Fenomena Dimas Kanjeng yang menghebohkan media cetak, media elektronik, media sosial akhir-akhir ini bukan semata-mata dikarenakan praktik magis dan klenik dibalik jubah agama melainkan keterlibatan sejumlah orang baik itu tokoh publik, intelektual rasional, aparat keamanan dengan kepangkatan yang tidak rendah. Hampir semua orang mempertanyakan, bagaimana mungkin sejumlah tokoh intelektual yang mengakrabi dunia rasional empiris dengan gelar akademis tinggi dan memperolehnya di sekolah-sekolah ternama di luar negeri dapat dengan mudah menjadi pengikut dan pembela ajaran dari seorang tokoh dengan kemampuan supranatural yang saat ini harus berurusan dengan hukum. Dihadapan kita seolah ditayangkan secara terbuka praktik klenik dan magis berbaju agama mulai mengalami rasionalisasi dan kelompok intelektual mengalami kemerosotan kewibawaan dan ketidakberdayaan melihat kemampuan supranatural yang didemonstrasikan di depan mereka – terlepas apakah demonstrasi kemampuan supranatural tersebut dituding praktik penipuan atau bukan, biarlah hukum yang kelak memutuskan. Apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa fenomena ini terus menerus terjadi di tengah-tengah masyarakat kita?
Fenomena Dimas Kanjeng yang menghebohkan media cetak, media elektronik, media sosial akhir-akhir ini bukan semata-mata dikarenakan praktik magis dan klenik dibalik jubah agama melainkan keterlibatan sejumlah orang baik itu tokoh publik, intelektual rasional, aparat keamanan dengan kepangkatan yang tidak rendah. Hampir semua orang mempertanyakan, bagaimana mungkin sejumlah tokoh intelektual yang mengakrabi dunia rasional empiris dengan gelar akademis tinggi dan memperolehnya di sekolah-sekolah ternama di luar negeri dapat dengan mudah menjadi pengikut dan pembela ajaran dari seorang tokoh dengan kemampuan supranatural yang saat ini harus berurusan dengan hukum. Dihadapan kita seolah ditayangkan secara terbuka praktik klenik dan magis berbaju agama mulai mengalami rasionalisasi dan kelompok intelektual mengalami kemerosotan kewibawaan dan ketidakberdayaan melihat kemampuan supranatural yang didemonstrasikan di depan mereka – terlepas apakah demonstrasi kemampuan supranatural tersebut dituding praktik penipuan atau bukan, biarlah hukum yang kelak memutuskan. Apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa fenomena ini terus menerus terjadi di tengah-tengah masyarakat kita?
Istilah "GPL", selain istilah-istilah seperti "Selfie", "Nongski", "OTW", akhir-akhir ini telah mengakrabi telinga dan pendengaran kita. Jika kita memesan makanan lantas kita berkata GPL yang merupakan akronim dari "Gak Pake Lama". Istilah GPL seolah telah menjadi norma sosial modern dimana kehidupan semakin cepat dan kita harus menyesuaikan dengan kecepatan tersebut agar tidak tertinggal dalam perubahan dan kemajuan.
Kita menjadi tergila-gila dengan kecepatan dan tidak nyaman hidup dalam dunia yang lambat. Ada makanan cepat saji (fast food), ada sekolah cepat jadi (ekstensi), ada jasa peminjaman cepat tanpa antri.
Tahun 2000-an telah menjadi titik balik perubahan sosial kebudayaan melalui revolusi teknologi. Kita mulai mengenal berbagai gadget modern mulai dari hand phone, lap top, note book, tablet. Kita mulai mengenal surat elektronik. Kita mulai mengenal jejaring sosial facebook, instagram, whatsap dll.
Dengan menggunakan
definisi deskriptif, istilah “Alun-alun” dalam konteks modern yaitu sebuah
ruang terbuka dan luas yang ditandai sejumlah elemen-elemen berikut yang ada
disekelilingnya yaitu keberadaan pohon beringin di tengah lapangan luas, gedung
pusat pemerintahan baik eksekutif dan legislatif serta tempat peribadatan
(masjid) di sekitar alun-alun. Alun-alun biasanya menjadi pusat kegiatan warga,
mulai dari aktifitas ekonomi baik di siang atau malam hari mulai dari pedagang
makanan hingga mainan anak-anak, aktifitas olah raga di pagi hari, upacara
nasional, pesta hiburan rakyat mulai dari kesenian tradisional hingga
pertunjukkan seni modern kontemporer. Tidak lupa tentunya sejumlah aktifitas
muda dan mudi yang memanfaatkan alun-alun dari mulai bercengkrama dengan
pasangannya hingga berselfie ria sebagai gaya hidup di erateknologi informasi.
Beberapa hari lalu, saat di Yogyakarta. Seperti biasa jika mampir ke kota di mana saya pernah menimba ilmu untuk memperoleh gelar sarjana, saya selalu menyempatkan diri mampir ke sebuah warung steak kegemaran saya. Saat menunggu pesanan tiba, saya memperhatikan sekelompok anak-anak muda penuh tawa ria bercanda sambil menunggu pesanan yang sama dengan saya. Saat pesanan mereka tiba, ada sebuah pemandangan yang menarik dan untuk pertama kali saya lihat dengan mata kepala tanpa gambar perantara. Dengan memasang pose masing-masing di hadapan hidangan yang tersedia, berlangsunglah ritual modern menjelang makan di kalangan anak muda. Ya..."Selfie" namanya.
Sejak tahun 2002, istilah
"Selfie" mulai dikenal dalam media sosial semacam facebook, instagram,
whatsap dll. Istilah ini pertama kali muncul dalam sebuah forum internet
Australia (ABC Online) pada tanggal 13 September 2002. Istilah Selfie
berasal dari kata Self (diri) dan bermakna bermakna foto diri sendiri
yang diambil oleh diri sendiri melalui penggunaan kamera digital atau
hand phone yang memiliki fasilitas kamera digital di dalamnya. Dalam
dunia industri hiburan Korea dinama "Selca" (self camera).
