ANTISEMITISME
Posted byDalam midrash Perayaan Khanukah tahun lalu saya menegaskan mengenai relevansi perayaan tersebut bagi Kekristenan, salah satunya adalah “kita menegaskan pada dunia untuk melawan spirit Anti Semitisme, Anti Yahudi khususnya di kalangan Gereja dan Kekristenan yang secara historis melepaskan dirinya dari warisan ajaran dan tradisi semitiknya yang berasal dari Yudaisme dan Yahudi. Sebagaimana Yahudah Makabi berjuang melawan Helenisasi dan Anti Yahudi, demikianlah kita menegaskan bahwa kita tidak Anti Semit, Anti Yahudi, karena Mesias kita dan Junjungan Agung kita Yang Ilahi adalah seorang Yahudi (Ibr 7:14)”[1]
Berkaitan dengan istilah Antisemit, mari kita mengkaji lebih jauh apa dan bagaimana dengan Antisemit. Antisemit diartikan sebagai, “is discrimination, hostility or prejudice directed at Jews. While the term's etymology may imply that antisemitism is directed against all Semitic peoples, it is in practice used exclusively to refer to hostility towards Jews as a religious, racial, or ethnic group” (diskriminasi, permusuhan atau prasangka yang ditujukkan terhadap orang-orang Yahudi. Sementara istilah secara etimologi mengindikasikan bahwa Antisemitisme ditujukan pada semua masyarakat yang bercorak Semitik seperti Arab, namun secara praktis dan kenyataan sehari-hari istilah ini digunakan secara eksklusif untuk menunjuk pada permusuhan terhadap orang-orang Yahudi baik secara keagamaan, rasial maupun kelompok suku)[2]. Contoh-contoh Anti Semitisme bergerak dari tingkat kebencian terhadap individu hingga kebencian yang dilakukan oleh institusi, termasuk penganiayaan dengan kekerasan. Penganiayaan tersebut antara lain “Inkuisisi oleh orang-orang Spanyol, pengusiran orang-orang Yahudi dari Spanyol pada Tahun 1492, dari Inggris Tahun 1290, berbagai bentuk pembunuhan berencana dan akhirnya peristiwa yang menjijikkan yaitu Holocaust oleh Adolf Hitler. Antisemitisme biasanya disebut dengan “kebencian yang panjang” (long hatred).
Antisemitisme memiliki beberapa bentuk sbb:[3]
1. Antisemitisme Religius. Dikenal dengan sikap perlawanan dan kebencian terhadap Agama Yudaisme. Sikap-sikap ini meliputi pelarangan terhadap praktek ibadah Yudaisme dan pemaksaan agar seorang penganut Yudaisme mengganti keyakinannya dengan agama resmi yang dianut suatu masyarakat mayoritas. Contoh kasus adalah pemaksaan untuk berpindah Katholik terhadap orang-orang Yahudi Iberia di Abad 15-16 Ms dengan julukan “Maranos” (babi).
2. Antisemitisme Rasial. Sebuah penyebarluasan opini bahwa orang-orang Yahudi adalah ras yang rendah. Pada akhir Abad 19 dan awal Abad 20 muncul gerakan “Eugenics” yaitu suatu gerakan yang mengelompokkan diri bahwa orang-orang yang bukan berkulit putih dikategorikan sebagai kelas rendah (inferior). Dan mereka menyebut bahwa orang-orang Eropa Nordik adalah bangsa yang unggul (superior). Orang-orang Yahudi dianggap sebagai “Alien” (mahluk asing) di luar Eropa.
3. Antisemitisme Baru. Konsep baru yang yang berkembang pada Abad 21 secra serempak dari gerakan kiri, gerakan kanan dan Islam radikal yang cenderung memusatkan pada tujuan yaitu perlawanan terhadap Zionisme dan rumah tinggal bagi Bangsa Yahudi di Negara Israel dan gagasan ini dikembangkan dari motif Antisemitsme tradisional.
