Nats: Ulangan 6:4-9
Baik Yudaisme dan Kekristenan berbagi kitab suci dan keyakinan yang sama terkait mengenai konsep Ketuhanan dan Kitab Suci sebagaimana dikatakan oleh Hans Ucko sbb: “Gereja Kristen, teologi Kristen dan kekristenan secara keseluruhan, tidak terpisahkan dengan umat Yahudi atau Yudaisme (agama Yahudi). Orang Yahudi dan Kristen memiliki Kitab Suci yang sama. Iman Kristen lahir dari dalam lingkungan Yahudi”[1].
Ulangan 6:4-5 dalam pemikiran Yudaisme disebut dengan “Shema”, sebuah kredo atau pengakuan iman. Kredo ini berbunyi: “Shema Yisrael, YHWH Eloheinu, YHWH Ekhad. We ahavta et YHWH Eloheika bekol levaveka uvkol nafsheka uvkol meodeka” (Dengarlah, hai orang Israel: YHWH itu Tuhan kita, YHWH itu esa! Kasihilah YHWH, Tuhanmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu).
שׁמע ישׂראל יהוה אלהינו יהוה אחד
ואהבת את יהוה אלהיך בכל־לבבך ובכל־נפשׁך ובכל־מאדך
Pengakuan keimanan ini terbagi menjadi tiga bagian:
- YHWH adalah Tuhan
- YHWH adalah Esa
- Kasihilah YHWH dengan segenap hati, jiwa dan kekuatan
Rabbi Hayim Ha Levy Donin, memberikan keterangan: “The Shema is declaration of faith, a pledge of allegiance to One God, an affirmation of Judaism. It is the first prayer that children are taught to say” (Shema, adalah pernyataan iman, ikrar kesetiaan kepada satu Tuhan, sebuah penegasan mengenai Yudaisme. Ini merupakan doa yang pertama diajarkan kepada anak untuk diucapkan)[2]. Shema diucapkan saat seorang bayi lahir dan saat seorang mengalami kewafatan. Shema diucapkan saat melaksanakan ibadah harian dan ibadah Shabat.
Namun bagaimana pengakuan yang terkandung dalam Shema tersebut dikorelasikan dengan iman Kristen yang berpusatkan pada pribadi, kehidupan dan ajaran Yesus Sang Mesias (Yahshua ha Mashiah)? Bagaimana konsep keesaan dikorelasikan dengan konsep ketritunggalan? Bagaimana keilahian Yesus dikorelasikan dengan pengakuan bahwa YHWH adalah Tuhan?
Iman Kristen merumuskan konsep Ketuhanan dengan sebutan Tritunggal atau Trinitas. Rumusan dan istilah ini merupakan pengungkapan para Bapa Gereja saat mereka harus mempertanggungjawabkan keimanan mereka terhadap para filsuf kafir yang menentang kekristenan.
Abad 2 Ms merupakan perpindahan titik berat pola berteologia, dari teologia Palestina yang kontemplatif, menjadi Teologia Hellenis yang rasionalistik dan metafisik[3] Akibatnya, dibutuhkan suatu penjelasan yang rasional kepada kaum pagan Yunani, mengenai realitas Tuhan. Bernhard Lohse memberikan komentar, “Karena itu, sedikitpun tidak mengherankan bahwa gereja terkadang meraba-raba dalam upayanya memformulasikan imannya secara intelrktual dan konseptual kepada (Tuhan) Bapa, (Yesus Sang Mesias) dan Roh Kudus”[4]. Sejumlah teolog dan Bapa Gereja (Church Fathers) yang telah lebih dahulu menggumuli persoalan relasi ontologis antara Bapa, Putra dan Roh Kudus, adalah Yustinus martyr, Theophilus dari Anthiokhia, Adamatinus , Origenes, Arius, Athanisius, Agustinus serta Tertulianus.
Dari sekian teolog yang merumuskan formula relasi intologis antara Bapa, Putra dan Roh Kudus, adalah tertulianus. Beliau merumuskan dalam bentuk ungkapan Yunani, “Mono Ousia Tress Hypostasis” atau dalam ungkapan Latin, “Una Substantiae Tress Persona”, yang jika diterjemahkan adalah, “Satu Keberadaan Tiga pribadi.