BUKAN UNTUK MENJADI TUAS DAN SEKRUP: PANGGILAN UNTUK PENDIDIKAN YANG MEMBEBASKAN
Posted by Teguh HindartoBulan Agustus ini kita bukan hanya dihadapkan pada ritualitas tahunan untuk memelihara kesadaran kebangsaan melalui perayaan kemerdekaan yang jatuh pada tiap tanggal 17 Agustus, namun juga menjadi bulan kesibukkan orang tua murid atau calon mahasiswa mempersiapkan jenjang pendidikkan di perguruan tinggi. Pendidikkan formal tetap akan menjadi idaman bagi setiap orang tua dan orang muda karena melalui pendidikkan formal yang dijalani, seseorang akan dapat menjalani – dalam Sosiologi diistilahkan – Social Mobility (mobilitas sosial) khususnya Social Climbing (pendakian status sosial).
Berbicara perihal istilah pendidikan, J.
Drost, SJ seorang tokoh pendidikan Katolik paling tidak sepakat dengan
penyamarataan perihal pendidikan dan pembelajaran atau pengajaran dan
memilahkannya dengan tegas sebagai dua substansi yang berbeda. Bahkan istilah
pendidikan formal-non formal pun beliau tidak menyepakatinya. Baginya
pendidikkan formal adalah istilah yang tidak tepat. Menurutnya, “Hampir semua orang kita akan mengatakan:
kedua-duanya sama. Itulah malapetaka atau musibah yang melanda dunia
persekolahan kita. Karena yang diadakan di sekolah terutama pengajaran bukan
pendidikan. Dengan kegiatan pendidikkan dimaksud menanamkan nilai-nilai ke
dalam budi orang. …Jadi, kesimpulan yang paling mendasar ialah bahwa lembaga
pertama dan utama pembentukkan dan pendidikan adalah keluarga. Yang
pertama-tama mengajarkan kepada anak pengetahuan akan (Tuhan), pengalaman
tentang pergaulan manusia dan kewajiban memperkembangkan tanggung jawab
terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain adalah orang tua” (Proses
Pembelajaran Sebagai Proses Pendidikkan, 1999:1-2). Jika keluarga adalah
pusat pendidikkan dan penanaman nilai-nilai baik religius maupun moral maka
menurut J. Drost, SJ maka sekolah adalah lembaga formal yang dipercayakan pada
masyarakat dan pemerintah untuk proses pembelajaran dengan tujuan membangun
kecakapan intelektual sebagaimana dikatakan, “Salah satu bantuan yang diberikan kepada orang tua oleh masyarakat
adalah pembentukkan manusia muda pada bidang intelektual. Dan proses
pembentukkan ini berlangsung dalam lembaga yang disebut sekolah. Dan proses itu
disebut proses mengajar-belajar atau proses pembelajaran, yang berarti usaha
menjadi orang lain belajar…Jadi tujuan utama pengajaran ialah usaha agar
intelek setiap pelajar berkembang sepenuhnya seukuran talenta” (Ibid.,).
Dalam sebuah petikkan film animasi berjudul Ratatouille (2007) yang mengisahkan
obsesi seekor tikus bernama Remy yang berkolaborasi dengan seorang anak Chef
terkenal Auguste Gusteau yang bernama Linguini Gusteau, ada percakapan menarik
dan menggelikan dari pelayan yang gemetar ketakutan saat mendatangi meja Anton
Ego, seorang kritikus masakan restoran. Berikut penggalan percakapannya,
Pelayan: “Sudah tahu apa yang Anda pesan malam ini pak?”
Anton Ego: “Ya, sudah. Setelah membaca tulisan berlebihan
tentang juru masak barumu, tahu apa yang aku inginkan?....Sedikit perspektif…Itu dia, aku butuh perspektif yang segar, jernih
dan mendalam. Bisa sertakan anggur enak untuk menemaninya?
Pelayan: (sambil terbelalak dan menelan ludah) “Teman apa
pak?”
Anton Ego: Perspektif.
Sudah habis ya?
Pelayan: “Aku…”
Anton Ego: (seraya bangkit dari kursi dan mendekatkan
wajah cekungnya pada pelayan) “Mengingat kau kehabisan perspektif dan tidak ada yang punya itu di kota ini, aku akan buat
kesepakatan ini denganmu. Kau sediakan makanan, akan kusediakan perspektif itu yang enak jika ditemani
sebotol anggul Drival Blanc 1947!”
Apakah maksud istilah perspektif dalam
penggalan adegan tersebut? Dalam konteks alur film animasi dan peran tokoh
Anton Ego, dia menginginkan sebuah sajian masakan yang khas dan orisinil dari
restoran yang akan dia kritisi namun jika restoran yang dia kritisi tidak bisa
menyajikannya maka dia sendiri yang akan memberikan tinjauan kritis atau
perspektif dirinya yang akan menentukan kelangsungan dan masa depan restoran
tersebut.
Agama, sejatinya berisikan aturan-aturan dan
pedoman-pedoman bagaimana seseorang berinteraksi secara vertikal dengan
“Keberadaan Yang Maha Tinggi” dan bagaimana berinteraksi secara horisontal
dengan sesama manusia dalam kehidupan sosial. Muara akhir yang diharapkan dari
pemahaman dan praktek beragama tentu saja sebuah kesalehan baik kesalehan
individual maupun kesalehan sosial. Namun anehnya, agama yang selalu menjadi
simbol nilai-nilai kesalehan dan kebaikkan, sumber pandangan hidup, jawaban
bagi persoalan-persoalan metafisika di sisi lain kerap tampil ke permukaan
sebagai sebuah bentuk perilaku yang penuh kekerasan dan kemarahan yang
diperlihatkan oleh segolongan orang atau beberapa kelompok masyarakat yang
melakukan sejumlah kekerasan dengan mengatasnamakan agama.
Akhir-akhir ini terjadi insiden dan kekerasan
atas nama agama yang bersifat komunal berupa pembakaran vihara Budha di Tanjung
Balai, Sumatra Utara (29/7/2016) yang diawali teguran seorang wanita etnis Tionghoa
yang menegur volume azan mesjid telah memicu tindakan kekerasan dan pembakaran dan
perusakan sarana ibadah di sejumlah vihara. Kejadian ini adalah kejadian
kesekian dari kesekian kasus-kasus yang mengatasnamakan agama dimana sekelompok
penganut agama merasa dirugikan kebebasan ekspresi keagamaannya atau merasa
terusik saat perilaku agamanya ditegur oleh orang yang berbeda keyakinan atau
adanya sebuah tudingan pelanggaran regulasi oleh salah satu penganut agama
hingga kekerasan dan konflik atas nama agama bermuara. Kita masih ingat
peristiwa insiden pembakaran mesjid di Tolikara, Papua beberapa waktu lalu
(17/7/2015) yang dipicu pula oleh persoalan penggunaan speaker. Sebelumnya
terjadi peristiwa pembakaran sejumlah gereja di Aceh Singkil (13/10/2015) yang
ditengarai tidak berizin dan sekiranya akan dibongkar oleh Pemda Aceh justru
telah didahului dengan peristiwa pembakaran oleh masyarakat.
