RSS Feed

KEKRISTENAN & KESEMITIKAN

Posted by Teguh Hindarto


DARI BARAT KEMBALI KE TIMUR: 
PARADIGMA BARU TEOLOGI DAN DEVOSI

Kekristenan merupakan agama terbesar di dunia, dengan perkiraan jumlah penganutnya sebanyak 2 miliar orang. Jumlah itu masih terbagi-bagi dalam lebih dari 20.000 sekte atau gereja. Sekte yang paling besar adalah Gereja Katolik Roma dengan jumlah 1,2 miliar umat kemudian diikuti oleh Gereja Protestan dengan jumlah seluruhnya 360 juta umat serta Gereja Ortodoks dengan jumlah 170 juta umat1. Di Indonesia sendiri berdasarkan catatan Buku Data dan Statistik Keagamaan Kristen Protestan tahun 1992 yang diterbitkan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Kristen) Protestan - Departemen Agama RI tahun 1993 diperoleh data aneka ragam organisasi dan denominasi serta yayasan bercorak Kristen. Ditemukan data dengan komposisi sebagai berikut, 275 organisasi gereja Kristen Protestan, 400-an yayasan Kristen Protestan2. Berkaitan dengan pluralitas Kekristenan, DR. Jan S. Aritonang mengatakan, “Bila kita mau jujur, sebenarnya gereja atau Kekristenan adalah wujud keagamaan yang berasal dari luar Indonesia, sama seperti agama-agama besar di Indonesia pada umumnya. Karena itu, berbicara tentang organisasi-organisasi gereja dan yayasan-yayasan Kristen, pasti semuanya mempunyai akar dan sumber - langsung maupun tak langsung - di luar Indonesia, terutama dari Eropa Barat dan Amerika Serikat”3

Konsekwensi logis keragaman dalam Kekristenan sebagaimana kenyataan di atas, menimbulkan pula keragaman pemahaman tentang doktrin dan cara memahami teks-teks Kitab Suci. Istilah Ketuhanan yang Tritunggal, dapat diterima di kalangan denominasi tertentu namun belum tentu dapat diterima di kalangan denominasi yang lain. Perayaan “Christmass” dan “Easter” dapat diterima dibanyak kalangan Kekristenan namun belum tentu bagi beberapa kelompok Kristen. Darimanakah asal muasal keragaman tersebut? Apakah Kekristenan sudah sejak semula beragam seperti itu? Berkaitan dengan kata “akar” dan “sumber” sebagaimana disitir DR. Jan S. Aritonang di atas, darimanakah akar dan sumber Kekrstenan itu sesungguhnya? Dari Barat atau dari Timur?

Dikotomi Barat dan Timur, memberikan dampak merugikan bagi eksistensi Kekristenan khususnya di Indonesia. Kekristenan diidentikkan dengan Barat dan Islam diidentikan dengan Timur. Bambang Noorsena mengulas kenyataan di atas sebagai berikut, “Hubungan Kristen-Islam di Indonesia, pada salah satu aspeknya mewarisi ‘bebn sejarah’ dari para pendahulunya, yaitu para pembawa kedua agama: Islam hampir identik dengan Arab (Timur Tengah) dan Kristen dengan Barat. Tidak adanya sebuah kekristenan Timur dengan wacana budaya aslinya dimana kekristenan berkembang (oriental churches), telah memperkuat kesan ‘salah kaprah’ tersebut. Oleh karena itu, Konflik Kristen-Islam, sekalipun tidak disangkal ada aspek teologisnya, tetapi tidak pernah ‘telanjang’ sebagai konflik teologis saja. Konflik itu lebih dominan dilatarbelakangi oleh pertentangan dua pola budaya. Terlebih lagi, Barat-Timur di kebanyakan negara-negara ketiga (seperti Indonesia) sering dipahami sebagai relasi yang menjajah dan yang terjajah4 Kenyataan di atas semakin menguatkan predestinasi bahwa Barat dan Timur tidak mungkin mengalami kohesi dikarenakan perbedaan agama dan peradaban. Bernard Lewis mengatakan secara pesimistis, “Selama lebih dari seratus tahun, sejak pertama pasukan Moor menjejakkan kaki di Spanyol hingga, kedua, orang-orang Turki menyerbu Wina, Eropa senantiasa merasakan adanya ancaman dari Islam5 Samuel Huntington menambahkan, “Islam adalah satu-satunya peradaban yang mampu membuat Barat selalu berada dalam keraguan antara hidup dan mati dan ia telah melakukannya, setidak-tidaknya, dua kali…selama Islam tetap Islam (dan akan tetap demikian), Barat tetap Barat (yang tampaknya tidak dapat dipastikan), konflik fundamental antara dua peradaban besar dan dua way of life ini akan terus terjadi di masa yang akan datang, sebagaimana ia pernah terjadi embat belas abad silam6

Akhir-akhir ini, suatu minat baru dalam dunia teologi dan keagamaan dalam tubuh Kekristenan, mulai mengarahkan diri pada penggalian dan pengkajian tentang akar Kekristenan, khususnya kaitan Kekristenan dengan Kesemitikan yang mewakili peradaban Timur. Paling tidak, ada beberapa arus dalam Kekristenan yang concern dengan kajian-kajian Kesemitikan maupun Ketimuran. Pertama, komunitas Mesianik Yudaisme dan Mesianik Yahudi. Fenomena Mesianik Yudaisme (Messianic Judaism) adalah suatu kebangkitan spiritual yang terjadi dikalangan unsur-unsur Yudaisme dan Bangsa Yahudi yang mulai merespon ajaran Yesus Sang Mesias (Aram, ‘Yeshu’, Greek, ‘Iesous’, Ind, ‘Yesus’) yang dijanjikan namun tidak menyebut diri mereka sebagai Kristen dan Gereja dan mereka tetap memelihara gaya hidup dan tata ibadat Yudaisme, namun dalam terang ajaran Yesus Sang Mesias. DR. Michael Shiffman mendefinisikan Mesianik Yudaisme sebagai:Messianic Jews are physical descendants of the patriarchs, being Jewish by birth, but are not adherents to the authority of rabbinic tradition” 7 (Mesianik Yudaisme adalah keturunan para leluhur secara jasmani, yang menjadi Yahudi melalui kelahiran namun tidak mengikuti otoritas tradisi kaum rabinik)

Sementara itu DR. David Stern memberikan definisi sbb: “A person who was born Jewish or converted to Judaism, who is genuine believer in Yeshua, and who acknowledge his Jewishness”8 (Seseorang yang dilahirkan menjadi seorang Yahudi atau masuk ke dalam agama Yahudi, yang beriman kepada Yeshua serta mengakui keyahudian Yeshua)