Para teolog modern, berbeda pendapat menjelaskan istilah “Pribadi” (Yun : Hypostasis, Lat : Personae), secara berlainan dan tanpa penjelasan yang mendalam. Ada yang menamakan, “cara berada”, “oknum”, “pribadi[5]. Berangkat dari pluralisme pemahaman yang bertebaran disekitar istilah “Hypostasis” atau “Pribadi, maka DR. Budyanto mengusulkan suatu peninjauan kembali terhadap penggunaan istilah “Pribadi” dengan mengatakan: “Karena itu, menurut hemat penulis, kalau istilah ini pada akhirnya tidak dapat dihindarkan lagi, sebaiknya pengertian yang dipakai untuk istilah pribadi adalah, ‘suatu keberadaan sadar diri’ yang maknanya bisa menampung pengertian-pengertian tersebut (cat: “pribadi”, “Cara Berada”, “Tiga Subyektivitas dalam Unitas”, dll)… jika pengertian ‘pribadi’ itu seperti itu, maka pengertian pribadi yang dipakai sebagai bukti (ketuhanan) seperti diatas adalah tidak tepat, sebab kata pribadi itu justru dipakai untuk menunjukkan kekhususan dari sifat masing-masing, bukan kesamaan sifat”[6].
Hampir semua teolog mengakui bahwa istilah “Trinitas/Tritunggal”, tidak terdapat secara literal dalam Kitab Suci. Namun essensi yang mengarah pada pengertian tersebut memang terpampang dalam banyak ayat. DR. Andar Tobing, mengakui kenyataan tersebut dan mengatakan:
“kita terpaksa memakai istilah Trinitas itu untuk menolak adjaran-adjaran dan pendapat-pendapat yang salah dan bertentangan dengan isi Alkitab. Biarpun istilah itu tidak sempurna…”[7]
“kita terpaksa memakai istilah Trinitas itu untuk menolak adjaran-adjaran dan pendapat-pendapat yang salah dan bertentangan dengan isi Alkitab. Biarpun istilah itu tidak sempurna…”[7]
KEESAAN DAN SIFAT TRINITARIS TUHAN
DALAM KITAB TANAKH (PERJANJIAN LAMA)
Jika kita menggali dari Kitab Suci, sejak kekal Tuhan telah bersama Firman dan Roh-Nya. Dalam Kitab Kejadian 1:1-3 dikatakan sbb: “Pada mulanya Tuhan menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Tuhan melayang-layang di atas permukaan air. Berfirmanlah Tuhan: "Jadilah terang." Lalu terang itu jadi”. Patut kita akui ada bahwa dalam diri Tuhan yang esa ada sifat trinitarian bersama Firman dan Roh-Nya namun kita tidak dapat menjumlahkannya karena sifat trinitarian tersebut bukanlah dalam pengertian aritmetik (angka) melainkan metafisik (keagungan).
YHWH, Firman dan Roh-Nya bukanlah tiga melainkan satu, karena Firman dan Roh berdiam bersama dalam kekekalan bersama YHWH (Kej 1:1-3, Yoh 1:1). Tidak ada yang lebih dahulu dari yang lain.
YHWH, Firman dan Roh-Nya bukan tiga melainkan satu, karena Firman keluar dari hakikat Bapa (Yoh 8:42) demikianpula Roh Kudus keluar dari hakikat Bapa (Yoh 15:26).
YHWH, Firman dan Roh-Nya bukanlah tiga melainkan satu, karena Firman tidak diciptakan melainkan menyebabkan terciptanya segala sesuatu (Mzm 33:6, Yoh 1:3, Kol 1:16), demikianpula Roh Kudus menyebabkan setiap ciptaan menjadi hidup dan bernafas (Ayb 34:14).
YHWH, Firman dan Roh-Nya bukan pula tiga pribadi melainkan satu pribadi dengan tiga karya dan manifestasi kuasa. Istilah tiga pribadi, mengandaikan ada tiga realitas Tuhan yang berdiri sendiri dalam kekekalan dan memiliki pribadi yang berbeda. Pemahaman ini akan menimbulkan konsep yang triteistik yang bertentangan dengan monoteisme Yudaik (Ul 6:4-5).
Sekalipun dalam sejarah karya penyelamatan, Sang Firman menjadi manusia bernama Yesus (Yahshua) dan Roh Kudus diutus untuk tinggal dalam diri orang beriman dan baik Yesus dan Roh Kudus memiliki pribadi yang khas namun tidak berarti kita harus menjumlahkan masing-masing pribadi menjadi tiga pribadi karena secara hakiki Tuhan hanya memiliki satu pribadi.
