi Tuhan [God]. Allah artinya, “Tuhan itu”44
DEMITOLOGISASI PEMAHAMAN
DISEPUTAR NAMA YAHWEH DAN ALLAH
Bagi saya, upaya De-mitologisasi, bukan hanya memberikan “interpretasi baru” sebagaimana tesis Bultman, melainkan meminjam istilah Ulil Abshar Abdala – “membongkar asumsi-asumsi tersembunyi”45 – dibalik setiap mitos-mitos akademik yang mengelilingi nama Yahweh dan Allah. Asumsi umum yang berlaku dalam mitos-mitos akademik tersebut adalah, “Tuhan tidak mempunyai nama”. Nama Tuhan yang beragam adalah penamaan yang dilakukan manusia terhadap Realitas Absolut yang dijumpainya dalam kehidupan religiusnya.
Asumsi demikian tidak memiliki landasan scriptural yang kokoh. Exegesa Keluaran Pasal 3:13-15, meruntuhkan asumsi apapun yang menyebutkan bahwa Tuhan tidak punya nama. Kitab Kejadian sampai Wahyu, selalu menghubungkan perbuatan ajaib Tuhan atas umat-Nya, melalui nama-Nya. Berikut tanggapan penulis terhadap beberapa mitos akademis yang telah dipaparkan sebelumnya.
Mengatakaan bahwa nama Yahweh terlalu suci untuk diucapkan, merupakan mis-interpretsi terhadap Keluaran 20:7 yang memerintahkan, “lo tisha et shem Yahweh la shawe”. Ayat ini tidak memaksudkan bahwa kita tidak boleh sama sekali memanggil nama Yahweh, melainkan berhati-hati dan menggunakan nama itu bukan untuk melegalisasi perilaku yang jahat. Firman Tuhan menegaskan, “ho du la Yahweh yiqru bishemo” artinya, “Bersyukurlah kepada Yahweh, panggilah nama-Nya” [1 Taw 16:8]. Umat-umat Tuhan dalam zaman pra Mesias, memanggil secara langsung nama Yahweh dalam doa seperti Elia [1 Taw 18:36], Daud [2 Sam 22:2], Salomo [1 Raj 3:7], dll. Bahkan Kitab Suci Perjanjian Baru Semitik yang lebih tua dari naskah Yunani seperti Shem Tov, Du Tillet, Ccrawford dan Munster, yang dikompilasi oleh DR. James Trimm dalam the hebraic Root version New Testament, menuliskan nama diri Yahweh sebanyak 210 kali dibeberapa ayat46
Tidak masuk akal jika nama Yahweh tidak dapat diucapkan. Jika setiap huruf dalam bahasa Ibrani yang tertulis dalam kitab Suci dapat diucapkan dan dituliskan, mengapa nama Yahweh tidak bisa diucapkan. Kitab Kejadian 1:1 tertulis, “brsht br lhm t h shmym w t h rts”, orang Yahudi dan para ahli bahasa akan langsung mengucapkan, “bersehit bara Elohim et ha shamaym we et ha arets”. Namun mengapa dalam Keluaran 3:15, YHWH lh vtkm” menjadi “ADONAI Elohe Avotekem?” Justru varian penyebutan nama YHWH menjadi “Iabe”, “Iaove”, “Ian”, “Yau”, “Jehovah”, “Yahuweh”, “Yahweh”, memberikan indikasi pada kita bahwa nama YHWH dapat diucapkan, dapat dibunyikan dan perlu diselidiki dengan mendalam akurasi pelafalannya. Seruan “Halelu-Yah”, memberikan indikasi kuat bahwa pelafalannya adalah Yahweh.