DR. John Fischer memberikan deskripsi mengenai Mesianik Yudaisme dengan mengatakan:The convictions of these congregations are uniqe. They are convinced that they can believe in Jesus, be thoroughly biblical, and yet authentically Jewish. They affirm Jesus, as Messiah, Savior and Lord of the universe. They adhere to the entire Bible as the inspired Word of God and refuse to do anything contrary to its teachings. Thy feel a kinship and commitment to the entire body of the Messiah. Yet they express their faith, lifestyle and worship in Jewish form and in Jewish ways9 (Keyakinan kumpulan jemaat ini adalah unik. Mereka mengakui bahwa mereka dapat mempercayai Yesus sesuai Kitab Suci, namun yang secara otentik adalah seorang Yahudi pula. Mereka menyetujui bahwa Yesus sebagai Mesias, Juruslamat dan Tuan atas alam semesta. Mereka menerima keseluruhan Kitab Suci sebagai Firman Tuhan yang diilhamkan dan menolak segala sesuatu yang bertentangan ajaran-Nya. Mereka merasakan suatu kekeluargaan dan kesetiaan terhadap seluruh anggota tubuh Mesias. Namun mereka mengekspresikan iman mereka, gaya hidup mereka dan ibadah mereka dalam bentuk dan tata cara Keyahudian)

Dari tiga definisi di atas, kita mendapat tiga karakteristik umum dan khas dari Mesianik Yudaisme, yaitu: Pertama, suatu pergerakan spiritual dikalangan komunitas Yahudi (bangsa) dan Yudaisme (agama). Kedua, mereka beriman pada Yesus sebagai Mesias dan menerima TaNaKh dan Brit Khadasha (Perjanjian Baru), sebagai kitab suci yang diilhamkan Ruakh ha Kodesh. Ketiga, mereka tetap mempertahankan gaya hidup, tradisi dan kebudayaan luhur Yahudi yang dipelihara berabad-abad, sebagai warisan kebudayaan suatu bangsa. Mengenai sejarah singkat pergerakan Mesianik Yahudi dan Mesianik Yudaisme telah saya ulas secara singkat dalam tulisan lain10

Kedua, Gereja Orthodoks. Di Indonesia, gerakan ini dimotori oleh Bambang Noorsena (Orthodoks Timur yang berbahasa Arab, Syria) dan Daniel Bambang (Orthodoks Barat, yang berbahasa Yunani). Dalam berbagai kajian, artikel, buku-buku Bambang Noorsenan khususnya, sarat dengan mempromosikan Kekristenan Timur khususnya Gereja Orthodoks Syria. Berkaitan dengan visinya, Bambang Noorsena menjelaskan, “Berangkat dari pergumulan seperti itulah, lahir visi saya untuk menghadirkan kekristenan Timur Tengah sebagai wacana (bukan sebagai gereja) dalam rangka ‘menjembatani’ kesenjangan yang cukup tajam antara Kristen-Islam di Indonesia….Dari gereja-gereja oriental itu, saya masih mengkhususkan pilihan lagi, yaitu kekristenan Syria, khususnya Gereja Ortodoks Syria Anthiokhia (Kanisat al Anthakiat al Suryaniyat al-Orthodoksiyat). Kekristenan tersebut kini berpusat di damascus, Syuriah. Mengapa? Sebab dari kajian sejarah dan budaya gereja-gereja Arab yang saya lakukan di Timur Tengah, khususnya gereja Arab yang saya lakukan di Timur Tengah, khususnya Gereja Ortodoks Syria yang berpusat di Bab Touma, Damascus, saya menemukan banyak ‘meeting point’ dengan Islam yang dapat diagendakan dalam dialog kedua iman. Baik dari sudut historis, kultural maupun teologis”11

Ketiga komunitas gereja dari berbagai aliran di luar Indonesia dan di Indonesia yang merespons kajian-kajian yang dimotori baik oleh komunitas Mesianik Yudaisme maupun Yahudi serta komunitas Gereja Orthodoks.

Disamping pergerakan Sacred Name yang mengristal menjadi pergerakan Mesianik di beberapa gereja-gereja beraliran Evanggelical (Gereja Alkitab Injili Nusantara), Pentakostal (Gereja Isa Al Masih, Gereja Pimpinan Roh Kudus, dll), Protestan (Gereja Kristen Jawa), Kharismatik, telah hadir di Indonesia Gereja dengan membawa visi yang mendekati visi Mesianik. Mereka concern dengan pengkajian Kesemitikan, Kembali kepada Akar Kekristenan. Komunitas ini bernama Gereja Kemah Abraham, pimpinan K.A.M. Jusuf Roni.

Adapun yang menjadi visi dan misi Gereja Kemah Abraham, sebagaimana diatur dalam Bab I Pasal 3 Tata Gereja Kemah Abraham sbb:

  1. Pewaris monoteisme Abraham
  2. Membangun pengajaran pencerahan umat
  3. Memelihara tradisi semitik
Concern Abuna Jusuf Roni terhadap pengkajian semitik sebagai akar Kekristenan, nampak juga dalam buku terbarunya dimana beliau menyatakan:Awalnya, orang-orang Kristen, yaitu para pengikut Yesus, adalah Yahudi. Mereka beribadah pada hari Sabat dan mengikuti tradisi Yahudi. Bukan hanya itu, mereka bahkan bersama-sama dengan orang-orang Yahudi, sebab mereka dianggap sebagai salah satu sekte Yahudi, yaitu sekte Nasrani…Ketika kekristenan diterima sebagai agama oleh Romawi. Identitas kekristenan semakin menampakkan ciri Hellenisnya. Di bawah payung kekuasaan Romawi, kekristenan bercorak Hellenis yang prinsip-prinsip dasarnya diletakkan oleh Paulus ini menjadi semakin besar dan akhirnya menenggelamkan kekristenan bercorak Yahudi, yang dikembangkan oleh dua belas Rasul lainnya…Atas kenyataan inilah maka aku melihat penting sekali bagi kekristenan untuk kembali ke akarnya. Ia lahir dalam budaya semitik yang sangat akrab dengan Islam. Ini dapat memudahkan kekristenan untuk masuk dalam dialog dengan Islam…Namun, ternyata untuk kembali ke akar Kekristenan, hambatannya tidak sedikit. Kekristenan ibarat seorang anak yang telah sukses di rantau dan lupa untuk pulang ke kampung halamannya” 13

Kajian di atas menjadi semacam peta jalan bagi para pembaca bahwa telah terjadi pergeseran dalam tubuh Yudaisme maupun Kekristenan khususnya untuk meredefinisi, merekontruksi eksistensi akar dan sumber religiusitasnya yang bercorak Timur atau Semitik. Kita akan mendalami persoalan tersebut dalam kajian-kajian berikutnya dalam tulisan ini