Tidak disangkal bahwa Bapa memiliki kepribadian. Tidak disangkal Sang Firman yang menjadi manusia bernama Yesus (Yahshua-Yeshua) adalah berpribadi. Demikianlah Roh Kudus pun berpribadi. Namun sebutan 3 pribadi seharusnya diredefinisi karena istilah tersebut membuat kita telah berusaha MENJUMLAHKAN masing-masing pribadi yang sebenarnya satu saja yaitu Yahweh, Firman dan Roh-Nya. Sejak kekal Yahweh telah bersama Firman dan Roh-Nya (Kej 1:1).
Ada baiknya kita pahami istilah Ibrani “Ekhad”, “Yakhid”, “Yakhad” sbb:
Ada baiknya kita pahami istilah Ibrani “Ekhad”, “Yakhid”, “Yakhad” sbb:
EKHAD: Muncul dalam TaNaKh sebanyak 960 kali dengan arti ”tunggal“, ”satu-satunya“ (Zak 14:9, Yes 10:17), ”kesatuan“ (Kej 2:24; 34:16, Kel 12:49)
YAKHAD: Muncul dalam TaNaKh sebanyak 134 kali. Makna secara literal ”bersama-sama“, ”kesatuan“ (Mik 2:12)
YAKHID: Muncul sebanyak 11 kali dalam TaNaKh dan selalu menunjuk satu secara aritmetik (Am0s 8:10, Mzm 22:10)
Ketika dikatakan dalam Ulangan 6:4, ”Yahweh Eloheinu Yahweh Ekhad“ artinya ”Yahweh adalah satu-satunya Tuhan dan tiada yang lain“. Hal ini ditegaskan dalam Yesaya 45:21 sbb: ” Bukankah Aku, YHWH? Tidak ada yang lain, tidak ada Tuhan selain dari pada-Ku! ...“
Bahkan kata KAMI dalam Kejadian 1:27 tiada lain menunjuk pada Yahweh, Firman dan Roh-Nya beserta para malaikat (sebagai saksi penciptaan). Kata ganti jamak ANAKHNU dalam Kejadian 1:27 bukan bermakna ada 3 pribadi Tuhan namun ada Tuhan yang Esa yang menciptakan segala sesuatu dengan Firman-Nya dan menghidupkan segala sesuatu dengan Roh-Nya. Sekalipun dalam keesaan ada sifat trinitaris Tuhan namun tidak seharusnya kita menyebutnya dengan sebutan 3 pribadi.
Bahkan kata KAMI dalam Kejadian 1:27 tiada lain menunjuk pada Yahweh, Firman dan Roh-Nya beserta para malaikat (sebagai saksi penciptaan). Kata ganti jamak ANAKHNU dalam Kejadian 1:27 bukan bermakna ada 3 pribadi Tuhan namun ada Tuhan yang Esa yang menciptakan segala sesuatu dengan Firman-Nya dan menghidupkan segala sesuatu dengan Roh-Nya. Sekalipun dalam keesaan ada sifat trinitaris Tuhan namun tidak seharusnya kita menyebutnya dengan sebutan 3 pribadi.
Apakah karena saya menolak penggunaan “pribadi” atau “tiga pribadi” maka saya dapat dikategorikan sebagai penganut Sabelianisme?
Mari kita lihat definisi Sabelianisme sbb: “Sabellianism, the doctrine of one Sabellius, who, in the third century, denied that there were three persons in the Godhead, and maintained that there was only one person in three functions, aspects, or manifestations, at least this was the form his doctrine assumed in course of time, which is now called by his name, and is accepted by many in the present day” (Sabelianisme merupakan doktrin keesaan menurut Sabelius yang pada Abad Ketiga Masehi menolak bahwa ada Tiga Pribadi dalam Keilahian dan menyatakan bahwa hanya ada satu pribadi dalam tiga fungsi, aspek atau manisfestasi. Sedikitnya bentuk doktrin ini diterima dalam rangkaian waktu dan dihubungkan dengan namanya serta diterima oleh banyak orang hingga hari ini)
“In Christianity, Sabellianism, (also known as modalism, modalistic monarchianism, or modal monarchism) is the nontrinitarian belief that the Heavenly Father, Resurrected Son and Holy Spirit are different modes or aspects of one God, as perceived by the believer, rather than three distinct persons in God Himself” (Dalam Kekristenan, Sabelianisme (juga dikenal dengan sebutan Modalisme, Modalistik Monarkhisme atau Modal Monarkisme) merupakan kepercayaan non triniytarian yang menyatakan bahwa Bapa Surgawi, Sang Putra yang bangkit dari kematian dan Roh Kudus hanyalah model atau aspek yang berbeda dari satu Tuhan yang banyak diterima oleh orang beriman, dibandingkan tiga pribadi yang terpisah dalam diri Tuhan)
Jika penolakkan terhadap istilah Trinitas dan istilah pribadi dikategorikan sebagai Sabelianisme, maka pandangan teologis yang saya pegang (penolakkan istilah “pribadi” dan “tiga pribadi” serta istilah “tritunggal) cenderung Sabelianisme. Namun yang saya tolak adalah terminologi atau istilah belaka bukan essensi Tuhan yang Esa namun bersifat Trinitaris tersebut. Dan saya tidak memiliki pemahaman bahwa Bapa, Anak dan Roh adalah topeng atau cara berada yang lain dalam konteks zaman yang berbeda. Dan saya pun tidak pernah mengatakan bahwa Bapa turut menderita di kayu salib sebagaimana Anak (Patripasiamus) mengalami penderitaan.