Menyimpulkan bahwa menggunakan dan memanggil nama Yahweh adalah kembali ke alam Perjanjian Lama, menyiratkan “asumsi tersembunyi” bahwa Torah bersifat sementara. Jika Torah bersifat sementara fungsinya, maka segala apapun yang berhubungan dengan Perjanjian Lama adalah sementara dan akan digantikan oleh Perjanjian Baru. Namun Yahshua menegaskan makna kedatanganNya, yaitu bukan untuk meniadakan Torah, melainkan untuk memenuhkan arti Torah [Mat 5:17-20]. Pengaruh Marcionisme yang mempertentangkan eksistensi Torah dan Perjanjian Baru, berpengaruh pula terhadap penggunaan nama Yahweh. Jika nama itu akan menjadi nama satu-satu-Nya di bumi [Zak 14:9], dimana tertera di dahi pengikut Putra-Nya [Why 14:1], bagaimana mungkin kita menyimpulkan bahwa nama Yahweh adalah sebuah masa lalu yang harus ditinggalkan?
Menyimpulkan bahwa Roh Kudus mengilhami para murid untuk mengganti nama Yahweh menjadi Kurios, adalah pemahaman yang over simplicity. Bagaimana mungkin Roh Kudus yang adalah Roh Yahweh sendiri [Yoh 15:26] yang mengilhami para nabi bernubuat bahwa segala bangsa akan sujud dan memanggil nama Yahweh [Mzm 22:29-32], serentak mengilhami untuk mengganti menjadi Kurios? Bagaimana mungkin Tuhan inkonsisten dengan perintah-Nya? Perubahan nama Yahweh menjadi Kurios, bukan merupakan pengilhaman Roh Kudus namun pengaruh tradisi Yudaisme paska babilon yang melarang penggunaan nama Yahweh secara langsung. Tradisi Yudaisme ini diperluas dengan menerjemahkan TaNaKh dalam bahasa Yunani dengan menerjemahkan ADONAI menjadi KURIOS. Naskah Perjanjian Baru berbahasa Yunani merujuk kebiasaan ini, sehingga nama Yahweh diganti Kurios dalam Perjanjian Baru. Namun naskah semitik Perjanjian Baru tetap melestarikan nama Yahweh sebanyak 210 kali dan tersebar diseluruh ayat Perjanjian baru. DR. james Trimm telah menerbitkan The Hebraic Root Version New Testament, pada tahun 2001, yaitu penerjemahan naskah Ibrani-Aramaik Perjanjian Baru dalam bahasa Inggris.
Anggapan bahwa nama Yahweh merupakan nama dewa di luar Israel yang diadopsi oleh Israel, merupakan “mitos akademik” yang telah mengakar kuat karena pengaruh teori “Hipotesa Dokumenter” dari Jean Astruc, J.G. Eichorn, K.H. Graff, Wellhausen47. teori-teori diatas menyediakan jalan bagi asumsi yang lebih jauh, bahwa nama Yahweh adalah dewa impor. Bagaimana mungkin Tuhan yang menciptakan langit dan bumi serta mengikat perjanjian dengan Israel untuk memberitakan perbuatan-Nya yang ajaib serta mengutus Mesias bagi Israel dan dunia, adalah Tuhan yang meminjam nama dewa bangsa lain? Sungguh memalukan dan tidak masuk akal! Yang Maha Kuasa telah mengidentifikasi nama diri-Nya sebagai Yahweh [Kel 3:15, Yes 42:8], Tuhan yang tidak memiliki persamaan dengan yang lainnya [Yes 45:21], Tuhan yang mengatasi segala yang dipertuhan [Ul 10:17]. Bagaimana mungkin bahwa nama pribadi-Nya adalah nama hasil adopsi? Teori diatas memiliki asumsi tersembunyi yang dilandasi teori-teori liberalistik terhadap Kitab Suci. Arkeologi belum membuktikan bahwa ada patung dewa Yahweh yang disembah bangsa di luar Israel.