KEKRISTENAN SEBAGAI ANAK KANDUNG YUDAISME


Hans Ucko mengulas secara kritis mengenai akar dan sumber Kekristenan sbb: “Gereja Kristen, teologi Kristen dan Kekristenan secara keseluruhan, tidak terpisahkan dengan umat Yahudi atau Yudaisme. Orang Yahudi dan Kristen memiliki Kitab Suci yang sama. Iman Kristen lahir dalam lingkungan Yahudi. Gereja masih saja ragu apakah kenyataan tersebut dinilai sebagai berkat atau kutuk. Sejumlah kecil orang Kristen melihat hubungan diatas sebagai suatu masalah dan berupaya memecahkannya dengan membatasi kitab Perjanjian Lama dan agama umat Israel di satu sisi dan Yudaisme di sisi lainnya. Dengan cara ini, seseorang sebenarnya ‘membebaskan’ orang Israel dari keyahudiannya. Pendekatan tersebut mencerminkan sebentuk rasa sulit [bagi orang Kristen atas hubungannya yang terlalu dekat dengan umat Yahudi dan dengan Yudaisme yang hidup saat ini. Seseorang memang tidak mudah mengakui akibat dari memilih ‘Tuhan Yahudi’ itu”14.

TaNaKh dan Brit ha Khadasha, tidak pernah memberikan penamaan terhadap perilaku religius umat Yahweh dan umat Mesias dengan sebutan “Mesianik” atau “Kristen”. TaNaKh maupun Brit ha Khadasha justru memberikan identifikasi dengan sebutan “DEREK/DARKE YAHWEH” (Band. 2 Sam 22:22, Yer 5:4, Ul 8:6, Mat 22:16, Kis 9:2, Kis 13:10).


“Sebab aku tetap mengikuti jalan Yahweh  dan tidak menjauhkan diri dari Tuhanku sebagai orang fasik” (2 Sam 22:22)

Dalam perkembangannya, sebutan “Yudaisme” lebih kerap ditujukan pada religiusitas Bangsa Yishrael yang menyembah Yahweh dan berpusat pada ibadah di Bait Suci. Istilah “Yudaisme” pertama kali muncul dalam Kitab 2 Makabe 2:21 dan 2 Makabe 8:1 serta 2 Makabe 14:38 dengan sebutan “Tou Iaudaisemou” dan “Toi Iaudaismoi” sbb:


Tentang penampakan-penampakan dari sorga guna orang-orang berani yang bertindak dengan gagah perkasa untuk kepentingan penganut agama Yahudi (τοῦ Ιουδαϊμοu) sehingga mereka, meskipun hanya sedikit jumlahnya, berhasil merebut kembali seluruh wilayah serta mengusir gerombolan orang asing” 


Adapun Yudas yang disebut juga Makabe serta para pengikutnya pergi menyusupi kampung-kampung. Dipanggilnyalah kaum kerabatnya dan dengan menggabungkan dengan mereka semua orang yang tetap teguh dalam agama Yahudi (τῷ Ιουδαϊμῷ) maka dikumpulkannya lebih kurang enam ribu orang” 


“Oleh karena Nikanor ingin membuat permusuhan yang ditaruhnya kepada penganut agama Yahudi (Ιουδαϊμοῦ) menjadi nyata, maka disuruhnya lima ratus lebih prajurit menangkap Razis”

Bahkan Rasul Paul mengidentifikasi bahwa dia pun seorang penganut agama Yahudi yang taat sebagaimana dikatakan dalam Galatia 1:13 sbb: “Sebab kamu telah mendengar tentang hidupku dahulu dalam agama Yahudi (τῷ Ιουδαϊμῷ) tanpa batas aku menganiaya jemaat (Tuhan) dan berusaha membinasakannya”

Ketika Yesus memberitakan Kerajaan Tuhan dan Injil (Besorah) dan setiap orang mulai mempercayai bahwa Dia adalah Mesias yang dijanjikan dalam TaNaKh (Torah, Neviim, Kethuvim), maka terbentuklah dua golongan orang yang menerima Dia sebagai Mesias. Golongan pertama adalah golongan Yahudi dari berbagai sekte dan kelas sosial yang berbeda dan kedua golongan non Yahudi dari berbagai kelas sosial yang berbeda. Sebutan “Christianoi” muncul di Anthiokhia (Kis 11:26), yaitu julukan bagi Pengikut Mesias dari kalangan non Yahudi. Sementara sebutan “Nazoraios” atau “Netsarim” merupakan julukan bagi Pengikut Mesias dari kalangan Yahudi (Kis 24:5).

Sebutan-sebutan seperti “Christianoi” atau “Nazoraios”, tidak memberikan suatu pemahaman pada waktu bahwa mereka aalah orang-orang yang terlepas dari Yudaisme. Mereka berada dan beraktivitas dalam bingkai Yudaisme. Kekristenan pada waktu itu adalah salah satu sekte dari Yudaisme

YESUS DAN PARA RASUL MENGAJAR DALAM KONTEKS YUDAISME

Anton Wessel mengatakan sbb:Yesus bukan orang Kristen, tetapi orang Yahudi! Ucapan Jullius Wellhausen ini menjadi terkenal dan sering dikutip orang. Pernyataan ini pada dasarnya sangat sederhana dan jelas, sekalipun tidak dapat dikatakan bahwa orang Kristen selalu menyadari betapa luas arti pernyataan ini. Ungkapan ini menyatakan-betapa mungkin secara mengejutkan-betapa sering orang Kristen kira, bahwa mereka sudah memahami dan mengetahui seluruh pribadi-Nya. Mereka lupa bahwa ‘keselamatan datang dari bangsa Yahudi’, sebagaimana terungkap dalam percakapan Yesus di sumur dengan perempuan Samaria itu (Yoh 4:22)15.

Robert dan Remy Koch menguatkan kembali ulasan Wessel sbb: "To recap what we have spoken of earlier, Yeshua (Jesus) was from the tribe of Judah, the direct line of David, fulfilling prophetic Tanakh (OT) Scriptures regarding the promised Messiah. He observed the Torah (Law) perfectly, celebrated all the Feasts of the Lord and the Sabbath and was respected as Rabbi who spoke with authority even by those who did not believe His Message. During His lifetime, His teachings were considered well within Judaic tradition and his followers were regarded as a sect of Judiasm by the Jewish community. This sect, called the Nazarenes,16.
Bukti-bukti bahwa Yesus seorang Yahudi dan melakukan karya mesianik dalam bingkai kebudayaan Yahudi dan Yudaisme, nampak dalam beberapa hal berikut:17

Apakah bukti-bukti yang menguatkan bahwa Yesus adalah “Ish Yehudi?” Pertama, garis silsilah Yesus (Mat 1:1-17, Luk 3:23-28). Silsilah yang dilaporkan oleh Matius mengambil garis Yesus dari Salomo anak Daud, Raja Israel (Mat 1:6) dan jika ditarik terus ke atas, sampailah pada leluhur Mesias, yaitu Yahuda yang merupakan anak Yakub, anak Ishak, anak Abraham, sebagai anak pewaris perjanjian kekal Yahweh dengan keturunan Abraham. Sementara silsilah yang dilaporkan Lukas mengambil garis dari Natan anak Daud yang lain (Luk 3:32), hingga sampai Avraham dan terus sampai kepada Adam. Asal-usul kesukuan Yesus ditegaskan kembali dalam Ibrani 7:14, “Sebab telah diketahui semua orang, bahwa (Junjungan Agung) kita berasal dari suku Yahuda dan mengenai suku itu Moshe tidak pernah mengatakan suatu apa pun tentang imam-imam”.