KEESAAN DAN SIFAT TRINITARIS TUHAN
DALAM KITAB PERJANJIAN BARU
Dalam sejarah karya penyelamatan terhadap umat manusia, Firman YHWH menjadi manusia (Yoh 1:1,14) bernama Yesus (Yahshua, Mat 1:21) dan Roh YHWH diutus untuk tinggal dalam diri orang yang menerima Yesus sebagai Mesias dan Anak Tuhan (Yoh 14:26; 15:26).
Firman yang menjadi manusia bernama Yesus (Yahshua) disebut dengan Anak Tuhan (Ibr: Ben Elohim/Yun: Huiou tou Theou) dan Roh YHWH yang berdiam dalam diri orang beriman disebut Roh Kudus atau Penghibur (Ibr: Melits/Yun: Parakletos).
Yesus sebagai perwujudan Firman yang menjadi manusia menyebut YHWH dengan sebutan Tuhan (Ibr: Elohim/Yun: Theos, Yoh 4:24; 14:1) dan Bapa Sorgawi (Mat 6:9, Yoh 10:30).
Istilah-istilah tersebut bertebaran dalam Injil Sinoptik (Matius, Markus, Lukas) dan Yohanes serta surat-surat rasuli (Paul, Yakobus, Petrus, Yohanes). Gereja mengompilasi (menyusun) dan merangkai istilah-istilah yang bertebaran tersebut menjadi rumusan doktrinal yang kela disebut dengan Tritunggal atau Trinitas. Istilah Tritunggal pada dasarnya bukan berbicara mengenai jumlah atau keberapaan Tuhan melainkan hubungan hakiki atau kebagaimanaan Tuhan.
Saya mendefiniskan Tuhan yang Esa yang bersifat trinitaris tersebut dengan istilah Keesaan Bapa, Putra Roh Kudus yang dijabarkan sbb: Tuhan yang Esa dengan Tiga Karya Ketuhanan, yaitu Mencipta langit dan bumi, yang lazim disebut Bapa. Menebus ciptaan dari kutuk dosa dan mengaruniakan kehidupan kekal yang lazim disebut Sang Putra. Membimbing, menyertai dengan sarana Roh-Nya dalam diri orang beriman, yang lazim disebut Roh Kudus.
YHWH, Firman YHWH dan Roh YHWH adalah hakikat Tuhan (Kej 1:1-3)
Bapa, Putra dan Roh Kudus adalah predikat/sebutan bagi Tuhan yang berkarya (Mat 28:19-20)
Mencipta, Menebus, Menyertai dalam diri orang beriman adalah karya Tuhan atas dunia (1 Kor 8:5-6)
YHWH, adalah nama Tuhan yang wujud-Nya Roh (Kel 3:15, Yoh 4:24)
Yesus (Yahshua) adalah nama Sang Firman YHWH yang menjadi manusia (Yoh 1:1,1,14, 1 Tim 3:16, Kol 1:16)
Roh Kudus adalah nama Roh YHWH yang dicurahkan dan diam dalam diri orang beriman pada Yesus (Yoh 14:17)
Mengapa dipergunakan istilah “Keesaan Bapa, Putra, dan Roh Kudus?” Pertama, istilah Keesaan adalah istilah yang firmaniah dan secara literal tertulis dalam TaNaKh dan Kitab Perjanjian Baru. Dalam Kitab Perjanjian Baru, Yesus kembali mengutip “Shema” (Mrk 12:29). Berulang kali, dalam suratnya, Rasul Paul mengungkapkan sebutan Bapa, Putra, Roh Kudus bersamaan dengan kata Esa (1 Tim 1:17, 1 Tim 2:5-6, 1 Kor 8:5-6, Gal 3:20), demikian pula Rasul Yohanes menyebutkan mengenai keesaan (Yoh 5:45) serta rasul Yudas (Yud 1:25). Secara literal, istilah “Keesaan” adalah Firmaniah atau Skriptural. Dengan menggunakan istilah “Keesaan” pada Tuhan, maka Yudaisme dan Kekristenan tidak bersebrangan jauh. Jika kita menyembah Tuhan yang satu mengapa kita harus berselisih mengenai istilah Ketuhanan?