PERDEBATAN PERIHAL BUMI BULAT VS BUMI DATAR: Epistemologi Sains Di Era Posmodernisme
Posted by Teguh Hindarto
Belakangan ini beredar perdebatan di media sosial berisikan gugatan terhadap kosmologi modern yang didasarkan pada sains modern berikut perangkat teknologinya yang menyatakan bahwa bumi adalah bulat dan mereka yang menyangkal mengulang kembali persepsi terhadap kosmologi kuno bahwa bumi itu datar.
Saya jadi teringat sebuah kisah lama perihal gajah dan orang-orang yang buta. Di suatu desa tua ada sebuah cerita dimana semua penduduknya adalah orang buta. Suatu kali ketika enam orang buta berjalan ke jalan raya dan bertemu dengan seseorang yang sedang menunggang gajah yang sangat besar. Enam orang buta ini pernah mendengar tentang gajah namun belum pernah menyentuh gajah sama sekali. Mereka meminta agar pemilik gajah tersebut mengijinkan mereka menyentuh gajah itu. Mereka ingin kembali ke desa dan memberitahukan kepada semua orang tentang gajah tersebut.
Pemilik gajah itu pun setuju dan mengijinkan ke enam orang buta itu memegang bagian-bagian yang berbeda dari gajah itu sampai mereka yakin bahwa mereka sudah mengetahui tentang gajah tersebut. Akhirnya mereka pun kembali ke desa dan mengumpulkan banyak orang dan mulailah mereka satu persatu menjelaskan tentang gajah tersebut. Orang pertama yang memegang badan gajah mengatakan bahwa gajah itu seperti dinding yang tebal. “Bukan begitu” kata orang kedua yang memegang gading gajah, dan mengatakan bahwa “gajah itu bentuknya agak panjang meruncing dan tajam.
Orang ketiga yang memegang telinga gajah itu berkata “bukan seperti itu, gajah itu sperti daun raksasa, kalau kita pegang akan bergerak-gerak.” “Saya tidak setuju”sahut orang keempat yang memegang belalai gajah dan berkata “gajah itu seperti ular raksasa.” Orang kelima berteriak tak setuju dan berkata “Gajah itu seperti pohon yang besar.” Orang keenam yang diijinkan menunggang gajah itu berkata “Tidak ada satu pun dari kalian yang akurat! Gajah itu seperti gunung besar yang dapat bergerak dan berjalan!”
Akhirnya mereka masing-masing tetap berargumen tentang gajah tanpa seorang pun di desa itu yang akhirnya dapat memahami seperti apa gajah itu sebenarrnya (Sumber: Hot Illustrations for Youth Talks).
Menyatakan bahwa bumi ini datar dengan mengabaikan hasil kesimpulan sains yang didasarkan fakta empirik dan perlengkapan teknologi ibarat melihat separuh realitas lalu menguniversalisasi separuh realitas itu menjadi realitas universal. Kesimpulan ilmiah bahwa bumi bulat melewati ribuan tahun penelitian dan perdebatan dimulai dari kosmologi kuno mengenai dunia hingga gugatan terhadap gugatan kosmologi kuno oleh Copernicus, Maghelans, Galileo hingga teknologi modern yang bisa memotret bentuk bumi dari luar bumi. Kepingan-kepingan perdebatan, pembuktian hingga perkembangan teknologi yang bisa memotret secara global bumi dan planet-planet lainnya termasuk matahari dan bulan adalah cara melihat realitas dari ketinggian dan secara keseluruhan. Ibarat Anda sedang berada di puncak sebuah gunung dapat melihat secara luas bukan hanya sebuah aktifitas sosial di sebuah desa melainkan alur jalan yang menghubungkan aktifitas sosial satu desa dengan desa lainnya serta berbagai penampakkan alam lainnya seperti pepohonan menghijau, barisan bebukitan serta kelokan sungai yang menawan.
Saya jadi teringat sebuah kisah lama perihal gajah dan orang-orang yang buta. Di suatu desa tua ada sebuah cerita dimana semua penduduknya adalah orang buta. Suatu kali ketika enam orang buta berjalan ke jalan raya dan bertemu dengan seseorang yang sedang menunggang gajah yang sangat besar. Enam orang buta ini pernah mendengar tentang gajah namun belum pernah menyentuh gajah sama sekali. Mereka meminta agar pemilik gajah tersebut mengijinkan mereka menyentuh gajah itu. Mereka ingin kembali ke desa dan memberitahukan kepada semua orang tentang gajah tersebut.
Pemilik gajah itu pun setuju dan mengijinkan ke enam orang buta itu memegang bagian-bagian yang berbeda dari gajah itu sampai mereka yakin bahwa mereka sudah mengetahui tentang gajah tersebut. Akhirnya mereka pun kembali ke desa dan mengumpulkan banyak orang dan mulailah mereka satu persatu menjelaskan tentang gajah tersebut. Orang pertama yang memegang badan gajah mengatakan bahwa gajah itu seperti dinding yang tebal. “Bukan begitu” kata orang kedua yang memegang gading gajah, dan mengatakan bahwa “gajah itu bentuknya agak panjang meruncing dan tajam.
Orang ketiga yang memegang telinga gajah itu berkata “bukan seperti itu, gajah itu sperti daun raksasa, kalau kita pegang akan bergerak-gerak.” “Saya tidak setuju”sahut orang keempat yang memegang belalai gajah dan berkata “gajah itu seperti ular raksasa.” Orang kelima berteriak tak setuju dan berkata “Gajah itu seperti pohon yang besar.” Orang keenam yang diijinkan menunggang gajah itu berkata “Tidak ada satu pun dari kalian yang akurat! Gajah itu seperti gunung besar yang dapat bergerak dan berjalan!”