Kedua, gaya berpakaian yang mencirikan seorang Yahudi. Dilaporkan dalam Matius 9:20, “Pada waktu itu seorang perempuan yang sudah dua belas tahun lamanya menderita pendarahan (zavat dam) maju mendekati Yahshua dari belakang dan menjamah jumbai jubah-Nya”. Apa yang dimaksudkan dengan “jumbai jubah-Nya?” Itulah ujung tepi jubah dimana terikat Tsit-tsit yang mencirikan seorang laki-laki Yahudi berpakaian. Kita tidak tahu apakah perempuan ini seorang Yahudi atau non Yahudi, namun nubuatan Zakaria secara tidak langsung genap dalam diri Yesus.

Ketiga, Mengalami prosesi Brit Millah atau Sunat pada hari ke delapan, sesuai Torah, sebagai bagian dari tanda fisik perjanjian antara keturunan Avraham dengan YHWH Semesta Alam. Lukas 2:21-24 melaporkan, “Dan ketika genap delapan hari dan Dia harus disunatkan, Dia diberi nama Yahshua, yaitu nama yang disebut oleh malaikat sebelum Dia dikandung ibu-Nya. Dan ketika genap waktu pentahiran , menurut Torah Musa, mereka membawa Dia ke Yerusalem untuk menyerahkan-Nya kepada Yahweh, seperti ada tertulis dalam Torat YHWH: "Semua anak laki-laki sulung harus dikuduskan bagi Tuhan", dan untuk mempersembahkan korban menurut apa yang difirmankan dalam Torat YHWH, yaitu sepasang burung tekukur atau dua ekor anak burung merpati.

Keempat, mengalami prosesi Bar Mitswah dalam Lukas 2:41-52, di mana Yahshua mulai muncul pada usia 12 tahun dan kemunculan di usia 12 tahun itu dimulai di Bait Suci, saat kedua orang tuanya melaksanakan perayaan tahunan Pesakh.

Kelima, membaca Torah dan beribadah Sabat. Dikatakan dalam Lukas 4:16, ”Da datang ke Nazaret tempat Dia dibesarkan, dan menurut kebiasaan-Nya pada hari Sabat Dia masuk ke Sinagog, lalu berdiri hendak membaca dari Gulungan Kitab”. Yesus melakukan Aliyah (menaikkan Torah) di Sinagog Yahudi yang jatuh pada tiap hari Shabat

Keenam, melaksanakan Sheva Moedim atau Tujuh Hari Raya yang ditetapkan YHWH. Sheva Moedim artinya Tujuh Hari Raya yang merupakan ketetapan Yahweh (Imamat 23:1-44). Sheva Moedim bukan hanya merupakan perayaan panen, namun suatu perayaan momentum perbuatan Yahweh bagi umat-Nya di masa lalu serta perayaan yang bersifat propetik Mesianik. Nama ketujuh Hari Raya tersebut adalah: Pesakh , Hag ha Matsah (Roti Tidak Beragi), Hag Sfirat ha Omer (Buah Sulung), Hag Shavuot (Pentakosta), Hag Rosh ha Shanah/Yom Truah (Tahun Baru/peniupan Sangkakala), Hag Yom Kippur (Pendamaian) dan Hag Yom Sukkot (Pondok Daun)

Dari ketujuh Hari Raya tersebut, ada tiga Hari Raya besar yang diperingati setiap tahun dengan berkumpul di Yerusalem, yaitu Pesakh, Shavuot dan Sukkot (Ulangan 16:16-17). Kitab Perjanjian Baru (Brit ha Khadasha) mencatat tiga perayaan penting tersebut dihadiri oleh Yahshua, baik saat Yesus mulai beranjak remaja maupun sudah mulai dewasa dan melakukan karya Mesianik-Nya. Yesus menghadiri Perayaan Pesakh bersama kedua orang tua-Nya (Luk 2:41-42). Yesus merayakan Sukkot bersama murid-murid-Nya (Yoh 7:1-13).

Kesimpulan apakah yang dapat kita peroleh setelah kita melakukan induktifikasi data sebagaimana telah dilakukan di atas? Bahwasanya Yesus secara genealogis antropologis dan sosiologis merupakan seorang Yahudi sejati dan Dia berkarya dalam kultur Yahudi dan bingkai Yudaisme.

IBADAH KEKRISTENAN AWAL BERAKAR PADA YUDAISME

Beberapa tradisi liturgis dalam gereja Katholik, Orthodox dan Protestan, sebenarnya berakar dari Yudaisme. Pdt. Theo Witkamp, Th.D., menjelaskan dalam artikelnya, “Mazmur-Mazmur Kekristenan Purba Dalam Konteks Yahudi Abad Pertama”, sbb:  “Gereja Kristen dimulai sebagai suatu sekte Yahudi. Oleh karena itu, kalau kita ingin tahu tentang asal-usul dan latar belakang ibadah Kristen awal, kita terutama harus memandang kebiasaan-kebiasaan liturgis dan musikal dari agama Yahudi pada Abad Pertama Masehi18

Dalam perkembangannya, akibat suasana Anti Semit yang berkembang kuat di luar Yerusalem, Gereja (Qahal) dari kalangan non Yahudi (Christianos, Kis 11:26) mulai melepaskan diri dari lingkungan Yudaisme dan Gereja dari kalangan Yahudi (Netsarim, Notsrim, Nazoraios, Kis 24:5,11). Ketika Gereja non Yahudi berkembang di luar Yerusalem, khususnya di Roma dan seluruh wilayah jajahannya dan berkembang sampai Eropa, maka Gereja mulai mengembangkan liturginya yang melepaskan banyak unsur-unsur dalam Yudaisme dan Keyahudian.