Istilah El, merupakan istilah bersama di dunia semitik kuno dengan bermacam variannya seperti Ilah [Arab], Ilum dan Ilanu [Akkadian], Elah [Aram]. El, bukanlah nama dewa tertentu, meskipun bangsa Kanaan kuno memahami El sebagai kepala Pantheon yang memiliki putra Baal. Telah terjadi pemahaman bersama di dunia semitik kuno dan terjadi proses sinkretisme terhadap El, secara sporadis dibeberapa wilayah yang cenderung paganistik. Meminjam istilah Prof. Raviy Siregar, “tidak ada paradigma keilmuan yang memastikan bahwa setiap yang sama atau yang mirip adalah karena terjadi saling pengaruh atau karena plagiat”48. Asumsi tersembunyi dibalik argumentasi bahwa El adalah nama dewa Kanaan yang diadopsi Israel, adalah pengaruh teori “evolusi agama” yang dikenakan dalam sejarah Israel.
Jika benar bahwa Allah adalah kontraksi dari Al dan Ilah, mengapa pada kasus “Al” dan “Ilmu”, tidak menjadi “Almu?” Atau “Al” dan “Ilham”, tidak menjadi “Alham?” Pendapat yang mengatakan bahwa Allah adalah bentukan dari “Al” dan “Ilah” adalah salah satu dari sekian banyak teori mengenai akar kata Allah yang masih debatable. Jadi bukan satu-satunya harga mati. Allah adalah bentuk tunggal [mufrad]. Ini memberikan indikasi nama diri. Sementara “Ilah”, dapat dibuat jamak menjadi “Alihah”. Sebagaimana dalam terminologi Ibrani, istilah “Eloah” dapat dibuat jamak menjadi “Elohim”. Setiap nama diri, selalu berbentuk tunggal, al., Yahweh, Yahshua, Yokhanan, Adam, Abraham, dll. Demikian dengan nama Allah, tidak ada bentuk jamak dari Allah49
KESIMPULAN
Mitos-mitos yang berkembang dalam dunia akademik teologi, dipengaruhi oleh asumsi tertentu. Upaya de-mitologisasi, bukan hanya membuang mitos-mitos tersebut atau memberikan interpretasi baru terhadap realitas yang telah diteliti, namun juga membongkar asumsi-asumsi yang tersembunyi dibalik setiap teori-teori yang mengatasnamakan akademik dan ilmiah. Argumentasi yang dikemukakan untuk melemahkan relevansi penggunaan nama Yahweh dimasa kini, tidak lebih hanya mitos-mitos akademik saja. Karenanya, perlu dilakukan De-mitologisasi dan Re-definisi secara sinergis serta terpadu., dengan melibatkan kuasa Roh Kudus, pengkajian teologi yang mendalam, pengkajian gramatikal yang akurat serta penguasaan perkembangan sejarah dan arkeologi kontemporer. Darimana dan siapa yang harus memulai strategi De-mitologisasi dan Re-definisi? Siapapun yang telah mengalami pencerahan terhadap kebenaran nama suci ini. Tulisan ini merupakan salah satu upaya dalam memberikan landasan epistemologis dan teologis, sehingga setiap orang dapat memperoleh rambu-rambu untuk mengambil keputusan serta pencerahan.