Istilah Antisemitisme dipopulerkan pertama kali pada Tahun1860 oleh sarjana Yahudi Austria bernama Moritz Steinschneider dalam kalimat yang dia ucapkan yaitu "antisemitic prejudices" (prasangka antisemitik). Steinschneider menggunakan istilah ini untuk menggambarkan apa yang diucapkan ahli sejarah, Ernest Renan mengenai “bagaimana ras Semitik lebih rendah dibandingkan ras Arya” about how Berbagai teori pesudo sains (sains palsu) mengenai ras, peradaban dan berbagai kemajuan telah berkembang luas di Eropa pad paruh Abad 19 sebagaimana dipromosikan pula oleh sejarawan Prusia bernama Heinrich von Treitschke dalam rangka menyebarluaskan bentuk-bentuk rasisme.
Para Bapa Gereja seperti Yohanes Krisostomos, Yulius Martir pun dalam banyak kotbah dan karya tulisnya banyak menyerang segala sesuatu yang berbau Yahudi. James P. EckmanPada akhir Abad Pertama, kematian para rasul menghasilkan kevakuman kepemimpinan di dalam gereja. Siapa yang berhak memimpin orang-orang beriman?Siapa yang akan memimpin dan menuntun berkembangnya iman Kristen? Kelompok yang mengisi kekosongan ini kemudian dikenal dengan sebutan “Para Bapa Gereja”. Sebagai sebuah istilah yang menggambarkan rasa sayang dan kepercayaan, yaitu “bapak” secara umum diberikan pada sejumlah pemimpin rohani yang dikenal dengan sebutan para bishop atau para diaken. Bapa Gereja dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu, Bapa Rasuli (95-100 Ms), Para Apologet atau Pembela Iman (150-300 Ms) serta Para Teolog (300-600 Ms). Kelompok Bapa Rasuli banyak menulis dan memfokuskan pada persoalan diseputar tata ibadah dan hirarki kepemimpinan gereja. Kelompok Para Apologet lebih memfokuskan mempertahankan iman dari serangan tulisan-tulisan kaum kafir dan penyembah berhala. Sementara kelompok Para Teolog mulai menyusun berbagai sistematika pemikiran-pemikiran teologi[4] memberikan komentar mengenai istilah “Bapa Gereja” (Church Fathers) sbb: “
Disaat mendiskusikan perayaan “Easter” (Kekristenan di Indonesia biasanya menyebutnya dengan Paskah, walaupun Easter sendiri lebih kepada adaptasi perayaan kafir yang dipoles dengan istilah Kristen) pada Konsili Nicea Tahun 325, Kaisar Konstantin berkata, “Nampaknya ada sesuatu yang tidak layak dalam perayaan ini yaitu mengikuti apa yang dilakukan orang-orng Yahudi, yang tidak beriman dan mencemari tangan mereka dengan dosa dan yang sepatutnya mereka bersedih oleh karena kebutaan jiwa mereka….Marilah kita tidak membiasakan dengan kerumunan orang-orang Yahudi yang menjijikkan karena kita menerima dari Juruselamat kita yaitu sebuah jalan yang berbeda”[5].
Berikut kutipan bagaimana para “Bapa Gereja” mengucapkan kata-kata yang bersifat Anti Yahudi sbb:[6]
1. Ignatius, Bishop Antiokhia (98-117 Ms) dalam karyanya “Surat untuk orang-orang Magnesia” sbb: “Jika kita tetap melakukan agama Yudaisme, maka kita mengakui bahwa kita tidak menerima kasih karunia Tuhan…adalah keliru untuk mengatakan mengenai Yahshua Sang Mesias dan hidup seperti orang Yahudi. Bagi Kekristenan, tidak mempercayai dalam Yudaisme melainkan Yudaisme percaya dalam Kekristenan”
2. Surat Barnabas (130 M-138 Ms), Ps IV Ay 6-7 sbb, “Hindarilah dirimu dan janganlah seperti beberapa orang yang mendorongmu berbuat dosa dan berkata bahwa perjanjian yang mereka warisi sebagaimana yang kita (orang Kristen) warisi, namun sebenarnya mereka kehilangan sepenuhnya warisan itu setelah Musa menerimanya”
3. Agustinus (354-430 Ms) dalam karyanya, “Conffesions”, 12.14, sbb: “Betapa aku benci terhadap musuh-musuh dari Kitab Sucimu! Betapa aku menyarankan padamu untuk membunuh mereka (orang-orang Yahudi) dengan pedang bermata dua, sehingga tidak satupun dari mereka akan melawan perkataanmu! Sungguh menyenangkan menginginkan kematian mereka dan kehidupan bagimu!”