Kedua, makna Keesaan dalam sudut pandang Skriptural adalah bahwa orang beriman harus menyembah kepada satu-satunya Tuhan yang benar, yaitu Bapa, Putra dan Roh Kudus serta bukan kepada Tuhan yang lain. Hanya Dialah fokus ibadah (Ul 6:13), fokus kasih (Ul 11:1), fokus doa (Mzm 143:1), fokus pujian (Mzm 66:2). Jadi, kata “Ekhad”, bukan bermakna aritmetis semata namun bermakna metafisik. Tuhan yang mengatasi ruang dan waktu dan yang satu-satunya berhak menerima penyembahan.
Ketiga, baik Bapa, Putra dan Roh Kudus adalah sehakikat, setara dalam kekekalan. Bapa, Putra dan Roh Kudus, keluar dari hakikat Bapa (Yoh 8:42, Yoh 15:26). Kata EKHAD muncul dalam TaNaKh sebanyak 960 kali dengan arti ”tunggal“, ”satu-satunya“ (Zak 14:9, Yes 10:17), ”kesatuan“ (Kej 2:24; 34:16, Kel 12:49). Dalam konteks keesaan Bapa, Putra dan Roh Kudus maka dapat dimaknai adanya kesatuan yang trinitaris dalam diri Tuhan yang Esa itu.
Dari semua penjelasan di atas, Kekristenan (sekalipun menggunakan istilah Tritunggal yang dapat menimbulkan bias pemahaman) tetap mempertahankan keesaan Tuhan. Kekristenan tetap menyembah YHWH sebagai Tuhan dan Bapa Surgawi yang Esa di dalam dan melalui Yesus Sang Mesias dan melalui penyertaan Roh Kudus, karena secara hakiki Pra Ada Yesus adalah Sang Firman Tuhan yang telah berada bersama Tuhan dalam kekekalan sebagaimana Roh Kudus adalah Roh YHWH yang sejak awal bersama YHWH. Dua aspek pengakuan terhadap keilahian Yesus dan Roh Kudus yang membuat Yudaisme modern menolak konsep Ketuhanan Kekristenan.
Apapun pemahaman Yudaisme dan Kekristenan terhadap Tuhan namun Ulangan 6:4-5 merupakan panggilan bersama bagi dua umat Tuhan untuk hanya mengakui dan menyembah serta mengasihi Tuhan yang Esa yang bernama YHWH (Yahweh). Yudaisme tidak membutuhkan Yesus dan Roh Kudus untuk datang pada YHWH sementara Kekristenan meyakini bahwa YHWH telah menyatakan diri-Nya melalui Firman-Nya yang menjadi manusia Yesus serta mengutus Roh Kudus-Nya untuk tinggal dalam diri orang beriman, sehingga pemahaman ini mutlak bagi Kekristenan sebagai bagian dari keimanan dalam Ketuhanan.
APA ARTI MENGASIHI YHWH
DENGAN SEGENAP HATI, JIWA, KEKUATAN?
Kita tidak diminta hanya mengakui bahwa ada satu Tuhan bernama YHWH dan satu Mesias dan Juruslamat bernama Yesus serta satu Penghibur yaitu Roh Kudus. Pengakuan bahwa YHWH adalah Esa hanya akan berhenti dalam ranah abstrak dan logika jika tidak dilanjutkan dengan “mengasihi”. Tuhan adalah Kasih sebagaimana dikatakan dalam 1 Yohanes 4:8 sbb: “sebab Tuhan adalah kasih (Yun: ho theos agape estin). Kita diperintahkan untuk mengasihi secara totalitas baik hati, jiwa, pikiran dan kekuatan kita.