Nelly Van Doorn-Harder, MA., dalam artikel berjudul “Akar-Akar Keyahudian Dalam Liturgi Kriste, mengatakan:Bila Liturgi Protestan dilihat sebagaimana yang ada sekarang, sulit dibayangkan bahwa akar dari semua kehidupan liturgis Kristen, dapat ditemukan dalam Liturgi Yahudi. Karena memang Yesus adalah seorang Yahudi. Ia selalu mengutip dan menggunakan cerita-cerita, tema-tema dan simbol-simbol dari Perjanjian Lama. Perayaan-perayaan perjamuan kudus dan rumusan doa sehari-hari gereja purba diambil dari cara Yudaisme…Proses melupakan warisan keyahudian ini, berawal dari pengajaran mengenai amanat Kristen di luar tanaah asalnya sendiri, tanah Palestina, yakni ketika pesan Kristen ini dikontekstualisasikan dengan cara menyerap budaya-budaya dan ide-ide lokal seperti ide-ide filsafat Yunani”.19

Fakta penting pertama dari penjelasan Nelly Van Doorn-Harder adalah bahwasanya berbagai liturgi Kekristenan merupakan WARISAN yang BERAKAR dari Yudaisme, dimana Yesus Sang Mesias pun menggunakannya dalam ibadah harian (tefilah) maupun sabat di Sinagog-Sinagog Yahudi di Yerusalem. 


Selanjutnya Nelly mengatakan:  "Reformasi Protestan memiliki tujuan untuk kembali kepada tradisi-tradisi Kristen yang murni. Sayangnya, pada zaman para reformator, terdapat sedikit informasi mengenai isi dari tradisi Kristen ini. Dalam kenyataan, yang terjadi adalah para reformator bahkan membawa gereja keluar jauh dari warisan aslinya karena mereka dipengaruhi oleh suatu budaya yang berorientasikan ilmu pengetahuan sebagai hasil Renaisance. Sehingga keaslian sikap Kristen Yahudi yang senantiasa berdialog secara konstan dengan (Tuhan) yang penuh simbol dan misteri, sama sekali hilang dari kehidupan liturgi protestan dan diganti oleh penekanan ala Protestan, yakni doktrin”20.

Cara Gereja (Qahal Mesias) mula-mula dalam beribadah tetap mengikuti tradisi Yudaisme, meskipun dikemudian hari dikembangkan sesuai dengan keyakinan terhadap Yahshua sebagai Mesias. Rashid Rahman mengatakan, “Praktek ibadah harian gereja awal dilatarbelakangi oleh praktek ibadah harian Yudaisme hingga abad pertama. Latar belakang tersebut dapat berupa kontinuitas, diskontinuitas atau pengembangan dari ibadah Yudaisme21 Selanjutnya dikatakan, “Gereja awal tidak memiliki pola ibadah tersendiri dan asli. Mereka beribadah bersama dengan umat Yahudi dan kemudian mengambil beberapa ritus Yahudi untuk menjadi pola ibadah harian22
 
Fakta ini membawa kita pada pemahaman bahwa para reformator tidak menguasai hakikat liturgi Yudaisme dan mengabaikan peran penting liturgi sebagai suatu bentuk tata ibadah yang hidup antara umat dan Tuhanya, dan menitik beratkan pada doktrin. 

Penjelasan Nelly berikutnya yang tidak kalah menarik untuk kita simak: “…melupakan akar-akar keyahudian, memberikan konsekuensi-konsekuensi serius terhadap kehidupan liturgi Kristen. Bila orang-orang Kristen tidak lagi memahami arti sepenuhnya latar belakang keyahudian dalam kehidupan liturgi mereka, kontroversi-kontroversi seperti yang ada dalam interpretasi mengenai perjamuan kudus, mulai nampak diantara orang-orang Kristen. Akibat dari kontroversi-kontroversi ini adalah munculnya perpecahan-perpecahan dan aliran-aliran dalam gereja”23.

Fakta ketiga yang teramat penting, bahwa terputusnya Kekristenan reformasi yang melahirkan gereja-gereja beraliran Lutheran, Calvinis, Baptis, Menonit, Moronite, dalam menerapkan tradisi tata ibadah warisan Yudaiknya, telah menyebabkan berbagai PERPECAHAN DENOMINASI. Padahal, pada mulanya para pengikut Mesias di Abad I Ms beribadah di sinagog, menggunakan tata ibadah Yudaik serta doa-doa Yudaik, namun dikarenakan ketidak mengertian Kekristenan terhadap akar-akar Yudaiknya, mengakibatkan timbulnya perpecahan dan berbaga penafsiran gereja-gereja reformasi yang bertumbuh di Eropa, Amerika dan Afrika serta Asia, terhadap tata ibadah Kekristenan yang mula-mula.

Beberapa denominasi Kristen non Orthodox, Katholik, Protestan seperti Pentakostal dan Kharismatik, melepaskan diri dari suatu keterikatan terhadap liturgi dalam beribadah. Liturgi dipandang sebagai suatu kebekuan dalam beribadah. 

Sikap-sikap negatif terhadap liturgi dalam ibadah, sebenarnya dikarenakan ketidakmengertian hakikat dan makna liturgi dalam kehidupan ibadah Gereja  pada awal pertumbuhannya.. Van Olst mengatakan sbb: “Liturgi, seperti yang ditekankan oleh Cromphout dalam bukunya tentang Kitab Wahyu, adalah ‘mengaku dan menyanyi di hadirat (Tuhan) bahwa ada keselamatan; dan mengatakan bahwa Dia sajalah penguasa asas segala sesuatu dan dengan demikian mematahkan daya tarik dunia dan kekuatannya. Tata cara (setting) liturgis ini pada saat yang sama, membentuk relevansi praktis dari Kitab Wahyu….Pasal 5 menerangkan tentang suatu peristiwa/kegiatan liturgis yang akbar. Keempat mahluk itu dan dua puluh empat tua-tua menyanyikan satu lagu baru (ayat 9) diikuti dengan suatu puji-pujian agung untuk Sang Anak Domba – lagu pujian yang dikenakan dengan relevansi politis yang besar karena kekuasaan dari sang kaisar secara jelas diberikan kepada Sang Anak Domba. Dalam hal ini, sama seperti dalam pasal sebelumnya, kita menyaksikan bagaimana liturgi itu dirayakan di sorga - oleh para malaikat, keduapuluh empat tua-tua itu, orang-orang suci, keempat mahluk hidup itu secara singkat, oleh segenap ciptaan (keempat mahluk hidup itu mewakili kosmos)24

Dari penjelasan Van Olst, kita melihat bahwa Liturgi berakar bukan hanya dari Yudaisme dan Sinagoga, melainkan berakar dari Kitab Suci. Bahkan liturgi adalah suatu percakapan yang hidup dan interaktif di Sorga.