Akhirnya mereka masing-masing tetap berargumen tentang gajah tanpa seorang pun di desa itu yang akhirnya dapat memahami seperti apa gajah itu sebenarrnya (Sumber: Hot Illustrations for Youth Talks).
Menyatakan bahwa bumi ini datar dengan mengabaikan hasil kesimpulan sains yang didasarkan fakta empirik dan perlengkapan teknologi ibarat melihat separuh realitas lalu menguniversalisasi separuh realitas itu menjadi realitas universal. Kesimpulan ilmiah bahwa bumi bulat melewati ribuan tahun penelitian dan perdebatan dimulai dari kosmologi kuno mengenai dunia hingga gugatan terhadap gugatan kosmologi kuno oleh Copernicus, Maghelans, Galileo hingga teknologi modern yang bisa memotret bentuk bumi dari luar bumi. Kepingan-kepingan perdebatan, pembuktian hingga perkembangan teknologi yang bisa memotret secara global bumi dan planet-planet lainnya termasuk matahari dan bulan adalah cara melihat realitas dari ketinggian dan secara keseluruhan. Ibarat Anda sedang berada di puncak sebuah gunung dapat melihat secara luas bukan hanya sebuah aktifitas sosial di sebuah desa melainkan alur jalan yang menghubungkan aktifitas sosial satu desa dengan desa lainnya serta berbagai penampakkan alam lainnya seperti pepohonan menghijau, barisan bebukitan serta kelokan sungai yang menawan.
(Artikel
ini di muat di Harian Banyumas, Tgl 28 Mei 2016)
Catatan:
Artikel ini telah
diperbarui datanya dikarenakan adanya pertambahan kasus di tahun 2016 dan
diberi sejumlah catatan tambahan untuk memperjelas gagasan.
Sepanjang tahun 2015
telah terjadi beberapa kali kasus kematian akibat bunuh diri di Kebumen (10
Januari, 20 Maret, 10 April, 27 Agustus). Sementara tahun 2016 sudah mencapai
lima kasus bunuh diri. Terakhir (saat artikel ini dimuat di surat kabar Harmas)
menimpa seorang guru di wilayah Kuwarasan (22 Mei 2016). Sekarang telah
bertambah menjadi sepuluh kasus (saat artikel ini diperbarui jumlah kasusnya, yaitu:
23 Januari, 9 Februari, 24 Maret, 10 April, 30 April, 8 Mei, 9 Mei, 22 Mei, 13
Juni, 23 Juni).
Apa yang terjadi dengan
masyarakat kita khususnya di sebuah wilayah kabupaten yang belum terkategori
sebagai wilayah industri dengan dinamika kehidupan sosial ekonomi yang
kompleks? Pada tahun 1897, seorang sosiolog Prancis bernama Emile Durkheim
menuliskan kajiannya yang mendalam berkaitan dengan fenomena bunuh diri
dihampir seluruh negara di Eropa. Kajiannya diberi judul “Suicide: A Study In Sociology,
London: Routledge Classics 2002” dan berisi analisis sosiologis
komprehensif berkaitan dengan variabel-variabel dalam struktur sosial yang
dapat menimbulkan terjadinya bunuh diri. Hasil analisis Durkheim akan kita
terapkan dalam kasus yang terjadi di wilayah Kabupaten Kebumen sepanjang tahun
2015-2016 ini.
FILM "THE CONJURING: THE ENFIELD POLTERGEIST" DAN FENOMENA DEMONIK DI SEKITAR KITA
Posted by Teguh Hindarto
Menonton Film Conjuring Di Wilayah “Ngapak
Culture”
Animo penonton nampaknya masih begitu tinggi
dengan pesona film dengan judul The Conjuring 2 (juga dikenal sebagai The Conjuring: The Enfield Poltergeist).
Terbukti setelah jadwal tayang resminya di antara tanggal 10-17 Juni ternyata
masih diperpanjang hingga 24 Juni. Film The Conjuring 2 adalah film
horor supranatural Amerika Tahun 2016 yang disutradarai oleh James Wan dan ditulis oleh
Carey Hayes, Chad Hayes, Wan dan David Leslie Johnson. Ini adalah sekuel 2013 Film
The Conjuring
yang ditayangkan tahun 2013 lalu dan serial kedua dari serial film The
Conjuring. Ada yang menarik saat menyaksikan film ini
di wilayah dengan “Ngapak Culture” (Budaya bahasa Ngapak yang tersebar di
wilayah Banyumas dan Purwokerto. Selengkapnya dapat membaca Budiono Herusatoto, Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa dan Watak: Yogyakarta, LKiS 2008) yaitu Purwokerto tinimbang di Yogyakarta
sebagaimana biasanya saya meluangkan waktu menyaksikan beberapa film yang saya
minati (seputar tema sejarah Indonesia dan horor supranatural luar negeri).
Jika saya menonton di Yogyakarta khususnya adegan-adegan “horrible”
(menakutkan) akan terasa suasana mencekam tersebut karena biasanya penonton
akan mengikuti alur emosi secara natural. Maksud saya jika tiba adegan mencekam
benar-benar akan ada teriakan kecil atau terkejut. Namun berbeda saat saya
menyaksikan di tengah “Ngapak Culture” dan hampir mayoritas remaja putri di
suasana liburan dan bertepatan dengan saatu Bulan Ramadhan kali ini. Setiap adegan-adegan
yang mencekam dan mengejutkan muncul beberapa kali dalam film ini seperti
kemunculan tiba-tiba sosok di balik kegelapan atau hentakkan pintu yang
terbanting tiba-tiba. Setiap penonton hampir semua akan berteriak tercekam
namun disambut dengan segera dengan tawa riuh menertawakan ketakutan mereka
sendiri tentunya dan memaki adegan yang mengagetkan tersebut. Alih-alih
penonton disergap rasa takut dan mencekam justru film horor supranatural
Conjuring 2 justru seperti film horor semi lawakan. Jika sepulang menyaksikan
film bertemakan “something hhorible” biasanya kita masih larut dan terbawa
suasana mencekam namun kali ini justru berbeda dan saya bersama istri malah
lebih banyak membicarakan keunikkan dan keasyikkan tersendiri menonton film
horor di wilayah “Ngapak Culture”.