Esensi Kasih
Kata Ibrani AHAV (אהב) terdiri dari huruf “Alef”, “Heh” dan “Bet”. Huruf “Alef” merupakan huruf pertama dalam abjad Ibrani. Huruf “Alef” melambangkan “keutamaan”, “Sumber segala sesuatu”, “Yang permulaan”. Kemudian huruf “Heh” melambangkan “kehidupan”, “dinamika”. Kata “Hayah” bermakna “ada”, “menjadi”. Huruf “Heh” merupakan bagian dari nama YHWH. Adapun huruf “Bet” merupakan lambang “penciptaan” karena kalimat pertama dalam Kejadian 1:1 berbunyi “Beresyit bara Elohim…”. Kajian piktografis atas kata “Ahav” memberikan pemahaman pada kita bahwa kata “Ahav” merefleksikan karakter, kepribadian, pikiran dari Tuhan Pencipta yang bernama YHWH, karena Dialah sumber segala sesuatu, Dialah kehidupan, Dialah pula yang menciptakan.
Dalam Kitab Perjanjian Baru, yang merekam tindakan YHWH yang berkarya melalui Sang Firman yang menjadi manusia yaitu Yahshua ha Mashiah (Yesus Sang Mesias), kata “Ahav” ditonjolkan bukan sebatas karakter, kepribadian dan pikiran YHWH melainkan keseluruhan tindakan YHWH atas dunia dan manusia, dalam hal menebus ciptaan dari kutuk dosa yang berujung pada rusaknya Rupa dan Gambar diri-Nya dalam keberadaan manusia serta kefanaan atau maut yang mengakhiri hidup manusia.
“Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Tuhan; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Tuhan dan mengenal Tuhan. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Tuhan, sebab Tuhan adalah kasih (ho theos agape estin). Dalam hal inilah kasih Tuhan dinyatakan (hepanerote) di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Tuhan telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya” (1 Yoh 4:7-9).
Pola pikir Yunani cenderung membagi-bagi sesuatu hal menjadi bagian yang kecil. Kata “Kasih” dalam bahasa Yunani dipilah menjadi beberapa bagian yaitu: AGAPAO, PHILEO, EROS. Kata “Agape” diartikan sebagai bentuk “kasih yang sejati dan berkorban”. Kata “Phileo” dimaknai sebagai “kasih persahabatan”. Sementara kata “Eros”, bermakna “kasih yang bersifat ungkapan seksual”, “gairah”, “birahi”. Karakter, kepribadian, pikiran dan tindakan nyata Tuhan yang mengasihi manusia diterjemahkan oleh para penyalin Kitab Perjanjian Baru berbahasa Yunani, dengan kata AGAPAO (agapaw) yang merefleksikan kasih Tuhan yang sempurna.
Karakteristik Kasih
Kita telah mendapat penjelasan bahwa kata Ibrani AHAV dan kata Yunani AGAPAO yang dilekatkan terhadap diri YHWH, Tuhan Pencipta dan manusia, menjadi sebuah kata yang yang merefleksikan relasi timbal balik dan dinamis serta komunikatif antara YHWH dan umat-Nya demikian sebaliknya. Persoalannya, bagaimanakah kita memahami kualitas kasih YHWH dalam kehidupan sehari-hari? Dengan kata lain, apakah makna kasih YHWH sebatas dipahami sebagai tindakan YHWH mengutus Putra-Nya untuk melepaskan umat manusia dari kutuk dosa yang berujung maut? Apakah kasih dimaknai sebagai tindakan pasif terhadap orang yang berlaku sewenang-wenang atas diri kita?
Baik TaNaKh maupun Kitab Perjanjian Baru, selalu menghubungkan kalimat mengasihi YHWH, sebagai sebuah tindakan yang diejawantahkan dalam suatu tindakan ketaatan melakukan perintah-perintah-Nya sebagaimana dikatakan:
"Haruslah engkau mengasihi YHWH Tuhanmu, dan melakukan dengan setia kewajibanmu terhadap Dia dengan senantiasa berpegang pada segala ketetapan-Nya, peraturan-Nya dan perintah-Nya” (Ul 11:1).
“Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah YHWH” (Im 19:18).