Komunitas orang beriman kepada Yesus Sang Mesias, memiliki beberapa karakteristik khas sbb: Keyakinan terhadap Torah: Sebagaimana pada umumnya orang-orang Yahudi yang mendasarkan pada TaNaKh, demikianlah pengikut Mesias di Abad 1 Ms. Mereka tetap memelihara Torah sebagaimana dilaporkan dalam Kisah Rasul 21:20 sbb: “Mendengar itu mereka memuliakan (Tuhan). Lalu mereka berkata kepada Paulus, Saudara, lihatlah, beribu-ribu orang Yahudi telah menjadi percaya dan mereka semua rajin memelihara Torah”.

Berbeda dengan keyakinan Kekristenan pada umumnya yang menyatakan bahwa Torah tidak berlaku dan diganti dengan hukum Kasih, maka umat Perjanjian Baru justru memelihara Torah bahkan dengan “rajin”. Dalam terjemahan versi New Revised Standard Version dituliskan: When they heard it, they praised God. Then they said to him, “You see, brother, how many thousands of believers there are among the Jews, and they are all zealous for the law”. Kata “zealous” bermakna “sungguh-sungguh”. Bahkan bangsa non Yahudi yang percaya pada Mesias menerima pemberlakuan peraturan untuk tidak memakan makanan yang dipersembahkan pada berhala, tidak memakan daging hewan yang mati dicekik serta tidak memakan darah (Kis 15:20).

Tempat Ibadah: Mereka beribadah di Sinagog. Tidak dikenal istilah Gereja atau gedung gereja. Pusat peribadahan di Bait Suci Yerusalem dan berbagai sinagog sebagai tempat peribadahan lokal dan pengajaran. Sebagaimana Yahshua mengajar di Sinagog (Luk 4:16), maka para rasul Yahshua pun beribadah dan mengajar di Sinagog (Kis 13:14, Kis 14:1). Lembaga Alkitab Indonesia terkadang menerjemahkannya menjadi “rumah ibadat”, sehingga mengurangi makna sesungguhnya yang dimaksudkan oleh ayat secara historis. Dalam Kisah Rasul 14:1 disebutkan “rumah ibadat” padahal dalam teks Yunani dituliskan “Sunagoge”. Demikian pula dalam Yakobus 2:2 kata “tempat kumpulanmu”, seharusnya diterjemahkan Sinagog.

Pola Ibadah: Jika kita memperhatikan berbagai tata ibadah kekristenan masa kini, kita akan dibinggungkan oleh berbagai ragam warna tata peribadahan. Ada yang menggunakan liturgi, ada yang anti liturgi, ada yang melaksanakan peribadahan dengan tanpa peraturan sama sekali dan mengklaim dipimpin Roh Kudus, dll. Namun di Abad 1 Ms, sebagaimana sekte Nazarene atau Pengikut Jalan Tuhan atau Christianoi merupakan “sekte Yudaisme”, maka berbagai tata ibadah tidak jauh berbeda dengan yang dilaksanakan oleh penganut Yudaisme Abad 1 Ms, namun dengan pemahaman yang baru, yaitu dilandasi kematian dan kebangkitan terhadap Mesias. Tata peribadahan dilandasi oleh pemahaman Mesias yang telah datang, Mesias yang mati di kayu salib dan bangkit pada hari yang ketiga serta mengalahkan maut. Adapun tata ibadah pengikut Mesias sbb :

1.        Tefilah: Tefilah bermakna berdoa. Namun pengertian tefilah dalam Yudaisme bukan hanya sekedar ucapan spontan kepada Tuhan yang berisikan permohonan. Tefilah meliputi waktu-waktu tertentu dalam menghadap Tuhan dan dengan diiringi sikap tubuh yang tertentu. Kitab Suci memberi petunjuk mengenai tefilah yang meliputi :

a.       Waktu-waktu yang tertentu
Waktu doa harian Yudaisme terdiri dari Shakharit, Minha dan Maariv. Pola ibadah ini merujuk pada waktu peribadahan di Bait Suci (Kel 29:38-42; Bil 28:1-8). Nabi-nabi dan raja-raja di Israel kuno melaksanakan tefilah harian sbb :
1)       Daud (Mzm 55:17)
2)      Daniel (Dan 6:11)
3)       Ezra (Ezr 9:5)
4)      Yesus Sang Mesias(Luk 6:12)
5)       Petrus dan Yohanes (Kis 3:1)
6)      Petrus dan Kornelius (Kis 10:3,9)

b.      Sikap tubuh yang tertentu: Beberapa petunjuk mengenai berbagai sikap atau postur tubuh yang tertentu al :
1)       Berdiri (Ul 29:10, , Mzm 76:8)
2)      Bersujud (Mzm 96:9, Mat 26:39)
3)       Berlutut (Mzm 95:6, Kis 20:36)
4)      Mengangkat kedua tangan (Rat 3:41; Mzm 134:2)

2.    Shabat: Sebagaimana Yesus mengajar di hari Sabat, demikianpula para rasul merayakan Sabat dan mengajar, baik orang Yahudi dan non Yahudi (Kis 13:14, Kis 14:1).
3.       Moedim: Moedim bermakna hari-hari raya. Pengikut Mesias melaksanakan tujuh hari raya yang diperintahkan dalam Imamat 23:1-44. sebagaimana Yesus merayakan salah satu dari tujuh hari raya tersebut (Yoh 7:1-2,14) demikianlah para rasul Yahshua melaksanakan tujuh hari raya tersebut (Kis 2:1, Kis 20:16). Para rasul bukan hanya memelihara berbagai perayaan tersebut namun juga menghubungkan berbagai makna peristiwa tersebut dengan peristiwa yang dialami Mesias (1 Kor 5:7-8, 1 Kor 15:22-23, 1 Tes 4:16). Tujuh hari raya tersebut menunjuk pada Mesias Yesus (Kol 2:17).
4.      Tsedaqah: Para murid Yahshua memperhatikan terhadap kebutuhan janda-janda, anak yatim dan saudara-saudara seiman yang berkekurangan. Paul mengajak jemaat di Korintus untuk mengumpulkan persembahan kepada jemaat di Yerusalem yang berkekurangan (1 Kor 16:1-4, 2 Kor 9:1-5).
5.       Memecah Roti Shabat:
      40
 