Pergeseran Ideologi
Paska Perang Dingin dan Konsekwensinya
Tahun 1993, Samuel Huntington
dalam bukunya yang terkenal The Clash of
Civilizations and The Remaking of World Order dan telah diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia dengan judul, Benturan
Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia diterbitkan
oleh Qalam. Buku tersebut menuai kontroversi baik dari masyarakat intelektual
baik internal maupun eksternal. DR. Latthifah Ibrahim Khadhar menulis buku
untuk menjawab analisis Huntington dengan judul, Ketika Barat Memfitnah Islam diterbitkan oleh Gema Insani Press.
Dengan keras DR. Latthifah Ibrahim Khadhar menuding, “Berangkat dari keyakinan Barat tentang keniscayaan adanya perseteruan—dan
bahwa keberadaannya tak terwujud kecuali dengan perseteruan dan benturan dengan
musuhnya—maka Barat pun membuat-buat perseteruan dan menciptakan musuh serta
membesar-besarkannya. Mereka akan terus berusaha hingga saat kekalahan Islam
dan kemenangan Barat terjadi. Mereka menolak timbulnya tandingan dan memperkuat
perasaan tinggi hati dengan kekuatan dan kekejaman”[1].
Apa yang membuat para pemikir
politik dan sosial serta agamawan begitu kontroversial dengan opini Huntington?
Huntington membuat analisis bahwa paska runtuhnya Komunisme, Barat dan Islam
menjadi dua kekuatan yang saling berhadap-hadapan. Konflik antara Barat dan
Islam dilandasi oleh adanya perbedaan konsepsi keagamaan dan kesamaan misi
keagamaan yaitu bersifat dakwah atau misionaris sehingga berpotensi menimbulkan
konflik masa depan[2].
Huntington percaya bahwa sifat interaksi Islam dan Kristen baik Ortodox maupun
Barat selama 400 tahun seringkali penuh ketegangan[3].
Lebih spesifik lagi, Huntington menyatakan: “Bagi
Barat, yang menjadi ‘ganjalan’ utama bukanlah fundamentalisme Islam tapi Islam
itu sendiri, sebuah peradaban yang masyarakatnya berbeda dengan kebudayaan
mereka yang diyakini memiliki keunggulan dan terobsesi dengan inferioritas
mereka. Bagi Islam, yang menjadi persoalan bukan CIA atau Departemen Pertahanan
A.S., tapi Barat, sebuah peradaban yang berbeda dimana masyarakatnya meyakini
universalitas serta keluhuran kebudayaan mereka. Jika mereka mengalami
kemunduran, terdapat kekuatan yang mengharuskan mereka menyebarkan kebudayaan
mereka di seluruh dunia. Itulah sebab-sebab yang memicu terjadinya konflik
antara Barat dan Islam”[4].
Sebuah
Tanggapan Untuk Ioanes Rakhmat
Dalam status yang dibuatnya di media Facebook, Ioanes
Rakhmat membuat judul, “Pertarungan
Model Sosiologis Marxis Dengan Model Sosiologis Pancasilais” dengan
memposting artikel yang dibuatnya di kompasiana.com dengan judul, “Mendagri Tjahjo Kumolo, “Aku Tak Mau
Mengikuti Genderang Kivlan” Zen!”. Ada yang mengganggu pikiran saya dengan
istilah yang dibuat oleh Ioanes Rakhmat yaitu “Sosiologis Marxis” dan
“Sosiologis Pancasilais” serta “Pertarungan Model”. Saya kutipkan salah satu
pernyataan sebagai pembuka ulasannya sbb:
“Model” adalah suatu representasi yang disederhanakan atas
realitas apapun yang sebetulnya rumit dan pelik, supaya orang dapat mudah membayangkan,
memahami, menjelaskan dan mendeskripsikan realitas ini, dan memprediksi akan ke
mana dan bagaimana realitas ini bergerak ke depannya. Semua ilmu pengetahuan
memerlukan model-model, termasuk sosiologi. Dalam fisika, misalnya, ada model
komputer, model matematis, dan lain-lain. Dalam sosiologi, seluk-beluk
masyarakat yang sebetulnya rumit disederhanakan minimal dalam tiga model, yakni
model konflik, model fungsionalisme struktural, dan model interaksi simbolik.
Berhubung dalam masyarakat Indonesia di hari-hari belakangan ini ada kalangan
yang mengklaim diri kalangan “pembela Pancasila” yang dengan gencar “sedang
memerangi” apa yang mereka sendiri persepsikan sebagai kalangan “PKI gaya baru”
atau kalangan Marxis komunis, ada baiknya kita sekarang mengkaji dinamika
sosiologis ini dari perspektif model-model sosiologis yang sedang bertarung.
Dengan pas kita dapat melihat dinamika ini sebagai suatu pertarungan model
konflik dengan model fungsionalisme struktural. Sederhana saja, kalangan Marxis
menganut model sosiologis konflik; dan kalangan Pancasilais menerapkan model
fungsionalisme struktural. Dua model ini berbeda”
MERAYAKAN PERBEDAAN PERISTIWA KRISTOLOGIS DAN PANGGILAN BERKONTRIBUSI PADA REALITAS KEHIDUPAN
Posted by Teguh Hindarto
Jika
Kristen mainstream (arus utama) meyakini dan menghayati Yesus lahir pada
tanggal 25 Desember maka komunitas kristen “back to Hebraic root” (saya lebih
senang mengistilahkan dengan Mazhab Yudeo Kristen) memiliki keyakinan dan
penghayatan bahwa Yesus lahir pada saat orang Yahudi merayakan Sukkot (Pondok
Daun), sehingga perayaan Sukkot sekaligus dirayakan sebagai perayaan kelahiran
Yesus yang biasanya jatuh pada bulan Tishri (Sept/Okt). Demikian pula perihal
kewafatan dan kebangkitan Yesus Sang Mesias dari kematian. Jika gereja
mainstream merayakan tahapan peristiwa sengsara, kewafatan dan kebangkitan
Yesus dalam struktur ibadah Rabu Abu, Kamis Putih, Jum’at Agung, Paskah atau
ada juga yang hanya merayakan Jum’at Agung dan Paskah, maka komunitas kristen “back
to Hebraic root” merayakan kewafatan Yesus pada tanggal 14 Nisan menurut
kalender Yahudi dengan ditandai makan jamuan Seder Pesakh sebagaimana dilaporkan dalam Injil Sinoptik dan
merayakan kebangkitan Yesus dari kewafatan pada hari raya Bikurim (buah
sulung). Jika Yudaisme merayakan Pesakh,
ha Matsah (roti tidak beragi) dan Bikurim
(buah sulung) dalam kerangka peringatan tindakan YHWH terhadap umat-Nya Israel
mulai dari pembebasan dari Mesir hingga memimpin memasuki tanah perjanjian,
maka komunitas Kristen “back to Hebraic root” sebagai gerakan turunan dari Messianic Judaism (gerakan keagamaan Abad
20 diantara orang Yahudi dan penganut Yudaisme yang telah menerima Yesus
sebagai Mesias namun tidak menyebut dirinya Kristen) merayakan hari-hari raya
tersebut sebagai bingkai yang melengkapi peristiwa kristologis yang berpusat
pada kewafatan dan kebangkitan Yesus dari alam maut.