Bagaimana dengan Luther pendiri Protestantisme dan penganjur Reformasi Gereja? Dalam bukunya berjudul, “On The Jews and Their Lies” (1543) Luther menuliskan sbb: “Apa yang harus kita lakukan sebagai orang Kristen terhadap ras Yahudi terkutuk dan telah ditolak Tuhan itu? Karena mereka tinggal ditengah-tengah kita dan kita mengetahui mengenai kebohongan dan hujatan serta kutukan mereka, maka kita tidak dapat mentolerir mereka jika kita tidak menghendaki untuk berbagi kebohongan dan hujatan serta kutukan mereka…Biarlah aku memberikan nasihat bijak kepadamu sbb: (!)Bakarlah sinagog mereka dan apapun yang tidak bisa dibakar, tutuplah atau taburilah dengan kotoran sehingga tidak ada seorangpun mmpu melihat abu atau batunya. Dan hal ini seharusnya dikerjakan untuk kemuliaan Tuhan dan Kekristenan sehingga Tuhan boleh melihat bahwa kita adalah orang-orang Kristen dan kita tidak memberikan tolernsi secara sengaja terhadap kebohongan, kutukan dan hujatan terhadap Putra Tuhan dan orang-orang Kristen (2) Rumah-rumah mereka harus dihancurkan…(3) Mereka harus membuang buku-buku doa dan talmud yang mencerminkan penyembahan berhala, kebohongan dan kutukan…(4) Para rabi dilarang untuk mengajar siapapun dengan ancaman hukuman mati…(5) Paspor dan bepergian dengan hak istimewa dilarang…[7]
Benih Antisemitisme semakin menguat dikalangan Gereja dan Kekristenan. Jika[1] A. M. Roth dan Norman Roth menyatakan bahwa sikap Antisemitisme menguat sejak tahun 438 Ms saat dikeluarkannya Ketetapan Theodosius II [8], namun Harry R. Boer justru menarik jauh bahwa penguatan sikap Antisemitisme bermula pada Tahun 321 dikeluarkannya ketetapan yang disebut Edik Milano sbb: "pada saat hari Matahari yang diagungkan, biarlah para pegawai pemerintah dan rakyat beristirahat di kota-kota dan hendaklah semua toko-toko ditutup. Namun demikian, di kota dimana masyarakat sibuk dalam pertanian, dibebaskan dan diijinkan untuk melanjutkan kegiatannya; sebab hal itu hanya dapat dilaksanakan pada hari itu dan tidak dapat pada hari lain untuk menebar benih atau menanam anggur. Dengan mengabaikan waktu yang tepat untuk bekerja, maka rahmaat surgawi akan hilang"[9].