Pengertian “memecah roti” telah terdistorsi dengan konsep “Ekaristi” dalam gereja Roma Katolik, yaitu memakan hosti yang dianggap sebagai tubuh sejati Yesus. Tradisi “memecah roti” yang dipelihara oleh para murid dalam berbagai pertemuan kerohanian, entah dihari sabat (Kis 20:7) atau dihampir setiap pertemuan diluar sabat (Kis 2:42), merupakan perluasan makna dari Seder Pesakh yang dilaksanakan setiap tanggal 14 Nisan dalam setiap keluarga Yahudi. Roti yang dipakai merupakan roti tidak beragi (matzah) dan bukan wafer atau roti yang beragi sebagaimana yang dipahami oleh kekristenan pada umumnya. Seder Pesakh bukan hanya merupakan peringatan terhadap terbebasnya Israel dari perbudakan Mesir namun menunjuk pada Mesias yang membebaskan umat Israel dan umat manusia dari perbudakan dosa (Yoh 13:21-30, Luk 22:7-14,21-23). Rasul Paul secara mendalam menjelaskan makna teologis memecah roti dalam 2 Korintus 11:17-34.
6.      Bertekun dalam Pengajaran Rasul-rasul: Letak kekuatan dan kesatuan pengikut Mesias di Abad 1 Ms dikarenakan mereka selalu bertekun dalam pengajaran, persekutuan, doa dan memecah roti (Kis 2:41-42). Ketika para rasul masih hidup, berbagai persoalan yang terjadi dipecahkan secara konsensus dengan dilandasi doa (Kis 15:1-21) dan para rasul berkonsentrasi dalam mengajar dan mendidik umat (Kis 6:1-4).
7.       Kegiatan Pekabaran Besorah (Injil): Pengikut Mesias yang disebut Pengikut “Jalan Tuhan” atau “Nazarene” memiliki kerinduan untuk memberitakan Kabar Baik di seluruh Yerusalem dan luar Yerusalem (Kis 8:4-5,25,40). Bahkan setelah Saul dipanggil menjadi Rasul, dia dipakai oleh Yesus untuk menjadi Rasul non Yahudi (Gal 1:15-16).
   46
 

KEKRISTENAN TERCERABUT DARI AKAR SEMITIK-YUDAIK

   20
 
Abad ke-II Ms, merupakan suatu era titik balik dalam sejarah gereja. Terjadi perpindahan dari teologi Palestina yang kongkrit menuju Teologi Greek yang abstrak.25 Hal ini terjadi dikarenakan semakin banyaknya bangsa non Yahudi yang menerima Mesias, oleh pemberitaan para rasul. Dalam perkembangannya, gereja semakin menjauh dari akar ibrani. Realita ini memuncak pada saat Kaisar Konstantin naik tahta menjadi Raja dan mengubah status Kekristenan dari “religio ilicita” (agama yang tidak sah) menjadi “religio licita” (agama yang sah). Peristiwa ini terjadi pada tahun 312 Ms bersamaan dengan dikeluarkannya Edik Milano, dimana Kekristenan diubah menjadi agama negara dan orang-orang Kristen Roma diberi kebebasan penuh dalam melaksanakan peribadahan.26 Semenjak Konstantin dan seterusnya, gereja non Yahudi semakin menjauh dari akar Ibrani bahkan cenderung membenci keberadaan Yahudi, sebagaimana dikatakan oleh sejarawan David Rausch,The Gentile Church claimed to be the true Israel and tried to disassociate itself from the Jewish people early in its history”27 (Gereja non Yahudi mengklaim menjadi Israel yang benar dan mencoba untuk memutus dirinya dari masyarakat Yahudi dalam sejarahnya).

DAMPAK GEREJATERCERABUT DARI AKAR SEMITIK-YUDAIK

Koran SINDO melaporkan berita terakhir analisis jatuhnya pesawat Adam Air yang hilang di sekitar perairan Majene Sulawesi sbb:28 Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menemukan penyimpangan pada salah satu alat navigasi pesawat Boeing 737-400 milik Adam Aor yang jatuh di perairan Majene, Sulawesi Barat, 1 Januari 2007. Penyimpangan penyebab jatuhnya pesawat berpenumpang 102 orang itu. Ketua KNKT Tatang Kurniadi menjelaskan, hasil analisis salah satu kotak hitam yang merekam percakapan di kokpit (cockpit voicerecorder/CVR) menunjukkan kedua pilot terlibat problem navigasi, yaitu pada inertial reference system [IRS]. Alat navigasi yang menyimpang itu berfungsi sebagai penunjukk arah, kecepatan dan perilaku pesawat (attitude). Dalam upaya koreksi ini, pilot memutuskan untuk mengalihkan mode navigasi ke posisi mode attitude pada IRS nomor dua atau sebelah kanan. “Ternyata, akibatnya autopillot (pesawat digerakkan secara otomatis bukan manusia) mati’, ungkap Tatang. Pada saat ini pun kedua pilot tidak menyadari pesawat mulai miring, sehingga tidak ada upaya meluruskan. Keduanya baru sadar saat terdengar suara peringatan berbunyi blankangle ketika kemiringan pesawat sudah bertambah menjadi 35 derajat ke kanan. Pilot kemudian berusaha membanting kemudi ke arah kiri untuk meluruskan pesawat, namun tak lama kemudian diputar balik ke kanan karena pilot tidak merasakan dengan benar kondisi pesawat….Dia menilai sangat wajar bila pilot tidak merasakan kondisi yang sesungguhnya pada peswat karena mereka tidak melihat horizon bumi. ‘Ini normal saat manusia berada di udara, istilahnya disorientasi ruang’, ujar Herman”. Saya ingin menggarisbawahi kata DISORIENTASI. Inilah yang terjadi saat Gereja (Qahal Mesias) tercerabut dari kesemitikannya. Gereja mengalami DISORIENTASI atau kehilangan arah.

Wujud disorientasi tersebut, nampak dalam tiga hal yaitu:

  1. Disorientasi Sejarah: Gereja dan Kekristenan pada umumnya menganggap bahwa asal usul Kekristenan berasal dari Barat. Ada yang menganggap Kekristenan berpusat di Roma Katolik, dikarenakan setiap tahun saat perayaan Christmass dan Easter, televisi-elevisi swasta selalu menyiarkan perayaan tersebut yang berpusat di Roma.
  2. Disorientasi Dogmatik: Muncullah istilah-istilah asing yang abstrak dan filosofis mengenai konsep ketuhanan Ibrani yang dinamis dan hidup. Muncullah istilah “una substansia tres persona” atau “mono ousia tres hypostasis” bagi Tuhan Pencipta. Istilah ini kelak populer dengan sebutan “Tritunggal” atau “Trinitas”.
  3. Disorientasi Devosi:: Muncul juga perayaan-perayaan non biblikal seperti “Christmass”, “Easter” yang menggantikan tujuh hari raya yang firmaniah dalam Imamat 23. Hilangnya tradisi doa harian yang disebut Tefilah Shakharit, Minkhah dan Ma’ariv menjadi doa-doa spontan. Hilangnya tradisi liturgis yang bercorak semitik hebraik, berganti menjadi rangkaian liturgi yang terlalu rumit dan menjemukkan.

MENEMUKAN KEMBALI AKAR KEKRISTENAN KITA:
ANTARA KONTEKSTUALISASI DAN REKONSTRUKSI?