KEBERADAAN WARUNG SEBAGAI WAHANA INTERAKSI SOSIAL DAN PEMENUHAN RUANG SOSIAL
Posted by Teguh Hindarto
Warung, merupakan bagian keseharian dalam masyarakat kita. Dari mulai kawasan perumahan kalangan menengah ke atas hingga perkampungan penduduk, selalu dengan mudah kita mendapati keberadaan warung baik itu warung yang menjual kebutuhan pokok sehari-hari hingga warung yang menyediakan jasa makanan atau minuman. Dari aspek ekonomi (manajemen, tampilan fisik), warung merupakan bagian dari pasar konvesional selain kios, pedagang kaki lima, pasar loak, toko. Jika ada pasar tradisional tentu ada pasar kontemporer yang meliputi department store, supermarket, hypermarket, e-ritel, vending machine.
Sebelum ada toko-toko modern yang menyediakan berbagai barang kebutuhan sehari-hari bermunculan dan menjamur menghiasi seluruh wajah kota dan desa di masyarakat kita, keberadaan warung telah ada cukup lama untuk memenuhi kebutuhan bahan pokok sehari-hari masyarakat. Warung adalah warisan historis sebuah masyarakat tradisional yang tetap bertahan hingga kini. Menariknya, keberadaan warung – entah itu pemasok kebutuhan sehari-hari, makanan, minuman – justru yang paling bertahan dari gempuran krisis ekonomi. Dalam artikelnya, "Ekonomi Rakyat Menyubsidi Ekonomi Konglomerat", Parni Hardi mengutip pernyataan Prof Sri-Edi Swasono (SES), guru besar ekonomi kerakyatan Universitas Indonesia (UI), pada presentasi Sistem Ekonomi Indonesia, saat forum Gerakan Pemantapan Pancasila, di Jakarta, (18 Agustus 2015) sbb: “Sektor informal, terutama warung-warung pedagang kaki lima (PKL) memberi kehidupan murah (low cost economy and low cost of living) kepada para buruh berupah rendah dari korporasi-korporasi besar, PNS, dan prajurit TNI/Polri bawahan. Buktinya, di trotoar, jalan, gang, atau tanah lapang sekitar gedung-gedung pencakar langit yang megah berjubel warung-warung murah yang dipenuhi karyawan bawahan. Tak jarang juga pegawai atasan berdasi (atau dicopot dulu) yang ikut nongkrong di warung-warung PKL. Ada juga yang menyuruh OB (office boy) untuk beli makanan guna dibawa ke lantai atas. “Ini trickle up effect (efek air muncrat ke atas). Suatu bukti bahwa ekonomi rakyat menyubsidi ekonomi besar di atasnya yang secara strategis mendukung ekonomi nasional. Jadi, apa yang disebut proses trickle down effect kapitalistik itu omong kosong” (http://sinarharapan.co/kolom/ziarah/read/150910503/-i-ekonomi-rakyat-menyubsidi-ekonomi-konglomerat-i-). Bahkan dalam salah satu artikel dikatakan bahwa dari 10 kategori bisnis yang tidak mendapatkan pengaruh signifikan dari krisis moneter salah satunya adalah warung sembako atau toko kelontong (10 Peluang Bisnis yang Tak Mengenal Krisis - http://www.ciputraentrepreneurship.com/memulai-bisnis/10-peluang-bisnis-yang-tak-mengenal-krisis).
Paska keruntuhan rezim Orde Baru, pemikiran kiri berbasis analisis Marxis mengalami kebangkitan kembali. Beberapa indikator kemunculan pemikiran kiri berbasis pemikiran Marxis ditandai dengan hal-hal berikut:
1. Munculnya situs-situs internet yang berisikan kajian analisis sosial, politik, ekonomi berdasarkan perspektif Marxisme[1]
2. Munculnya penerbit yang menerbitkan buku-buku karya Marx al., Das Kapital[2], atau buku-buku hasil karya Partai Komunis yang belum sempat diterbitkan dengan judul, Manuskrip Sejarah 45 Tahun PKI (1920-1965) karya Busjarie Latif[3], serta buku Antropologi Marx: Karl Marx tentang Masyarakat dan Kebudayaan karya Dede Mulyanto [4]
3. Penerbitan buku-buku oleh korban dan anak-anak partai komunis oleh Orde Baru seperti karya dr. Ribka Ciptaning, Aku Bangga Jadi Anak PKI[5]
4. Penerjemahan buku-buku berbasis analisis Marxis seperti Selections from the Prison Notebooks karya Antonio Gramsci judul, Prison Notesbooks: Catatan dari Dalam Penjara[6]
5. Penerbitan buku-buku kritik sosial berbasis analisis Marxis seperti , Epistemologi Kiri karya Listiyono Santoso[7] atau Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial karya DR. Mansour Fakih[8] Muhammad dan Karl Marx Tentang Masyarakat Tanpa Kelas karya Munir Che Anam[9]
Pemikiran kiri berbasis analisis Marxis mewarnai berbagai kelompok-kelompok kajian atau analisis sosial politik yang mencoba mengritisi arah pembangunan yang cenderung berpihak pada kepentingan kapitalisme global maupun kapitalisme nasional dan pisau bedah mereka adalah teori-teori Marxis yang bersifat kritis atau teori-teori Marxis yang sudah mengalami revitalisasi dalam konteks Reformasi. Sebut saja buku-buku karya Mansour Fakih yang diterbitkan oleh Pustaka Pelajar kerap menggunakan analisis Marxis khususnya Antonio Gramsci yang telah mengritisi konsepsi Karl Marx dan membuat konsep-konsep yang lebih relevan untuk mengritisi ketimpangan sosial dalam pembangunan. Beberapa buku Fakih al., Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial[10], Analisis Gender dan Transformasi Sosial[11], Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik[12], Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi[13]. Demikian pula buku-buku karya Eko Prasetyo pun sarat dengan pisau analisis Marxis seperti, Islam Kiri: Melawan Kapitalisme Modal dari Wacana Menuju Gerakan[14], Saatnya Tan Malaka Memimpin[15], Orang Miskin Dilarang Sakit[16] Orang Miskin Dilarang Sekolah [17].