Sikap-sikap Anti Semitisme oleh “Kekristenan” dan “Gereja”, masih terus terbawa hingga kini. Siap-sikap tersebut terpantul dari pemahaman terhadap Torah yang dimaknai sebagai “Hukum” yang bersifat legalistik. DR. David Stern, seorang Mesianik Yahudi yang telah menaruh kepercayaan pada Yahshua sebagai Mesias, mengakui kesenjangan pemahaman antara Kekristenan dan Yudaisme, ketika membicarakan mengenai Torah. Menurut beliau, jika memperbandingkan buku-buku teologia baik Kristen maupun Yudaisme, akan diperoleh fakta bahwa kedua belah akan bersebrangan pemahaman mengenai topik Torah. Dalam penelusuran berbagai buku teologi Kristen mengenai Torah, al., Augustus Strong’s Systematic Theology, hanya membahas mengenai topik Torah, sebanyak 28 halaman dari 1056 halaman (kurang dari 3%). Sementara L. Berkhof dalam bukunya Systematic Theology, hanya mengulas sebanyak 3 halaman dari 745 halaman (kurang dari1/2%). Berbeda dengan buku-buku teologi dikalangan Yudaisme,al., Isidor Epstein’s yaitu the Faith of Judaism,mengulas mengenai Torah sebanyak 57 halaman dari 386 halaman (15%) dan Solomon Schetcher dalam Aspects of Rabbinic Theology mengulas sebanyak 69 halaman dari 343 halaman (20%). Stern berkesimpulan, ”In short, Torah is the great unexplored territory, the terra incognita of Christian Theology” 8 (singkatnya, Torah merupakan wilayah yang belum sama sekali digali, suatu wilayah tidak dikenal dalam Teologi Kristen).
Pemahaman yang keliru terhadap Torah masih mengakar dalam bentuk Teologi Dispensasional dan Teologi Covenant. Dispensasionalisme merupakan pokok Teologi yang mendasarkan pada sejumlah penafsiran teks Kitab Perjanjian Baru dengan pemahaman bahwa YHWH memiliki 2 program yaang berbeda, yaitu untuk Israel dan untuk Gereja. Apa yang menjadi janji milik Israel, tidak dapat dilakukan oleh Gereja. Jika Israel memelihara Sabat (Kel 20:8-11), maka Gereja memelihara Hari Tuhan (1 Kor 16:2). Jika Israel adalah istri dari YHWH (Hos 3:1) maka Gereja adalah Tubuh Mesias (Kol 1:27)9. Covenant merupakan pokok Teologia yang berkeyakinan bahwa YHWH membuat 2 perjanjian, yaitu Perjanjian Perbuatan yang dibangun sejak Adam sampai zaman Israel. Perjanjian ini gagal dilakukan oleh Adam. Lalu YHWH memberikan Perjanjian kedua yaitu Perjanjian Anugrah, melalui Yahshua, yang dengan sempurna melaksanakan perjanjian tersebut.
Membenci berbagai hal yang berbau Yahudi, berarti membenci Mesias, karena Mesias kita adalah orang Yahudi. Hans Ucko menggambarkan sikap-sikap Kekristenan terhadap kenyataan bahwa Mesias adalah Yahudi sbb: “Gereja Kristen, teologi Kristen dan Kekristenan secara keseluruhan, tidak terpisahkan dengan umat Yahudi atau Yudaisme. Orang Yahudi dan Kristen memiliki Kitab Suci yang sama. Iman Kristen lahir dalam lingkungan Yahudi. Gereja masih saja ragu apakah kenyataan tersebut dinilai sebagai berkat atau kutuk. Sejumlah kecil orang Kristen melihat hubungan diatas sebagai suatu masalah dan berupaya memecahkannya dengan membatasi kitab Perjanjian Lama dan agama umat Israel di satu sisi dan Yudaisme di sisi lainnya Dengan cara ini, seseorang sebenarnya ‘membebaskan’ orang Israel dari keyahudiannya. Pendekatan tersebut mencerminkan sebentuk rasa sulit bagi orang Kristen atas hubungannya yang terlalu dekat dengan umat Yahudi dan dengan Yudaisme yang hidup saat ini. Seseorang memang tidak mudah mengakui akibat dari memilih ‘Tuhan Yahudi’ itu”10.