“Hai orang-orang yang mengasihi YHWH, bencilah kejahatan! Dia, yang memelihara nyawa orang-orang yang dikasihi-Nya, akan melepaskan mereka dari tangan orang-orang fasik” (Mzm 97:10)
Dari kutipan ayat-ayat di atas, karakteristik kasih YHWH terejawantah dalam kepatuhan umat-Nya dalam melakukan segala perintah-perintah-Nya dalam firman-Nya. Dengan kata lain, kasih YHWH harus diejawantahkan berbanding lurus dengan perbuatan mulia dari umat-umat-Nya. Jika seseorang mengklaim mengasihi YHWH namun tidak mengasihi sesama, tidak membenci kejahatan dan ketidakadilan serta tidak pernah melakukan perintah-perintah-Nya, sesungguhnya mereka belum tinggal dalam kasih YHWH. Kualitas dan karakteristik kasih yang dimiliki orang tersebut belum mencapai tahapan AHAVA atau AGAPAO.
Kuasa Kasih
Kebanyakan orang yang tidak mengenal YHWH dan Sang Mesias serta Torah-Nya, menganggap kata “kasih” sebagai bentuk kelemahan, pasif dan fatalistik. Namun Kitab Perjanjian Baru memberikan gambaran kuat bahwa kasih memiliki kekuatan dan kuasa. Mari kita perhatikan beberapa ayat berikut:
“Tetapi yang terutama: kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain, sebab kasih menutupi banyak sekali dosa” (1 Ptr 4:8).
“Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih” (1 Yoh 4:18).
Kasih berkuasa mengampuni dosa seseorang. Kasih berkuasa mengatasi ketakutan dalam diri kita. Kasih sejati yang memiliki kuasa sebagaimana di atas merupakan jenis kasih yang dinamakan AHAV atau AGAPAO yang bersumber dalam diri YHWH di dalam Yahshua Sang Mesias. Jika kita tinggal dalam kasih-Nya, maka kita tetap berada di dalam Dia sebagaimana dikatakan: “Kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Tuhan kepada kita. Tuhan adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Tuhan dan Tuhan di dalam dia” (1 Yoh 4:16).
Bukti bahwa Kasih adalah suatu kekuatan tidak terbatas yang berdaya kuasa mengalahkan berbagai kejahatan dan kelemahan, nampak dalam peristiwa penyaliban Yesus. Ketika menjelang ajal, Dia tetap konsisten menyampaikan kata-kata pengampunan sebagai refleksi kasih kepada musuh-musuh-Nya dengan berkata, “Bapa, ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan!”. Dalam kesakitan, dalam penderitaan, dalam ajal yang menjelang, Yesus Sang Mesias tetap mengeluarkan kata-kata pengampunan. Bukankah kasih sejati mengalahkan rasa sakit secara fisik? Bukankah kasih mengalahkan dendam dan sakit hati akibat penyiksaan? Inilah kuasa dan kekuatan kasih sehati.
Jenis kasih AHAVA atau AGAPAO seharusnya yang menjadi tujuan setiap orang beriman. Cinta Kasih yang dibicarakan dalam konteks Valentine Day’s biasanya hanya berkualitas kasih PHILIA dan EROS. Maka kita harus meninggalkan tahapan tersebut dan mendaki dalam tahapan kualitas kasih AHAVA atau AGAPAO. Valentine Day’s kali ini menjadi momentum bagi kita untuk menemukan kasih AHAVA dan menjadikan model kasih ini sebagai media komunikasi kita terhadap Tuhan dan sesama, karena model kasih jenis ini, tidak menguasai, tidak menuntut, tidak subyektif, melainkan membebaskan, mencerahkan, membangun hubungan yang lebih berkualitas baik terhadap Tuhan maupun sesama.
BAGAIMANA IMAN KEPADA TUHAN
DIPELIHARA DALAM KELUARGA?
DIPELIHARA DALAM KELUARGA?
Ulangan 6:6-9 mengatakan sbb: “Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu”. Orang Yahudi yang menganut Yudaisme memaknai ayat-ayat tersebut secara harafiah dengan mengikatkan kotak kecil dalam dahi kepalanya dan mengikatkannya dalam kedua tangannya yang disebut dengan “Tefilin”. Dan tiap-tiap keluarga Yahudi yang saleh menyematkan “Shema” dalam ambang pintu rumahnya yang disebut “Mezuzah”.
Ayat di atas merupakan perintah agar kita sebagai orang yang beriman kepada YHWH dan juga kepada Yesus Sang Mesias serta Roh Kudus, mentransferkan keimanan kita kepada anak-anak kita. Setiap momentum adalah kesempatan untuk mengajarkan perihal Tuhan dan kehendak-Nya. Ketika kita sedang bertamasya dan menikmati keindahan alam, ketika kita sedang melihat peristiwa kecelakaan yang memilukan, ketika kita sedang mengalami kehidupan yang kurang baik, ketika kita merasakan kebahagiaan dalam hidup, ketika kita sedang bepergian, semua memiliki peluang sebagai pelajaran hidup perihal Tuhan dan kehendaknya.