Daripada menyebut pemikiran kiri sebagai “bahaya laten komunis” – istilah yang dikontruksi oleh rezim Orde Baru - saya lebih melihat bahwa elemen-elemen masyarakat yang melakukan kritik sosial pembangunan melalui pisau bedah Marxis sebagai “kekuatan opini” yang berusaha mengisi celah kelemahan pembangunan yang berbasis kapitalisme global yang kerap menimbulkan kemiskinan struktural bagi kelompok-kelompok masyarakat. Mereka tidak bersenjata, mereka tidak memiliki pasukan terlatih secara militer, mereka tidak melakukan tindakan-tindakan intoleransi yang mengganggu kerukunan umat beragama. Menghubung-hubungkan kebangkitan pemikiran kiri dengan “bahaya laten komunis”, hanyalah sebentuk upaya untuk melanggengkan pemahaman stigmatis warisan rezim Orde Baru dan memberangus analisis kritis berbasis pemikiran Marxist.
Kita harus mengubah mindset kita dalam menyikapi kebangkitan pemikiran kiri paska Reformasi dengan melepaskan diri dari warisan pemikiran Orde Baru yang kerap melanggengkan paranoia “hantu komunis” tempat segala stigma dan kambing hitam terhadap berbagai peristiwa sosial politik yang mengarah pada tindakan anarkis, perpecahan, konflik vertikal dan horisontal sebagaimana dikatakan Peter Kasenda, “Sampai penghujung rezim Soeharto pada 1998, pemerintah dan pejabat militer Indonesia menggunakan ‘hantu’ PKI untuk menanggapi setiap masalah kerusuhan atau gejala pembangkangan. Kata-kata kunci dalam wacan rezim itu adalah bahaya laten komunisme”[18]
1. Munculnya situs-situs internet yang berisikan kajian analisis sosial, politik, ekonomi berdasarkan perspektif Marxisme[1]
2. Munculnya penerbit yang menerbitkan buku-buku karya Marx al., Das Kapital[2], atau buku-buku hasil karya Partai Komunis yang belum sempat diterbitkan dengan judul, Manuskrip Sejarah 45 Tahun PKI (1920-1965) karya Busjarie Latif[3], serta buku Antropologi Marx: Karl Marx tentang Masyarakat dan Kebudayaan karya Dede Mulyanto [4]
3. Penerbitan buku-buku oleh korban dan anak-anak partai komunis oleh Orde Baru seperti karya dr. Ribka Ciptaning, Aku Bangga Jadi Anak PKI[5]
4. Penerjemahan buku-buku berbasis analisis Marxis seperti Selections from the Prison Notebooks karya Antonio Gramsci judul, Prison Notesbooks: Catatan dari Dalam Penjara[6]
5. Penerbitan buku-buku kritik sosial berbasis analisis Marxis seperti , Epistemologi Kiri karya Listiyono Santoso[7] atau Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial karya DR. Mansour Fakih[8] Muhammad dan Karl Marx Tentang Masyarakat Tanpa Kelas karya Munir Che Anam[9]
Pemikiran kiri berbasis analisis Marxis mewarnai berbagai kelompok-kelompok kajian atau analisis sosial politik yang mencoba mengritisi arah pembangunan yang cenderung berpihak pada kepentingan kapitalisme global maupun kapitalisme nasional dan pisau bedah mereka adalah teori-teori Marxis yang bersifat kritis atau teori-teori Marxis yang sudah mengalami revitalisasi dalam konteks Reformasi. Sebut saja buku-buku karya Mansour Fakih yang diterbitkan oleh Pustaka Pelajar kerap menggunakan analisis Marxis khususnya Antonio Gramsci yang telah mengritisi konsepsi Karl Marx dan membuat konsep-konsep yang lebih relevan untuk mengritisi ketimpangan sosial dalam pembangunan. Beberapa buku Fakih al., Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial[10], Analisis Gender dan Transformasi Sosial[11], Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik[12], Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi[13]. Demikian pula buku-buku karya Eko Prasetyo pun sarat dengan pisau analisis Marxis seperti, Islam Kiri: Melawan Kapitalisme Modal dari Wacana Menuju Gerakan[14], Saatnya Tan Malaka Memimpin[15], Orang Miskin Dilarang Sakit[16] Orang Miskin Dilarang Sekolah [17].
Daripada menyebut pemikiran kiri sebagai “bahaya laten komunis” – istilah yang dikontruksi oleh rezim Orde Baru - saya lebih melihat bahwa elemen-elemen masyarakat yang melakukan kritik sosial pembangunan melalui pisau bedah Marxis sebagai “kekuatan opini” yang berusaha mengisi celah kelemahan pembangunan yang berbasis kapitalisme global yang kerap menimbulkan kemiskinan struktural bagi kelompok-kelompok masyarakat. Mereka tidak bersenjata, mereka tidak memiliki pasukan terlatih secara militer, mereka tidak melakukan tindakan-tindakan intoleransi yang mengganggu kerukunan umat beragama. Menghubung-hubungkan kebangkitan pemikiran kiri dengan “bahaya laten komunis”, hanyalah sebentuk upaya untuk melanggengkan pemahaman stigmatis warisan rezim Orde Baru dan memberangus analisis kritis berbasis pemikiran Marxist.