Memutuskan hubungan sejarah bahwa Yahshua adalah Bangsa Yahudi, bahwasnya “Kekristenan” berakar dari Yudaisme, menimbulkan konsekwensi teologis yang mendalam, berupa kehilangan orientasi dan kesatuan iman dan tata ibadat. Nelly Van Doorn-Harder, MA., menjelaskan kenyataan di atas sbb: “…proses melupakan warisan keyahudian ini berawal dari pengajaran mengenai amanat Kristen diluar tanah asalnya sendiri, tanah Palestina, yakni ketika pesan Kristen ini dikontekstualisasikan dengan cara menyerap budaya-budaya dan ide-ide lokal seperti ide-ide filsafat Yunani…Dalam kenyataan, yang terjadi adalah para reformator bahkan membawa gereja keluar jauh dari warisan aslinya karena mereka dipengaruhi oleh suatu budaya yang berorientasikan ilmu pengetahuan sebagai hasil dari Renaisance. Sehingga keaslian sikap Kristen Yahudi yang senantiasa berdialog secara konstan dengan [Elohim] yang penuh simbol dan misteri, sama sekali hilang dari kehidupan liturgi Protestan dan diganti oleh penekanan ala Protestan yakni doktrin…anti Yahudi telah memberi andil terhadap paham [ide] bahwa Kekristenan adalah sebuah agama yang betul-betul asli dan tidak menggunakan unsur Yudaisme apapun. Melupakan akar-akar keyahudian, memberikan konsekwensi-konsekwensi serius terhadap kehidupan liturgi Kristen. Bila orang-orang Kristen tidak lagi memahami arti sepenuhnya latar belakang keyahudian dalam kehidupan liturgi mereka, kontroversi-kontroversi seperti yang ada dalam interpretasi mengenai perjamuan kudus, mulai nampak diantara orang-orang Kristen. Akibat dari kontroversi-kontroversi ini adalah munculnya perpecahan-perpecahan dan aliran-aliran dalam gereja”11.
Mengenai Anti Semitisme di kalangan Islam, dapat terlihat dengan beredarnya berbagai buku al., “Talmud: Kitab Hitam Yahudi Yang Menggemparkan”12, “Menyingkap Tabir Orientalisme”13, “Kenapa Kita Tidak Berdamai Saja Dengan Yahudi”14, “Sejarah Islam Dicemari Zionis Dan Orientalis”15, “Yahudi Menggenggam Dunia”16, “Rahasia Gerakan Freemasonry Dan Rotary Club”17. Berbagai buku di atas mengekspresikan suatu kebencian terhadap Yahudi yang dipicu oleh berbagai ketegangan di wilayah Palestina sejak tahun 1948. Para penulis tersebut tidak hanya merujuk pada tahun 1948 sebagai pemicu kebencian terhadap Yahudi, namun menarik lebih awal sampai pada tahun awal perkembangan Islam, di mana komunitas Yahudi selalu membuat pengkhianatan terhadap Islam. Inti buku-buku tersebut menegaskan bahwa Yahudi bertanggung jawab terhadap berbagai kebijakan politik dan ekonomi serta kebudayaan yang merusak dan menyengsarakan dunia ketiga khususnya dunia Islam. Berbagai kebijakkan tersebut menyelusup masuk secara rahasia dan konspiratif dengan berbagai organisasi-organisasi rahasiannya seperti Freemasonry dan Iluminasi dll.