Ketika kita sedang berkekurangan, kita belajar mengenai sikap bersyukur dan berserah pada Tuhan dan jangan menyerah pada keadaan serta mencari jalan pintas. Ketika kita melihat keindahan alam, kita belajar mengenai kekuasaan Tuhan atas semesta dan kehidupan kita.
Tuhan menginginkan umat-Nya mengenal apa yang mereka percayai. Dan apa yang dipercayai harus dipahami oleh keturunannya sebagaimana Dia katakan dalam Ulamngan 6:20-21 sbb: “Apabila di kemudian hari anakmu bertanya kepadamu: Apakah peringatan, ketetapan dan peraturan itu, yang diperintahkan kepadamu oleh YHWH Tuhan kita? maka haruslah engkau menjawab anakmu itu: Kita dahulu adalah budak Firaun di Mesir, tetapi YHWH membawa kita keluar dari Mesir dengan tangan yang kuat”
Demikian pula ditegaskan kembali dalam Keluaran 12:26-27 sbb: “Dan apabila anak-anakmu berkata kepadamu: Apakah artinya ibadahmu ini? maka haruslah kamu berkata: Itulah korban Paskah bagi YHWH yang melewati rumah-rumah orang Israel di Mesir, ketika Ia menulahi orang Mesir, tetapi menyelamatkan rumah-rumah kita." Lalu berlututlah bangsa itu dan sujud menyembah”
Kondisi Eropa Abad XXI memberikan kesaksian “osteoporosis” (pengeroposan) iman Kristen terjadi di benua Kristen ini. Prof. DR. J.A.B. Jongenel, pakar Missiologi Utrecht Universiteit, dalam diskusi di depan pendeta-pendeta Jakarta di kantor PGI pada tanggal 11 September 1995 mengatakan sbb: “Eropah kini menjadi semakin sekuler dan negara yang paling sekuler adalah negeri Belanda...penduduk Amsterdam, Ibukota Nederland yang 200 tahun lalu hampir seluruhnya beragama Kristen (99%) sekarang tinggal 10% saja yang dibaptis dan ke gereja, kebanyakan mereka tidak terikat lagi dalam agama atau sudah menjadi sekuler” (Sekularisasi, Ancaman Bagi Semua Agama, Berita Oikumene, September 1995).
Studi yang dilakukan di Inggris (United Kingdom Christian Handbook, 1998/1990) menghasilkan statistik bahwa di antara orang-orang dewasa, 11% menjadi pengunjung gereja secara teratur, 15% adalah anggota gereja, 62% melihat siaran TV Kristen sedikitnya sekali sebulan, 65% Kristen nominal, 69% percaya bahwa agama dapat memberikan standar hidup masyarakat dan 73% kecewa melihat bahwa standar moral sudah merosot” (Ir. Herlianto,MTh., Gereja Modern: Mau Kemana?, Bandung: YABINA, 1995).
Kondisi di atas dapat menjadi sebuah cermin agar kita merefleksi dalam membaca situasi kita di Indonesia. Setiap orang tua Kristiani harus memahami apa yang diimaninya. Keimanan atau kepercayaan kepada Tuhan bukan sekedar hafalan terhadap ayat-ayat dalam rumusan logis dan abstrak belaka namun berlanjut dalam hubungan yang pribadi dan dinamis dengan Tuhan.
Hubungan yang dinamis dan bersifat pribadi inilah yang disebut mengasihi dan mengenal Tuhan. Keimanan yang telah kita miliki dan menjadi kekuatan dalam hidup kita, harus ditransformasikan (dipindahkan) kepada anak-anak kita sehingga merekapun mewarisi iman yang sama dan mengalami kuasa Tuhan yang sama.
[1] Akar Bersama: Belajar Tentang Iman Kristen Dari Dialog Kristen-Yahudi: Jakarta: BPK 1999 hal 5
[2] To Pray As A Jew, Basic Books, p.144
[3] Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, BPK 1994, hal 51
[4] Ibid., hal 50
[5] Ted Peters, God as Trinity, Westminster, John Knox Press, 1993, p.35
[6] Mempertimbangkan Ulang Ajaran tentang Trinitas, TPK, 2001, hal 63
[7] Apologetika tentang Trinitas, BPK, 1972, hal 31
0 komentar:
Posting Komentar