   22
 
Setelah panjang lebar kita melakukan kajian historis mengenai dinamika Kekristenan yang berakar dari kultur semitis, khususnya Yudaisme post Biblikal dan melacak berbagai penyimpangan yang terjadi dalam doktrin dan devosi Kristiani, lalu apa yang harus kita lakukan sekarang. Tentu saja, menemukan kembali akar Kekristenan kita yang bersumber dari kultur semitisme khususnya Yudaisme post Biblikal. Pernyataan ini menghadapkan Gereja untuk melakukan REKONSTRUKSI, dogmatika maupun devosional. Dalam rekonstruksi dogmatika, ada beberapa isue yang harus diangkat sbb: Apakah Yahshua, para rasul dan para murid-murid di jaman pertumbuhan mula-mula, memahami Tuhan sebagai Tritunggal? Dalam rekonstruksi devosional, ada beberapa isue yang harus diangkat sbb: Apakah Torah telah digantikan oleh Kasih Karunia? Apakah Gereja telah menggantikan posisi Israel? Apakah Christmass dan Easter merupakan perayaan yang firmaniah? Apakah Yesus, para rasul, para murid di zaman pertumbuhan mula-mula beribadah tanpa tata ibadat/liturgi? Apakah ibadah Apakah Yesus, para rasul, para murid di zaman pertumbuhan mula-mula melaksanakan Perjamuan Kudus? Apakah ibadah Apakah Yesus, para rasul, para murid di zaman pertumbuhan mula-mula mengubah Sabat menjadi Minggu hanya karena Yesus bangkit dari kematian pada hari Minggu? Itulah sebabnya saya mengatakan dalam kajian terdahulu, untuk membedakan jenis Kekristenan yang concern dengan persoalan Kesemitikan dan Kemesianikan, dengan Kekristenan lainnnya, saya lebih senang menyebutnya KRISTEN REKONTRUKSIONIS atau MESIANIK GENTILE. Jusuf Roni menyebutnya dengan YUDEO CHRISTIANITY, Apapun istilahnya, keseluruhan nama-nama itu hanya ingn menampung dan mewadahi concern gerakan ini pada isu-isu seputar akar-akar semitik Kekristenan.

Setelah kita melakukaan rekonstruksi dogmatika dan devosional berdasarkan nilai-nilai kultural semitis, baru kemudian kita melakukan kontekstualisasi. Kontekstualisasi adalah keniscayaan dalam berteologi dan pewartaan Kabar Baik. Tanpa kontekstualisasi, maka pesan Besorah Mesianik menjadi pesan yang terpasung dalam kultur semitik belaka dan tidak menyapa konteks di mana dia hidup dan diberitakan. Kontekstualisasi di sini bukan melepaskan Kekristenan dan sabda-sabda Mesias yang bercorak Semitik Hebraik, melainkan membungkus message Sang Mesias dalam matra-matra kebudayaan tertentu agar pesannya membumi. Yang terjadi saat ini adalah, proses kontekstualisasi berdasarkan wujud Kekristenan yang telah lepas dari akar kesemitikannya dan telah mengalami disorientasi sejarah, disorientasi dogmatik dan disorientasi devosi. Tidak heran, sekalipun message Kekristenan dapat secara kontekstual diterima dikalangan kebudayaan Indonesia yang beraneka ragam suku, tetap saja ada pesan-pesan distortif yang masuk seperti “Christmass”, “Easter”, “Eukaristi”, “sebutan “Tritunggal”, dll (yang nota bene tidak firmaniah dan disusupi pemahaman pagan di dalamnya) yang dikemas dalam konteks masing-masing budaya setempat.

Rekonstruksi dan kontekstualisasi pada akhirnya harus bermuara pada terjadinya “Tiqun ha Olam” (pemulihan semesta) dalam bidang keagamaan dan bukan kerusakan dan kekacauan dalam perwujudannya. Shalom…!





End Notes:

1 Michael Keene, Agama-Agama Dunia, Yogyakarta: Kanisius 2006, hal 86-87

2 Pdt. DR. Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran Di Dalam dan Di Sekitar Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia 2003, hal1

3 Ibid., hal 2

4 Menuju Dialog Teologis Kristen-Islam, Yogyakarta: ANDI Offset 2001, hal 3-4

5 Islam and the West, New York: Oxford University Press, 1993, p. 13

6 Benturan Antar Peradaban dan Masa Dean Politik Dunia, Yogyakarta: C.V. Qalam, 1996, hal  389-393

7 Return of the Remnant: the Rebirth of Messianic Judaism,  Baltimore, Maryland: Lederer Messianic Publishers, 1996, p. 23

8 Messianic Jewish Manifesto, Clarksville, Maryland: Jewish New Testament Publications, 1991, p. 20

9 Why Messianic Judaism, dalam Enduring Paradoxs, Baltimore, Maryland: Messianic Jewish Publishers 2000, p. 8

10 Rekonstruksi Kristen dan Kristen Rekonstruksionis (www.messianic-indonesia.com dan www.gkmin.net)

11 Loc.. Cit., Menuju Dialog Teologis Kristen-Islam, hal 4

13 CRITISM: Mengritik Agama Sendiri dan Membela Yang Lain…!, Jakarta: Jusuf Roni Centre & Cipta Lahai Roi, 2007, hal 69-72

14 Akar Bersama: Belajar tentang Iman Kristen dari Dialog Kristen-Yahudi, Jakarta: BPK, 1999, hal 5

15 Memandang Yesus : Gambar Yesus Dalam Berbagai Budaya, Jakarta : BPK, 1990, hal 19

16  Christianity: New Religion or Sect of Biblical Judaism , Florida, Palm Beach Gardens: A Messenger Media Publication, p.119

17 Teguh Hindarto, MTh. Yahshua, Yahudi, Yudaisme (www.messianic-indonesia.com dan www.gkmin.net)

18 Dalam Jurnal Teologi GEMA Duta Wacana, No 48 Tahun 1994, hal 16

19 Dalam Jurnal Teologi GEMA Duta Wacana, No 53, 1998, hal 72

20 Ibid., hal 72-73

21 Ibadah Harian Zaman Patristik, Bintang Fajar, 2000, hal 5

22 Ibid., hal 26

23 Ibid., hal 73

24 Alkitab & Liturgi, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999, hal 10-11

25 Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, BPK 1994, hal 51

26 Harry R. Boer, A Short History of the Early Church, Grand Rapids Michigan : William B. Eerdmans Publishing Company, 1986, p.105

27 Messianic Judaism: Its History, Theology and Polity, Lewiston, New York: Edwin Mellen Press, 1982, p.13]

28 Problem Navigasi Picu Jatuhnya Adam Air, Koran SINDO, Tgl 26 Maret 2008, hal 1

0 komentar:

Posting Komentar