Setelah kita mendengar secara panjang lebar mengenai apa dan bagaimana Antisemitisme serta bagaimana sikap Antisemitisme masih diwarisi oleh Gereja dan Kekristenan, bagaimanakah kita bersikap. Dengan spirit Khanukah ini kita menegaskan bahwa kita menolak hal-hal berikut: (1) Penafsiran Kitab Suci yang melepaskan akar budaya Semitik para penulis Kitab Suci (2) Upaya untuk menggambarkan Yahshua Sang Mesias sebagai bukan orang Yahudi (3) Upaya untuk memutuskan akar Kekristenan yaitu Yudaisme (4) Upaya untuk membuang unsur-unsur ibadah dan liturgi yang diwarisi dari Yudaisme (5) Upaya untuk mendiskreditkan segala sesuatu yang berbau Yahudi baik itu lagu-lagu, lambang-lambang, istilah-istilah. Sebagaimana agama-agama lain baik Islam, Hindu, Budha memiliki kebebasan untuk mengekspresikan akar budaya darimana keagamaan mereka lahir (Hindu dari India, Budha dari India, Islam dari Arab, Kekristenan dari Yahudi sebagaimana Yudaisme) maka kita pun memiliki kebebasan untuk mengekspresikan nuansa akar Semitik Yudaik dalam bahasa teologi maupun liturgi ibadah kita.
Untuk menggambarkan bagaimana sikap Antisemitik dan bagaimana seseorang bertahan dengan pengharapan yang besar untuk keluar dari tekanan lingkungan yang Antisemitik, dapat membaca kisah seorang anak bernama Anne Frank seorang Yahudi yang tinggal di Jerman namun harus mengungsi ke Belanda karena kebencian Hitler terhadap orang-orang Yahudi. Dia lahir Tgl 12 Juni 1929 dan tutup usia pada usia 15 Tahun. Tinggal di dalam yang disebut “Secet Annex” (Tempat tersembunyi) disebuah gedung perantoran bersama orang tuanya. Kisah kehidupan Anne Frank dituliskan berdasarkan catatan harian yang tertinggal saat dia terpisah dengan orang tuanya ketika dibawa ke kamp konsentrasi Hitler. Otto Frank, ayahnya yang pada waktu masih hidup akhirnya menyerahkan pada penerbit buku dan menjadikan kisah kehidupan Anne Frank sebagai kisah yang inspiratif bagi siapapun yang membacanya.
Meskipun kita tidak melibatkan dalam sikap-sikap yang penuh kebencian terhadap Yahudi, namun bukan berarti kita menyetujui berbagai aktifitas atau tindakan Yahudi sebagai negara yang dapat saja terjatuh dalam berbagai kebijakkan yang keliru dalam panggung politik dunia, khususnya dalam hal menangani konflik dengan Palestina. Hans Ucko mengingatkan sbb: “Disaat tentara Israel membom rumah-rumah orang Palestina dan menutup kegiatan di sekolah-sekolah anak Palestina itu, ada saja orang Kristen (yang terlibat dalam dialog Yahudi-Kristen) mengatakan tanpa pertimbangan apapun bahwa negara Israel adalah tanda kemurahan Elohim kepada umatNya. Dan tidak ada sedikitpun disinggung soal hak asasi manusia. Namun, sebagaimana kita ketahui, etika dan janji Elohim mesti selalu dijalankan beriringan. Bisa saja banyak orang Kristen yang ragu untuk mengkritik negara Israel, karena sikap itu seolah menghidupkan kembali sejarah yang buruk yang ditempuh antara orang Kristen dan Yahudi dimasa lalu. Ketakutan itupun bisa muncul karena keengganan mereka dicap sebagai anti-semitisme.Namun, apakah memang mengkritik kebijakan negara Israel akan selalu berarti bersikap anti semitisme? Kami yakin bahwa kritik terhadap kebijakan-kebijakan pemerintahan Israel tidak dengan sendirinya menjadi sikap anti yahudi. Demi mencari keadilan, kritik yang berkelanjutan perlu dilancarkan terhadap negara-negara dan gerakan-gerakan politik, yang tentu saja tidak harus berarti mencemarkan penduduknya dan lebih lagi persekutuan iman yang ada di negeri itu. Pernyataan-pernyataan yang menyangkut tindakan negara Israel bukanlah pernyataan yang diarahkan kepada umat Yahudi atau Yudaisme, karena pernayataan itu menjadi bagian resmi dari perdebatan dalam masyarakat dunia. Sikap-sikap kritis yang sama pun akan muncul dari dalam atau dari luar, terhadap negara-negara dan gerakan-gerakan politik yang mengklaim nilai-nili kekristenan sebagai dasarnya”19. Dalam kajian yang akan datang saya akan berusaha obyektif dengan menyajikan beberapa data dalam Talmud Yahudi yang dapat memicu sikap-sikap Anti Semit.