Kita harus mengubah mindset kita dalam menyikapi kebangkitan pemikiran kiri paska Reformasi dengan melepaskan diri dari warisan pemikiran Orde Baru yang kerap melanggengkan paranoia “hantu komunis” tempat segala stigma dan kambing hitam terhadap berbagai peristiwa sosial politik yang mengarah pada tindakan anarkis, perpecahan, konflik vertikal dan horisontal sebagaimana dikatakan Peter Kasenda, “Sampai penghujung rezim Soeharto pada 1998, pemerintah dan pejabat militer Indonesia menggunakan ‘hantu’ PKI untuk menanggapi setiap masalah kerusuhan atau gejala pembangkangan. Kata-kata kunci dalam wacan rezim itu adalah bahaya laten komunisme”[18]
Kopi Dalam Berbagai Perspektif
Kopi,
adalah minuman yang istimewa. Secangkir kopi dapat ditelaah dari berbagai
perspektif keilmuan baik ilmu sejarah, ilmu ekonomi bahkan ilmu sosiologi. Dari
perspektif sejarah, kopi merupakan
sebuah produk dan komoditas yang berasal dari wilayah Etiopia pada Abad VI
Mslalu dikelola di wilayah Arabia, Etiopia dan Turki pada Abad 16 Ms hingga
mengalami perjalanan jauh ke Eropa melalui proses transaksi perdagangan pada
Abad 17 Ms sebelum pada akhirnya masuk ke Hindia Belanda pada pada tahun 1690 (James
Grierson, History of Coffee: Part I - Africa and Arabia - http://ezinearticles.com/?History-of-Coffee:-Part-I---Africa-and-Arabia&id=135161
Band.
Sejarah Kopi di Dunia - http://warungkopishop.blogspot.co.id/2012/11/sejarah-kopi-di-dunia.html).
Dari
perspektif filsafat, secangkir kopi
melahirkan sejumlah permenungan filosofis sebagaimana tergambar dalam sejumlah
ungkapan sbb: “Hidup itu ibarat secangkir kopi, kadang terasa pahit kadang
terasa manis”, “Jalani hidup seperti menikmati secangkir kopi, minumlah secara
perlahan dan nikmatilah semua yang dinikmati, maka kau akan mengetahui apa yang
sedang terjadi”, “Kopi itu terbagi menjadi dua bagian yaitu kopi berkualitas
baik (arabica) dan kopi berkualitas sedang (robusta). Demikian pula kehidupan
ini ada yang menjalaninya dengan baik dan ada yang menjalaninya secara
biasa-biasa saja, tinggal kita mau memilih yang mana” (Kata Bijak Tentang Kopi -
http://forumpenikmatkopi.com/kata-bijak-tentang-kopi/).
Beberapa penggalan kalimat tersebut dapat pula ditelusuri dalam adegan film
berjudul, Filosofi Kopi yang bercerita
tentang Ben (Chicco Jericho) dan Jody (Rio Dewanto) dimana Ben merupakan
seorang barista yang handal dalam meramu kopi yang bekerja sama dengan Jody,
dengan mendirikan suatu kedai kopi yang disebut Filosofi Kopi Temukan Diri Anda Di Sini.
Resensi Film dan Ulasan Kritis
Pramoedya Ananta Toer dalam salah satu novel triloginya yang berjudul Bumi Manusia mengungkapkan kegelisahan psikologis salah satu tokoh dalam cerita yaitu Annelies anak Robert Mellema dan Nyai Ontosoroh berupa keterperangkapan jatidiri apakah dirinya sebagai anak pribumi atau anak Belanda akibat hukum kolonial yang hanya menetapkan status anak hasil perkawinan antara seorang Belanda dan seorang Nyai hanya diaku sebagai anak dari seorang ayah namun menolak status kewargaan ibunya sebagaimana tersurat dari nukilan pernyataan Nyai Ontosoroh kepada Annelies, “Sejak pengakuan itu kalian menurut hukum, hanya anak dari Tuan Mellema. Menurut hukum Ann, hukum Belanda di sini, jangan kau keliru. Kau tetap anakku. Pada wak tu itu baru aku tahu betapa jahatnya hukum. Kalian mendapatkan seorang ayah tapi kehilangan ibu" (Bumi Manusia, 2011:136). Sebagaimana pula diungkapkan dalam hati Minke kekasih Annelies, “Dia bukan majikan biar hidup sekamar dengan tuannya. Dia tidak termasuk golongan anak yang dilahirkannya sendiri. Dia bukan Totok, bukan Indo dan dapat dikatakan bukan Pribumi lagi. Dia adalah gunung rahasia” (Bumi Manusia, 2011:431).
Jika keterperangkapan identitas menjadi kegelisahan psikologis anak-anak Belanda dengan para Nyai (Baca resensi buku karya Reggie Bay, Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda - http://teguhhindarto.blogspot.co.id/2015/09/nyai-dan-pergundikan-sebuah-realitas.html), maka demikianlah terjadi dengan para mahasiswa yang terperangkap di luar negeri saat terjadi pergantian kekuasaan dari Sukarno digantikan oleh Suharto. Keterperangkapan tersebut menyebabkan mereka tidak memiliki kewarganegaraan alias stateless.
Di era Sukarno, pemerintah bekerja sama dengan negara-negara berhaluan sosialis seperti Uni Soviet, Republik Ceko, Rumania, Albania, serta Tiongkok. Pemilihan kerja sama tersebut dikarenakan negara-negara tersebut menyuarakan kebijakkan politik yang sama yaitu anti imperialisme. Kebijakkan politik yang senafas itu diwujudkan dengan mengirimkan mahasiswa-mahasiswa Indonesia untuk belajar di negara-negara yang memiliki haluan ideologi yang sama yaitu Blok Timur yang berideologi sosialis – komunis. Pengiriman mahasiswa-mahasiswa itu pun memiliki tujuan dalam rangka menciptakan para sarjana yang mumpuni di berbagai bidang dan dapat menerapkan ilmunya mengelola sumber daya alam Indonesia sebagai bagian bentuk kemandirian pengelolaan ekonomi bangsa. Mereka tergabung dalam MAHID (Mahasiswa Ikatan Dinas) dan calon pegawai negeri sipil (Duta Ampera) dan dikirim ke Eropa Timur dan Soviet serta Tiongkok.
Langganan:
Postingan (Atom)