---------
1 DR. J.L. Ch. Abineno, Rudolph Bultman & Teologianya, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989, hal 8
2 Ibid., hal 10 3 Hans Ucko, Akar Bersama, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1999, hal 5 4 Jesus and Judaism, SCM Press and Fortress Press, 1985, p.237-241 5 From Early Judaism to Early Church, Philadhelphia, Fortress Press, 1986, p.15 6 A Short History of the Early Church, Grand Rapids Michigan, William B. Eerdmans Publishing Company, 1986, p.9 7 Vol VII, 1972, p.674 8 Unger’s Bible Dictioanry, Chicago, Moody Press, 1962, p.293-294 9 Theology of the Old Testament, Vol I, Philadhelphia, The Westminster Press, 1961, p.179 10 Ibid. 11 Ibid., p.180 12 Holy Bible Schofield References, 1945, p.3 13 Op.Cit., The Theology of The Old Testament, p.186-187 14 John J. Davis, Moses & the Gods of Egypt, Grand rapids Michigan, Baker Book House, 1977, p.64 15 Ibid. 16 Ibid., p.65 17 Harley E. Finlay, Ph.D & Charles D. Isbell, Ph.D, Biblical Hebrew: A Beginner’s Manual, Kansas City, Misouri, Beacon Hill Press of Kansas City, 1982, p.75 18 Ibid., p.114 19 G. Johanes Boterweck & Helmer Ringren, Theological Dictionary of the Old Testament, Vol III, Grands Rapids Michigan, William B. Eerdmans Publishing Company, 1976, p.373 20 Vol VII, 1972, p.680 21 Op.Cit., Merril F. Unger, 1957, p.1177 22 Vol II, 1975, p.690 23 Vol IV, 1962, p.923 24 Adam Clarke, The Holy Bible [A Commentary & Critical Notes] Abingdon Nashville, 1824, p.306 25 Komaruddin Hidayat, Agama Masa Depan, Jakarta, Gramedia Pustaka Tama, 2003, hal 73 26 The Doctrine of God, Westchester, Illinois, Crossway Books, 1982, p.33 27 Prof.DR. H. Kraemer, Agama Islam, Djakarta, BPK, 1952, hal 11 28 Muhamad Wahyuni Nafis, Passing Over, Jakarta, Gramedia Pustaka Tama, 1998, hal 85 29 DR. Robert Morey, Islamic Invasion, Harvest House Publisher, 1992, p.211-218 30 James Hastings, Encylopedia of Religion & Ethic, T&T Clark, 1908, p.326 31 DR. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, Lentera Hati, 1998, hal 3-9 32 Ibid. 33 DR. Djaka Soetapa, Penerjemahan Kata Yahweh & Elohim menjadi TUHAN dan ALLAH dalam Perspektif Teologi Islam: Sarasehan terjemahan Alkitab Mengenai Kata TUHAN & ALLAH, PGPK, Bandung, 5 Juni 2001 34 Loc.Cit., DR. Quraish Shihab, hal 3-9 35 Olaf Schuman, Keluar dari Benteng Pertahanan, Rasindo, hal 172-174 36 George Fry & James R. King, Islam: A Survey of the Muslim Faith, Baker Book House, 1982, p.487 36 DR. J. Trimm, Nazarenes & the Name of YHWH, www.nazarene.net 37 Seminar Alkitab: Satu Alkitab Beragam Terjemahan, 2004, hal 1 38 UBS Asia Pasific Translation Services, hal 2 39 Siapakah Nama Sang Pencipta? Bandung: kalam Hidup 2003, hal 62 40 Kontroversi Diseputar Nama Allah: Seminar di Hotel Indonesia, 25 Agustus 2000 41 Th.C.Vriezen, Agama Israel Kuno, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003, 126-127 42 Kontroversi Nama Allah, Jakarta, Wacana Press, 2004, hal 79 43 Menjawab Hujatan Para Penentang Allah, BAHANA, November 2000, hal 14 44 Mengenai Kata Allah, Malang, IFSCS, 2001, hal 9 45 Membakar Rumah Tuhan, Bandung PT. Rosda Karya, 1999, hal 14 46 Teguh Hindarto, Bahasa Tuhan, Yogyakarta, ANDI Offset, 2004, hal 46-47 47 J.D. Douglas, Ensiklopedi Masa Kini, Jil I, Yayasan Bina Kasih, OMF, 1994, hal 230-232 48 Sufisme: Dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hal 31-21 49 Teguh Hindarto, STh., Kritik & Jawab Terhadap Efraim Bambang Noorsena, SH., BAHANA, No 09, 2001, hal 13
0 komentar:
Posting Komentar