Dengan penjelasan di atas, kita benar-benar berusaha obyektif dan mengambil jarak terhadap persoalan yang kita hadapi, yaitu memandang Israel sebagai sebuah wilayah geopolitik dan memandang Israel sebagai sumber agama-agama Semitik, sehingga kita tidak terjebak pada fanatisme buta sekaligus menjaga dari sikap Anti Semitik.
Dengan spirit Khanukah, marilah kita sebagai pengikut-pengikut Mesias, turut menyalakan terang bagi dunia yang dikuasai kegelapan dan kejahatan dan melawan berbagai bentuk Antisemitisme yang telah membanjir baik dalam sistem pendidikan, keagamaan, kebudayaan, literatur. Shameakh Khanukah 2010
------------
[1] Sejarah Khanukah: Makna & Relevansinya, Midrash Shabat, Tgl 12 Desember 2009, Kebumen
[3] Ibid.,
[4] Exploring Church History, Illinois: Evanggelical Training Association, 2002, p.17
[5] Eusebius. "Life of Constantine (Book III)", 337 CE, accessed March 12, 2006
[6] Anti Semitsm of The Church Father, www.yashanet.com/library/fathers.com
[7] Ibid.,
[8] A. M. Roth, Norman Roth Jews, Visigoths and Muslims in Medieval Spain, Brill Academic, 1994 (dalam. www.wikipedia.org)
[9] Harry R. Boer, A Short History of the Early Church, Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1986, p. 143
8 Messianic Jewish Manifesto, Jewish New Testament Publications, 1991, p.126
9 Band. Paul Enns, The Moody Hand Book of Theology, Literatur SAAT, 2004.
10 Akar Bersama: Belajar tentang Iman Kristen dari Dialog Kristen-Yahudi, Jakarta: BPK, 1999, hal 5
11 Akar-akar Keyahudian dalam Liturgi Kristen, dalam : Jurnal Teologi GEMA Duta Wacana, no 53, Yogyakarta: 1998, hal 72-73
12 Jakarta: SAHARA Publishers, 2004, hal 239-243
13 DR. Ahmad Abdul Hamid Ghurab, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1993
14 Muhsin Anbataani, Jakarta: Gema Insani Press, 1993
15 DR. Jamal Abdul Hadi Muhamad Mas’oud dan DR. Wafa Muhamad Rif’at Huj’ah, Jakarta: Gema Insani Press, 1993
16 William G. Carr, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1993
17 Muhamad Fahim Amin, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1992
19 Op.Cit., Akar Bersama,: Belajar tentang Iman Kristen dari Dialog Kristen-Yahudi, hal 15
2 komentar:
Menarik sekali uraiannya, saya sebagai orang kristen indonesia tidak terlalu tahu banyak mengenai antisemit yang terjadi baik di eropa maupun di sepanjang sejarah gereja. Bagi saya pribadi, yudaisme dan kekristenan tidak harus berbenturan sehebat itu, tapi sangat disayangkan kalau memang hal2 seperti itu pernah terjadi. Semoga terjadi rekonsiliasi.
Tapi, apa pendapat anda mengenai kekristenan zionist, yg terlihat mendukung tindakan negara israel secara membabibuta demi keyakinan mereka akan kedatangan yesus yg kedua kali?
Kita mengganggap Israel sebagai negara berdaulat sebagaimana negara-negara lainnya. Dan tidak perlu memberikan dukungan membabi buta terhadap Israel karena mereka pun sebagaimana negara lain dapat membuat pelanggaran dan kita berhal memberikan kecaman secara politis dan tidak terkait dengan isu teologis
Posting Komentar